“Viv, apa yang kamu ucapkan? Aku di sini mau membawamu pulang, ibu meninggal.”Bagai sengatan listrik menjalar ke otakku, mengirimkan sinyal ke syarat-syaraf tubuh lainnya, hingga hatiku teramat sangit. Benarkah apa yang aku dengar? “omong kosong apa yang kamu ucapkan, Rey?” Dua bola mataku menatap kepada bos Aroganku. Yang kedepannya mungkin hanya sebatas mantan bos. “Viv, ayolah! Kita pulang sekarang !” ucapnya lagi sambil kembali memegang tanganku. Detik ini aku masih mencoba untuk positif thingking. Aku yakin ibu baik-baik saja. Terakhir aku lihat, tadi pagi ibu sangat sehat, keadaannya membaik. Itu hanya alasan Reynan agar aku mau ikut bersamanya. “Lepaskan tangan Vivian!”Haikal dengan gemeletuk giginya, ikut membuka suara. Reynan menatapku sayu. “Viv, kamu sungguh tega. Aku tak pernah berpikir kamu bisa sejahat ini.” Reynan melepas tanganku, lalu berlalu begitu saja. Hanya tampak punggung berbalut pakaian mahalnya yang berjalan menjauh.Semua drama telah berakhir, para pe
Aku bergegas turun ketika kendaraan ini berhenti. Secepat kilat kupercepat langkahku untuk masuk, hingga terdengar suara lantang yang menusuk nuraniku. “Untuk apa kamu ke sini, Kak? Kamu durhaka kepada ibu!”Wanita cantik berpakaian hitam itu menatapku sinis, begitupun dengan lelaki yang berada di sampingnya. Hanya memandang sesaat dan kembali menatap jasad yang telah terbujur kaku. Air mataku luruh, bersamaan dengan rasa bersalah yang kian memuncak. Aku tak peduli betapa sorot mata yang kini memandang heran ke padaku. Mungkin semua orang yang hadirpun berpikiran sama dengan Alisa. Aku adalah anak durhaka, anak yang tak berbakti kepada ibunya. Aku turut serta mengantar ibu di peristirahatan terakhirnya, menatap gundukan tanah yang kini penuh dengan taburan bunga. Jika pagi tadi rasa bahagia ini setinggi langit. Sekarang semua berbanding terbalik, serendah dasar lautan. Aku bahkan masih sulit untuk percaya jika wanita yang tertutup tanah itu adalah wanita yang melahirkan ku. Masih i
Kali ini aku baru menyadari, bahwa semua yang dilakukan Haikal kepadaku dan bapak adalah ajang balas dendam. Aku kini terisak, bingung sendiri dengan hati yang kacau balau, bahkan untuk sekedar menyesalpun percuma. Andai saat itu bapak membiarkan orang tua Haikal begitu saja, mungkin tak akan ada bapak dan ibu yang meninggalkan aku dan alisa. Tak akan ada penghinaan dam kekejamannya Haikal. Andai saat itu bapak tidak mengedepankan hatinya, mungkin ini semua tak akan terjadi. Aku masih akan tetap menjadi gadis cantik yang bisa bermanja dengan ibu, dengan kekayaan yang ada. Tidak harus berkatung-katung, dan hidup dengan belas kasihan seperti iniPlakk Sebuah tamparan keras melayang ke arah pipi lelaki di depanku. Aku tak kuasa menahan amarah yang terus menumpuk di hatiku. Aku tak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi padaku. Aku sudah tak memiliki gairah untuk hidup. Bahkan aku berharap Haikal melukai dan membuat aku meregang nyawa saat ini juga. Lelaki itu tak merespon, hanya dia
POV HaikalPlakkSebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku menatap tajam ke arah wanita di depanku, wajah manis yang biasa terlihat ketakutan itu mendadak seperti harimau yang tengah melawan musuhnya. Tak terselip rasa takut walaupun sedikit.“Harusnya aku memaksa bapak, untuk meninggalkan bapak dan ibumu di lokasi kejadian. Hingga tak akan ada balas dendam darimu. Asal kamu tahu, dengan nuraninya bapakku, ia membawa orang lain yang tak ia kenal menuju rumah sakit, dan aku tak pernah menyangka jika justru bapakkulah yang terfitnah menjadi pelakunya. Dengan dua bola mataku ini, aku bersaksi, dan bahkan aku berani bersumpah atas nama kedua orang tuaku, bapakku tak bersalah.”Kalimat itu terdengar lantang, dengan penuh emosi, bahkan aku tahu sekali kalimat itu nyata dari dasar hatinya. Lalu? Apa yang kuanggap selama ini salah?Vivian berlalu, menyisakan tanda tanya besar dalam benakku. Aku kembali duduk di kursi goyang, menatap jauh ke langit yang bertebaran bintang-bintang. Entah, s
“Vivian!”Suara lantang yang menyerukan namaku itu berhasil membuatku terpaku. Aku tak menoleh, dan terus bertahan di posisiku, berharap apa yang kudengar hanyalah mimpi, atau sekedar Haikal yang tengah mengigau. “Vivian, kamu dengar aku bukan?”‘Mati aku.’Aku menoleh dan menatap Haikal yang kini memandangku penuh murka, kubawa ponsel yang kupegang ke arah belakang, hingga ia tak melihatnya. Kalau ia melihat aku tengah mencuri ponselku sendiri bagaimana reaksinya? Apalagi wajahnya kini terlihat penuh amarah. “Apa yang kamu sembunyikan dariku?”Mati aku, kenapa Haikal harus serba tahu seperti ini? Atau jangan-jangan dari tadi dia hanya pura-pura tidur. Lalu ponsel ini? Itu hanya jebakan olehnya agar mempunyai alasan untuk memarahiku? “Tidak ada.”“Jangan bohong.”Lelaki itu mendekat, dan benar-benar berhasil menghadirkan keringat sebiji jagung di dahiku. Ia merampas barang yang kupegang begitu saja, sama seperti merampas harapan yang tengah kubangun. Dan aku benar-benar tak meny
“Kak, ibu meminta kita untuk ikut bersamanya. Kata ibu, disurga begitu indah.”“Dunia ini juga tak kalah indah dari surga,” ucap Haikal yang kini merengkuh tubuh kecil itu. Tubuh kurus dengan lingkaran hitam di matanya, seperti kurang tidur.“Kata siapa, Kak? Nyatanya ibu dan bapak tidak suka di sini, lebih memilih pergi meninggalkan kita.”Wanita itu sesenggukan, dengan air mata yang terus mengalir Bahkan tangisnya pecah sepeti anak usia kecil yang tengah tantrum, hingga mereka menjadi pusat perhatian oleh orang-orang sekitar. Haikal dengan lembutnya menghapus air mata, dan mengecup ujung kepalanya, kembali merengkuh tubuh itu dan membelai rambut panjangnya. “Itu siapa, Kak? Bidadari?” tanya gadis kecil itu yang kini menatapku, hingga akhirnya Haikal melepas pelukan dan turut serta mengarahkan pandangan yang sama. Aku menengok ke sekeliling, dan tak kudapati siapapun. “Apa? Aku?” tanyaku aneh, sambil menunjuk hidungku sendiri. Dan dengan sabarnya, Haikal tersenyum mendapati per
“Permintaan Tuan, Bi?”“Iya, Non. Ini itu kebiasaan tuan waktu muda, meminta dibuatkan banyak makanan lalu dibawa ke yayasan yatim piatu. Sayang kebiasaan ini mulai menghilang saat ibunya Tuan meninggal.”“Ha?” Aku melongo mendengar penuturan bibi, masih tak percaya dengan penjelasan yang baru ku dengar. “Hihi, nona kaget ya?” Wanita paruh baya itu tersenyum.“Sama, bibi juga,” imbuh bibi dengan senyuman yang makin melebar. “Semenjak kepulangan Tuan tadi siang bersama Nona, tuan senyum Mulu, bahkan semua pelayan tidak ada yang kena semprot sama sekali.”“Benarkah, Bi?”“Sepetinya obat dari Nona, bekerja sangat hebat kepada Tuan.”‘Obat? Apa maksud bibi? Seingatku, aku tak pernah memberi obat apapun Haikal, bahkan di saat aku membencinya dengan sangat, aku tak pernah berpikir ke arah itu. ‘“Obat apa, Bi?”.Aku masih penasaran dengan penjelasan bibi yang terkesan ambigu. “Ah, Nona. Kenapa susah pahamnya. Obat cinta, Non.” Wanita itu terkekeh sendiri. Sedangkan aku masih mencerna uc
“Saya tidak bersalah, Pak!” Dua orang lelaki berpakaian seragam polisi itu memborgol kedua tangan Haikal, dan di belakangnya ada Alisa dan Reynan yang tengah tersenyum menatapku. Binar mata yang indah, dan begitu kurindukan. Alisa setengah berlari menghampiri, kupeluk tubuhnya yang sepertinya lebih berisi. Reynan tampaknya benar-benar menjaga adikku dengan baik, bahkan penjagaan ia lebih baik dari apa yang pernah aku lakukan. “Kak Vivian,” ucap wanita itu lirih dengan mata yang kini berkaca. “Its okay.”Aku menyeka air mata itu agar membasahi pipi alis yang mulai chubby. “Kamu jelaskan saja di kantor,” ucap salah satu polisi dengan membawa lelaki itu pergi. Saat berpapasan dengan Reynan, tampak sebuah senyum puas terbit dari bibirnya. Senyum yang mengantar Haikal ke jeruji besi, dan entah kenapa aku tidak bahagia melihat peristiwa ini. “Sa, itu kenapa Haikal di bawa ke kantor polisi?”“Sudahlah, Kak. Jangan pikirkan Kak Haikal, yang terpenting kita bisa berkumpul kembali, kakak
“Iya.” Lelaki itu mengangguk.“Tapi … Bagaimana bisa? Me-re-ka?” tanyaku yang masih tak percaya.“Tutup mulutnya, Viv. Kalau ada lalat masuk,” ucapnya yang membuatku menahan malu. “Bisa tidak, ngomongnya dihalusin dikit!”“Sayang, jangan bengong. Sini duduk sini, kita makan!”“Rey, kita bukan pasangan kekasih. Jangan panggil aku sayang.”“Kalau begitu, maukan kamu jadi kekasihku, Viv?” lelaki itu mendekat dan kini berjongkok di depanku. Sebuah kotak bludru berbuntuk hati itu dibuka hingga menampakkan sebuah cincin dengan kilauan indah di tengannya. Ingin rasanya kujawab iya, tapi saat ini gengsiku masih melebihi segalanya.“Viv, jawablah! Apa kamu mau jadi istriku? Ibu dari anak-anakku?”Aku masih terdiam. Antar hati dan ego kita tengah saling menyerang.“Iya, Viv. Kapan lagi kamu nunggu momen ini?” ucap hatiku.“Janganlah, Viv. Gengsian dikit napa. Meskipun janda, kamu punya harga diri bukan? Bisa jadi kan Reynan hanya iseng kepadamu,” ucap logikaku.“Rey, itu, makanannya sudah data
“Ayo masuk, Viv. Ada apa, ha?” tanya reynan sambil memandang aneh ke arahku. Ya, dari tadi aku terus berusaha melepas pegangan tangannya, juga memutar bola mata menatap sekitar.Suasana resto yang di desain khusus dan indah ini, seakan menjadi saksi antara keromantisan reynan dan agasthi. Sedangkan aku disini? Hanya sebatas obat nyamuk.‘Bodoh kamu, viv, kenapa kamu mau-maunya diajak reynan kesini. Sekarang kamu mati kutukan?’ batinku merutuki diri sendiri.“Vivian, ayo kita masuk, Sayang. Apa perlu aku membopong tubuhmu yang kurus itu,” ucapnya lagi dengan gemas. Apalagi ketika ia memberikan embel-embel sayang di belakang namaku, membuatku jengah. Bisa-bisanya ia mau ketemuan dengan perempuan, tapi tetap sok sayang-sayangan kepadaku.Aku memiringkan bibirku, menampakkan ekspresi tak suka. Dan justru itu membuat reynan terkekeh dan menghadirkan senyum di wajah tampannya.“Gendong atau jalan sendiri?” tanyanya lagi.“jalan,” ucapku dengan nada datar.Ya, aku masuk kedalam resto yang te
Sore ini Lesta sudah boleh pulang, reynan pun sudah pulang ke rumahnya. Aku berdiri di balkon kamar terus menatap ke arah halaman, berharap lelaki itu kembali datang untuk menghampiriku.‘Viv, kenapa kamu kegatelan sepeti ini?’ batinku.‘Bukan kegatelan, tapi hanya meluruskan omongan reynan,’ balas batinku kembali.Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu kembali bangkit dan ke balkon, melakukan aktifitas yang tak jelas. Hari telah berganti malam, cahaya sang mentari mulai menghilang, diganti rembulan dan bintang yang berkelip di langit dengan indahnya. Suasana hatiku semakin memburuk, tatkala mengingat malam ini reynan ada acara bertemu dengan Agasthi.Kuraih layar pipih di sakuku, tak ada pesan selain dari operator yang mengabarkan kuota mulai menipis.‘Rey, apakah karena kamu akan bertemu dengan agasthi, hingga melupakan aku seperti ini? Bukankah kamu berjanji ketika sampai ke rumah, akan memberiku kabar?’Aku kembali masuk ke dalam kamar, duduk di bibir ranjang. Entah, untuk keb
“I-ini ....”Lelaki itu tampak sungkan, ketika aku membaca jejeran huruf di dalamnya. “Agasthi?” tanyaku kaget. Entah kenapa aku merasa cemburu, ketika ada nama wanita lain di dalam ponsel reynan. “I-iya, Viv.”Lelaki itu terdiam, memilih menaruh ponsel kesayangannya ke sofa. “Diangkat saja, Rey, takutnya penting.”“Bukan apa-apa, Viv, dia hanya ....”Belum juga reynan melanjutkan perkataannya, aku sudah menggeser tombol hijau itu ke atas, hingga panggilan agasthi dan rey tersambung. Ini memang bukan perlakuan yang bijak, bahkan tidk beratitude, tapi tak tahu kenapa, rasa penasaranku semakin memuncak. Apalagi aku tahu kalau agasthi adalah wanita mantan calon istri reynan, dan bahkan ia sangat mencintai lelaki yang kini duduk di dekatku. Tidak lupa kutekan tombol speaker, supaya pembicaraan ini terdengar bersama, hingga tak ada dusta antara reynan kepadaku. “Rey, jadi kan kita ketemuannya?” tanya Agasthi dengan suara khas manjanya. Ketemuan? Apa maksudnya? Lelaki itu berjanji ak
“Rey, aku bertanya serius. Kamu datang kapan? Kenapa gak bangunin aku?”Lagi-lagi ia hanya menjawabnya dengan senyuman, membuatku kesal. Kucubit lengannya, hingga ia mengaduh kesakitan. “Viv, i-itu ... Bisa pelan dikit?”Aku tak menggubrisnya, masih kesal dengan apa yang ia perbuat, juga dengan mimpi yang baru saja kudapat. Meskipun sebenarnya, aku bersyukur karena semua hanya mimpi. Reynan datang kesini, masih dengan ia yang semula, tanpa predikat seorang Nara pidana. “Viv, beneran sakit,” ucapnya sambil meringis. Aku menatap tangan yang baru saja Kucubit, darah segar mengalir. Aku baru menyadari jika Medan keisenganku adalah bekas luka Rey. “Rey, maaf,” ucapku penuh rasa bersalah. “Tak apa.”“Tapi sampai berdarah ni tanganmu.” Aku masih menatap darah segar yang kini mengalir melewati jarinya. “Ya sudah, bantu obati, Viv.”“Aku Carikan perban dan obat merah dulu.”Baru saja aku bangkit, tangan ini diraih oleh Reynan. “Obatnya bukan itu, tapi ...”Lelaki itu berdiri mendekatk
Malam ini kuhabiskan di kamar rumah sakit, menemani Lesta yang keadaannya mulai membaik. Ia terus bercerita dengan mimpi dan cita-citanya, hingga tetesan air mata membasahi pipi gadis cantik itu tatkala menceritakan tentang kakaknya. “Kak Viv disini, Les. Aku akan selalu ada untukmu,” ucapku sambil memeluk lembut tubuh ringkihnya. Aku bahkan tak menyadari baru beberapa hari saja tubuh kecil Lesta semakin mengurus.Wanita cantik itu tersenyum, lalu membalas pelukanku. Hingga jam minum obat tiba, dan ia mulai terlelap ke dalam mimpinya. Kulihat jam dinding di ruang kamar ini, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 wib, Alisa pun telah tidur di atas sofa tanpa selimut yang menutup tubuhnya. Aku meraih tas kecilku yang berada di atas meja, mengeluarkan benda pintar yang dibelikan haikal untukku. Kosong. Tak ada notif pesan maupun panggilan sama sekali. “Ya Tuhan, jaga Reynan. Semoga ia baik-baik saja,” ucapku yang kini kembali duduk di sofa sebelah Lisa tertidur. Akupun ikut menyanda
Kedua lelaki itu mendekat, dimana tiap langkah lebar yang mengarah menuju kami, menambah rasa ketakutan dalam hatiku. Suara sepatu dinas yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit, seperti membawa alunan genderang kematian. Tubuhku gemetar, bahkan aku harus menarik nafas panjang untuk sedikit melegakan rasa panik ini. Rey melirik ke arahku, menggenggam tangan yang mulai bergerak tak jelas karena Tremor, “Semua akan baik-baik saja,” Tak ada ucapan itu, tapi dari sorot mata teduh Rey, seperti mengutarakan hal untuk aku bisa tenang. “Ma-maaf, ada perlu apa, Pak?” tanyaku yang memulai pembicaraan terlebih dulu. “Selamat sore, Bu Vivian, Pak Reynan. Saya hanya ingin meminta bapak reynan untuk datang ke kantor polisi. Ini surat panggilannya,” ucap salah satu petugas tersebut sambil memberikan sebuah lampiran. Rey mengambil kertas tersebut, sekilas membacanya dengan fokus mata yang menyusuri jejeran huruf di dalamnya. “Saya akan datang, Pak.”“Baik, terima kasih atas kerja samanya.”Ked
Baik Rey dan aku dibuat kikuk kala menatapnya. "Indra sudah ditemukan. Ayo ikut aku," ucap Om Gunawan menatap lelaki di sebelahku. "Kamu mau pergi, Rey?" tanyaku ragu. Masih tersimpan dalam ingatan bagaimana om Gunawan mengarahkan senjata ke arah Reynan, lalu berbalik arah menembakkan timah panas ke arahku, dna berakhir dengan Haikal yang menerima tembakan itu. Masih terekam begitu jelas bagaimana darah Haikal mengalir bersamaan ia yng menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menggeleng, seperti tak ikhlas jika lelaki yang pernah menjadi bos ku itu pergi. "Maafkan aku. Aku janji pasti akan kembali," ucapnya sambil melepas genggaman tangannya perlahan. "Rey," ucapku lirih. Aku begitu takut terjadi sesuatu hal kepada Reynan. Apalagi ia akan pergi bersama om Gunawan, dan hendak bertemu Indra. Mereka berdua adalah musuh, ya g ingin sekali menghabisi Reynan. Reynan masih berjalan mengekori om Gunawan. Hingga punggung keduanya mulai lenyap dari pandangan, ketik melewati
"Viv, apa tadi ada yang masuk ke kamar kalian?" tanyanya panik. Aku semakin bingung tatkala mengingat perawat tadi masuk dan menyuntikkan cairan obat ke tubuh Lesta. "Iya. Seorang perawat masuk dan memberikan obat. Apa ada yang salah, Rey?"Aku tak tahu lagi, harus bertanggung jawab seperti apa jika keadaan Lesta semakin memburuk karena kecerobohan ku. "Tidak apa, Viv. Aku kira Indra kabur dan masuk kesana.""Maksudmu Indra belum ketemu juga? Bagaimana keadaan di luar? Apa semua baik-baik saja.""Iya, Indra kabur setelah tembakan mengenai lengannya, dan sekarang aku bersama Gunawan.""Om Gunawan?""Aku akan segera datang kesana." Benar saja dalam hitungan menit, Dua lelaki masuk ke dalam kamar, satu lelaki yang paling kucintai dan paling kunanti kedatangannya, dan satunya lagi lelaki yang paling kutakuti. Aku memindai tubuh lelaki itu dari bawah ke atas, takut jika ada senjata bertimah panas melekat di antara pakaiannya. Namun, dari sorot mata kedua lelaki itu seperti tak memil