Aku menatap diriku di depan cermin. Sesosok wanita yang tampak ringkih tapi berusaha terlihat baik – baik saja berdiri di depanku. Senyum paksa kuuraikan hingga bayangan diriku di cermin itu melakukan hal yang sama. Penampilanku begitu sempurna. Sepertinya Axe sengaja memberikan gaun bermodel decolette look bukan busty look sehingga hanya bagian leher dan dadaku yang terekspos sempurna. Rambutku ditata dengan Messy Bun Style oleh orang – orang suruhannya. Pria itu mempersiapkan diriku sedetail ini hingga aku hampir tak mengenali diriku sendiri.
Langkahku pelan keluar kamar, menuju ke arah Axe. Dia tampak begitu tampan dengan balutan Tuxedo hitam dan dasi kupu – kupu berwarna senada. Aku sedang tidak memujinya karena itulah faktanya. Bisa kubilang Axe adalah salah satu pria yang memiliki ketampanan luar biasa. Dia memang sangat tampan. Sayangnya sifat buruknya menutup kenyataan itu di mataku.Axe mengulurkan lengannya untukku. Aku hanya menatapnya sesaat sebelum mengaetnya. TatAku tersenyum melihat pemandangan di depanku. Sepasang suami istri bersamaku saat ini sedang memanen kentang di kebun halaman rumah mereka. Masih ingat dengan wanita paruh baya yang menolongku melarikan diri. Ya. Akhirnya dia memberikanku tumpangan untuk tinggal bersamanya. Tadinya aku menolak karena merasa tidak enak. Tapi melihatnya begitu memohon, aku merasa tidak tega. Mereka adalah sepasang suami istri yang penuh perhatian. Awal tinggal di sini aku mengatakan alasan aku melarikan diri di malam pesta gala yang diadakan Mr. O’connor. Aku hanya bercerita sedikit saja sisanya ada beberapa kebenaran yang aku sembunyikan, termasuk identitas antara aku dan Axe. Aku tidak mengatakan pada mereka bahwa pria yang menahanku adalah saudaraku sendiri yang begitu terobsesi padaku. Meskipun begitu, mereka terus menyemangatiku. Aku senang Tuhan mempertemukanku dengan orang baik seperti mereka.“Morine, aku mendapat kentang yang besar,” kataku penuh semangat. Wanita paruh
“Bridgette buka pintunya, sayang.” Ketukan dan suara membujuk Morine membuatku ragu. Apakah aku harus keluar atau tetap di kamarku menghindari Axe.Aku menarik napas dan mengembuskannya kasar. Dengan terpaksa aku membukakan pintu kamar mengingat aku tidak punya hak lebih selain hanya menumpang.“Bridgette, kau mau bercerita?” tanya Morine. Kami duduk di tepi ranjang, Morine dengan lembut merapikan rambutku yang sedikit berantakan.Tanpa diminta aku memeluk wanita paruh baya di depanku. Dia sudah seperti ibu kedua untukku. Meskipun kami orang asing yang akhinrya saling mengenal, tapi aku sangat menyayanginya. Ketulusan dan kebaikan hatinya membuatnya pantas dicintai.“Maafkan aku, Bridgette. Aku tidak tahu bahwa Xelle adalah orang yang selama ini kau maksud. Aku juga tidak menyangka dia akan melakukan hal yang tidak baik padamu. Aku sudah memberitahunya untuk tidak mengganggumu. Tapi—“ Morine menghentikan kalimatnya. Tatapannya berubah sedih.“He tell me. He can’t live
Pintu diketuk dari luar. Axe langsung tersenyum miring padaku lalu bangun dan membukakan pintu untuk tamunya. Mereka sempat berbicara sebentar sebelum akhirnya Axe mempersilakan orang itu masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia mengunci pintu rapat – rapat. Mataku membola begitu mengetahui seseorang yang dipanggil kemari adalah Edward. Tampak Edward menunduk patuh pada tuannya.Bugh!Pekikanku keluar begitu melihat Edward menunduk menahan sakit. Axe memukulinya tepat di bagian perut.Bugh! Lagi. Axe kembali melancarkan aksinya di depanku. Kulihat Edward terbatuk menahan sakit yang Axe berikan. Axe memang sudah gila. Bawahan sebaik Edward tidak seharusnya dihajar tanpa alasan.“Now is my turn. Do the same way, right over here!” Edward menggeleng cepat saat Axe menunjuk perut bagian kirinya sebagai tempat untuk Edward berikan pukulan balasan.“No, Tuan. Saya tidak bis—akh!” Edward meringis sakit saat Axe kembali memukulnya.“Lakukan atau kau kupecat!” ancam Axe penu
“Ada apa, kenapa kau menatapku begitu?” tanyaku spontan. Suasana makan malam mendadak suram. Diiringi tatapan tajam yang sedari tadi menghunus ke arahku. Aku tidak merasa berbuat salah padanya. Tapi sorot matanya jelas mengatakan sesuatu yang berbeda.“You owe me!” Suara serak dan dalam Axe membuatku berpikir.Seharusnya itu yang aku katakan padanya. Aku tidak berhutang apa pun pada Axe. Dia-lah yang berhutang jawaban padaku.I know you were here. Ucapannya masih tergiang jelas di kepalaku. Bagaimana dia tahu keberadaanku waktu itu. Dan soal kebetulan kemarin, yang mana ternyata Morine adalah ibu angkatnya sungguh terasa sulit untukku terima. Apa waktu itu Axe sudah merencanakan sesuatu untukku?Aku meletakkan sendok dan garpu di atas piring dengan keras, membiarkan ketiga benda itu kompak menghasilkan bunyi. Aku menatap lurus ke arah Axe yang masih setia melihat setiap gerakanku.“You owe me the most,” kataku akhirnya. Membuat pria yang sedari tadi bersamaku tergelak
Sudah seminggu aku kembali ke tempat ini, sangkar yang menjadi tempatku berlindung sekaligus terluka. Meski hubunganku dan Axe sedikit lebih baik. Tapi kadang – kadang aku tetap menyimpan rasa tak suka padanya. Dia masih sering menyentuhku terhitung sejak terakhir insiden hukuman yang dia berikan padaku. Aku tak berusaha mencegahnya seperti dulu. Axe sangat keras kepala. Aku tak mampu menyadarkannya. Terus menolaknya juga membuatku lelah. Aku adalah pionnya, dia yang mengatur dan menguasai langkahku. Aku seperti tak punya hak untuk hidupku sendiri tepat saat aku melihatnya membanting barang – barangku.Flashback on.“Bisakah kau kembalikan ponselku, Axe. Aku mohon. Aku sudah menuruti semua keinginanmu.” Aku memohon padanya ntah untuk yang ke berapa kali. Aku ingin ponselku, itu saja. Tapi Axe hanya fokus pada monitor tv di depannya. Dia tidak memedulikanku yang saat itu berharap dia akan berubah pikiran setelah cukup lama menahan benda penting milik
“What’s going on, Axe?” Aku kembali mencecarnya dengan pertanyaan saat kami akhirnya tiba di mansion besar miliknya. Selama perjalanan pria itu hanya diam. Sesekali aku melihat tangannya gemetar tanpa alasan.“You act weird.”Masih tidak ada jawaban darinya. Axe hanya duduk diam di meja bar. Aku yakin pikirannya sedang menerawang jauh. Melihatnya seperti itu kepalaku terasa semakin pusing. Ntahlah, di saat dia menarikku berlari dan selama di perjalanan menuju pulang aku merasa tidak enak badan. Kadang – kadang merasa mual, tetapi masih bisa menahannya dengan baik. Namun melihat situasi Axe yang tidak seperti biasa, aku rasa aku butuh sesuatu yang bisa membuatku nyaman. Aku butuh istirahat.Baru beberapa langkah, aku merasa seperti dilempari sebuah batu besar di atas kepalaku, yang membuatnya terasa semakin berat. Pandanganku menjadi kabur. Samar – samar aku masih bisa melihat Axe yang tetap diam di tempatnya. Tanganku berusaha meraih bahu lesuhnya. Sayangnya, di saat
“Apa yang kau lakukan, Axe?” tanyaku penasaran. Sedari pagi aku melihatnya sibuk dengan urusannya sendiri di salah satu ruangan kosong di mansion besar miliknya.“Merenovasi tempat ini menjadi kamar,” jawabnya sembari sibuk mengecat.“For our baby,” lanjutnya semangat. Aku tidak percaya bahwa pria sepertinya akan seantusias ini menjadi seorang ayah. Karena kadang – kadang Axe terlalu labil, sikapnya bisa berubah secara drastis dan tak bisa ditebak. Dia juga bisa begitu emosional terhadapku.“Bukankah ini terlalu cepat? kandunganku baru 6 minggu.” Aku menatap punggung yang basah oleh keringat itu. Sepertinya pendingin ruangan di sini tak mampu bersaing dengan semangatnya yang bergelora. Dasar manusia posessif. Aku bahkan masih ingat bagaimana tiba – tiba dia menyewa dokter kandungan wanita untukku, hanya karena tak ingin Dokter Arnold yang memeriksaku. Oh. Dia cemburu dengan dokter pribadinya sendiri. Ta
Sejak kejadian kemarin. Akhirnya aku berhasil membujuk Axe untuk mengizinkanku tinggal bersamanya di penthouse-nya. Meskipun agak terpaksa, tapi Axe tetap mengiyakan. Dia memberiku syarat untuk tidak berusaha melarikan diri lagi darinya. Aku tidak akan melakukannya jika dia terus bersikap lembut padaku. Namun, untuk syarat lainnya di mana aku harus terus berada di kamarku, aku tidak yakin. Karena satu – satunya alasan aku ingin menetap di penthouse-nya agar aku bisa bebas keluar masuk melakukan apa pun yang aku mau. Termasuk mencari tahu beberapa hal yang tidak aku ketahui tentang pria itu.Saat ini aku sudah berada di pusat pembelanjaan tanpa sepengetahuan Axe. Membeli ponsel baru untukku. Tentu saja aku akan menghubungi mom nanti. Aku ingin tahu detail peristiwa lainnya tentang perjanjian itu, perjanjian hitam di atas putih yang melibatkan Axe hingga pria itu harus tinggal jauh dari kami dalam kurung waktu cukup lama.“Hai, Bridgette. Long time no see.&
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti