enjoy reading ...
"Maaf." Tanganku menggenggam erat pergelangan tangan Risty. Tapi ia menarik tangannya kasar tanpa menjawab permintaan maafku. Lalu dia berbalik pergi meninggalkanku yang masih termenung di unit apartemennya dan bodohnya aku tidak segera berlari mengejarnya. "Kenapa dada gue kerasa sakit, ya?" gumamku dengan tangan menyentuh dada. *** Akibat ulahku tadi pagi, Risty memilih duduk menjauh dariku saat perkuliahan dimulai. Melihat kami yang berjauhan membuat Kaika heran dengan apa yang terjadi lalu aku mengatakan segalanya. Bahwa Richard mengirim sebuah kucing mati ke unit apartemen Risty karena marah. Marah karena saat mereka sedang berjoged bersama di klub malam, aku justru menarik Risty untuk pulang. Padahal niatku ingin menjaga Risty seperti tugasku sebagai bodyguardnya. Saat aku dan Kaika sedang berbincang-bincang usai mata kuliah pertama berakhir, Risty tengah duduk bersama Richard di taman yang ada di tengah-tengah gedung fakultas kami. Bercanda tawa layaknya sejoli yang dim
Tiiiinn … tiiiin!!! “Buruan tancap gasnya, Rado! Lo mau ditabrak mobil dari belakang apa!” Risty berseru. Di belakang mobil kami, ada dua buah mobil pribadi membunyikan klakson panjang karena aksiku menginjak rem secara mendadak usai Risty mengaku kembali menjalin hubungan dengan Richard. Si mantan kekasih yang tidak setia itu. Aku kembali melajukan mobilnya tanpa arah lalu Risty mengajak singgah di salah satu apotek miliknya yang berada di daerah Binus. Setelah memarkir sedan mewahnya, aku mengikuti Risty menaiki lantai dua ruko itu. Disana ada dua ruangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan obat-obatan yang baru datang dan ruang kerja yang mirip ruang santai. Risty langsung merebahkan tubuhnya di sebuah sofa bed berwarna ungu. “Hidupin AC-nya, Do. Gue capek hari ini.” Aku menuruti perintahnya bahkan aku mengambil tas kuliahnya dan meletakkannya dengan benar di atas meja. Sedang Risty justru terlentang dengan wajah dipenuhi senyuman kemenangan. “Ziany … Ziany … . Mampus
“Maaf, Kak Al. Aku nggak bisa pulang dulu.” “Tapi Kian nyariin lo, Do. Mama kalian mau datang ke kota.” Kepalaku menggeleng pelan dengan menatap lantai apartemen Risty. “Aku nggak siap ketemu Mas Kian, Kak. Dan … aku yakin Mas Kian pasti bisa bohongin Mama kenapa aku nggak ada di rumah.” Kak Alfonso menghela nafas panjang lalu kembali menyandarkan punggungnya di sofa. “Gue nggak ngerti kalian ada masalah apa sebenarnya. Tapi apapun itu, gue harap kalian bisa menyelesaikan itu pakai kepala dingin. Gimana pun kalian tuh kakak adik.” Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutku kecuali keterdiaman. Setelah Kak Alfonso pulang dari unit apartemen Risty, mendadak aku begitu kepikiran dengan Mas Kian dan Mbak Sasha. Bayangan ulah ‘nakal’ Risty yang tadi memelukku dari belakang, tidak lagi menjadi hal yang mendominasi pikiran dan hatiku. Selama aku ikut Mas Kian ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Mama selalu berpesan agar aku benar-benar fokus kuliah agar
Pipiku terasa panas usai Risty melayangkan tamparannya. Bukan dengan wajah bersungut marah, tapi dengan wajah menantang seolah-olah dia yang paling berkuasa. “Emang lo yakin bakal hidup bahagia setelah mati bunuh diri, heh?! Non sense! Mati itu nggak menyelesaikan masalah, Rado! Tapi justru lo bakal jadi arwah gentayangan karena masalah lo di dunia nggak kelar!” “Sama satu lagi! Pede banget lo bakal masuk surga setelah bunuh diri?! Emang sejak kapan Tuhan ngasih pengampunan buat hamba yang bunuh diri, heh?!” “Ngaco!” Lalu Risty menggunakan telunjuknya untuk menunjuk dadaku. “Kalau lo ada masalah tuh bilang! Bukan diem kayak patung! Lo pikir gue paranormal yang bisa baca pikiran lo?! Hebat bener gue?!” Kemudian dia makin memangkas jarak wajah kami hingga begitu dekat lalu reflek aku memundurkan wajah dan tubuh. “Seenggaknya ngomong apa yang lagi lo pikirin! Bukan ngerecokin hubungan gue sama Richard!” Kakiku mundur selangkah demi selangkah tapi Risty justru maju selangkah demi s
“Do, gue dijemput Richard ke kampus.” Aku yang baru selesai memakai sepatu pun menoleh ke arahnya yang masih duduk di depan cermin rias sambil memoles lipstick. “Lo kalau mau bawa mobil gue juga nggak masalah. Kuncinya ada di kamar.” Tanganku kembali mengaitkan tali sepatu dengan bad mood. Sebenarnya aku ini kenapa? Kenapa begitu kesal jika Risty mengucapkan nama Richard atau ia berhubungan dengannya. “Gue berangkat.” Tanpa menunggu Risty, aku berlalu lebih dulu. Untuk apa aku menggunakan mobilnya jika aku sendiri memiliki motor. Baru saja menekan tombol lift, Risty berseru dan terpaksalah aku tidak jadi masuk lift. “Lo itu bodyguard macam apa sih?! Masak majikan ditinggalin?!” Bukannya peduli dengan ucapan Risty, aku justru memindai penampilannya pagi ini. “Ayo balik ke unit,” ucapku dengan menarik pergelangan tangannya. “Ngapain sih?! Richard udah dibawah!” protesnya. Aku tetap membanya masuk ke unit lalu melepas tangannya. “Baju lo terlalu terbuka. Masuk kamar, ganti, la
"Haaaahh ... " Aku mengambil nafas panjang usai membasuh muka berkali-kali dengan air kran di toilet cafe and lounge ini. "Risty, sialan!" geramku. Bagaimana tidak sialan? Dia menciumku di hadapan banyak orang dengan tidak tahu malu hanya untuk memenangkan tantangan Ziany. Selanjutnya aku berlalu ke toilet untuk meredam kegugupan ini. Lalu ponselku berdering dan Risty penelfonnya. "Apa?!" "Lo dimana, sih?!" "Toilet." "Gue kesana." "Ngapain? Ini toilet laki-laki, Ris!" "Siapa juga yang mau nyelonong masuk? Orang gue mau ke toilet cewek." Usai meredakan kegugupan dan ledakan keterkejutan yang baru pertama kualami hingga sebesar ini, aku memilih keluar toilet lalu bersandar di dinding. Tidak berapa lama Risty keluar dengan pakaian minimnya yang membuat mata sakit dan kepalaku pusing. Aku melepas hoodie lalu menyampirkannya dengan benar di tubuh Risty. "Thanks, gue kedinginan sebenarnya," ucapnya sambil mengeratkan hoodieku. Lalu aku mengambil mini bag-nya agar tidak ke
"Apa yang terjadi di masa lalu, itu udah selesai, Ris. Banyak hal yang nggak kamu ketahui tentang hubungan Mama dan Papa. Dan kamu hanya mendengar semua penjelasan itu dari satu sisi tanpa mau mendengar penjelasan Mama." Risty kemudian berdiri dengan wajah kesal. "Asal Anda tahu, Nyonya! Nggak pernah ada kata 'benar' dalam sebuah perselingkuhan! Kalau emang Anda nggak bisa membangun rumah tangga sama Papa, seenggaknya tuh ngomong! Bukan selingkuh sama sopir sendiri sampai hamil lalu dengan teganya bilang ke Papa itu darah dagingnya!" "Kalau begitu apa bedanya Anda sama wanita murahan, heh?!" "Risty! Jaga bicaramu!" Mamanya berseru. "Kenapa? Merasa bakal jatuh miskin ya kalau cerai dari Papa? Sopir kesayangan Anda itu gajinya nggak seberapa tapi cuma kuat di ranjang, ya kan?!" "Risty! Keterlaluan kamu!" "Aku selesai! Selesai dengan semua kebusukan dan topeng jahanammu itu, Nyonya! Jangan pernah panggil aku anakmu! Ingat itu baik-baik!" Risty berlalu kemudian aku mengikutinya ta
"Gue nggak ngerti sesakit apa rasanya ketika lo dilanda depresi, Do. Tapi yang perlu lo tahu, jangan pernah menyelesaikannya dengan jalan bunuh diri." Kemudian Risty melepas pelukan yang terasa nyaman bagiku. Ini adalah pelukan nyaman yang kudapatkan selain dari Mbak Sasha, ipar yang kucintai namun tidak bisa kumiliki. Andai Risty tahu, aku tidak ingin dia melepas pelukan tadi. "Yang lo butuhin ketika depresi itu datang cuma teman yang bisa lo jadiin sandaran. Teman yang bisa ngasih lo pelukan menenangkan." Ya, Risty benar. Bahwa sebuah pelukan itu memiliki kekuatan ajaib yang membuat seseorang merasa tidak lagi sendiri. Kemudian otak dengan cepat dipenuhi ion positif yang membuat suasana hati mendadak begitu tenang. "Yuk, duduk di luar." Aku menuruti perintahnya kemudian duduk di bangku kayu hutan kota GBK. Kami tidak sendiri, karena ada pengunjung lain yang juga datang ke tempat ini. "Waktu perselingkuhan nyokap gue terbongkar, itulah awal terjadinya badai dalam hidup gue. Y
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut