"Saya ... saya tidak bisa." Cahaya menjeda kalimatnya, membiarkan sinar kekecewaan di mata Raja terlihat mendengar perkataannya, dan suasana semakin terasa mencekam, menunggu Cahaya melanjutkan perkataannya. Cahaya ingin sekali tertawa, melihat Raja yang sudah kehilangan fokusnya. "Saya tidak bisa menolak ... saya menerima lamaran ini." Cahaya menundukkan kepala, setelah mengatakan itu. Setelahnya, ucapan syukur terdengar di ruangan itu dari tiap bibir yang menjadi saksi, sementara Raja yang kehilangan fokus karena perkataan awal Cahaya, Raja sibuk menekan rasa kecewa yang menyangka Cahaya kembali menolaknya. "Loh, kok A Raja kayak yang nggak seneng gitu, ya?" Khadijah menepuk tangan Raja yang terhalang oleh Farhat duduknya, membuat semua orang melihat pada Raja. Raja tersentak kaget, menoleh pada Khadijah yang menatap heran padanya. "Gimana mau seneng, Khadi? Orang ditolak lagi!" ujar Raja lirih, namun jelas terdengar semua orang, dan mereka langsung saling pandang tak mengerti
"Karena belum ada cincin pengikatnya, untuk sementara pakai ini dulu, Sayang. Ini adalah cincin warisan turun temurun keluarga besar Subrata, yang diberikan pada calon istri anak lelaki pertama, atau yang paling besar. Dan Cahaya, Sayang. Hari ini tanggung jawab Ummi menjaga cincin pusaka keluarga Subrata, berpindah padamu. Berikan nanti cincin ini, pada anak lelaki paling besar kalian." Mukta melepas cincin yang melingkari jari tangannya, memberikan pada Raja untuk disematkan pada Cahaya. Raja menerima cincin yang masih terlihat berkilau itu, karena Mukta yang rajin merawatnya, cincin bermata satu dengan warna biru yang berkilauan saat tertimpa sinar lampu. Raja mengulurkan tangan, meminta Cahaya meletakkan tangannya di atas telapak tangan kirinya. Dan Khadijah tidak ingin kehilangan momen penting yang tidak direncanakan sama sekali itu, dengan mengabadikannya lewat kamera ponselnya. Cahaya meletakkan tangan kirinya di atas tangan Raja dengan senyum malu. "Cahaya Kamila, Sayang ..
Dan tepukan gemas tangan Cahaya mendarat di tangan Raja, dia merasa malu dengan tingkah calon suaminya itu. "Nggak boleh, udah cepet keburu malam." Denni menghardik galak, dan Raja hanya pasrah, menyalami Hadi dan yang lainnya dengan malas. "Cahaya masih di sini, Nak Raja,tidak akan kemana-mana," goda Hadi pada calon menantunya itu. "Besok juga ketemu lagi, A. Terus hari Minggu ketemu lagi, tenang saja," timpal Binar ikut menggoda, membuat yang lain tertawa. Akhirnya Raja pun melangkah ke mobil mengikuti Denni, dan Farhat yang sudah lebih dulu masuk kedalam mobilnya. Tangan Cahaya melambai melepas kepergian keluarga Raja, setelah mobil yang dikendarai Farhat lebih dulu keluar, diiringi lengkingan suara Syena memanggil Binar. "Dadah, Om Nar ... Enna pulang dulu, nanti Enna datang lagi, ya ... Enna sayang sama Om Nar!"Binar merasakan desiran itu lagi, desiran aneh namun terasa menyenangkan.Cahaya dan yang lainnya berbalik masuk, setelah mobil Raja tak nampak lagi terhalang pekat
Sang perawan tengah berbunga hatinya. Bahagia itu melingkupi hati, memeluk asa, mendekap rindu yang kini kembali mengetuk kalbu, menerbangkan angan seakan sang pujaan ada bersebelahan. Bahkan saat becermin seakan dia di sana, tersenyum menggoda dengan kerling mata penuh pesona"Hei! Kangen kan?!" "Eh?!" Cahaya mengerjapkan mata, menoleh melihat kebelakang tubuhnya, saat bayang Raja terpantul cermin di depannya. Tak ada! Karena memang itu kenyataannya. Sang pemilik hati tentu saja tidak di sana. Sudah pulang bersama keluarganya, hanya cinta dan hatinya yang tertinggal. Cahaya menutup wajahnya yang tiba-tiba menghangat, merasa malu dengan apa yang kini tengah dirasakannya. Jatuh cinta. Sangat. Sangat jatuh cinta pada Raja. Kemana dia selama ini? Bagaimana bisa dia menyia-yiakan cinta seorang Raja? Bagaimana dengan mudah dia membuang kebahagiaan yang ditawarkan Raja dengan begitu angkuh? Tapi apalah semua tanya itu sekarang? Karena kini kebahagiaan itu kembali diraih, Raja-nya suda
Menarik napas dalam sebelum menerima panggilan Raja, Cahaya menepuk pipinya pelan yang terasa memanas lagi. "Ha-halo, A?" 'Duh, kok gugup sih?'"Halo, Sayang ... sudah tidur?" suara Raja menyapa, terbayang wajah tampan itu tersenyum padanya, dan Cahaya memilih berbaring untuk menyamankan diri, berbincang dengan sang pujaan. "Belum, baru baringan saja. Aa udah nyampe?" "Baringan? Kapan kita bisa baringan bareng, Sayang?" Cahaya semakin merasakan panas di wajahnya. "Dih, apaan sih, A? Ditanya bukannya jawab? Malah ngomongin apa.""Hehehe ... iya, Sayang. Udah nyampe dari setengah jam tadi, terus bersih-bersih. Baru deh hubungi kamu.""Iya. Ummi baik-baik saja kan? Nggak kecapean?" Cahaya mencoba memberikan perhatian untuk calon mertuanya itu. "Ummi baik, semangat sekali malahan. Tadi langsung pesan cincin buat kita, nanti Aa kirim photonya buat kamu pilih model, Sayang.""Nggak usah, A. Gimana bagusnya aja. Aku percaya kok sama pilihan ummi dan kamu.""Nggak bisa gitu juga, Sayang
Raja tersenyum bangga, melihat video yang dibagikan Khadijah tadi saat acara tunangan diadakannya berlangsung, berbagai komentar dan juga pertanyaan, dari temannya di dunia maya juga nyata, membuat senyuman itu semakin lebar. Raja akan mengucapkan banyak terima kasih pada adik tersayangnya itu nanti, karena sudah berinisiatif melakukan siaran langsung, yang bahkan terlintas di pikirannya pun tidak saat itu. Merasa tergelitik untuk ikut mengomentari video itu, Raja menuliskan komentar disertai permintaan do'a dari semua yang mengenalnya di dunia maya. RAJENDRA SUBRATA. Terima kasih semuanya, mohon do'anya semoga semua dilancarkan sesuai rencana sampai hari H.Tak berapa lama, komentar Raja ditimpali oleh balasan dari yang lain. Dan bukannya membalas pertanyaan juga ucapan mereka, Raja malah memilih terbang ke dunia mimpi untuk menjemput perjumpaan dengan kekasih tercinta. Melepas rasa rindu yang semakin kuat membelenggu, padahal baru lepas hitungan jam keduanya bertemu. Cinta mema
Di belahan dunia lain, Hana yang mendapatkan kabar tentang musibah yang menimpa ibunya, menatap sendu pada Kim Young Nam, suaminya. Dia memang belum membicarakan tentang musibah itu, pada kedua lelaki yang sangat berharga dalam hidupnya itu: suami dan anaknya, dia bingung harus dengan cara apa menyampaikan kabar tentang kondisi ibunya pada Young Nam. Young Nam yang merasakan perubahan sang istri, menatap lembut pada wanita beda bangsa yang sudah menemaninya selama 28 tahun itu. "Weoh, Yobo? Kamu ada yang ingin disampaikan?" tanyanya dengan tangan terulur mengusap punggung tangan Hana. Hana tersenyum tipis, Young Nam memang mengenalnya dengan baik, hanya dengan tatapan saja lelaki itu bisa tahu ada yang tengah mengusik ketenangannya. "Emm, itu tentang ... ibu. " Hana sengaja menggantung kalimat, agar suaminya semakin penasaran dan memberikan perhatian penuh padanya. "Ibu? Kenapa dengan ibu?" berhasil. Young Nam menyimpan ponselnya di meja, menatap Hana dengan penasaran. "Ibu seda
Raja keluar dari ruang rapat dengan tak bersemangat, keputusan hasil rapat tadi sangat tidak menguntungkan baginya. Bagaimana tidak? Perusahaan dengan pasti akan mengutus Cahaya, Andri, dan Adrian untuk dikirim ke Korea, bersama dua orang karyawan lainnya menggantikan Alya yang tidak bisa ikut serta. Ingin sekali tadi Raja menolak keputusan Presdir, yang menyebut nama kekasih hati sebagai calon kuat orang yang harus pergi, namun jelas tidak mungkin hal itu dilakukannya. Raja duduk di tempat kerjanya lelah. Lelah hati lebih tepatnya. Apa harus dia melarang Cahaya pergi? Apa tidak akan membuat gadis itu merasa dia mengekang karirnya? Tapi untuk mengizinkan Cahaya pergi pun, Raja takut. Di sana, di negara yang akan Cahaya datangi lagi, ada seseorang yang pernah begitu gadis itu cintai. Seseorang yang bisa Cahaya temui kapan saja, bahkan tidak akan mustahil cinta yang mungkin masih ada di dalam hati Cahaya, akan kembali bersemi bila mereka bersua kembali. 'Tenang, Raja ... Cahaya mili
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe