"Mampus udah jam 7! Ngopi dulu deh."
Dara beranjak dari kursinya tanpa mematikan komputernya. Ia hanya memastikan bahwa ponsel dan dompetnya sudah terbawa di dalam kantong jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan dirinya harus lembur sendirian malam ini di kantor. Dara bergegas turun ke kafe yang berada di lantai bawah untuk memesan minuman penyemangat sebelum kafe tutup. Dara memilih dua gelas amerikano dingin, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi sebagai teman di malam yang melelahkan ini."Iced americano dua, no sugar, ya, Kak. Totalnya jadi 60 ribu rupiah," ucap kasir yang juga berperan sebagai barista di kafe kecil tersebut."Bayarnya pake e-wallet bisa, kan, Mba?" tanya Dara yang dibalas dengan anggukan oleh sang kasir.Dara segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi e-wallet yang ia miliki. Entah karena tadi berlarian takut kafe ini akan tutup, tangan wanita itu berkeringat sehingga sulit untuk menekan layar ponselnya."Ah elah ini tangan pake basah segala," gumam Dara kesal. "Sebentar, Mba, handphone saya susah dipencet, hehe," ucap Dara setengah malu karena membuat kasir menunggu."Pake ini aja, Mba."Dari belakang, tiba-tiba saja ada tangan yang dengan cepat menyerahkan kartu berwarna hitam kepada kasir. Dara sontak menoleh ke belakang dan terkejut melihat sosok yang sudah berdiri di belakangnya."Pak Sagara?" Tentu saja, pria yang belakangan ini selalu membuatnya terkejut tidak lain dan tidak bukan adalah Sagara, bos sekaligus calon kakak iparnya.Kasir tersebut segera mengambil kartu yang ada di tangan Sagara sembari menunduk menyapa. Sang kasir sudah pasti tahu siapa Sagara.Sagara merogoh sakunya dan memberikan sebuah sapu tangan kepada Dara. "Nih, lap tangan kamu," suruh pria itu."Makasih, Pak."Dara mengambil sapu tangan tersebut sembari memperhatikan sekelilingnya, memastikan tidak ada teman kantornya yang masih berada di gedung kantor ini. Wanita itu benar-benar takut akan gosip. Terlebih setelah kejadian kemarin- dimana Carissa dengan terang-terangan memberitahu niatnya untuk membuat Dara menggantikan kakaknya dalam perjodohan dengan keluarga Darwis-- membuat Dara menjadi lebih hati-hati. Bisa saja kakanya itu mengirim mata-mata ke kantor ini dan memotret ketika dirinya dan Sagara sedang berdekatan hanya untuk menimbulkan sebuah kesalahpaham dalam drama perjodohan ini.Hal ini bukan berarti tidak mungkin, Dara tahu dengan baik bagaimana sifat licik Carissa untuk mendapatkan hal yang ia mau. Dara dan Gavin bahkan setuju jika Carissa bukan berasal dari keluarga kaya dan terhormat, wanita itu sudah pasti menjadi penipu handal atau kriminal kelas kakap. Hanya satu hal yang diinginkan Carissa yang belum terwujud, yakni membuat Dara berhenti menjadi editor dan bekerja untuk perusahaan keluarganya."Saya ganti, ya, Pak, uangnya. Transfer boleh? Saya lagi gak megang uang cash soalnya," ucap Dara.Sagara menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa. Anggep aja saya traktir kamu," balas Sagara.Dara menggelengkan kepalanya lebih kuat lagi seolah menolak mentah-mentah traktiran tersebut. "Gak, Pak, terima kasih banyak tapi saya mending bayar sendiri aja."Sagara akhirnya paham kenapa karyawannya itu menolak dengan kuat. Dara takut dengan gosip yang sekiranya akan menganggu hidupnya yang tenang. Sagara sebelas dua belas dengan Carissa, menemukan sebuah kesenangan dengan menggoda Dara. Pria itu mendekat kepada Dara yang sudah mundur beberapa langkah darinya. "Kamu mau kue juga gak? Atau makanan apa gitu buat nemenin kamu begadang," tanya Sagara dengan nada lemah lembut dan tak lupa juga senyum manisnya.Dara membelalakan matanya karena terkejut. Memang tidak ada orang selain dirinya dan Sagara di kafe ini, tetapi tetap saja ada saksi mata berupa kasir yang saat ini sedang berusaha menahan senyumnya melihat interaksi Sagara dan Dara."Wah, gila ini orang," ucap Dara tak sengaja mengeluarkan isi hatinya.Sagara tertawa mendengus melihat Dara yang panik karena ucapannya sendiri. Pria itu bahkan tidak mempedulikan bagian Dara yang mengatakan bahwa ia gila. Sagara hanya bisa menikmati momen ini."Maaf, Pak. Gak maksud. Yang gila saya, bukan Bapak," ujar Dara gelagapan memberikan alasan.Sagara dan Kasir yang sedang membungkus dua gelas amerikano yang dipesan oleh Dara tidak bisa lagi menahan tawa mereka. Sang kasir yang tahu bahwa tidak baik untuk menguping percakapan pelanggan akhirnya memilih untuk memutarkan badan dan sekuat mungkin untuk menahan tawanya. Beda dengan Sagara yang bisa tertawa lepas karena gemas dengan tingkah Dara."Iya-iya, paham kok saya. Ya udah, ambil sana kopi kamu. Masih ada kerjaan, kan, di atas?" ujar Sagara masih dengan tawanya sembari mengingatkan Dara.Dara menganggukan lagi kepalanya dan dengan cepat mengambil dua gelas kopi tersebut dan berlari ke arah lift. "Makasih, Pak!" teriak Dara sekali lagi kepada Sagara.Senyum Sagara mengembang lebar seiring menghilangnya sosok Dara yang sudah masuk ke dalam lift. Pria itu memiringkan kepalanya. Tanpa sadar, rasa ketertarikan pria itu kepada Dara semakin menguat. Entah tertarik karena cara bekerja wanita itu sebagai editor atau karena ia merupakan seorang putri konglomerat yang mati-matian berusaha merahasiakan identitasnya, Sagara sendiri tidak tahu.Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan. "Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris. "Pulang gih." Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor
"Gimana? Suka gak?" tanya Sagara sesaat melihat Dara melahap burger yang ia berikan. Dara mengangguk karena mulutnya yang penuh dengan burger itu tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya. Takut karyawannya itu tersedak, Sagara dengan cepat membuka botol minuman dan menyerahkannya kepada Dara. Wanita itu berhenti sejenak sebelum mengambil botol minuman yang ada di tangan Sagara dengan ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan apa normal jika atasan sepeduli ini dengan karyawan biasa. "Makasih, Pak," ucap Dara. "Pelan-pelan aja makannya, jangan kayak dikejer setan," pinta Sagara sembari menyerahkan sebuah tisu. "Lap mulut kamu, berantakan tuh," lanjut Sagara. Yang hanya bisa dilakukan Dara adalah menganggukan kepalanya dan menuruti perintah Sagara. Meskipun memiliki kepribadian yang acuh tak acuh dan sudah mendeklarasikan kepada semua orang bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun dengan bosnya ini, wanita itu juga mudah luluh jika diperhatikan sedetil
Dara makin terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sagara. Perasaan lega menyebar ke seluruh dadanya. Jika Sagara tetap bertekad untuk menjalankan perjodohan dengan Carissa, maka tidak ada kesempatan bagi kakak perempuannya itu untuk membuat dirinya menggantikan posisi sang kakak. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran Dara. Jika memang tidak saling suka, kenapa harus memaksakan diri untuk menikah?“Kalo gak tertarik, kenapa milih tetap buat nikah sama kakak saya, Pak?” Dara memutuskan untuk membiarkan rasa penasarannya menang dan mempertanyakan hal yang sedari tadi berputar di kepalanya.Sagara tertawa kecil. “Kamu padahal berasal dari keluarga yang sama kayak saya, tapi kok gak paham beginian? Apa karena semua beban ditanggung sama kakak kamu?” tanya Sagara.Dara otomatis memiringkan kepalanya kebingungan. “Maksudnya, Pak?” “Alasan kedua keluarga kita tetap jadi keluarga ‘konglomerat’ yang selalu ada di m
“Saya turun disini aja, Pak!” sahut Dara sembari menunjuk ke arah sebuah bangunan di tepi jalan yang memiliki lampu papan dengan warna mencolok.Karena terkejut dengan permintaan mendadak, Sagara pun memberhentikan mobilnya di tempat yang diminta Dara. Sagara memicingkan matanya untuk memastikan tempat yang ada di depannya. Pria itu menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumahnya, bukan ke sebuah kafe bar.Sesaat setelah mobil berhenti di depan kafe bar, Dara tak lupa mengucapkan terima kasih dan hendak keluar dari mobil. Namun, tangannya ditarik kembali oleh Sagara dan pria itu mengunci mobilnya dari dalam.“Hah? Ada apa, Pak?” tanya Dara terkejut karena tangannya ditarik oleh bosnya.“Kok ke kafe bar? Udah malem, bukannya pulang,” ucap Sagara bingung.“Ada urusan, Pak.”“Urusan apa? Kenapa di kafe bar?”“Ada lah, Pak, pokoknya. Saya turun ya, makasih Pak udah dianterin.” Dara merasa ia sudah tidak bisa lagi membuat alasan dan lebih baik menghindari pertanyaan dengan
Setelah terkejut karena kehadiran Sagara, wanita malang yang memiliki jantung lemah itu harus kembali dikejutkan dengan sosok pria yang memghampiri dan memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.Dara hanya bisa terkekeh seperti anak kecil yang tertangkap basah menyolong uang receh di dompet Ibunya. “Hei… udah beres, ya, nyanyinya?” tanya Dara basa-basi karena hanya itu yang terbesit di otaknya.Pria itu kemudian mengangguk. Wajahnya kebingungannya kini berubah menjadi datar. “Lo ngapain disi-“ Pria itu menghentikan kalimatnya sesaat pandangannya teralihkan dengan Sagara yang duduk di samping Dara, menatapnya dengan kebingungan. “Siapa? Cowok baru lo?” tanya pria itu mengganti topik pertanyaannya.Dara menggelengkan kepalanya sembari melambaikan tangannya dengan kuat. “Bukan! Bukan!” tegas Dara.Kini, bergantian Sagara yang bertanya kepada Dara. “Ini orang yang mau kamu temuin? Pacar?” Dara merasa kepalanya dibaluti bintang berputar karena dise
“Pak! Kenapa ngomong gitu terus sih! Kemarin kata Kakak saya juga pas ngedate bahas itu! Nanti pada salah paham, Pak!” protes Dara yang lama-lama kesal dengan ucapan bahwa Sagara lebih memilih dirinya jika ingin dijodohkan. Entah itu hanya candaan atau bagaimana, Dara merasa tidak nyaman. Wanita itu juga takut jika tiba-tiba muncul rasa ekspektasi berlebih yang bisa datang kapan saja kepada dirinya. Tidak ada yang menjamin bahwa Dara bisa tetap kuat dan tidak tergoyahkan perasaannya.Sagara dan Rasta hanya tertawa melihat reaksi panik Dara. Meskipun baru pertemuan pertama, kedua pria berbeda generasi itu sudah menemukan kesamaan, yakni menemukan kesenangan ketika menggoda Dara.“Seratus persen gue yakin kalo Kak Carissa bakal bikin lo gantiin posisi dia di perjodohan ini,” bisik Rasta yang berhasil membuat mata Dara membelalak lebar.“Lo tahu dari mana? Itu manusia gila satu ngancem ke gue kayak gitu soalnya,” balas Dara berbisik karena tidak mau ucapannya terdengar oleh Sagara.“Udah
Raut wajah Sagara berubah menjadi sedikit lebih tegang, sedangkan wanita yang baru saja datang tersebut tersenyum sumringah dan langsung duduk di samping Sagara tanpa meminta izin terlebih dahulu.“Kok diem aja? Kaget ya aku tiba-tiba disini,” ucap wanita itu dengan nada sedikit manja.Dara berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan pandangannya dari pasangan di sebelah kanannya tersebut dan mengontrol ekspresinya. Entah mengapa, ia mencium sebuah drama di antara keduanya.Rasta menyenggol kakak perempuan keduanya itu. “Siapa?” bisiknya.Dara mengangkat bahunya. “Mana gue tahu?” balas Dara berbisik.Kakak-beradik itu sepakat untuk menggeser posisi duduk mereka dari Sagara dan wanita yang duduk di sampingnya. Sekadar untuk sopan santun dan meninggalkan jarak untuk keduanya.“Biasa aja. Gue tahu lo udah balik dari Australia. Mia kasih tahu gue,” jawab Sagara yang kini sudah terlihat tidak terlalu tegang. Pria itu memang jago dalam mengontrol ekspresinya.Wanita itu langsung cemberut dan d
“Padahal tadi saya sama adik saya aja pulangnya.”“Naik motor? Baju kamu tipis gitu? Gak takut masuk angin?”“Tapi, kan, rumah Bapak beda arah sama saya. Gak cape, Pak?”“Gak cape. Udah kamu istirahat aja, masih tiga puluh menit lagi menuju rumah kamu.”Dara hanya bisa menghela napasnya dengan pasrah mendengar ucapan yang lebih terdengar seperti perintah dari bosnya itu. Sagara bersikeras untuk mengantarkan Dara meskipun ada adiknya yang dapat mengantarkan dia ke rumah. Perlu diketahui bahwa jarak antara rumah Dara dan Sagara berlawanan, wanita itu tidak paham kenapa bosnya harus memaksa untuk mengantarkan dirinya hanya dengan alasan cuaca malam yang dingin dan takut dirinya terkena flu. Wanita normal mana yang hatinya tidak bergetar jika diperlakukan seperti ini oleh seorang pria.Di sepanjang perjalanan, keduanya hanya terdiam. Keheningan tidak sepenuhnya mengisi suasana mobil karena Sagara menyetel radio yang memutarkan lagu-
Carissa membuka laci kecil yang terdapat di samping meja belajar. Ia mengambil buku dengan sampul kulit berwarna merah dari laci tersebut dan langsung duduk bersila di lantai, tepat di depan laci tersebut. Ia membuka halaman buku tersebut satu persatu. Sebuah senyuman mulai tertoreh di wajah Carissa bersamaan perhatian wanita itu terpusat kepada buku tersebut. Buku itu merupakan buku jurnal semasa ia masih di bangku kuliah. Terdapat beberapa foto dan deskripsi singkat mengenai peristiwa yang tertangkap pada foto tersebut.Senyuman Carissa sedikit memudar ketika ia melihat foto dirinya yang sedang tersenyum sumringah di samping pria yang sedang merangkul bahunya.“Ngapain lo? Lagi wisata kenangan ya?” celetuk Gavin yang langsung masuk ke kamar Carissa tanpa izin begitu melihat celah pintu yang tidak tertutup rapat. “Ngetuk dulu bisa gak? Kayak gak diajarin sopan santun aja lo, bocah!” omel Carissa. Yang diomeli hanya tertawa cengengesan bak tanpa bermasalah. Carissa juga hanya memara
Tidak ada sedetik pun Dara dan Sagara menyadari kehadiran Carissa yang sudah berdiri dengan manis di daun pintu sembari tersenyum melihat keduanya keasyikkan bercanda tawa. Dengan sigap, Carissa mengeluarkan ponselnya dan langsung membuka aplikasi kamera untuk memotret momen gemas antara sang adik dan calon tunangannya itu. Tidak mau gerak-geriknya ketahuan, Carissa pergi dari menjauh dari Kamar Dara dan menuju ke ruang makan yang ada di lantai bawah untuk menunjukkan foto tersebut ke Mamanya.“Mah, liat deh,” sahut Carissa sembari menjulurkan ponselnya ke depan wajah Mama. Mama yang sedang tidak menggunakan kacamatanya itu memicingkan mata. “Siapa itu?” tanya Mama polos. “Sagara sama Dara lagi asik ngobrol sambil liatin foto-foto Dara pas masih SMA. Mana Dara dibilang imut lagi,” ucap Carissa mencoba menggiring opini. Bukan reaksi yang diharapkan oleh Carissa yang keluar dari Mamanya. Sang Mama malah tersenyum bangga. “Bagus dong mer
“Mah, Sagara udah dateng,” sahut Carissa dengan nada acuh tak acuh untuk memberitahu kepada Ibunya bahwa tamu yang ditunggu-tunggu sudah datang.Ibu dari empat bersaudara itu langsung tersenyum sumringah dan menghentikan kegiatan memotong sayurnya sementara. “Eh, Nak Sagara sudah sampai. Tunggu ya, sebentar lagi jadi ini masakannya. Tante buat sendiri loh semuanya!” seru Mama.Sagara tertawa kecil. Sekedar basa-basi karena pria itu merasa canggung pergi ke rumah seseorang tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. “Santai aja, Tante, masaknya,” sahut Sagara.“Daripada Sagara bosen nunggu, mending kamu aja keliling rumah aja, Car,”saran Mama.Carissa tentu saja tidak mengelakkan permintaan Mamanya tersebut. Ia menoleh ke arah Sagara dan memberikan yang seolah-olah menyuruh pria itu untuk mengikutinya.“Lo keliling sendiri deh. Gue mau mandi dulu,” ucap Carissa setelah keduanya keluar dari area dapur. Sagara langsung mengerutkan dahi
“Ah… Lega…”Dara sudah bisa merekahkah senyum leganya ketika panggilan alam yang sedari tadi meraung-raung untuk dikeluarkan terpenuhi juga. Ia sibuk bertemu dengan penulis-penulis baru yang akan menandatangi kontrak dengan Darwis Publishing. Terkesan tidak sopan jika ia izin ke toilet di waktu diskusi.Wanita itu segera keluar dari bilik toilet dan menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Tak lama setelah itu, pintu toilet terbuka dan masuk lah seseorang. Dara langsung membelalakan matanya ketika melihat sosok yang masuk ke kamar mandi dari bayangan kaca. “Mba Sharleen…” Sapa Dara ketika mata dirinya dan Sharleen tidak sengaja bertemu melalui bayangan kaca.Sharleen membalas sapaan tersenyum hanya dengan senyum simpul lalu berdiri di wastafel sebelah Dara. Ia mengeluarkan tas riasannya dan mulai melakukan touch-up.“Gue temen kuliahnya Sagara. Kita satu kampus dulu, lo tahu, kan?” ucap Sharleen membuka topik pembicaraan.Dara s
Dara sedang duduk manis sembari berkutat dengan pekerjaan yang selalu menumpuk di meja kerjanya. Wanita itu bahkan tidak menyadari bahwa salah satu rekan kerjanya, sebut saja Bena, sedari tadi terus memperhatikannya. Pria itu akhirnya membiarkan pikirannya menang dan menghetikkan pekerjaannya sementara untuk mengunjungi meja kerja Dara dengan mendorong kursi kerjanya. "Pssttt...!" panggil Bena sembari mendekat. Dara sedang menggunakan earphone saat itu dan tentu saja tidak mendengar panggilan Bena. Ia baru menyadari kehadiran Bena ketika dirinya merasakan kursi yang sedang ia duduk terguncang. "Astaga! Apaan sih, Kak?" ucap Dara yang terkejut, masih dengan suara yang tidak terlalu kencang karena ia tidak ingin menganggu rekan kerja lainnya yang juga sedang mengejar deadline. "Kakak lo bahas sesuatu tentang gue gak? Atau mungkin ngomongin apa gitu soal gue?" tanya Bena dengan suara setengah berbisik agar percakapan mereka tidak terdengar oleh r
Carissa tertegun melihat pria yang baru saja menyapanya. Wanita itu berusaha terlihat tenang meskipun kakinya terasa sedikit lemas. “Oh… hai, Ben,” balas Carissa menyapa.“Ngantre boba?” tanya Bena wajah yang sama canggungnya dengan Carissa.Carissa pun menganggukkan kepalanya membenarkan. “Lo? Abis jalan-jalan?” tanya Carissa lagi yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Bena.Terdapat hawa aneh yang menyelimuti keduanya. Carissa dan Bena saling menatap satu sama lain dengan canggung. Keberadaan Dara dan Sagara seolah-olah menghilang karena Bena hanya fokus kepada Carissa, begitu pula sebaliknya.Dara yang awalnya panik karena kemungkinan Bena yang bertanya mengenai keberadaannya di antara dua anak pengusaha ternama, Sidharta dan Darwis, mulai bisa mengatur napasnya sejenak. Sepertinya, Bena tidak terlalu peduli dengan keberadaan serta identitasnya.Pikiran Dara malah teralihkan dengan bagaimana kakaknya dan Bena bisa mengenal satu sama
Waktu yang dihabiskan oleh Dara, Sagara, dan Carissa selama hampir dua jam di bioskop membuat mereka tidak sadar bahwa langit sudah gelap di luar gedung mal. Tanda bahwa malam sudah tiba. Ketiganya berjalan berdampingan. Sagara dan Carissa sudah jelas nampak seperti dua orang dewasa yang sedang melakukan perjalanan bisnis karena keduanya menggunakan setelah blazer. Dara bahkan baru menyadari jika keduanya terlihat serasi menggunakan pakaian yang mirip. Lain halnya dengan Dara. Wanita yang terkena imbas efek korean wave itu menggunakan cardigan crop berwarna pink dan rok tennis itu nampak seperti idol K-pop. Ditambah dengan wajahnya yang cukup terlihat muda untuk seseorang yang dekat dengan kepala tiga, mungkin karena tidak perlu memikirkan urusan bisnis seperti saudara-saudaranya, ia makin terlihat jauh jika dibandingkan dengan Carissa dan Sagara.Sagara menengok ke belakang ketika menyadari bahwa Dara berada satu langkah di belakang dirinya dan Carissa. “Makan malem dulu gak?” tany
“Lo tengah deh, Dar!”“Lo aja!”“Udah-udah, saya yang di tengah.” Sagara langsung menyerobot barisan Carissa agar pria itu duduk di tengah di antara dua saudara perempuan yang tidak henti-hentinya bertengkar.Dara, Sagara, dan Carissa menonton film yang sebelumnya sudah ditonton tiga per empat bagian oleh Dara. Dara sebenarnya tidak masalah, ia bisa menunggu nanti ketika filmnya sudah muncul di layanan streaming. Toh, cuplikan akhir film tersebut sudah beredar di mana-mana.Namun, kontrol kakaknya yang kuat dengan segala tawarannya itu yang membuat Dara sekarang duduk di kursi bioskop B8, di samping Sagara. “Terakhir kamu nonton sampe bagian mana?” tanya Sagara berbisik kepada Dara meskipun film belum dimulai.Dara langsung menoleh dan terkejut ketika wajah pria itu sangat dekat dengannya, membuat wanita itu otomatis menjauhkan wajahnya. “Bagian bapaknya masuk ke ‘The Further’ buat nyari anaknya, Pak,” balas Dara berbisik.
Dara duduk di kursi yang diambil oleh Sagara dari meja lain. Carissa memperhatikan sikap Sagara kepada Dara yang kelewat lembut. Hal tersebut tentu saja tidak normal karena ia saja tidak pernah bersikap seperti ini kepada karyawannya meskipun sudah di luar waktu kerja. Melihat adegan tersebut tentu membuat senyum Carissa mengembang. Sepertinya tidak sulit untuk melancarkan rencana besar nan liciknya.“Kok sama Dara pake aku-kamu, sama gue pake lo-gue. Gak adil lo,” sindir Carissa yang tentu saja hanya sebuah candaan. Wanita itu tidak peduli sama sekali sebenarnya. Ia hanya ingin menggoda adiknya.“Dia karyawan gue, ya kali pake lo-gue,” sahut Sagara kesal. Lama-lama, Sagara ikut emosi dengan Carissa sama seperti Dara. Carissa memang tipikal orang yang mudah menyulut amarah siapa pun yang menjadi lawan bicaranya.Kini, Dara yang bergantian memperhatikan interaksi antara Sagara dan Carissa. Mereka terlihat cukup dekat untuk orang yang ia ketahui baru secara