“Apa yang terjadi?” Sabda menyodorkan berkas di depan Budiman. “Kenapa Kalingga nggak punya saham lagi di Warta? Kenapa pecah kongsi dan kapan?”Budiman hanya melirik berkas tersebut, tanpa berminat menyentuhnya. “Pertama, kenapa kamu tiba-tiba mencari tahu berita 15 tahun lalu di ruang server waktu itu? Kedua, besoknya, kamu dan Indah ada di ruang server. Ketiga, mau apa kamu ke kantor Wahyu dan membawa beberapa arsip masa lalu? Apa yang sedang diinvestigasi, Sab? Sebagai dirut, aku minta tolong, jelaskan secara profesional. Apa yang “timmu” lakukan?”Ternyata, pergerakan Sabda sedang diawasi. Oleh papanya sendiri.Mengenai ruang arsip di Firma Sadhana, sudah pasti Wahyu yang melaporkan hal tersebut pada Budiman. Sabda sudah yakin dan tidak perlu lagi mempertanyakannya.“Jawab pertanyaanku, Pa.” Sadar, pembahasan mereka akan panjang, Sabda akhirnya duduk di kursi yang berseberangan dengan Budiman. “Aku bicara sebagai anak dan lupakan profesionalisme. Kenapa pecah kongsi dengan Kaling
“Sorry, telat!” Sabda menghampiri sang mama yang duduk di sofa taman dan memeluknya. Kemudian, ia hanya memberi anggukan pada Budiman, lalu mempersilahkan Indah menyapa kedua orang tuanya. “Kami ke kantor bentar.”Indah menghampiri Syifa lebih dulu untuk menyapa, disusul Budiman kemudian. Setelah itu, Ia mengikuti Sabda yang sudah lebih dulu duduk di sofa panjang yang berseberangan dengan Wahyu dan April.Indah menatap tajam pada April yang tampak terkejut dan terlihat berang. Wanita itu sepertinya tidak tahu menahu, mengenai kedatangan Indah ke kediaman Wisesa. Sementara itu, Sabda sudah memberitahu perihal kehadiran Wahyu dan April pagi tadi kepadanya.“Wahyu sama April juga baru datang,” ujar Syifa. “Baru juga duduk, terus kalian nyusul.”“Ma, tolong minta bibik percepat makan siangnya,” pinta Budiman pada sang istri sembari memberi anggukan kecil.Merasa ada yang janggal dengan permintaan Budiman, Syifa pun tidak bisa menolak. Pasti ada yang hendak dibicarakan dengan Sabda dan Wahy
“Aku nggak bisa kamu bohongi.” April bersedekap, setelah memastikan Budiman dan Darwin hilang dari pandangan.Saat ini, penampilan Indah kembali berubah. Dengan rambut terurai dan pakaian yang terlihat rapi, April bisa bilang gadis itu lumayan menarik. Sama seperti sosok Indah, yang April temui pada malam resepsi pernikahannya dengan Wahyu.“Pril, kita sudah bahas ini sebelumnya,” sahut Sabda tidak ingin membuat keributan apa pun di kediaman orang tuanya. “Kamu sudah salah paham.”“Santai, Sab.” April tersenyum. Kendati wajahnya menunjukkan ketidaksukaan, tetapi nada bicara April tetap tenang. “Aku juga nggak mau marah-marah.”“Kamu memang nggak marah-marah,” celetuk Indah yang juga bersikap tenang. Andai April tidak mengutus orang untuk mengancam dan melukainya malam itu, Indah mungkin tidak akan sebenci ini pada sepupunya. “Tapi langsung main belakang. Seperti pengecut.”Wahyu memilih diam dan melihat sejauh mana kedua wanita itu berdebat siang ini. Kedua wanita itu tampak serupa, t
Darwin menatap Wahyu yang tiba-tiba masuk ke dalam mobilnya, lalu duduk di sebelahnya dengan wajah tanpa dosa.“Sebentar, Rey.” Darwin menatap sopirnya dari kaca spion tengah mobil.“Jalan, Pak,” titah Wahyu pada sopir papanya. “Aku ikut papa pulang.”Rey berbalik. Menatap Darwin terlebih dahulu, untuk meminta persetujuan. Ketika pria itu mengangguk, barulah Rey kembali ke posisi semula dan mulai menjalankan mobilnya.“Ke mana April?”“Aku minta sopir om Budiman antar dia pulang.”Darwin sedikit memutar tubuh. Menatap ke bagian teras Budiman yang sudah ditinggalkannya. Karena tidak melihat Apri di sana, maka ia kembali ke posisinya dan berdecak.“Bicaralah,” titah Darwin mengerti dengan gelagat putranya.“Papa ke sini bukan cuma untuk ketemu om Budiman,” tembak Wahyu tanpa basa-basi. “Nggak perlu ditutupi, karena aku sudah tahu semuanya.”Darwin terkekeh. Tidak ingin terjebak dalam permainan Wahyu, maka ia pun bertanya balik. “Memangnya, apa yang kamu tahu?”“Indah.” Wahyu tidak melep
“Kamu adalah—”“Jangan asal tebak,” potong Indah menepis kasar tangan Wahyu, sebelum pria itu menyebut satu nama. “Kamu nggak—”“Anggun Kalingga.” Wahyu balik memotong perkataan Indah. Sungguh-sungguh memperhatikan ekspresi gadis itu, agar tidak ada yang meleset dari pengamatannya.Benar saja. Wajah yang tadinya terkesan pongah itu, meskipun tetap terlihat tenang, sempat menunjukkan sedikit ketegangan di sudut mata. Perubahan kecil itu, cukup bagi Wahyu untuk menyadari bahwa dugaannya benar.“Cobalah berkelit kalau kamu bisa,” tantang Wahyu dengan keyakinan yang semakin kuat. Semua teka-teki yang sempat membuatnya bingung, kini mulai tersusun dengan jelas.Budiman sudah menaruh curiga lebih dulu. Sementara Darwin, datang ke kediaman Wisesa untuk memperjelas dugaan Budiman. Sedangkan Sabda, pria itu pasti sudah mengetahuinya lebih dulu.“Sabda sudah tahu lebih dulu.” Wahyu memperpendek jarak. Cukup salut dengan Indah karena gadis itu kembali tidak bergeser sedikit pun. “Karena itulah, k
“Aku lapar,” ujar Indah setelah selesai dari kamar mandi. Berhenti di sisi kitchen island, yang berseberangan dengan Wahyu. Sengaja menjaga jarak, agar pria itu tidak bisa menjangkaunya sama sekali. “Bisa pesankan aku makan sebelum kamu pergi? Kamu nggak mau, kan, pulang-pulang terus nemu mayatku di rumahmu ini.”“Nggak ada ceritanya orang mati kalau nggak makan malam.” Wahyu heran, mengapa rasa percaya diri Indah masih begitu besar, meskipun dalam keadaan terhimpit seperti sekarang.“Aku punya maag.” Indah menepuk pelan perut bagian atasnya dua kali. “Waktu di Surabaya, aku sering telat dan jarang makan karena semua hartaku dicuri sama papa mertuamu. Daripada nanti aku muntah-muntah di rumahmu—”“Nanti ada orangku yang beli.” Astaga, mulut Indah itu, benar-benar membuat Wahyu geregetan.“Pesankan aku steak kalau gitu,” ujar Indah cuek. “Yang paling mahal. Aku juga mau lobster di masak apa aja, terserah. Nggak usah pake nasi. Terus sama Korean Strawberry satu kotak. Oia, steaknya dua.
“Halo, Om,” kata Wahyu, menjawab panggilan melalui layar di dashboard mobilnya. Ia sedang mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah, setelah pergi menemui Sabda. Hasil pembicaraan dengan pria itu ternyata sangat di luar dugaan. Wahyu seperti tidak mengenal Sabda dan sikap pria itu hampir-hampir seperti Indah. Tidak bisa ditebak.“Di mana?”“Di jalan, kenapa?”“Sama April?”“Sendiri, aku mau pulang.”“Aku juga di jalan, menuju rumahmu.”“Kita bisa ketemu di luar, daripada harus—”“Ada yang harus aku temui di sana.”Wahyu mengumpat dalam hati. Apa yang ada di pikiran Indah sebenarnya, sampai-sampai gadis itu berani menelepon Budiman?Gadis itu benar-benar gila!Isi pikirannya sungguh tidak bisa di tebak sama sekali.Alih-alih nekat menghubungi Sabda, Indah justru menelepon Budiman.“Kenapa om sampai repot-repot datang ke rumahku untuk nemui dia?” selidik Wahyu harus segera mengetahui semua yang terjadi di masa lalu, agar pikirannya tidak semakin sesak.“Telpon orangmu, Yu,
“Karena apa?” buru Budiman.Setidaknya, Budiman sudah bisa menebak perihal amarah yang ditunjukkan Wahyu. Firasatnya tidak salah, pertikaian yang terjadi antara Wahyu dan Sabda dikarenakan oleh Indah. Kedua pria itu sama-sama menyukai Indah, tetapi Wahyu sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Keponakannya itu sudah menikah, sehingga melampiaskan kekesalannya pada Sabda dan Indah sekaligus. Wahyu menolak memberi suara pada Sabda dalam rapat direksi, lalu mengurung Indah di kediamannya.Perbuatan Wahyu kali ini, benar-benar tidak masuk di akal. Pria yang terkenal dengan pemikiran logisnya, akhirnya jatuh terjerat karena masalah hati.“Om, dia nggak bisa menuntut apa-apa.” Wahyu mengalihkan pembicaraan, karena tidak mampu menjelaskan bentuk perasaannya saat ini. “Walaupun ratusan bukti sudah ada di depan mata, Indah nggak bisa mengambil apa pun dari keluarga Kalingga, karena dia sudah menghilang di atas 10 tahun dan sudah dinyatakan meninggal. Secara hukum—”“Kita lakukan secara kekeluarga
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk