enjoy reading ...
Apotek Risty yang berada di Fatmawati telah dipasang garis polisi siang itu juga setelah ia berembuk dengan ketiga teman borjuisnya yang ikut membangun apotek itu. Setelah dinyatakan tutup sementara dan menunggu hasil investigasi dari polisi, Risty memilih meninggalkan ketiga teman dan karyawannya yang sedang dimintai keterangan di kantor polisi. "Lapor polisi itu nggak guna. Karena gue tahu siapa lawan gue," ucap Risty dengan ekspresi sedih ketika duduk di bangku penumpang. Aku sedang fokus mengemudi menuju lokasi perumahan yang Risty tunjukkan melalui peta yang ada di ponselnya. "Siapa?" tanyaku. Dia diam lalu membuang pandangan keluar jendela mobil hingga kami tiba di lokasi yang Risty tuju. Di depan sebuah rumah bertingkat dengan bangunan megah dan pagar tinggi. Mirip dengan rumah Mas Kian yang kutinggali. Rumah siapa kah ini? "Gue udah di depan," ucap Risty dari sambungan telfon. Begitu si pemilik rumah keluar, Risty juga bergegas keluar dari mobil lalu menghampiri lel
"Lepasin gue!" Ziany memberontak lalu Risty memberi kode agar aku memasukkannya ke dalam mobil Richard. Namun Richard melayangkan protes karena satu mobil dengan Ziany dan kedua preman itu. Sedang Risty menaiki mobilnya denganku. "Sayang, kok kamu nggak sama aku?" "Rich, gue pusing. Sementara turutin apa mau gue atau kita bener-bener nggak bisa balikan!" Lalu Richard menatapku garang. "Jangan sentuh cewek gue!" Richard tidak bisa berkutik dan melajukan mobilnya dengan hati kesal. Tanpa dia ketahui bahwa hubunganku dengan Risty tidak lebih dari sekedar majikan dan bodyguardnya. "Kenapa lo nggak semobil sama Richard? Biar dia nggak salah paham sama gue," ucapku sambil mengemudikan mobil Risty. Tujuan kami sekarang kembali ke apotek Risty yang ada di Fatmawati. Risty menoleh ke arahku dengan tangan bersedekap dan paha kaki kanan diletakkan di atas paha kaki kirinya. Lalu tangannya mengambil topi hitam dari kepalaku lalu sedikit mengacak rambutku dengan jemarinya. "Apaan sih
Mengatakan Risty sedang mandi besar pada Richard? Aku masih punya otak untuk tidak menuruti keinginan gila majikanku ini. Lalu tanpa jawaban atau salam, aku memutus panggilan dari Richard dan menaruh ponsel Risty di bangku ukir yang kami duduki. "Jawab aja sendiri!" dengusku kemudian berdiri menuju pembatas besi yang ada di rooftop rumah. Aku hampir terpesona dengan paha mulusnya dan sebaiknya ... menjauh. Huuuft... "Kan gue minta tolong ceritanya." Kini Risty ikut berdiri di sebelahku namun kami berjarak. "Lo kayak cewek nggak ada harga diri nempel-nempel ke gue." "Kenapa emangnya? Lo terangsang?" Aku menatapnya dengan alis berkerut. "Bukannya kemarin lo bilang meski gue telanjang sekalipun lo nggak bakal nafsu? Kenapa sekarang ngatain gue nggak ada harga diri gara-gara bersandar di pundak lo?" Lebih baik membuang muka karena sejujurnya tidak ada kucing yang tidak suka dengan ikan tuna. Hanya saja, aku masih waras untuk tidak memakan ikan tuna yang bukan milikku. "Dasar mun
"Astaga, Risty! Kenapa telfon sama pesan gue dari tadi nggak lo balas?" geramku begitu ia mengangkat panggilanku. "Sorry, Rado! Gue ... lagi nongkrong sama Kaika." "Lo dimana sekarang? Urusan gue udah kelar." Sebagai bodyguardnya, aku wajib memastikan apakah majikanku ini baik-baik saja. Serta bagaimana dia kembali pulang karena tadi kami berangkat menggunakan motorku. Kecuali Risty memilih pulang menggunakan taksi atau diantar sahabatnya. "Nongkrong, Rado." "Gue jemput, kita pulang sekarang." "Dih, ini masih jam tiga siang, Rado. Pulang nanti aja." "Cewek nggak baik keluyuran." "Tumben lo khawatir sama keadaan gue? Jadi ge-er." Risty dan sepaket kekonyolannya kadang membuatku tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia begitu percaya diri. "Gue menjalankan tugas sebagai bodyguard lo. Lagian lo habis bertengkar sama Ziany, siapa tahu lo dimata-matai sama suruhannya. Ngerti lo sendirian, bisa-bisa besok lo tinggal nama doang." "Jelek doa lo, Rado!" "Share lokasi lo dimana. Gue j
Tanganku mencengkeram tangan kanan Risty lalu menariknya keluar dari kamarku dengan hati bersungut marah. "Aduh, Rado. Sakit!" Lalu tanganku bergerak membuka handle pintu kamarnya dan menyentaknya masuk. Mataku menatap tajam dirinya yang berdiri sambil mengusap pergelangan tangan kanan. "Jangan ikut campur masalah pribadi gue, Ris!" Lalu aku menutup pintu kamarnya keras dan menuju ke kamarku sendiri. Mengunci pintu lalu mengambil obat antidepresan di dalam tas dan meneguknya satu butir. Kemudian aku membaringkan tubuh di atas ranjang sambil menaruh tangan di atas mata dan bersiap merasakan efek obat yang bisa membuatku rileks hingga terlelap. *** Ini hari sabtu. Tidak ada perkuliahan dan aku bebas tidur hingga menjelang siang. Namun sepertinya itu hanya angan semata ketika ketukan di pintu kamarku menginterupsi. Risty pelakunya. "Ngapain?" tanyaku dengan wajah bantal dan membuka setengah pintu. "Anterin gue keliling apotek-apotek. Waktunya ngecek bisnis." "Sekarang?" "Pantes
"Minuman lo nggak sehat dan nggak bener,” ucapku dengan menatap lurus ke dalam manik matanya. Sedang tangannya yang berada di kaki gelas, masih berada dalam genggamanku. "Hei, Rado. Ini cuma delapan persen alkoholnya. Nggak bakal bikin gue mabuk." "Nggak usah aneh-aneh! Kalau lo sakit, gue juga yang ribet!" Aku segera menyingkirkan tangan Risty lalu mengambil gelas banquet crystal berisi sampanye itu. “Rado! Mau lo bawa kemana minuman gue?!” Tanpa mengindahkan pertanyaannya, aku segera membawa gelas itu menuju dapur bar and restaurant dan mengembalikan pada koki yang bertugas. "Are you kidding me, Rado?" tanya Risty begitu aku kembali lalu membawa sesuatu sebagai gantinya. “Ini lebih sehat. Nggak usah protes.” Aku meletakkan jus jeruk dihadapannya lalu menyantap makan malam dengan lahap. Karena perutku sudah sangat lapar karena menemani Risty berkeliling menyambangi bisnis apoteknya. “Tumben lo perhatian sama gue? Lo nggak lagi ada udang di balik penggorengan, kan?!” “Ma-k
“Minggir!” Akhirnya aku menyingkirkan tubuhnya dengan kasar hingga hampir membentur dinding lalu aku berlari keluar lounge. Emosi ini perlu dikeluarkan atau akan menjadi racun. Ditambah, aku tidak membawa obat anti depresan. Lengkap lah! Aku menjadikan helm full face-ku sebagai objek pelampiasan. Aku memukulkannya di paving halaman lounge hingga pecah lalu menendangnya sekuat tenaga hingga amarah ini mereda. Dengan nafas terengah-engah, aku mendudukkan diri di dekat motor sambil menunduk. Lega rasanya meluapkan emosi ini tanpa harus menyiakiti Risty. Sebenarnya, berada dalam raga yang seperti ini sungguh melelahkan. Tapi, andai Risty tidak memicunya maka aku tidak akan begini. Risty seperti hal yang menjadi sabab musabab terjadinya sebuah pergolakan. Entah itu dengan Ziany atau kini denganku. “Lebih baik?” Dua buah kaki seksi yang terbungkus skiny jeans warna hitam dengan sepatu hitam bertaburkan Swarovski nampak dihadapanku. Lalu aku mendongak untuk menatap wajahnya. Risty m
“Rado, ini udah jam sembilan malam. Risty dimana? Kok di kamar nggak ada?” Mas Kian bertanya ketika aku mengerjakan tugas kuliah. Aku menghentikan kegiatan lalu mengecek ponsel yang tidak menunjukkan pesan masuk dari Risty. “Apa dia bilang pergi kemana?” “Tadi … dia di kos Kaika, sahabatnya.” “Kalau gitu suruh pulang. Gimana pun Mas nggak enak kalau ada apa-apa sama Risty. Soalnya Alfonso udah nitipin dia di sini.” Aku menghubungi Risty berkali-kali namun tidak ada jawaban. Lalu aku memutuskan untuk menghubungi Kaika. “Kai, suruh Risty pulang.” “Lha? Dia udah cabut dari jam enam tadi, Do.” “Apa?” Aku terkejut dengan pengakuan Kaika. “Emang dia belum sampai rumah lo?” “Belum.” “Astaga, kemana nih anak.” Kelebat Risty ditangkap preman yang disewa Ziany lalu disekap tanpa ampun atau dia bertemu Richard bersama selingkuhannya kemudian terjadi pertengkaran, membuat pikiranku secara otomatis tidak tenang. Aku segera menutup laptop, mengambil hoodie, dan meraih kunci motor sportku
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut