Bab 17: Pilihan ElliotMelihat tulisan itu ditunjukkan kepadanya, membuat Elliiot bingung.“Apa maksudmu? Perkataannya pasti hanya kebohongan belaka”, elaknya.Selene kembali menulis, ‘Jawab saja! Iya atau tidak?’Elliot terdiam, tak mampun untuk menjawab. Namun sepertinya Selene tahu jawabannya.Gadis itu pun melengos pergi. Elliot sempat menarik tangannya namun ditepis oleh Selene. Gadis itu kini kembali mengurung diri di kamarnya.-Bibi Elina yang kecewa dengan acara jamuan makan malam itu kini tengah membereskannya sendirian, Elliot sudah pulang beberapa saat yang lalu. Namun ia berusaha untuk tetap tegar.Setelah selesai dengan tugasnya di dapur, ia pun hendak menemui Selene di kamarnya. Ia ketuk pintu kamar gadis itu dan memanggilnya dengan lembut.“Selene, apakah aku boleh masuk?”Tak ada isyarat apapun dari Selene. Namun pintunya yang tidak terkunci menandakan bahwa Selene memperbolehkannya untuk masuk. I
Sudah seminggu berlalu sejak kepergian Selene, ia merasa hampa dan kesepian. Ia bingung dengan perasaannya, di satu sisi dia tak ingin kehilangan Selene namun di sisi lain dia membenci duyung.“Elliot, sudah lama aku tidak melihatmu, apa kau baik-baik saja?”, tanya seorang pria yang lebih tua dari Elliot, Sean, dia adalah nelayan yang terkadang melaut bersama Elliot. Sean mendekati Elliot yang tengah duduk di kursi depan sebuah bar.Elliot hanya menatap Sean tanpa menjawabnya, lalu meminum habis segelas besar bir di atas meja. Lalu ia mengangkat tangannya dan memanggil pelayan, untuk meminta tambahan segelas bir lagi.Sean menghentikan tangan Elliot yang hendak meminum kembali segelas bir di tangannya. “Berhenti Elliot, sepertinya kau sudah terlalu banyak minum”Elliot menepis tangan temannya itu dan kembali meneguk minuman beralkohol itu. Sean mendengus kesal, melihat tingkah rekan kerjanya yang kini sudah mulai mabuk berat dan tidak mau dibantu.
Malam itu, Selene, seorang putri duyung bersuara indah tengah duduk di atas batu di pesisir pantai. Dirinya sedang mengenang kehidupan sebagai manusia yang pernah ia jalani seminggu yang lalu.Kini kakinya sudah kembali menjadi ekor duyung, dan tentu saja suaranya pun sudah kembali seperti semula. Semua itu berkat Nerissa, sang ratu duyung, yang membantunya mendapatkan kembali kehidupannya sebagai seorang putri duyung.Malam tampak begitu sepi ditemani dengan hembusan angin malam yang dingin. Namun kedua iris birunya itu menangkap sesosok manusia yang sangat familiar baginya.Pakaiannya terlihat sangat berantakan dengan kumis dan jenggot yang sepertinya sudah lama tidak dicukur. Ia berjalan gontai dengan muka memerah. Sepertinya pemuda itu sedang tidak baik-baik saja.Selene tadinya hendak kembali ke lautan, namun perkataan pemuda itu, Elliot, membuatnya mengurungkan niatnya.“Sepertinya aku mulai berhalusinasi lagi… Selene, walaupun k
“Karena aku sudah mengandung janinnya Elliot”Selene terdiam sejenak, wajahnya pucat pasi. Dia seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.Tubuhnya terasa lemas, hingga ia gunakan batu besar di belakangnya sebagai sandaran.“Jangan pernah mengharapkan kedatangannya sekarang, karena dia harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ia perbuat”, lanjut Isabella lalu berlalu pergi.-Dua jam sebelumnya, Frederick yang memperhatikan Selene dari jauh mulai merasa khawatir. Di satu sisi ia khawatir Selene akan bersedih jika Elliot tidak datang, tapi di sisi lain ia akan merasa sangat bersyukur jika Elliot tidak datang dan Selene menyerah dengan cintanya.Kemudian duyung itu berenang pergi ke arah lain. Frederick pergi ke arah selatan, berkebalikan dengan posisi Selene sekarang yang berada di utara. Dan tak disangka-sangka, di sana ada Elliot yang tengah duduk melamun sambil memegang sebotol minuman di tangannya.Kin
Matahari pagi itu bersinar lembut, menyelimuti kediaman keluarga Grace dengan kilauan keemasan. Elliot berdiri di dekat altar, mengenakan setelan tuxedo hitam yang membuatnya tampak gagah. Namun, ekspresi wajahnya tak dapat menyembunyikan kegelisahan yang menyelimutinya.Mata coklatnya yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong. Di tangannya, ia menggenggam erat cincin pernikahan yang seharusnya menjadi simbol cinta abadi. Tapi bagi Elliot, cincin itu lebih menyerupai beban, sebuah pengingat bahwa hari ini bukan tentang cinta, melainkan tanggung jawab.Tamu-tamu mulai berdatangan, berbicara dengan nada kagum tentang kemeriahan dan kemewahan acara ini. Namun, suara mereka hanya terdengar seperti gumaman jauh di telinga Elliot.Di ruangan lain, Isabella tengah berdiri kagum, memandangi dirinya sendiri di depan cermin besar. Gaun pengantin putihnya berkilauan, dihiasi bordir bunga yang menjalar hingga ke ekor gaun. Dia begitu kagum melihat gaunnya yang indah, bukan hanya gaun, namu
Frederick mengulurkan tangan. “Selamat untuk kalian berdua. Perkenalkan, aku Frederick”Entah kenapa Elliot merasa amat tidak suka dengan Frederick. Apalagi Frederick yang terlihat begitu dekat dengan Selene, rasanya membuat hatinya panas."Apa hubunganmu dengan Selene?" tanpa membalas ucapan dari Frederick, Elliot langsung menanyakan hubungan antara Frederick dan Selene.Selene yang hendak menjawab pertanyaan dari Elliot terhenti karena tangan besar Frederick yang tiba-tiba menarik tubuh kecilnya untuk lebih mendekat padanya. Frederick melontarkan seringaian yang seakan-akan mengejek pria yang sudah berstatus sebagai suami Isabella itu."Menurutmu?"Mendengarnya membuat Elliot benar-benar kesal hingga mengepalkan erat tangannya dan menonjolkan urat-urat di tangannya.Melihat reaksi suaminya, Isabella mengalungkan tangannya ke lengan Elliot dan berkata dengan senyuman yang agak dipaksakan, "Terima kasih atas ucapannya, silahkan nikmati pestanya"Frederick dan Selene pergi meninggalkan
Seorang pria baruh baya nampak berlari mendekati seorang gadis yang kini tengah berdiri di ujung dermaga. Gadis berkepang dua itu berdiri mematung menghadap lautan, kedua matanya menatap dengan kagum lautan biru di hadapannya dengan kedua pipi yang dihiasi semburat merah.Pria paruh baya itu nampak kelelahan mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di belakang gadis yang merupakan putri semata wayangnya itu."Dimana dia? Dia berhasil kabur?", tanyanya setelah melihat jaring ikan di kapalnya kosong dan sudah terpotong sana sini."Aegon...", Elina menggumamkan nama duyung tadi dengan sangat pelan dan tak terdengar oleh ayahnya yang tengah panik karena tangkapannya berhasil kabur.-"Ayah, kenapa manusia memburu duyung?"Di tengah-tengah makan malam tiga orang manusia di meja makan itu, seorang Elina Baker melontarkan pertanyaan yang tidak biasa. Ayahnya yang tadinya tengah memotong daging
"Ba- bagaimana bisa?"Elina membelalak, kaget karena tiba-tiba jarinya yang terluka sudah tidak terasa sakit, bahkan ketika ia lihat dengan seksama luka goresannya pun sama sekali tak terlihat. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Aegon dan kembali memastikan jarinya dari jarak yang lebih dekat."Darah duyung bisa jadi obat untuk makhluk hidup lain", ujar Aegon sembari mengelap darahnya yang masih menetes dari bibirnya yang penuh dan terdefinisi.Elina menatap kagum duyung di depannya itu, lalu ia kembali teringat akan perkataan ayahnya mengenai air mata duyung dan bencana di lautan. "Aegon, bolehkah aku bertanya?"Aegon mengangkat kedua alisnya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu""Apakah benar bencana di lautan disebabkan oleh kaum duyung?", tanya ElinaAegon menempelkan tangannya di dagu dan berpikir sejenak, "Bisa iya, bisa juga tidak"Gadis keluarga Baker itu mengerutkan kedua alisnya, tak puas dengan jawaban Aegon. "Mak
Posisi Elina kini terduduk di atas pasir dengan posisi kedua kakinya yang terbuka lebar. Walaupun ia belum pernah melahirkan, namun instingnya mengatakan ia harus mengatur nafas dan mengejan untuk melahirkan bayinya. Hingga akhirnya sebuah kepala disusul dengan badan yang lengkap menyembul keluar dari bawah sana. Dengan cepat Elina meraih dan memeluk bayi kecilnya yang masih berlumuran darah. Rasa lelah setelahnya membuat kesadaran gadis itu mulai menurun, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. - Elina yang tak sadarkan diri kini tengah berbaring di sebuah ranjang di suatu ruangan kecil. Suara burung berkicau di pagi hari mulai mengusik gadis itu. Perlahan ia tersadar dan teringat akan kejadian malam itu, malam dimana ia melahirkan bayinya. Lantas ia langsung terbangun dan mencari-cari keberadaan bayinya. Matanya melirik ke sana ke mari, namun sosok yang ia cari tak nampak keberadaannya. Bahkan ia sempat berpikir apakah tadi malam ia sedang bermimpi? Namun karena rasa sakit di
Elina yang mendengar suara pelan Aegon, bukannya pergi tapi langsung berlari ke arah duyung itu. Sambil menangis ia menyentuh pipi Aegon yang dingin dan sudah dipenuhi luka."Aegon... Maafkan aku...", isaknya sambil menunduk."Sepertinya sekarang aku tahu cara agar memuatnya menangis dan mengeluarkan mutiara", ucap pria di belakang Elina."Iya benar, dari tadi kita sudah menyiksanya hingga membuat dia berteriak kesakitan tapi tak satu tetes pun air mata dia keluarkan", timpal temannya yang membawa pisau.Mendengar hal itu, Elina langsung membalikkan badannya. Menatap marah akan perbuatan kedua orang itu terhadap Aegon, namun ada secercah ketakutan juga dari matanya karena kedua pria itu kini perlahan melangkah mendekatinya.Sembari melangkah dan memainkan pisau di tangannya, pria itu berkata, "Tak ada salahnya mengorbankan satu nyawa demi kesejahteraan banyak orang bukan?"Pria satu lagi menarik Elina dan mengarahkan pisau yang ia keluarkan dari balik celananya ke arah leher gadis itu
Suara teriakan disertai ketukan keras terdengar dari suatu ruangan di kediaman keluarga Baker.lina, gadis yang sengaja dikurung oleh ayahnya di kamarnya itu, sesekali memohon kepada ayahnya agar tak menyakiti pria yang ia cintai. "Ayah, kumohon buka pintunya... jangan sakiti Aegon"Suaranya yang parau menandakan ia sudah menangis begitu lama, bahkan tenaganya pun mulai terkuras habis. Ketukannya semakin melemah dan ia pun terduduk di balik pintu.Sang ibu terdengar ikut menangis dari luar, tak tega melihat kondisi anaknya. "Ayah, apa harus seperti ini? Aku takut Elina melakukan sesuatu yang buruk"Sang ayah yang tengah duduk di kursi meja makan menggebrak meja dengan keras, "Tak ada yang lebih buruk dari mencintai kaum duyung terkutuk!"Sementara itu di tempat lain, di suatu ruangan gelap, dimana hanya cahaya dari rembulan yang bisa masuk melalui celah-celah jendela, sesosok duyung tengah tergantung di tembok. Tangan kanan dan kirinya di ikat di tembok, dan ekornya dibiarkan menjun
"Ba- bagaimana bisa?"Elina membelalak, kaget karena tiba-tiba jarinya yang terluka sudah tidak terasa sakit, bahkan ketika ia lihat dengan seksama luka goresannya pun sama sekali tak terlihat. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Aegon dan kembali memastikan jarinya dari jarak yang lebih dekat."Darah duyung bisa jadi obat untuk makhluk hidup lain", ujar Aegon sembari mengelap darahnya yang masih menetes dari bibirnya yang penuh dan terdefinisi.Elina menatap kagum duyung di depannya itu, lalu ia kembali teringat akan perkataan ayahnya mengenai air mata duyung dan bencana di lautan. "Aegon, bolehkah aku bertanya?"Aegon mengangkat kedua alisnya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu""Apakah benar bencana di lautan disebabkan oleh kaum duyung?", tanya ElinaAegon menempelkan tangannya di dagu dan berpikir sejenak, "Bisa iya, bisa juga tidak"Gadis keluarga Baker itu mengerutkan kedua alisnya, tak puas dengan jawaban Aegon. "Mak
Seorang pria baruh baya nampak berlari mendekati seorang gadis yang kini tengah berdiri di ujung dermaga. Gadis berkepang dua itu berdiri mematung menghadap lautan, kedua matanya menatap dengan kagum lautan biru di hadapannya dengan kedua pipi yang dihiasi semburat merah.Pria paruh baya itu nampak kelelahan mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di belakang gadis yang merupakan putri semata wayangnya itu."Dimana dia? Dia berhasil kabur?", tanyanya setelah melihat jaring ikan di kapalnya kosong dan sudah terpotong sana sini."Aegon...", Elina menggumamkan nama duyung tadi dengan sangat pelan dan tak terdengar oleh ayahnya yang tengah panik karena tangkapannya berhasil kabur.-"Ayah, kenapa manusia memburu duyung?"Di tengah-tengah makan malam tiga orang manusia di meja makan itu, seorang Elina Baker melontarkan pertanyaan yang tidak biasa. Ayahnya yang tadinya tengah memotong daging
Frederick mengulurkan tangan. “Selamat untuk kalian berdua. Perkenalkan, aku Frederick”Entah kenapa Elliot merasa amat tidak suka dengan Frederick. Apalagi Frederick yang terlihat begitu dekat dengan Selene, rasanya membuat hatinya panas."Apa hubunganmu dengan Selene?" tanpa membalas ucapan dari Frederick, Elliot langsung menanyakan hubungan antara Frederick dan Selene.Selene yang hendak menjawab pertanyaan dari Elliot terhenti karena tangan besar Frederick yang tiba-tiba menarik tubuh kecilnya untuk lebih mendekat padanya. Frederick melontarkan seringaian yang seakan-akan mengejek pria yang sudah berstatus sebagai suami Isabella itu."Menurutmu?"Mendengarnya membuat Elliot benar-benar kesal hingga mengepalkan erat tangannya dan menonjolkan urat-urat di tangannya.Melihat reaksi suaminya, Isabella mengalungkan tangannya ke lengan Elliot dan berkata dengan senyuman yang agak dipaksakan, "Terima kasih atas ucapannya, silahkan nikmati pestanya"Frederick dan Selene pergi meninggalkan
Matahari pagi itu bersinar lembut, menyelimuti kediaman keluarga Grace dengan kilauan keemasan. Elliot berdiri di dekat altar, mengenakan setelan tuxedo hitam yang membuatnya tampak gagah. Namun, ekspresi wajahnya tak dapat menyembunyikan kegelisahan yang menyelimutinya.Mata coklatnya yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong. Di tangannya, ia menggenggam erat cincin pernikahan yang seharusnya menjadi simbol cinta abadi. Tapi bagi Elliot, cincin itu lebih menyerupai beban, sebuah pengingat bahwa hari ini bukan tentang cinta, melainkan tanggung jawab.Tamu-tamu mulai berdatangan, berbicara dengan nada kagum tentang kemeriahan dan kemewahan acara ini. Namun, suara mereka hanya terdengar seperti gumaman jauh di telinga Elliot.Di ruangan lain, Isabella tengah berdiri kagum, memandangi dirinya sendiri di depan cermin besar. Gaun pengantin putihnya berkilauan, dihiasi bordir bunga yang menjalar hingga ke ekor gaun. Dia begitu kagum melihat gaunnya yang indah, bukan hanya gaun, namu
“Karena aku sudah mengandung janinnya Elliot”Selene terdiam sejenak, wajahnya pucat pasi. Dia seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.Tubuhnya terasa lemas, hingga ia gunakan batu besar di belakangnya sebagai sandaran.“Jangan pernah mengharapkan kedatangannya sekarang, karena dia harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ia perbuat”, lanjut Isabella lalu berlalu pergi.-Dua jam sebelumnya, Frederick yang memperhatikan Selene dari jauh mulai merasa khawatir. Di satu sisi ia khawatir Selene akan bersedih jika Elliot tidak datang, tapi di sisi lain ia akan merasa sangat bersyukur jika Elliot tidak datang dan Selene menyerah dengan cintanya.Kemudian duyung itu berenang pergi ke arah lain. Frederick pergi ke arah selatan, berkebalikan dengan posisi Selene sekarang yang berada di utara. Dan tak disangka-sangka, di sana ada Elliot yang tengah duduk melamun sambil memegang sebotol minuman di tangannya.Kin
Malam itu, Selene, seorang putri duyung bersuara indah tengah duduk di atas batu di pesisir pantai. Dirinya sedang mengenang kehidupan sebagai manusia yang pernah ia jalani seminggu yang lalu.Kini kakinya sudah kembali menjadi ekor duyung, dan tentu saja suaranya pun sudah kembali seperti semula. Semua itu berkat Nerissa, sang ratu duyung, yang membantunya mendapatkan kembali kehidupannya sebagai seorang putri duyung.Malam tampak begitu sepi ditemani dengan hembusan angin malam yang dingin. Namun kedua iris birunya itu menangkap sesosok manusia yang sangat familiar baginya.Pakaiannya terlihat sangat berantakan dengan kumis dan jenggot yang sepertinya sudah lama tidak dicukur. Ia berjalan gontai dengan muka memerah. Sepertinya pemuda itu sedang tidak baik-baik saja.Selene tadinya hendak kembali ke lautan, namun perkataan pemuda itu, Elliot, membuatnya mengurungkan niatnya.“Sepertinya aku mulai berhalusinasi lagi… Selene, walaupun k