"Oh, gitu." Wila mengangguk paham, "Berarti yang dikatakan pak Raja juga benar kalau dia calonnya Cahaya. Hmm, gagal deh, godain idola baru di perusahaan." Wila terkikik karena ucapannya. Alya menggeleng dengan tersenyum, "Kalau a Raja mengatakan itu, berarti benar. Aku hanya nggak mau bilang sesuatu yang aku tidak ingin katakan," tutur Alya."Ya udah, aku cuma mau nanyain itu doang.""Beneran? Kamu jauh-jauh dari kantor cuma buat nanyain itu doang," kata Alya tak percaya. "Iya, penasaran. Pengennya dari pagi ke sini, tapi sibuk banget. Baru sempat sekarang. Dah, ah, sebentar lagi istirahat." Wila berjalan menjauh setelah pamit. Sedang Alya hanya menggeleng, menatap Wila yang semakin menjauh."Aku belum cek hp, siapa tahu Aya ada menghubungi." Alya langsung mencari ponselnya dari dalam tas, dan benar saja ada pesan dari Cahaya yang dikirim tadi pagi. CAHAYA [Al, aku izin hari ini, Ambu kecelakaan kemarin sore, maaf baru ngabarin. Batre hp aku semalam abis. Semangat ya!] 'Ah, ter
"Cahaya! Woii! Lah dia malah diem. Pasti lagi ngelamunin sang pujaan ini!"Kembali Cahaya meringis saat lengkingan suara Alya memenuhi gendang telinganya, "Berisik, Al! Penuh ini kuping aku!" geram Cahaya sambil menoleh pada Rosita yang tadi tidur, dan Cahaya kaget mendapati ibunya itu sudah bangun, dan sedang tersenyum mendengarkan percakapan teleponnya dengan Alya. "Ambu? Em, Al ... aku hubungi kamu nanti, sekarang harus ngurus ambu dulu. Bye!" tanpa menunggu persetujuan Alya, Cahaya memutus panggilan begitu saja, tak peduli sahabatnya itu pasti sedang uring-uringan kini. "Aya berisik ya, Mbu? Jadi Ambu terbangun, maaf ya?" Cahaya membenarkan selimut yang menutupi tubuh ibunya, mengusap sayang lengannya hati-hati. Rosita menggeleng mendengar pertanyaan Cahaya yang sarat penyesalan, padahal dia memang terbangun dengan sendirinya, bukan karena Cahaya berbicara di telepon. "Tidak, Teh. Ambu emang sudah nggak ngantuk. Siapa tadi? Alya?" "Iya, Mbu, Alya yang nelepon. Nanyain kenapa
'Astagfirullah, kenapa aku terlalu berpikir jauh dengan ucapan istriku?' Batin Hadi membantah kecurigaannya sendiri. "Emang Ambu mau pergi kemana harus nunggu Aya sama Raja resmi lamaran dulu? Kan masih banyak waktu. Tenang aja, mereka pasti datang untuk melamar anak kita." Hadi mencoba menenangkan diri, membujuk Rosita agar mengikuti pemikirannya. "Ya pengen cepet aja, Pak. Kan kalau sudah terjadi, Ambu tidak gelisah lagi memikirkan siapa yang akan menjadi jodoh Aya. Ya? Sesuai rencana anak-anak saja? Minggu ini mereka tunangan, tapi jangan lama-lama, kalau bisa langsung nikah. Ambu udah nggak sabar pengen gendong cucu." Perkataan Rosita membuat Hadi semakin gelisah sendiri. Berbeda dengan Cahaya yang terlihat bahagia mendengar semua perkataan ibunya, dia hanya menganggap itu bentuk ketidaksabaran Rosita melihatnya bersanding dengan Raja. Bukan yang lainnya. "Tapi hari minggu sebentar lagi loh, Mbu? Setidaknya kita harus menyiapkan jamuan untuk kedatangan keluarga Raja, siapa ya
"Pulang tadi malam, A." Cahaya menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya, membuat Yusuf yang masih mendamba cintanya, laksana musafir di padang tandus ditawari setetes air pelepas dahaga, menuntaskan rindu walau hanya sekejap mata bersua. "Tadi malam? Dijemput Binar?" kembali Yusuf membuka percakapan, dia tidak ingin kehilangan kesempatan saat bisa berbicara dengan Cahaya. "Tidak, pulang sendiri." Cahaya menjawab seperlunya, dia belum ingin berbangga hati dengan mengakui kalau dia telah memiliki pujaan hati. Takut dengan kemungkinan, apapun di dunia ini pasti akan berubah tanpa bisa kita hindari. "Sendirian? Naik ojeg? Waduh, bahaya itu. Seharusnya jangan, Ya." Yusuf tersentak kaget, membayangkan Cahaya pulang dengan menggunakan jasa ojeg malam-malam, membuatnya khawatir tanpa bisa dijelaskan. "Cahaya diantar temannya, A Yusuf. Dan alhamdulillah selamat sampe rumah, dan sekarang baik-baik saja bersama kita." Hadi bantu menjelaskan pada Yusuf, dia tahu Cahaya masih enggan mengatak
Senyum Raja terus tersungging di bibir, letupan rasa bahagia begitu semarak dalam dada. Ingin rasanya dia memekik, dan melompat meluapkan kemenangannya kini. Selangkah demi selangkah tujuannya mulai tercapai, dia akan segera memiliki sang pujaan. Ternyata dia tidak salah jalan, menutup hati karena memang tidak bisa melupakan Cahaya, akhirnya akan bermuara bahagia, mereka akan bersatu untuk selamanya, Raja berharap semoga kali ini tidak ada lagi drama yang akan menguras air mata. Raja menoleh sekeliling, beberapa rekan kerja barunya terlihat saling berbisik, dengan sesekali melihat ke arahnya. Raja tahu dia tengah menjadi pusat perhatian, juga perbincangan di kantor, atau mungkin satu perusahaan sekarang. Bagaimana tidak? Dia yang baru saja dua hari kerja, dan menjadi idola karena ketampanan rupa, ternyata calon suami dari seorang senior di perusahaan itu, calon suami dari Cahaya Kamila. Raja meninggalkan kantor menuju mushola yang terletak di dekat departemen Cahaya dan Alya, sepanj
Yusuf segera berlalu dari tempatnya mencuri dengar pembicaraan telepon Cahaya, begitu gadis itu terlihat berdiri. Hatinya berdesir merasakan sakit dan cemburu, ternyata benar Cahaya sudah benar-benar melupakan semua tentangnya. Berbeda dengannya yang masih terpuruk dengan cinta saat memakai seragam putih abu-abu, bahkan dengan kembali menjadi single pun tak bisa membuatnya menarik perhatian Cahaya lagi. Gadis itu benar-benar sudah tak terjangkau.Cinta mereka yang dulu digadang-gadang akan selamanya, ternyata hanya bertahan sesaat saja. Kepergian Cahaya jauh ke negeri orang karena luka yang sengaja ditoreh sang ibu, membuatnya kehilangan cinta yang begitu dia harapkan akan bersama sepanjang hidupnya. Dan kini, kenyataan kalau sang pujaan bersiap menyongsong hidup baru, akankah dia diam dan menerima kekalahan? Atau justru kembali berjuang dengan harapan cinta bukan sekedar khayalan. Cahaya kembali memasuki ruang rawat Rosita, ibunya kini tengah disuapi oleh Hadi. "Sama Aya saja, Pak?
"Alhamdulillah, bisa tidur di kasur sendiri juga, nyaman." Rosita membaringkan tubuhnya perlahan dibantu Cahaya, wajahnya terlihat begitu bahagia, rasa perih yang kadang terasa di bekas luka yang dideritanya, seakan hilang sudah. "Iya alhamdulillah, sekarang Ambu harus banyak makan, dan istirahat biar cepat pulih, minum obat yang teratur juga. Bilang sama Aya, Ambu mau makan apa sekarang? Biar Aya belikan. Karena di rumah tidak ada makanan."Rosita tersenyum menatap wajah cantik anaknya. "Ambu tidak ingin apa-apa. Ambu hanya ingin cepat hari minggu," kekeh Rosita membuat rona di wajah Cahaya, dan membuat Epon yang mendengar percakapan keduanya langsung bertanya. "Mau apa gitu hari Minggu, Ita?" tanya Epon penasaran, apa yang sudah terlewat olehnya mengenai kabar keluarga iparnya itu. Rosita menoleh pada kakak iparnya itu, lalu tersenyum penuh rasa bahagia. "Aya mau dilamar, Teh."Cahaya langsung menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang semakin merona merah, bukti rasa malu
Mengusap pelan wajahnya, Kim kembali melihat penunjuk waktu yang semakin mendekatkannya pada kemarahan seseorang itu, lima menit lagi. Dan dia masih memerlukan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai, dia juga yakin sebentar lagi ibunya pasti menghubungi membawa kabar. "Ah, mianhe." Dan tepat dugaannya, ponselnya berdering mengantarkan nama sang ibu tertera di layar. "Bersiaplah, Kim." memasang headset pada telinga kirinya, Kim mengisi rongga dadanya sebentar sebelum mendengar lengkingan kemarahan. "Yoboseo, Mah!" sapa Kim setelah merasa siap dengan segala kemungkinan. "Young Jin, kamu di mana? Apa kamu lupa dengan janjimu hari ini?" suara lembut Hana terdengar, namun itu sarat peringatan untuk Kim, karena dia tau ada sepasang telinga yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Sepasang telinga dengan wajah dipasang cemberut, menunjukkan kekesalan karena dia kembali tidak tepat waktu. "Sepuluh menit lagi sampai, Mah. Tolong bilang padanya." "Baiklah. Kamu dengarkan, Sa