'Astagfirullah, kenapa aku terlalu berpikir jauh dengan ucapan istriku?' Batin Hadi membantah kecurigaannya sendiri. "Emang Ambu mau pergi kemana harus nunggu Aya sama Raja resmi lamaran dulu? Kan masih banyak waktu. Tenang aja, mereka pasti datang untuk melamar anak kita." Hadi mencoba menenangkan diri, membujuk Rosita agar mengikuti pemikirannya. "Ya pengen cepet aja, Pak. Kan kalau sudah terjadi, Ambu tidak gelisah lagi memikirkan siapa yang akan menjadi jodoh Aya. Ya? Sesuai rencana anak-anak saja? Minggu ini mereka tunangan, tapi jangan lama-lama, kalau bisa langsung nikah. Ambu udah nggak sabar pengen gendong cucu." Perkataan Rosita membuat Hadi semakin gelisah sendiri. Berbeda dengan Cahaya yang terlihat bahagia mendengar semua perkataan ibunya, dia hanya menganggap itu bentuk ketidaksabaran Rosita melihatnya bersanding dengan Raja. Bukan yang lainnya. "Tapi hari minggu sebentar lagi loh, Mbu? Setidaknya kita harus menyiapkan jamuan untuk kedatangan keluarga Raja, siapa ya
"Pulang tadi malam, A." Cahaya menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya, membuat Yusuf yang masih mendamba cintanya, laksana musafir di padang tandus ditawari setetes air pelepas dahaga, menuntaskan rindu walau hanya sekejap mata bersua. "Tadi malam? Dijemput Binar?" kembali Yusuf membuka percakapan, dia tidak ingin kehilangan kesempatan saat bisa berbicara dengan Cahaya. "Tidak, pulang sendiri." Cahaya menjawab seperlunya, dia belum ingin berbangga hati dengan mengakui kalau dia telah memiliki pujaan hati. Takut dengan kemungkinan, apapun di dunia ini pasti akan berubah tanpa bisa kita hindari. "Sendirian? Naik ojeg? Waduh, bahaya itu. Seharusnya jangan, Ya." Yusuf tersentak kaget, membayangkan Cahaya pulang dengan menggunakan jasa ojeg malam-malam, membuatnya khawatir tanpa bisa dijelaskan. "Cahaya diantar temannya, A Yusuf. Dan alhamdulillah selamat sampe rumah, dan sekarang baik-baik saja bersama kita." Hadi bantu menjelaskan pada Yusuf, dia tahu Cahaya masih enggan mengatak
Senyum Raja terus tersungging di bibir, letupan rasa bahagia begitu semarak dalam dada. Ingin rasanya dia memekik, dan melompat meluapkan kemenangannya kini. Selangkah demi selangkah tujuannya mulai tercapai, dia akan segera memiliki sang pujaan. Ternyata dia tidak salah jalan, menutup hati karena memang tidak bisa melupakan Cahaya, akhirnya akan bermuara bahagia, mereka akan bersatu untuk selamanya, Raja berharap semoga kali ini tidak ada lagi drama yang akan menguras air mata. Raja menoleh sekeliling, beberapa rekan kerja barunya terlihat saling berbisik, dengan sesekali melihat ke arahnya. Raja tahu dia tengah menjadi pusat perhatian, juga perbincangan di kantor, atau mungkin satu perusahaan sekarang. Bagaimana tidak? Dia yang baru saja dua hari kerja, dan menjadi idola karena ketampanan rupa, ternyata calon suami dari seorang senior di perusahaan itu, calon suami dari Cahaya Kamila. Raja meninggalkan kantor menuju mushola yang terletak di dekat departemen Cahaya dan Alya, sepanj
Yusuf segera berlalu dari tempatnya mencuri dengar pembicaraan telepon Cahaya, begitu gadis itu terlihat berdiri. Hatinya berdesir merasakan sakit dan cemburu, ternyata benar Cahaya sudah benar-benar melupakan semua tentangnya. Berbeda dengannya yang masih terpuruk dengan cinta saat memakai seragam putih abu-abu, bahkan dengan kembali menjadi single pun tak bisa membuatnya menarik perhatian Cahaya lagi. Gadis itu benar-benar sudah tak terjangkau.Cinta mereka yang dulu digadang-gadang akan selamanya, ternyata hanya bertahan sesaat saja. Kepergian Cahaya jauh ke negeri orang karena luka yang sengaja ditoreh sang ibu, membuatnya kehilangan cinta yang begitu dia harapkan akan bersama sepanjang hidupnya. Dan kini, kenyataan kalau sang pujaan bersiap menyongsong hidup baru, akankah dia diam dan menerima kekalahan? Atau justru kembali berjuang dengan harapan cinta bukan sekedar khayalan. Cahaya kembali memasuki ruang rawat Rosita, ibunya kini tengah disuapi oleh Hadi. "Sama Aya saja, Pak?
"Alhamdulillah, bisa tidur di kasur sendiri juga, nyaman." Rosita membaringkan tubuhnya perlahan dibantu Cahaya, wajahnya terlihat begitu bahagia, rasa perih yang kadang terasa di bekas luka yang dideritanya, seakan hilang sudah. "Iya alhamdulillah, sekarang Ambu harus banyak makan, dan istirahat biar cepat pulih, minum obat yang teratur juga. Bilang sama Aya, Ambu mau makan apa sekarang? Biar Aya belikan. Karena di rumah tidak ada makanan."Rosita tersenyum menatap wajah cantik anaknya. "Ambu tidak ingin apa-apa. Ambu hanya ingin cepat hari minggu," kekeh Rosita membuat rona di wajah Cahaya, dan membuat Epon yang mendengar percakapan keduanya langsung bertanya. "Mau apa gitu hari Minggu, Ita?" tanya Epon penasaran, apa yang sudah terlewat olehnya mengenai kabar keluarga iparnya itu. Rosita menoleh pada kakak iparnya itu, lalu tersenyum penuh rasa bahagia. "Aya mau dilamar, Teh."Cahaya langsung menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang semakin merona merah, bukti rasa malu
Mengusap pelan wajahnya, Kim kembali melihat penunjuk waktu yang semakin mendekatkannya pada kemarahan seseorang itu, lima menit lagi. Dan dia masih memerlukan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai, dia juga yakin sebentar lagi ibunya pasti menghubungi membawa kabar. "Ah, mianhe." Dan tepat dugaannya, ponselnya berdering mengantarkan nama sang ibu tertera di layar. "Bersiaplah, Kim." memasang headset pada telinga kirinya, Kim mengisi rongga dadanya sebentar sebelum mendengar lengkingan kemarahan. "Yoboseo, Mah!" sapa Kim setelah merasa siap dengan segala kemungkinan. "Young Jin, kamu di mana? Apa kamu lupa dengan janjimu hari ini?" suara lembut Hana terdengar, namun itu sarat peringatan untuk Kim, karena dia tau ada sepasang telinga yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Sepasang telinga dengan wajah dipasang cemberut, menunjukkan kekesalan karena dia kembali tidak tepat waktu. "Sepuluh menit lagi sampai, Mah. Tolong bilang padanya." "Baiklah. Kamu dengarkan, Sa
"Aya!" bisik Su Ni lirih, namun Kim masih bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Su Ni. "Apa? Apa yang ingin kamu katakan Su Ni?" tanya Kim heran, dia belum paham dengan maksud perkataan Su Ni di ambang batas kesadarannya. Dia terus menderap langkah, membawa tubuh Su Ni keluar dari apartemennya. "Berikan nama Aya pada anak kita, Oppa. Dia perempuan. Anak kita berjenis kelamin perempuan. Berikan nama Aya, seperti gadis yang menjadi impianmu selalu. Aya. Kim A ya." Dan Su Ni pun pingsan setelah mengatakan itu, membiarkan Kim yang tersentak sendiri merenungi semua perkataannya tadi. Kim hanya bisa menunggu dengan rasa khawatir yang begitu besar, sambil menunggu kedatangan orang tuanya juga orang tua Su Ni. Pikirannya melayang pada apa yang diucapkan Su Ni tadi, sebegitu abainya dia pada istri sekaligus sepupunya itu, hingga dia baru mengetahui kalau calon anaknya seorang perempuan. Belum lagi nama yang disebutkan Su Ni untuk dia sematkan pada putri mereka nanti. Aya. Kim A Ya.
Dan untuk menyelamatkan harga dirinya, tentu menutupi kebenaran adalah jalan keluarnya. Lagi pula, Baek tidak mungkin bertemu Cahaya lagi, seperti dirinya yang entah bisa bertemu lagi atau tidak. "Iya, dia anakku. Kim A Ya." Kim menjawab seperlunya, memang benarkan A Ya anaknya? Walau bukan Cahaya ibunya. Tidak ada yang tau juga kalau saat ini dia sedang berbohong. 'Terserah!'"Wah, saking cintanya kamu sampai menamai anakmu dengan nama panggilan ibunya." Baek tertawa, mengingat panggilan Cahaya dulu. Baek ikut duduk di sebelah Kim dengan terus mengawasi A Ya yang terlihat begitu menggemaskan. "Cahaya kemana? Kenapa tidak ikut?" Baek mengalihkan perhatian pada Kim, kembali berbincang dengan Kim. "Tidak." "Kenapa?""Dia … di Indonesia." Kim tak berani menatap mata Baek, dia lebih memilih melihat A Ya agar kebohongannya tidak terbuka. "Ah, sedang pulang ternyata. Sendiri? Kenapa kalian tidak ikut?" Baek semakin penasaran, mencoba menggali tanpa bermaksud mencari informasi, hanya s
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe