MELODI"Lepasin!!!" Aku memberontak dalam pelukan Ian tapi nggak berhasil. Tenaganya terlalu kuat sehingga aku terperangkap dalam belenggunya."Iaaaaaan, awas ka-- Ehmm ehmmmm ..."Ian membungkamku dengan ciumannya sehingga yang keluar dari gumamanku hanya emmmb eemmmb.Seharusnya aku terus memberontak. Tapi hatiku menolak perintah pikiranku. Aku membalas lumatan Ian di bibirku. Mungkin aku memang sudah gila. Tapi memang itulah yang kulakukan.Sembari bibir kami berpagutan tanganku meraba-raba dada Ian. Lalu dengan naluriah melepaskan kancing kemejanya satu demi satu dari kaitannya hingga Ian bertelanjang dada.Melihat tato namaku yang terajah abadi di dadanya membuat emosiku perlahan luntur. Dan mungkin hal itulah yang membuatku lemah lalu dengan sukarela membiarkan Ian melucuti pakaianku.Di saat tubuhku polos sempurna bagai bayi yang baru lahir Ian masih mengenakan celananya. Tanganku turun mencari zipper celananya itu lalu menurunkan dari pinggangnya.Lalu kini aku dan Ian nggak
MELODIHubunganku dengan Ian sudah membaik pasca kami bercinta waktu itu. Saat pillow talk Ian menjelaskan segalanya. Aku menyuruh Ian agar mengembalikan uang Lakeizia secepatnya. Aku yang malu jadinya. Bahkan aku meminta agar mobilku dijual saja agar uangnya bisa digunakan. Tapi Ian menolak."Biar jadi urusan Abang saja ya. Nggak usah kamu pikirin. Dan nggak usah malu. Berutang bukan dosa kok. Lagian utangnya juga bakal dibayar pelan-pelan sampai lunas."Dia gampang ngomong begitu. Tapi aku yang nggak kuat. Aku semakin kehilangan muka di depan Lakeizia.Kuperiksa saldoku. Tapi belum cukup untuk melunasi utang itu. Aku kan belum punya penghasilan. Dulu donatur utama sumber tabunganku adalah Papi. Dan sekarang Ian yang jumlahnya jauh di bawah pemberian Papi dulu.Aku mengirimi Lakeizia pesan malam itu juga. Walau saat itu kami berada di bawah atap yang sama, tapi aku lebih nyaman bicara dengannya melalui ponsel.Me: Kak Kei, aku baru tahu soal Ian yang pinjam uang sama Kakak. Kalau aku
MELODIIan itu sukar diprediksi. Kadang kalem, kadang dingin dan kadang seperti tidak pernah peduli padaku. Di antara semua kebunglonannya itu kejutannya hari ini adalah sesuatu yang tidak pernah melintas di dalam benakku satu kali pun.Aku nggak tahu Ian kesambet di mana atau apa yang merasukinya. Dia seperti bukan Ian yang kukenal.Di dalam hati aku nggak henti bertanya bagaimana Ian menyiapkan semua itu. Dan kenapa dia bisa tahu aku sedang berada di kafe favoritku?Aku menunggu Ian pulang dan sengaja nggak menghubunginya untuk sekadar bertanya dia pulang jam berapa. Lagi pula dia belum tentu akan merespon. Jadi daripada sakit hati karena nggak mendapat tanggapan lebih baik aku diam.Ian baru menampakkan wujudnya pukul sepuluh malam. Dia mengecup keningku saat aku hampir tertidur. Membuat mataku kembali terbuka."Kamu baru pulang?" Aku menggeliat malas sambil menutup mulutku yang menguap dengan telapak tangan.Dia menjawab dengan senyum tipis."Makan yuk, Abang beliin bakso."Dia m
MELODIDetik-detik hari wisuda sudah semakin dekat. Segala sesuatu yang berkaitan dengan skripsi termasuk revisi tipis-tipis juga sudah kuselesaikan. Aku tinggal memakai toga."Duh, ngepas body banget nggak sih?" Anya memindai dirinya mulai dari puncak kepala sampai bawah kaki seraya memandang melalui kaca. Hari ini kami sedang fitting kebaya wisuda."Malah bagus kan daripada kedodoran," timpal Amanda."Tapi lemak-lemak di perut gue jadi kelihatan." Anya memberengut.Aku dan Amanda menertawainya.Lalu Anya menatapku. Seketika jadi cemburu menyaksikan perut rataku."Lo kok bisa sih, Melo, punya perut indah kayak gitu? Padahal udah digenjot Ian berkali-kali.""Yang digenjot yang di bawah perut njay." Amanda yang menjawab.Anya tertawa sedangkan aku tetap dengan mode slay.Setelah rembukan kami bertiga menjalankan rencana membuat kebaya seragam untuk wisuda. Dan itu pun melalui proses yang begitu alot. Anya ingin kebaya warna biru. Amanda bersikukuh dengan warna pink. Sedangkan aku janga
MELODIBerdetik-detik lamanya aku termangu mendengar ucapan Ian. Sampai dia membangunkan dengan cara mengusap pelan pipiku."Tiga bulan? Harus tiga bulan banget?"Dia mengiakan dengan anggukan."Kok bisa sampai selama itu? Itu training apa magang sih?""Skill training namanya. Kayak yang dulu udah Abang jelasin, Galaxy punya banyak cabang di beberapa negara. Yang ada di Asia di antaranya adalah Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Jepang. Jadi dari masing-masing negara ada perwakilannya." Ian menjelaskan padaku."Perginya kapan?""Minggu depan.""Hah!" Aku terbelalak. Itu artinya Ian akan pergi sebelum aku wisuda. "Tapi aku mau wisuda. Masa kamu pergi?" protesku nggak terima. Suami macam apa yang pergi di saat istrinya akan melalui hari penting dalam hidupnya?"Abang juga nggak tahu kalau jadwalnya akan bentrok begini, Melodi," kata Ian sembari menatapku.Aku berdecak. Steak yang berada di dalam mulutku tidak lagi seenak sebelumnya."Kamu nggak usah pergi kalau begitu," titahk
MELODIHari-hari Ian akan pergi semakin dekat. Menjelang kepergiannya itu aku nggak mau membuang-buang waktu. Aku ngintilin Ian ke mana-mana kecuali kantornya. Termasuk hari ini saat Ian membawa Greya ke acara pecinta kucing. Sebenarnya Ian rutin menghadiri acara tersebut. Tapi dulu aku mana peduli. Beda ceritanya sekarang. Aku harus selalu waspada apalagi Lakeizia juga ikut."Kita jemput Kei dulu ya," ujar Ian saat kami baru saja meninggalkan area apartemen."Kenapa harus dijemput? Emang dia nggak bisa pergi sendiri?""Tadi Abang udah janji sama Kei mau berangkat bareng. Selama di Jakarta dia belum pernah ikut acara ini. Jadi ini yang pertama."Aku hanya bisa berdecak dan terpaksa menuruti kemauan Ian.Jadi hari ini adalah tanggal merah sehingga Ian nggak ngantor.Aku mencuri pandang ke arah Ian selama dia menyetir. Mendadak perasaanku sedih mengingat lusa dia sudah berangkat. Selama Ian pergi aku dititipkan di rumah Mami.Bagaimana hidupku nanti tanpa dia?Maksudku, siapa yang akan
MELODIMentang-mentang ini adalah terakhir kami bersama Ian nggak mau membuang-buang waktu. Kami bercinta setiap beberapa jam dimulai dari kemarin malam. Tubuhku terasa remuk. Tapi entah kenapa aku nggak bisa menolak permintaan Ian setiap dia ingin menyentuhku. Dia seolah memiliki kekuatan magis yang akan membuatku tidak bisa mengatakan tidak.Selama kami berumah tangga Ian mengajariku banyak gaya bercinta. Dari yang mulai kutahu sampai yang membuatku terheran-heran karena nggak menyangka kalau gaya yang begituan benar-benar ada. Sejauh ini aku mengikuti kemauannya asal jangan bercinta di atas kap mobil yang pasti akan membuat badanku sakit."Masih sanggup nggak?" tanya Ian saat kami nonton TV berdua sambil rebahan."Apanya?"Ian mengerling nakal yang membuatku langsung memelototinya."Tadi siang kan udah," ucapku mengingatkan."Itu kan siang, sekarang udah malam," dalihnya nggak mau rugi."Nggak mau, ak
MELODIAku berbaring gelisah di atas tempat tidur sambil memeluk guling. Aku nggak tahu ini gulingnya yang dingin atau perasaanku saja lantaran selama ini aku selalu memeluk tubuh Ian yang hangat.Sudah lebih dari dua puluh empat jam berlalu. Seharusnya Ian sudah tiba dan mengabariku. Tapi sampai detik ini nggak ada satu pun pesan masuk darinya apalagi telepon. Saat kucoba untuk menghubunginya Ian nggak bisa dihubungi.Ini baru hari pertama. Tapi untuk mengabariku saja sulit setengah mati. Gimana hari-hari selanjutnya?Karena mataku nggak mau diajak kompromi untuk tidur, aku putuskan untuk keluar dari kamar. Kulangkahkan kakiku yang berat menuju kamar Lakeizia. Lalu kuketuk pintu dengan pelan.Ini baru jam delapan malam. Seharusnya kedatanganku nggak mengganggunya. Aku rasa dia juga belum tidur.Kuketuk pintu sekali lagi dengan sedikit lebih kuat dari yang pertama. Usahaku berhasil. Lakeizia muncul dengan Toro dalam gendongannya."Eh, Melo." Lakeizia kaget menyaksikan akulah yang be
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka