Gerald masih bergeming di tempatnya. Ia menunggu benda dalam genggamannya berpindah tangan.
Pria paruh baya itu tahu bahwa gadis di hadapannya penasaran kenapa ia bisa membawa benda itu di tangannya.
"Pakailah ini! Kakimu pasti akan sakit dan terasa nyeri saat menginjak betapa dinginnya lantai di dalam rumah ini. Bagaimana pun juga kau akan menuju ke kamar Bryan…" jelas Gerald yang tak mau Kimberly terus dilanda tanya dalam hati.
"Bukan begitu, Paman! Aku hanya penasaran saja, apakah Paman memiliki seorang putri?" tanya Kimberly pada akhirnya mengutarakan isi hatinya.
Gerald tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu, kedua tangannya memaksa Kimberly untuk menerima barang pemberiannya.
"Aku selalu menunggu akan ada gadis yang dibawa Bryan datang ke rumah ini dan memakai benda yang ada di tanganmu sekarang. Aku sudah mempersiapkan benda itu sekian lama. Tapi penantianku tak kunjung pasti. Nam
Mendengar teriakan gadis di depan pintu, spontan Bryan menarik pergelangan tangan Kimberly dan mau tak mau seluruh badan gadis itu terarah padanya.Bryan yang memang belum memakai baju dan hanya mengenakan handuk putih melekat untuk menutupi pinggangnya ke bawah, kini melingkarkan tangannya di pinggang Kimberly.Kimberly dapat melihat dengan jelas bentuk wajah Bryan dari jarak yang amat dekat. Sangat dekat. Deru napas pria itu pun dapat terdengar jelas olehnya."Jangan berteriak! Atau aku akan memakanmu!" ancam Bryan dengan kerlingan mata menggoda gadis di hadapannya.Belum hilang efek terkejut karena tindakan Bryan padanya, kini pria itu menggendongnya dan meletakkan tubuhnya di atas pembaringan.Buru-buru Bryan menutup pintu dan menguncinya. Terdengar suara 'klek klek'. Detak jantung Kimberly semakin cepat seolah sedang berlari marathon."Apa yang mau kau lakukan?" tanya Kimberly hati-hati. "Aku akan berteriak
"Apa kau tidak bisa menahan hasratmu jika berhadapan dengan seorang wanita? Hah! Kenapa ada manusia tidak tahu malu sepertimu di dunia ini?" gerutu Kimberly usai ia melakukan permintaan Bryan di kamar mandi. Kini, mereka berdua duduk berdampingan di atas ranjang dengan perasaan yang berbanding terbalik."Sepertiku? Asal kau tahu, kau masih beruntung karena aku bisa menahannya demi kau. Kalau aku mau, aku akan memanggil wanita penghibur untuk datang kemari dan memuaskan hasratku. Tapi apa yang terjadi? Tidak, kan?" sanggah Bryan dengan senyum penuh kemenangan.Gadis itu mencebik bibir. Merasa tak terima dan meluapkan segala emosi sudah ia lakukan, tapi pria itu bukannya merasa bersalah malah menertawakan dirinya. Kimberly mengerucutkan bibir seraya menggembungkan kedua pipi, tampak menggemaskan bak anak kecil yang sedang merajuk.Jujur saja, ini adalah hal yang pertama kalinya ia lakukan dalam sejarah hidupnya. Dua puluh satu tahun hidup dengan
Dengan santai Bryan membuka pintu. Ia sangat pintar menyembunyikan fakta yang baru saja terjadi di dalam kamarnya.Pria itu melihat ke arah seseorang yang mengetuk pintu kamarnya hingga membuat kegiatannya terhenti. Ingin rasanya ia meluapkan kekesalan pada orang tersebut, tapi melihat wajah sendu wanita paruh baya yang sedari kecil mengasuhnya membuat ia mengurungkan niatnya.Lantas pria itu bertanya, "Ada apa, Bibi Julie?"Julie yang telah berusia lima puluh dua tahun itu mengulas senyum sebelum menyampaikan mandat dari Gerald pada Bryan."Tuan muda dan Nona Kimberly sudah ditunggu tuan besar di taman belakang! Beliau ingin menyampaikan sesuatu." Julie sedikit membungkuk dan mengangguk usai menjelaskan maksud kedatangannya.Bryan tampak berpikir. Ia memiringkan kepala, menyipitkan mata."Ada apa Papa mengajak kami berdua bicara di sana? Membahas apa?" gumamnya penasaran.Kimberly yang sempat
"A-Aku…."Belum sempat Kimberly membalas ucapan Bryan, seseorang tertawa terbahak-bahak mendengar perdebatan keduanya."Kalian ini lucu sekali!" celetuk Gerald senang. Ia berdecak geli melihat interaksi keduanya."Tidak lucu, Paman!" teriak Kimberly dalam hati. Demi menjaga kesopanan dan norma susila yang selalu dipegang teguh olehnya, Kimberly hanya mampu meluapkan emosi yang tertahan di hati.Tidak ada yang lucu!Kimberly tiba-tiba mengaduh."Aw!" pekik Kimberly sembari mengangkat kakinya sedikit ke atas hingga terlepas dari selop bulu berwarna merah muda pemberian Gerald.Bryan baru saja tersadar dengan benda yang melekat di kaki Kimberly. Selop bulu milik siapa itu?"Ada apa, Kimberly?" tanya Bryan perhatian."A-Aku tidak apa-apa. Bisakah aku segera diantar pulang? Kakiku terasa sakit," pinta Kimberly dengan ekspresi meyakinkan seperti orang kesakitan pada
"Kalau bukan Nick yang kau kenal, lalu siapa lagi? Malaikat cinta? Dewa perang? Atau, manusia tak berhati? Jika kau mengatakan sebutan yang terakhir, berarti itu benar! Aku memang telah berubah menjadi manusia tak berhati seperti yang kau lihat saat ini!" tegas Nick serius.Violet terkesiap setengah mati. Ia tak menduga pria yang ia kagumi semenjak kecil telah berubah. Berubah yang tak main-main. Seratus delapan puluh derajat. Entah apa yang membuat Nick berubah sedrastis ini?Apakah karena dirinya? Atau, perjodohan ini?Air mata yang telah berkumpul di sudut matanya siap menetes dengan sekali kedip. Benar saja, tak perlu menunggu hitungan detik, pipi gadis itu telah basah oleh cairan bening yang telah ia tahan sedari tadi."Kak, apa tidak ada sedikit pun celah di hatimu untukku?" tanya Violet retoris. Ia memberanikan diri memberikan pertanyaan yang dapat ia jawab sendiri.Nick mengacuhkan dirinya. Tak mau menjawab sama sek
George dan dr. Jim yang sempat mendengar teriakan Kimberly di luar pintu, kini dapat melihat dengan jelas pemilik suara itu berdiri di depan mereka."Sepertinya tidak ada yang perlu ditutupi lagi darimu, Kimmy! Papa akan menjelaskannya di hadapan kalian berdua!" tegas George sembari perlahan-lahan memindah tubuhnya dari ranjang berukuran king size di dalam kamar vip tersebut."Menjelaskan pada kami berdua? Maksud Papa?" desak Kimberly ingin tahu."Kalian berdua, kau dan Tuan Bryan!" ucapnya dengan penuh hati-hati. Sekilas pandangan mereka bersua antara dirinya dengan pria muda bergelar Playboy di seluruh Edensor.Bryan menatap penuh arti pada George dan tanpa pikir panjang, ia mengangguk patuh.******Di sebuah table restoran yang menjadi fasilitas resort milik Bryan Malik, ke empat manusia tengah duduk berhadapan.Kimberly duduk di samping sang ayah. Ia mau tak mau harus duduk berhadapan dengan Bry
George menatap dalam pada Kimberly dan Bryan silih berganti.Manik matanya sayu seiring tetesan cairan yang menggenang dari ujung matanya dan mengalir membasahi pipi. Ia mengangkat kepalanya, berharap cairan itu segera berhenti. Jemari sang putri terulur menyeka kedua pipinya."Jangan seperti ini, Pa! Aku akan melakukan apa pun keinginanmu! Kimmy tidak ingin melihat Papa bersedih. Katakan padaku, Pa!"George tersenyum hangat. Ia mengangguk perlahan dan kini meraih jemari lentik yang baru saja digunakan untuk mengeringkan cairan bening dari matanya. Suasana mendadak haru biru."Apakah benar kau mau menyanggupi apa pun keinginan Papa?" tanya George memastikan. Matanya membutuhkan jawaban pasti dari pemilik iris perak di depannya yang tak lain adalah putri kandungnya sendiri."Iya, Pa. Apa pun itu!" tegas Kimberly tak meragu sedikit pun."Menikahlah dengan Tuan Bryan, bagaimana pun desas-desus yang beredar me
Lima menit berlalu.Kimberly enggan keluar dari bilik toilet yang menyembunyikan tubuhnya selama beberapa saat. Ia malas dan malu jika bersitatap dengan pria playboy di luar pintu toilet. Pria itu pasti masih menunggunya setelah berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan berbuat macam-macam.Dengan sedikit tertatih menahan nyeri yang meskipun tak separah beberapa saat sebelumnya, ia tetap saja harus berhati-hati agar lukanya tak terbuka.CeklekPintu toilet utama terbuka.Degg Degg"Bantu aku menguatkan hatiku, Tuhan!" ucapnya seorang diri.Demi apa pun, mata indahnya mendadak lumpuh hingga tak berkedip sedetik pun saat mendapati seorang pria yang tengah memainkan kepulan asap rokok dari bibirnya sembari bersandar di salah satu pilar besar.Tampan!Macho!Cool!Oh shit! Ada apa ini?Kimberly mengucek kedua kelopak matanya, menyadark
Bukan Stephanie yang semakin mendekat. Kimberly yang maju dan menghambur ke dalam pelukan ibu kandung Bryan. "Aku merindukan pelukan seorang ibu sejak beberapa tahun terakhir. Aku selalu memimpikan memiliki ibu mertua yang menyayangiku. Maafkan aku, Ma, jika aku belum bisa menjadi menantu yang baik di matamu. Aku hanyalah manusia biasa yang masih terus belajar menjadi lebih baik. Apa pun yang terjadi antara Mama dan Bryan, kuharap kalian akan segera berdamai dan saling mengerti satu sama lain!" ungkap Kimberly. Mendengar ucapan menantunya, Stephanie mengeratkan pelukannya. Lalu beberapa saat kemudian pelukan itu terlepas dan mereka berdua saling bersitatap. "Terima kasih, Kimberly! Mama pergi, ya! Jaga kesehatan kalian dan titip anak Mama! Semoga Tuhan selalu melindungi kalian di mana pun berada dan menjauhkan segala keburukan dari hidup kalian. Sampai jumpa lagi, Kimberly!" pamit Stephanie dengan wajah begitu sendu dan mata yang begitu sayu
Lampu terang di ruang operasi masih menyala. Kimberly berada di depan pintu sambil menunggu dokter selesai melakukan tindakan pada Jenica. Luke dan George sudah datang dan menemani perempuan cantik tersebut. Beberapa saat kemudian, seorang pria tampan dengan balutan jas menawan berlari-lari menuju ruangan yang dimaksud. Ia mencari keberadaan sang istri dan ingin segera memeluknya. "Kimmy!" teriak Bryan yang seketika memeluk tubuh mungil istrinya dengan ekspresi cemas luar biasa. "Bagaimana keadaanmu? Papa baru saja mengabariku. Maaf aku baru bisa datang!" ungkap Bryan seraya berulang kali mengecup pucuk kepala sang istri. Kegelisahan di wajahnya tak dapat dibantah. Semua terlihat begitu kentara. Bryan sangat mencemaskan kondisi istri tercintanya. " Aku tidak apa-apa, Bryan. Untung saja ada Kak Jenica yang menyelamatkanku. Saat ini kami masih menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Bryan, aku takut terjadi hal b
Stephanie penasaran akan suatu hal. Ia pun segera bertanya pada Deborah demi mendapatkan jawaban yang sempat mengusik pikirannya. "Apa jangan-jangan kau sudah menyukainya lebih dari yang kubayangkan?" tanya Stephanie dengan mata menyipit mencari tahu. "Lelaki seperti Bryan itu sangatlah langka dan juga menawan, Tante. Ketampanan serta kewibawaannya sanggup meruntuhkan iman hampir sebagian besar kaum hawa di Edensor kita yang tercinta ini. Termasuk aku!" ungkap Deborah dengan wajah berbinar-binar membayangkan Bryan menjadi miliknya. Stephanie tersenyum sinis. "Kau pasti akan mendapatkannya sebentar lagi! Kimberly tidak pantas mendapatkan anakku! Hanya kaulah yang pantas bersanding dengannya!" yakin Stephanie. Deborah tersenyum senang. Lengkungan bibirnya membentuk curva cantik. Ia bahagia dan bangga karena mendapatkan restu dari Stephanie. Tinggal beberapa langkah lagi Bryan pasti akan menjadi miliknya. Ya, sebenta
Kimberly tersenyum ramah di wajahnya yang penuh keteduhan. Ia terlihat tenang di usianya yang masih belia dibandingkan usia suaminya. Sikap dewasa dalam dirinya kini mulai mendominasi.Jemari lentiknya merayap lembut ke pipi Bryan, sekali lagi demi menenangkan hati dan pikiran Bryan yang tengah berkecamuk."Aku takut kehilanganmu sama seperti ketakutanku akan kehilangan Shannon dalam hidupku dulu! Aku sangat mencintaimu, Kimmy! Jangan pernah pergi meninggalkan aku!" pinta Bryan dengan begitu gelisah. Deru napasnya memburu."Aku tidak akan ke mana-mana. Aku selalu ada di sampingmu. Istrimu ini juga sangat mencintaimu, Bryan!" tegas Kimberly tulus.Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya. Merasa ketenangan benar-benar ia dapatkan ketika memeluk tubuh Kimberly. Bryan pun mendorong pelan tubuh yang begitu meneduhkan jiwanya, ia meletakkan kedua tangannya di atas pundak Kimberly.Tatapan mereka saling bersua. Kegelisahan
Kita tinggalkan sejenak Kimberly dan Bibi Jules di dapur. Saat ini Bryan sudah berada di kamar. Ia baru saja keluar dari kamar mandi.Selembar handuk berwarna putih menutupi tubuh bagian bawahnya dari pinggang hingga mencapai tempurung lututnya.Ia merasa malas dan kesal usai membenamkan diri di dalam bath tub selama beberapa saat, tapi ia tidak tahu apa penyebabnya.Segera, ia mengambil satu setel piyama tidur guna memberinya rasa nyaman saat sebentar lagi ia memejamkan mata barang sejenak. Kantuk mulai menyapa kedua kelopak matanya, yang tanpa sadar membuatnya berat untuk tetap terjaga."Badanku lelah sekali! Aduh!" keluh Bryan sembari memijat lengannya sendiri.Ia melangkah maju ke atas pembaringan. Perlahan, ia melepas sandal yang membalut telapak kakinya.Bryan sudah merasakan nyaman saat ia meletakkan kepalanya yang berat di atas bantal. Matanya secepat kilat terpejam.Sepuluh menit kemu
Kimberly tersenyum senang saat mendapati sepasang mata peraknya menangkap jelas sebuah kotak pizza favorit ada di kursi belakang. Wajahnya berubah begitu sumringah. Ekspresi yang bertolak belakang dengan beberapa detik lalu.Tanpa sadar ia mengguncang pelan lengan sang suami yang tengah mengemudikan mobil. Bryan yang mengetahui hal itu spontan kembali terkekeh. Ia senang jika bisa membuat Kimberly bahagia seperti ini. Saat ini ia meyakini ucapan Kimberly beberapa saat lalu…'Kebahagiaan seseorang itu berbeda-beda, bisa datang dari makanan, seseorang yang kita suka, kesehatan dan masih banyak lagi. Tapi, kalau buat aku, makanan adalah mood booster terhebat yang tidak pernah bisa kutolak. Makanan kesukaan bisa membuatku bahagia. Bahagia itu bisa didapatkan dengan cara sederhana, asal diberikan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.'Kata-kata itulah yang menjadi dasar Bryan memberikan makanan yang berasal dari Italia itu pada Kimberly.
Nick terkesiap. Sumpah demi apa pun ia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan kembali berurusan dengan suami mantan kekasihnya.Langkah kaki orang itu berhenti tepat di hadapannya. Dengan senyum yang melengkung jelas dari kedua sudut bibirnya, pria itu tampak begitu menawan. Pantaslah ia bersanding dengan Kimberly. Mereka adalah pasangan yang cocok satu sama lain. Tampak solid dan membuat iri jutaan pasang mata yang melihat keduanya bersisian.Nick mengenyahkan pikiran itu. Ini bukan saatnya memuji mereka.Tanda tanya besar berkumpul di pikirannya. Apa yang membuat pebisnis terkenal se-Edensor ini mendatanginya?"Ke-kenapa kau ada di sini?" tanya Nick terbata-bata. Pria itu gugup hanya karena disambangi Bryan.Bukannya menjawab, Bryan malah tersenyum penuh misteri.Nick mengambil napas dalam-dalam, berusaha menjernihkan suasana hatinya yang memendam banyak pertanyaan di sana.Kedua pria de
Luke tersenyum penuh arti."Semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Papa mendengar kau mau meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kau perbuat saja, Papa sudah merasa bangga. Kau sudah dewasa, Jenica. Belajar dan berpikir lebih baik ke depan. Perbaiki segala kesalahan yang dulu pernah terjadi.Papa yakin Kimberly akan memaafkanmu asal kau berjanji untuk tidak mengulang perbuatan yang sama. Kimmy adalah gadis yang baik dan sopan. Dia selalu menyayangimu. Papa pun bisa merasakannya. Hanya karena iri semata, kau bisa melakukan segala perbuatan itu. Papa yakin kau pun bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Percayalah!" yakin Luke menyemangati dan menyadarkan sang putri.Jenica mengangguk mantap."Aku akan menemui Kimmy dan meminta maaf padanya!" tegas Jenica penuh semangat."Ya! Papa akan selalu mendukungmu menjadi pribadi yang lebih baik! Semoga Kimmy memberikanmu kesempatan untuk berproses ke
"Ya, aku berjanji!" jawab Kimberly lantang tanpa meragu sedikit pun.Bryan membuka memori lama yang masih tersimpan jelas di dalam otaknya. Semua itu tak bisa menghilang begitu saja meski waktu terus berjalan.Waktu pun bergulir mengikuti ritme kisah yang terjadi di masa lalu.Kimberly menyeka cairan yang masih merembes dari pemilik iris biru di sampingnya. Cairan itu telah berhasil membasahi kedua pipi suaminya."Kau memiliki aku! Aku tak bisa berjanji akan selalu bersamamu hingga kita tua nanti. Aku hanya bisa menjalani setiap detik waktu yang berjalan bersamamu. Usia manusia tidak ada yang tahu. Benar, kan?Aku akan meminta pada Tuhan agar memberi kita usia yang panjang dan berguna bagi semua makhluk di sekitar kita. Bukan aku yang menentukan lama atau singkatnya hidup kita, semua tergantung sang Pencipta. Kita jalani saja semua proses hidup bersama-sama.Setelah aku dan kau menjadi satu dalam ikatan pe