“Aku bisa sendiri, Bridgette.”
Berulang kali Axe ingin mengambil alih handuk di tanganku, tapi aku tetap menolak dengan mengangkat tinggi benda tersebut agar Axe tak bisa meraihnya. Posisi Axe saat ini kupaksa duduk di kursi agar aku bisa mengeringkan rambut basahnya. Salahnya sendiri saat aku sibuk mengeringkan diri, dia masih berkeluyuran ntah melakukan apa di luar bersama Alessandro.Perkara handuk yang sedang kupakai. Kuakui Axe sendiri yang berinisiatif pergi berbelanja beberapa kebutuhan seperti pakaian ganti dan apa pun itu yang berhubungan dengan kebutuhan pribadi. Nah, dari situ, setelah membawakan barang belanjaannya dalam keadaan basah kuyup, dia terburu – buru pergi dan memintaku membersihkan diri untuk beristirahat. Pria egois itu tak sadar bahwa aku sudah mewanti – wanti kehadirannya dengan merencanakan sesuatu seperti yang saat ini kulakukan. Dia tak akan bisa pergi lagi seperti tadi, aku akan mencegahnya dengan cara mengancamnya.“Aku bisa sendiri,Yuk, jangan lupa vote dan komen. Sebelumnya dengan kerendahan hati, author mau mengucapkan terima kasih sudah berkontribusi memberikan gem hingga mencapai 1k. Dukungan dari kalian sangat berarti. Maaf author tidak bisa mengucapkan satu - satu🙏
“Ms. Xandersis.”Suara tak asing dari belakang menghentikan gerakan menekan knop pintu kamar. Aku menoleh dan sedikit tak percaya melihat Mr. O’Connor berdiri tidak jauh dari posisiku. Tapi yang tidak aku mengerti, mengapa dia ada di sini? Apa dia tahu masalah yang kami hadapi?“Apa Xelle bersamamu?”Aku terlalu kaget hingga tak sadar Mr. O’Connor sudah berada tepat di hadapanku. Oh, dia datang ke sini untuk mencari Axe, mungkin ada hal penting yang ingin dia bicarakan sampai meluangkan waktu sibuknya demi menemui Axe.Sesaat aku mengerjap menetralkan ekspresi wajahku, kemudian mengangguk sebagai jawaban. Sedari tadi Axe memang berada di dalam kamar, tapi secara tidak langsung dia ada bersamaku. Aku yang selalu berada di sampingnya belakangan ini, tidak salah mengapa Mr. O’Connor mencari Axe melaluiku lebih dulu.“Bisakah panggilkan dia untukku?”“Ya, Sir, sure,” ucapku singkat.Setelah itu dengan cepat kulanjutkan tindakanku yang tertunda. God! Napa
“Berbaringlah, Axe,” ucapku sembari menepuk pahaku pelan.Aku mendesah pasrah melihat Axe terus berjalan mondar mandir di tempat sambil sesekali menatap ke arah Edward yang masih setia memejamkan mata. Padahal dokter sudah mengatakan padanya bahwa kemungkinan besar Edward siuman nanti sore, masih ada beberapa jam lagi baginya untuk bersabar. Namun Axe sepertinya tidak peduli perkataan dokter, bahkan dia juga mengabaikan bujukanku.Dia masih begitu fokus pada Edward, meski sesekali aku mendengarnya mengembuskan napas kasar. Aku ingin membujuk Axe lagi, tapi melihatnya sedang kalut, kuurungkan niatku dan memlih bangkit dari sofa yang kududuki.Tanganku bergerak menepuk bahu Axe pelan dan tersenyum saat dia memberikan perhatian padaku. Saat ini aku ingin pamit pergi ke kafetaria, tenggorokanku terasa kering apalagi ketika mendengar penjelasan Axe mengenai Mr. Hero selama di perjalanan menuju ruang rawat inap Edward.“Aku mau beli minum. Mau nitip sesuatu?”Pertanya
“Are you f*cking kidding me? What the hell is this?” tanya Axe menatap tak percaya hasil daripada isi tulisan yang tertera pada kertas di tangannya.Aku juga tak bisa bohong bahwasannya fakta yang baru saja kami terima memukul telak kenyataan yang selama ini kami percaya. Benarkah nama Axe dan Mr. O’Connor yang tertera di sana, serta result ‘positif’ yang dicetak tebal merupakan bagian dari perjalanan baru kami?Ya, hasil tes tersebut menyatakan kecocokan DNA antara Axe dan Mr. O’Connor. Namun, yang tidak kumengerti mengapa Mr. O’Connor tiba – tiba melakukan hal tersebut tanpa memberitahukan orang yang terlibat, Axe. Maksudku, sejak kapan dia merencanakan kegiatan diam – diam ini? Apa sampel darah Axe yang dimintanya pada Dokter Arnold waktu itu, seingatku, adalah kesimpulan paling tepat yang bisa aku ambil sekarang?“Aku tidak mau bertele – tele. What you’ve seen on the paper is true, kau putraku. Putra yang kukira sudah tiada sejak pertama dilahirkan.”Mr. O’Connor men
Seharian penuh kami menunggu hasil tes DNA dengan perasaan harap – harap cemas. Meski sempat meninggalkan aku dan Axe, Mr. O’Connor tetap kembali pada kami untuk melangsungkan pengambilan sampel darah.Dan inilah akhirnya, hasil daripada pengujian laboraturium keluar setelah 1 x 24 jam. Memang Axe memaksa pihak rumah sakit untuk mempercepat proses DNA itu segera, agar dia tidak menunggu lama. Pria itu benar – benar tidak sabar ingin membuktikan kebenaran dari ucapan Mr. O’Connor yang saat ini terlihat sumringah usai membaca hasil yang ada.“I told you, kau putraku. Masih tidak percaya juga?”Mr. O’Connor menyodorkan kertas yang dibukanya pada Axe hingga pria itu menyambut benda tersebut dengan cepat. Ekspresi Axe sungguh tak terbaca saat memperhatikan isi tulisan di atas kertas penuh saksama, yang aku yakini dia masih belum bisa menyakini fakta dan kebenarannya.“Buka amplopnya, Bridgette,” titah Axe usai menyadari keterdiamanku dengan amplop yang masih membungkus
Katanya, untuk membuat hidup terasa berwarna. Butuh dua elemen, tawa dan duka sebagai pelengkap suka dan luka lara. Tapi bagiku ada satu elemen yang terlupa, cinta.Memang, tidak ada makhluk sempurna di dunia ini yang tetap merasa hidup, meski luka sedang menawarkan diri berada di garda terdepan dari suatu perkara. Namun, untuk saat ini, dalam hidup Axe. Bisakah mereka berdiri paling belakang? Aku ingin pria itu, suamiku, bisa tersenyum sesaat saja sejak kebenaran tak diharapkan itu terungkap.Apalagi kemarin, membuat Axe berjanji saja, ternyata tidak menjamin dia siap melupakan kenyataan untuk berhenti terluka sementara. Sepanjang hari Axe masih sering melamun hingga mengabaikanku yang terus mengajaknya bicara, dan malamnya, tidak seperti biasa—Axe sama sekali tidak melakukan ritualnya, malah memilih langsung tidur. Meski harus kuakui tangannya tak tertinggal untuk terus memelukku.Tetap saja aku merasa kurang. Axe yang kukenal tidak seperti ini, begitu lemah—t
Kutatap langit – langit rumah sakit dengan pandangan kosong ke depan. Inilah saatnya proses mengeluarkan chip yang tertanam di tubuhku dilakukan. Sesuai pemeriksaan, Axe menanam chip di lengan sebelah kiriku hingga chip itu kini menyatu dengan kulit bagian bawah.Aku masih di rumah sakit yang sama dengan Mr. O’Connor sebagai dokter pribadiku. Dia yang akan melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan chip di tubuhku.Cukup berdebar sebenarnya membayangkan tanganku akan dibedah, lalu benda kecil berukuran nano yang melekat diangkat ntah dengan cara apa. Aku kurang mengerti tindakan seperti itu, hanya dokter atau seorang ahli yang bisa mendeskripsikan bagaimana mereka melakukan hal – hal demikian.Dan sebelum itu, aku akan dibius lebih dulu agar tidak merasakan sakit saat berlangsungnya kegiatan operasi, bukan Mr. O’Connor yang membiusku, tapi dokter anestesi yang ada di rumah sakit ini. Sama seperti Axe, Mr. O’Connor juga berkuasa, jangankan hanya menyewa ruang operasi—m
“Kenapa diam, Bridgette? Kau tampak sedih, apa kau tidak mau mengandung anakku?” tanya Axe setelah lama tidak kuberi respon. Tentu saja dia masih menunggu hingga lupa dengan niat awalnya menyentuhku.Melihat ekspresi wajah Axe yang mulai berubah, aku dengan cepat menggeleng dan memaksakan senyum hangat kepadanya.“Aku mau, tapi tidak sekarang. Aku belum siap.”“Kenapa?”“Mengambil perhatian Oracle saja aku tidak bisa, Axe. Aku yakin kau masih ingat penolakan Oracle berefek buruk padaku.”Terdengar helaan napas dari pria yang masih menindih tubuhku dengan senyum menyedihkan di wajahnya. “Fine,” kata Axe di tengah kesibukan membelai hangat wajahku.“Aku akan menunggu sampai kau siap,” lanjutnya, kemudian tanpa disangka Axe mengecup bibirku sebentar dan berakhir melumat benda itu kasar. Tangan Axe bergerak hendak membuka hoodie yang kupakai, tapi untung saja aku cepat sadar dan langsung menahan tangannya.“Kenapa?” Kata yang sama kembali keluar dari bibir Axe. Dala
“Terima kasih, Hem,” ucapku sembari tersenyum hangat pada bawahan Mr. O’Connor, Hema, yang bertugas mengantarku sampai kemari.Tadi, sebelum kami sampai di sini, aku sempat memintanya menemaniku berbelanja beberapa hal penting. Jelas aku butuh pakaian ganti dan cemilan malam, perutku sudah sangat lapar sejak dua atau tiga jam perjalanan.Tak lupa, aku membeli ponsel baru untuk kebutuhan lain. Sungguh, sebenarnya tidak enak menggunakan kartu platinum yang diberikan Mr. O’Connor padaku, tapi aku tak punya pilihan lain. Nanti, setelah mendapatkan pekerjaan di sini, akan kuganti seluruh uang yang sudah kugunakan kepadanya.“With my pleasure, Nona. Semua sudah disiapkan, Anda hanya perlu istirahat, semoga betah di rumah ini,” jawab Hema begitu ramah sembari melepas sabuk pengaman di tubuhnya. Aku tahu apa yang akan dia lakukan.“Tidak perlu, Hem. Aku bisa sendiri,” lanjutku cepat sebelum Hema berhasil melakukannya.Dengan santai kubuka pintu mobil dan membawa t