enjoy reading ....
"Gue mau lo nungguin gue disini sampai ---" "Risty!" Kami berdua menoleh ke asal suara yang memanggil namanya. Terlihat Richard berlari kecil dari halaman fakultas yang berumput hijau, lalu menghampiri kami. Rambut hitamnya yang lebat, dibiarkan menutupi jidat. Dengan memakai kaos berkerah warna merah yang kontras dengan kulit putihnya, jeans berwarna pudar yang membungkus kaki jenjangnya. Richard yang menenteng tas ransel kuliah terlihat sangat tampan dan berkelas. Cengkeraman tangan kanan Risty di ujung kerah hoodieku, terlepas. Kemudian kedua tangannya bersedekap di depan dada dengan gaya sombong seiring Richard yang makin mendekat. "Mau pulang? Aku anterin yuk?" tawarnya."Nggak usah, Rich. Gue bisa pulang sama body ... " Risty menggantung kalimatnya sesaat, "Sama Kaika, Livy, dan Greys."Hampir saja dia keceplosan menyebut kata 'bodyguard'. Seperti kesepakatan awal bahwa dia tidak mau mengakui aku sebagai bodyguardnya pada orang-orang selain ketiga sahabat baiknya. "Risty, a
Aku menghajar Richard seperti orang kesetanan! Bahkan di mataku, Richard justru terlihat seperti samsak! Samsak yang biasa kutinju sebebas-bebasnya saat berlatih bela diri di gelanggang. Dengan menaiki tubuhnya, aku bebas meninju wajahnya dengan membabi buta. Darah mulai mengucur di sudut bibirnya namun tiba-tiba dia menggunakan tangannya untuk menarik rambutku sekuat mungkin hingga berhasil meloloskan diri. "Rado! Richard! Stop!" Kaika menahan lenganku yang akan kembali melayangkan tinju ke wajah Richard. Kami sama-sama babak belur namun naluri balas dendamku masih ingin terus menghajarnya. "Stop, Rado! Kamu bisa bikin Richard mati!" Richard terlihat setengah sempoyongan saat berdiri. Tidak berbeda jauh denganku yang babak belur dua kali. Namun aku lebih jantan dibanding dirinya yang baru mendapat tinjuan dariku saja sudah hampir ambruk. "Banci! Payah!" cemoohku. "Tunggu pembalasan gue, an***g!" Richard mengacungkan jari tengah ke arahku lalu pergi terbirit-birit. Aku m
Saat aku begitu khidmat memeluk Mbak Sasha, dia justru menjauhkan tubuhnya dari pelukanku. Kemudian, aku menatapnya dengan sorot memelas penuh arti. Andai aku bisa berkata lantang agar dia memperlakukan aku lebih dari ini agar gersang di dalam hatiku segera terhujani oleh cinta dan kasih sayangnya. Lalu aku yakin, jika luka di fisik ini akan segera sembuh dengan sendirinya. "Ayo kamu mandi dulu, lalu aku obatin." Kepalaku menggeleng lalu meraih pinggangnya. Namun Mbak Sasha justru mencekal kedua tanganku. "Mandi, Rado!" "Mbak, jangan bilang Mas Kian kalau aku habis berantem." "Mas Kian pasti tahu walau kita nggak bilang." "Aku nggak mau dimasukin rumah konseling. Aku nggak nakal, Mbak. Aku nggak sakit. Kenapa aku harus dimasukin rumah konseling? Memangnya kalian mikir aku gila?" tanyaku dengan perasaan begitu mendalam. "Rado, hei! Siapa yang mau masukin kamu ke rumah konseling? Nggak ada," ucapnya menenangkan. Aku meraih kedua tangannya untuk membelai pipiku lembut, "Aku n
"Kenapa sama Risty?!" Tanpa menjawab pertanyaanku, Kaika segera menarik tanganku menuju mobil. Lalu aku menyambar tas ransel kuliah yang tergeletak di atas kursi gelanggang. "Hei, kalian berhati-hatilah!" seru Bang Al. "Makasih, Bang!" jawab Kaika sambil terus berlari. Tanpa banyak tanya, Kaika segera melajukan mobil sedan mewah Risty menuju tempat dimana gadis itu berada. "Risty kenapa, Kai?" "Risty bilang dikepung sama Ziany dan preman sewaannya!" Aku terkejut begitu mendengar ucapan Kaika. Pasalnya, bagaimana nasib Risty dengan badan sekurus itu dihadang oleh dua preman yang bertubuh dempal? Membayangkannya saja aku tidak bisa karena sudah pasti dia akan kalah tenaga. Kaika menyetir seperti orang kesetanan bahkan tidak peduli dengan pengendara lain yang menghadiahinya umpatan. Begitu tiba di jajaran ruko, Kaika segera memarkirkan mobilnya di halaman sebuah apotek. Untuk apa dia mengajakku kemari? "Ayo, Rado! Cepet!" serunya. Namun tiba-tiba langkah Kaika terhenti beg
"Pokoknya lo tahu beres. Kalau soal bikin drama, gue jagonya." Kemudian tangan kanan kiri Risty menengadah diantara kami berdua. "Mana ponsel lo? Biar gue yang selesaiin." "Seenggaknya lo bilang apa yang mau lo bilang ke kakak ipar gue." Bibirnya berdecak, "Lama!" Risty mendorong tubuhku kemudian dia melangkah menuju meja tamu, tempat aku meletakkan tas ransel kuliah. Dengan lancangnya dia mengobrak abrik isi tasku. "Risty!" tegurku. Begitu tangannya berhasil memperoleh ponselku, tangannya kirinya memberi kode agar aku tidak maju untuk menginterupsi apapun yang akan dia lakukan. "Lo bodyguard gue. Dan seharusnya lo tunduk sama perintah gue, Rado. Dan asal lo tahu, baru kali ini gue ikut campur masalah kucing-kucingan bodyguard gue sama keluarganya. Remeh temeh banget lo jadi cowok," ucapnya ketus bernada menyindir. Tatapan matanya masih fokus tertuju pada isi ponselku yang terus diacak-acak oleh jemarinya yang lentik. Dengan kuku sedikit panjang yang dihiasi kuteks berwarna me
"Ya? Ada apa?" Kaika berdiri di sebelahku sambil ikut menatap pemandangan ibu kota setengah sore ini dari kaca bening besar apartemen mewah Risty. "Nanti malam, Risty mau ikut acaranya anak-anak borjuis. Tugas lo ntar malam harus selalu sama dia kemanapun dia melangkah. Jangan alihin pandangan lo darinya meski satu detik aja. Karena Risty itu suka jadi pusat perhatian. Jadi jangan heran kalau ntar dia bakal dikelilingi cowok-cowok." "Ziany bukan anggota acara itu. Jadi tugas lo cuma mastiin dia selalu aman. Dan satu lagi, dia suka pakai baju terbuka tapi nggak mau digoda. Aneh kan?!" Aku mengangguk paham dengan satu hal itu. Karena banyak teman-teman perempuan di fakultas suka memakai pakaian terbuka namun marah-marah jika digoda para lelaki. Lalu jika mereka tidak mau digoda mengapa memakai pakaian terbuka? Tidak habis pikir aku memikirkannya. Sebelum berangkat menjadi bodyguard yang sebenarnya, Kaika mengajakku menyantap makan malam. Karena disana, aku tidak diperkenankan mel
Risty dan semua perempuan di meja itu tertawa lepas menanggapi ucapan temannya yang berkata ingin 'menikmatiku'. Sedang otakku masih memikirkan apa maksud dari ucapannya itu? Karena jelas-jelas aku ini bukan permen atau barang yang bisa dipinjam-pinjamkan atau dicoba-coba. "Tanya aja sama dia. Mau apa kagak," Risty bersuara setelah meredakan tawanya. "Ya lo kali yang nanyain." "Kenapa? Lo mabuk cowok ganteng?" "Gue butuh pelampiasan. Tapi bukan yang sembarangan." "Lo ngerti aja kalau barang-barang gue selalu berkelas." Gadis itu mendekat ke arah Risty lalu berbisik, "Dari cara dia naik motor sport udah bikin jantung gue jedag-jedug." Entah apa yang mereka bisik-bisikkan selanjutnya karena bertepatan dengan itu, acara ini baru dimulai. Risty tiba-tiba berdiri, meraih tanganku menuju tempat yang berada di pojok, diikuti temannya. "Do, buka masker dan topi lo," perintahnya. Aku melakukan apa yang dia inginkan kemudian sahabatnya tersenyum. Kepalanya mengangguk pelan sambil me
"Apa? Tidur dengannya?" tanyanya dengan raut tidak percaya.Aku melangkah mendekati keduanya dengan nafas terengah-engah sambil meredam kepanikan yang terus menguasai keberanianku. "Lo!" geram Richard ketika melihat kehadiranku.Risty ikut menoleh begitu aku berada diantara keduanya. "Sejak kapan lo nidurin cewek gue ke***at!?" Aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan Richard yang menuduhku telah berbagi kehangatan dengan Risty. Jangankan berbagi kehangatan, kenal dekat dengannya saja belum genap satu bulan. "Emang lo cari mati ya?! Nyesel gue kenapa kemarin nggak gebukin lo sampai mampus!" Beruntung gangguan kepanikanku mereda perlahan-lahan karena telah menemukan Risty. Tangannya digenggam erat karena Risty berusaha melepaskan diri. "Jawab! Sejak kapan kalian tidur bareng!" pekik Richard dengan emosi tertahan ditengah kesunyian parkiran klub malam ini."Lepasin gue, Richard!" "Diem!!!" sentak Richard tepat dihadapan Risty."Nggak! Lo nggak ada hak ngatur gue sama sekali!"
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut