Aku tiba di bandara tepat tiga puluh menit sebelum pembekalan para kru dilaksanakan. Dengan secepat kilat aku mengganti pakaian, memoles wajah dengan kosmetik, dan menata rambut. Seperti biasa selesai briefing, aku menelpon ayah ... dan Adrian. Ya, kali ini Adrian lah yang kuhubungi, bukan Keanu. Sebenarnya karena hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena telah menyelamatkanku dari Dendra.
"Safe Flight." Itu kalimat yang diucapkan lelaki itu sebelum aku mengakhiri percakapan. Kata-kata seperti itu pula yang kuharapkan dari kekasihku. Kalimat singkat yang berisi harapan dan sepotong doa untuk keselamatanku, para kru yang bertugas, serta para penumpang yang melakukan perjalanan. Entah itu pulang atau hendak pergi.Namun, hampir satu tahun menjalin hubungan dengan Keanu, tak pernah sekali pun kami berkomunikasi sebelum aku terbang. Dan tentu saja, aku pun tak pernah mendengar kalimat itu dari bibir Keanu.Setelah memastikan jumlah penumpangHari ini aku pulang mengendarai mobil Adrian yang kupinjam tempo hari. Dengan tubuh yang lelah, aku memacu mobil ke apartemen setelah menelpon Adrian. Kami janjian untuk bertemu di area parkiran apartemen untuk menukar kembali mobil kami. Tadinya aku berpikir untuk menyambangi ke kafenya di Kemang, tetapi Adrian melarang dengan alasan jalanan ke kafenya malam ini terlalu macet, dan aku pasti sudah capek karena baru saja mendarat. Akhirnya aku menyetujui tawaran Adrian, bertemu dengannya di apartemen yang kini kutempati. Begitu sampai di basement, mobilku sudah diparkir di tempat biasa. Tak kulihat lelaki itu ada di sana. Setelah memarkirkan mobil Adrian di sebelah mobilku, aku menelpon lelaki itu. "Aku di kafe atas ya, Mei," ujarnya begitu menjawab telpon dariku. "Okay, aku langsung ke sana." Kugeret koper menuju lift. Area parkir begitu sepi. Sebenarnya, ini adalah hal yang paling tidak aku sukai dari hunian apartmen, sunyinya terlalu mencekam. Hanya bun
Kembali pada kehidupanku yang sunyi. Setelah kejadian terakhir kali aku memutuskan sambungan telepon dari Keanu, pria itu tidak menghubungiku lagi. Biasanya dia yang lebih dahulu menghubungiku untuk meminta maaf. Kali ini mungkin dia merasa perlakuanku sudah keterlaluan. Mungkin saja dia juga sudah muak dengan sifatku yang terlalu kekanak-kanakan.Adrian juga sama. Dia menepati janji untuk tidak menghubungi dan menemuiku. Hatiku kembali terasa kosong. Mereka yang selama ini tanpa kusadari telah berada di sana, serasa pergi meninggalkanku, menyisakan ruang kosong yang sulit kuisi. Memasuki akhir tahun, jadwal penerbanganku makin padat. Tidak ada istilah libur untuk pekerja sepertiku disaat orang lain menikmati jadwal libur yang panjang. Akhir tahun ini aku lebih banyak mendapat jadwal rute penerbangan internasional. Aku hampir tidak pernah kembali ke apartemen. Membuatku mampu kembali menata hati. Mencoba berpikir dengan cara logis seperti biasa.Orang ya
Langit Hong Kong yang mendung berubah cerah kurasa. Kegalauan hati yang selama beberapa minggu bergelayut sirna sudah. Ah! Semudah itu Keanu meyakinkanku untuk menunggunya. Suaranya memberi kekuatan pada hatiku."Kean, boleh aku minta satu hal?""Apa? Jangan susah-susah, nanti aku enggak bisa kasih." Tawa ringannya begitu menenangkan. Gigi kelinci membuat senyumnya terlihat seksi."Enggak, kok. Cuma minta kamu sempatin balas chat aku. Biar aku bisa tenang," pintaku penuh harap dengan wajah merajuk. Permintaan yang kesekian kali kuutarakan."Aku usahakan." Dia tersenyum lembut. "Aku kan pernah bilang sama ka
Angin dingin menerpa wajahku begitu keluar dari restoran. Aku merapatkan syal di leher, dan menutupkannya ke kepala untuk meredam rasa dingin yang terasa menusuk. Hari sudah mulai gelap, lampu-lampu pertokoan telah dinyalakan, menambah semarak Kowloon District yang mulai ramai. Aku berjalan kembali ke hotel, tidak tertarik untuk menambah padatnya tempat ini. Aku hanya berniat menghabiskan malam tahun baru dalam kesenyapan kamar. Kemeriahan menyambut pergantian tahun telah dimulai, serpihan cahaya warna-warni dari kembang api serta lampu-lampu sorot, begitu indah menghiasi langit. Aroma minuman sarat kafein dari penjual kopi yang ku lewati menggelitik indera penciuman. Mengusik memori akan satu tempat di bilangan Kemang,
Pagi kembali menyapa disertai bunyi alarm yang melengking memekakkan telinga. Aku menggeliat masih dengan mata yang enggan dibuka. Baru beberapa menit rasanya aku tertidur. Jika memperturutkan mata yang masih terasa berat, aku enggan beranjak dari bawah selimut yang hangat. Namun, aku tidak mampu mengabaikan kewajiban yang harus ku lakukan di setiap awal hari, melaksanakan ibadah shalat. Kulihat Kristi sudah meringkuk dalam selimutnya di tempat tidur sebelah. Aku tidak sadar jam berapa gadis itu kembali. Dengkuran halusnya menandakan dia masih terbuai mimpi, meskipun pagi telah menjelang. Kulirik langit pagi ini, masih terlihat gelap, walaupun cahaya matahari telah mengintip malu-malu di ujung langit sana. Penunjuk suhu pada ponsel menampilkan
Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Setiap kejadian yang kita alami merupakan rancangan sempurna Sang Pencipta. Pun dengan pertemuanku dengan Adrian pagi ini di hotel, aku tidak menganggapnya sebagai kebetulan belaka. Namun, aku masih belum mampu menyelami maksud Tuhan mempertemukan kami kembali disaat aku tengah berusaha memantapkan hati pada Keanu.Mungkin benar adanya, butuh ujian untuk melihat seberapa kuatnya ketetapan hati ketika mencintai seseorang. Disaat Keanu telah berhasil merebut tempatnya kembali di hatiku, Adrian kembali muncul. Meski setitik rasa yang kemarin sempat membuatku goyah mulai kembali menyapa, tetapi kupaksakan untuk sirna.Adrian menyantap makanannya dalam diam, terlihat larut dalam pikirannya. Setelah tadi aku sempat menyinggung rencana Kea
Pagi ini mendung. Dari kemarin sore awan gelap terus saja menggantung. Seolah tak mau membiarkan langit tersenyum bersama mentari. Membuat siapa saja yang tidak mempunyai keperluan penting di luar rumah, enggan beranjak dari peraduan. Namun, pagi ini aku merasa suntuk berdiam diri di unitku. Biasanya selalu ada Adrian yang mengusir rasa bosan ini. Dia selalu bisa kuandalkan sebagai teman bercerita. Tak terasa sudah satu tahun pertemananku dan Adrian terjalin. Rasanya sudah sangat lama pria itu hadir dalam kehidupanku. Lalu kini entah kenapa, rasa kosong itu benar-benar terasa ketika tak lagi menghubunginya. Rasa kosong yang berbeda ketika melepas Keanu pergi. Bahkan rasa kosong yang kurasa ketika ditinggal Dendra, tak sekosong ini. Apa benar, aku sebenarnya tanpa sadar sudah jatuh cinta pada Adrian? Denting halus dari ponsel membuyarkan lamunanku tentang Adrian. Sebuah pesan dari Rani. [Beib, ketemuan yuk. Kapan lo nggak terbang?]Gegas k
"Kenapa lo?" tanya Rani saat dia sudah kembali ke meja. "Lo masih suka kontak sama Dendra?" Aku balik bertanya dengan tatapan nanar. Tak menyangka sahabat yang kukenal baik selama ini akan berkhianat. "Uhm, nggak kok." Rani mengendikkan bahu. Kemudian duduk dengan ekspresi biasa di kursinya. Terbukti bahwa Rani tak jujur. Jika dia memang tidak pernah berhubungan lagi dengan Dendra, kenapa pesan dari Dendra tadi menunjukkan kalau lelaki itu mengetahui rencana kami bertemu hari ini. "Lo tau nggak, pas kita habis liat apartemen kemarin, Dendra juga ada di sana. Tu orang kayak hantu juga ya. Gentayangin gue mulu." Aku berusaha memancing dan melihat reaksi Rani. Sekilas kulihat Rani mengerjap sebelum dia berkata, "Dia ngapain di situ?""Nggak tau, gue nggak nanya ...." Kalimatku terhenti saat melihat sosok itu mendekat ke meja kami. "Terus sekarang orangnya juga lagi datang ke sini tuh!" aku menunjuk dengan dagu ke arah yang kutuju. "
Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya
Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera
Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.
Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkanku untuk mengunjungi ruang rawat Adrian. Aku tak dapat membendung tangis begitu melihat tubuh lelaki yang kucintai itu terbujur dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Adrian belum sadarkan diri, meskipun telah melewati masa kritis akibat syok karena kehilangan banyak darah. Kantong darah yang masih menggantung pada salah satu sisi bed, menandakan seberapa banyak darah yang hilang diakibatkan oleh luka itu. Menurut cerita ibu mertuaku, tusukan Dendra mengenai paru-paru Adrian, sehingga tak hanya kehilangan banyak darah, Adrian juga harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di paru-paru, serta menjahit luka tersebut. Keluarga Adrian saat ini tengah memperkarakan kasus ini ke jalur hukum. Meskipun Dendra dibebaskan pada kasus penyerangan di kafe Adrian dengan alasan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, keluarga Adrian tak peduli. Mba Olivia—kakak tertua Adrian— bersikeras untuk memperkarakan Dendra dan menuntut agar laki-laki i
Hari ini aku dan Adrian pergi ke pusat perbelanjaan, untuk mencari perlengkapan menyambut anggota keluarga baru kami. Sekalian mencari barang yang kuperlukan saat persalinan nanti. Masih banyak barang-barang persiapan persalinan yang belum kubeli. Selama memutari beberapa toko yang menjual perlengkapan bayi, tangan Adrian tak lepas menggenggam tanganku, seolah takut aku terlepas dan hilang di pusat perbelanjaan ini. Ia hanya melepas genggaman ketika aku mulai memilih barang-barang yang hendak kubeli dari rak toko. "Ini lucu nggak, Dri?" tanyaku memamerkan tuxedo berukuran mini di depan dada. Ya, bayi kami diprediksikan berjenis kelamin laki-laki, sehingga pakaian yang menarik perhatianku selama berbelanja adalah pakaian untuk bayi laki-laki. "Lucu." Adrian setuju dengan pendapatku. "Ah! Tapi harganya lumayan," ujarku ketika melihat tag harga sambil cengengesan. "Beli saja kalau suka."Aku menggeleng. "Tampaknya belum perlu bayi kita memakai tuxedo, kata Mbak Salma pakaian bayi yan
Bandung dan setumpuk rindu di hati yang sulit kulerai. Rindu yang kurasa kali ini bukan lagi milik Dendra, tetapi rindu akan hal-hal yang pernah aku lakukan di sana tanpa Dendra. Pagi ini bersama Adrian, aku memilih pergi dengan kendaraan umum menuju tempat penjual kupat tahu yang kuidamkan itu. Adrian tampak agak kurang setuju dengan usulku, mengingat kondisiku yang terkadang tiba-tiba turun jika terlalu lelah. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku berusaha meyakinkan suami protektif yang berkali-kali bertanya apakah aku tidak merasa pusing, karena angkot yang kami tumpangi berhenti terlalu lama menunggu penumpang. Berbeda jauh dengan saat aku masih kuliah dulu, angkot menuju pasar tradisional tujuan kami ini jarang sekali ngetem lama seperti ini. Mungkin karena pada saat aku kuliah dulu belum ada transportasi online, sehingga angkutan kotalah yang menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi. Jarak tempuh dari tempat kami menginap ke tempat yang kami tuju sebenarnya hanya
Ternyata masa-masa kehamilan pada trimester pertama tidak semulus bayanganku. Hampir setiap waktu aku merasa ingin mengeluarkan seluruh isi perut. Di saat perut sudah tak berisi apapun, rasa mual itu malah semakin menjadi. Serba salah, diisi salah, tak diisi pun makin parah. Adrian yang merasa khawatir dengan kondisiku, memilih untuk menemaniku di apartemen. Segala pekerjaan ia kerjakan di apartemen. Hanya sesekali ia keluar, itu pun tak lama. Bahkan Adrian berkali-kali menelpon dokter kandungan, menanyakan apakah kondisiku seperti itu normal. Adrian yang kukenal tenang selama ini, berubah penuh kecemasan. Wajahnya hampir sepanjang waktu terlihat tegang. "Mei, mau aku buatkan sesuatu?" Adrian kembali melongokkan kepala di ambang pintu kamar.Aku hanya menggeleng lemah. Entah pertanyaan yang keberapa kali ia ajukan semenjak tadi pagi. Aku menyuruhnya keluar, karena entah kenapa belakangan ini aroma tubuhnya selalu saja membuatku mual. Meski terlihat sedih, tetapi Adrian menuruti keing
Senyum tak berhenti nengulas di bibir Adrian semenjak kami keluar dari ruang praktek dokter kandungan tadi. Janin yang kini tumbuh di rahimku masih berumur enam minggu, masih sebesar kacang. Aku harus memperhatikan asupan makanan yang bergizi agar janin ini tumbuh sempurna. Mengenai masalah mual yang belakangan mulai terasa, menurut dokter selagi aku tidak sampai lemas, seharusnya tak masalah. Karena itu hal wajar terjadi pada trimester pertama kehamilan. Kebahagiaan jelas terpancar pada raut wajah Adrian saat mengetahui janin di rahimku tumbuh sesuai usianya. Bahkan setiap kali berhenti di lampu merah, Adrian memandang takjub foto hasil USG calon bayi kami di layar ponselnya. "Sepertinya aku akan terlupakan setelah ini," godaku pura-pura merajuk, tatkala Adrian kembali menatap layar ponselnya. Adrian terkesiap, menoleh ke arahku dengan cepat. "Ah! Maaf!" Adrian meletakkan ponsel, tertawa gugup sembari menggaruk tengkuk, seakan menyadari kelakuannya yang membuatku merasa tersingkir
Harusnya hari ini aku menghadiri acara sidang putusan kasusku dengan Dendra, tetapi dari semenjak selesai salat subuh, tubuhku seakan tak mampu berkompromi. Rasa mual yang tak tertahankan berkali-kali membuatku harus berlari ke kamar mandi. Sementara itu, Adrian dari semalam tidak kembali ke apartemen karena tengah sibuk mempersiapkan acara grand opening kafe barunya yang tinggal beberapa hari lagi. Rasa pusing dan mual yang kurasa sedari pagi, membuat tubuhku seakan kehilangan tenaga. Setelah menelpon pengacara dan mengatakan bahwa tak sanggup mengikuti acara persidangan hari ini, aku kembali merebahkan tubuh. Setelah kepala kembali menyentuh bantal, rasanya tubuhku mulai membaik. Entah berapa lama tertidur, ketika aku merasakan kecupan lembut dan sedikit geli menusuk kulit pipi. Saat membuka mata, kulihat Adrian mengulas senyum, wajahnya terlihat letih dengan rambut halus yang belum dicukur menghiasi dagu, dan sisi rahangnya. "Kamu baru pulang?" tanyaku dengan suara sedikit serak