Cahaya yang sedang menyuapi Rosita sesekali menatap jam yang menempel di dinding, sudah hampir jam satu siang, tapi ponselnya tidak menunjukkan adanya tanda kalau Raja menghubunginya. Dia mencoba bersikap tenang padahal, sudah tidak sabar untuk mendengar suara Raja. Rosita yang seakan mengerti kegelisahan Cahaya, mengusap tangan Cahaya lembut. "Teteh mikirin si Aa, ya?" goda Rosita yang langsung melihat rona menjalari pipi Cahaya, wanita itu terkekeh pelan melihat putrinya terlihat salah tingkah. "Telepon saja kalau memang kangen, kan sekarang jam istirahat.""Ambu, apaan sih?" kilah Cahaya sambil menyuapkan kembali makan siang Rosita yang tinggal beberapa suap, Cahaya senang ibunya lahap makan, dengan begitu harapan pada hari pertunangannya nanti Rosita bisa pulih sangat besar terwujud. "Kalau kangen jangan gengsi, telepon saja. Saat ini mungkin si Aa sibuk, mungkin juga butuh Teteh yang menghubungi. Sudah telepon sana, sebelum waktu istirahatnya habis, biar Ambu makan sendiri."C
Cahaya harus menelan kekecewaan, saat panggilan kedua pun tidak mendapatkan tanggapan dari Raja. Namun dia berusaha mengerti dengan kondisi yang tengah Raja hadapi tanpa dia ketahui, dan mengirimkan pesan adalah hal yang sangat mungkin dilakukan sekarang. CAHAYA. [Sibuk, A? Jangan lupa makan, nanti setelah pulang kerja, langsung hubungi aku, ya?] Cahaya dibuat kaget saat pesan itu selesai dia kirimkan, Raja langsung menghubunginya. Menarik napas cepat dan segera membuangnya lagi, Cahaya bukan gadis segera menerima panggilan dari Raja. "Assalamu'alaikum, A.""Wa'alaikumussalam, Sayang. Maaf tadi sedang sholat. Maaf juga belum menghubungi, sedang sibuk. Tadi saja Aa makannya telat," terang Raja menjelaskan kondisinya, dan Cahaya mengangguk tanpa sadar. "Iya, A, aku ngerti kok.""Iya, terima kasih sudah perhatian dan mengerti, Sayang. Bagaimana keadaan Ambu?""Ambu semakin membaik, A. Hanya saja kemarin malam mungkin karena terlalu banyak bergerak, jahitan lukanya berdarah lagi. Per
"Raja jadi datang nanti malam?" dan tawa Cahaya seketika terhenti, begitu Hadi menanyakan seseorang yang saat ini tengah menguasai hati dan pikirannya. Giliran Hadi yang tersenyum penuh kemenangan melihat rona merah di pipi Cahaya, apalagi saat Cahaya menjadi salah tingkah, dan duduk di kursi berhadapan dengannya. "Jadi, tapi rencananya jadi berubah, Pak. A Raja tidak jadi menginap.""Iyalah, kenapa juga harus nyewa kamar? Sama Binar lagi saja, nanti Bapak izin sama pak RT kalau akan ada tamu yang menginap." Hadi yang belum mendengar semua penjelasan Cahaya, menyampaikan argumennya. "Bukan seperti itu, Pak.""Lalu?" perhatian Hadi langsung penuh pada Cahaya, saat ternyata pemikirannya salah. "Kata ambu, lebih baik tidak menginap lagi Aya, jadi nanti malam a Raja hanya menjemput," jelas Cahaya, dan Hadi mengangguk paham. "Iya, Ya. Kasihan Raja sudah dua hari ini berturut-turut bolak-balik kemari, terus langsung kerja, capek dia.""Iya, Pak. Ambu juga tadi mengatakan begitu.""Atau
Kepergian Raja menuju kampung halaman Cahaya kali ini sedikit membuatnya gundah, kabar yang dibawa serta tidak dipungkiri membuatnya merasa takut, entah apa yang akan Cahaya rasakan, saat tahu kalau dia akan kembali dikirim lagi ke Korea? Apa akan senang? Atau menolak dengan tegas.Kendati begitu, Raja tidak akan melarang Cahaya untuk pergi. Saat ini status gadis itu hanyalah calon istrinya, dia belum berhak sepenuhnya atas diri Cahaya. Dia akan memberikan kesempatan pada Cahaya untuk terus berkarir, walaupun resiko bertemunya kembali Cahaya dan Kim sangat besar, Raja bertekad untuk memberikan kepercayaan pada Cahaya. Sepulang kerja tadi Raja langsung mandi, berpamitan pada Mukta dan Deni kalau dia akan menjemput Cahaya. Bahkan Mukta meminta Raja untuk membawa Cahaya ke rumah Khadijah dulu, sebelum mengantarkan gadis itu ke tempat kostnya. Satu setengah jam kemudian, mobil Raja mulai memasuki desa Cahaya. Saat sang surya sudah sempurna menyembunyikan dirinya tepat di ufuk barat, mem
"Ayo, sholat dulu. Nanti kita barengan ke rumahnya," ajak Hadi pada dua orang lelaki kini saling pandang dengan tatapan berbeda arti. Yusuf yang merasakan gelisah juga ketakutan, sedang Raja tatapan hangat persahabatan. Entah kalau Raja tahu, siapa lelaki yang kini menatapnya penuh selidik, dia juga pasti merasa tidak nyaman. Lima belas menit kemudian, ke-empatnya keluar dari dalam masjid, Yusuf yang semakin penasaran dengan Raja ingin sekali bertanya, namun karena sungkan pada Hadi, dia menahan rasa ingin tahunya sampai nanti Hadi mengenalkan Raja padanya. "Oh, iya. Bapak lupa." Hadi menghentikan langkah setelah ingat belum mengenalkan Raja pada Yusuf. "A Yusuf, kenalkan ... ini, A Raja. Calon suami Cahaya." Hadi mengatakan dengan gamblang siapa Raja sebenarnya. Bukan tanpa alasan, hanya Hadi sedang ingin menghentikan impian Yusuf untuk mendapatkan anaknya lagi, dia harus tega mengatakan pada lelaki anak mantan majikannya kebenaran yang ada. Yusuf merasakan hatinya bagai diremas
"Ayo, masuk! Kenapa jadi diam depan pintu begini? Pamali! Nanti jodohnya jauh." Hadi menghentikan suasana canggung ke-tiganya, mendahului masuk setelah menepuk pelan pundak Yusuf yang berdiri di sebelahnya. Pun ketika melewati Raja, Hadi tersenyum penuh pengertian pada calon menantunya, mengharap Raja tidak terpengaruh dengan keberadaan Yusuf di tengah-tengah mereka. "Ah, iya ... Pak," gugup Yusuf mengiyakan ajakan Hadi, melirik pada Raja yang kini berdiri berdampingan dengan Cahaya, melihat keserasian gadis pujaan dengan lelaki lain membuat Yusuf dibakar api cemburu. Tapi kembali kenyataan menamparnya, siapa dia bagi Cahaya sekarang? Hanya mantan pacar yang sudah berstatus duda pula. Kasihan sekali bukan?'Diam!' Yusuf membenci apa kata sisi batinnya. "Masuklah, A. Silakan!" Cahaya membuka suara pada laki-laki pemilik hatinya dulu, dia hanya sekejap melihat pada Yusuf, tak ingin membuat kesalahpahaman pada Raja yang tengah menatapnya dengan penuh selidik. Sementara Raja sedang me
"Baiklah, aku akan memanggilmu dengan panggilan ... Bapak? Seperti pertama kita bertemu." Cahaya terkikik puas saat Raja menggeram pelan, dia pikir Cahaya akan memberikan panggilan sayang, ternyata justru semakin menggodanya. "Ya tidak dengan panggilan itu juga, Sayang. Masa sama calon suami manggil Bapak?""Loh, apa salahnya? Ambu aja manggil bapak pada suaminya, kenapa kita yang masih berstatus calon tidak mau?" rupanya Cahaya sedang ingin menggoda Raja, membuat Raja terlihat menahan kesal karenanya. "Sepertinya memeluk dan mencium kamu saat ini adalah waktu yang tepat, Sayang. Biar sekalian dinikahkan sama pak RT. Mau?!" ancam Raja penuh kemenangan saat tawa Cahaya langsung terhenti, dan bergerak menjauhinya. Namun karena tangannya masih menggenggam erat jemari Cahaya, gerakan gadis itu pun terbatas. "Lepas, A! Malu kalau ada yang lihat!" Cahaya mencoba melepaskan tangannya, namun bukannya terlepas Raja semakin menguasainya. "Jangan panggil Aa!""Iya, tapi lepas dulu ini!""Ngg
Hadi yang tengah berbincang dengan Yusuf, menoleh ke bagian depan rumah saat tawa Raja dan putrinya terdengar. Sekilas lalu, Hadi sempat melihat raut wajah tak nyaman dari Yusuf. Dia paham, sangat paham, kalau saat ini Yusuf pasti tengah menahan diri atas semua keadaan yang dihadapinya. Tapi apa yang harus dilakukan? Hubungan Yusuf dan Cahaya sudah jauh tertinggal di belakang, walau Yusuf pernah mengatakan niatnya untuk mempersunting Cahaya, tapi dia tidak memberikan keputusan sama sekali waktu itu, karena tidak ingin salah mengambil tindakan dalam memutuskan masa depan putrinya. Dan itu terbukti, karena Cahaya ternyata memiliki seseorang yang diam-diam memujanya, bahkan keluarganya pun bisa dengan tulus menerima segala keterbatasan ekonomi keluarganya. "Nar, coba panggil si teteh, malah becanda di depan. Bukannya mereka mau pergi? Nanti keburu malam," kata Hadi pada Binar yang duduk di dekat Rosita. "Iya, Pak." Binar dengan sigap beranjak bangun, melangkah ke depan rumah untuk mem