"Mas, lepas, Mas, aku malu. Aku takut nanti Bi Niken melihat kita. Tak sopan nantinya," suruh Sera. "Aku rindu kamu, jadi tolong biarkan aku memelukmu seperti ini," kata Dika. Antara risih dan tidak. Tapi, menyuruh Dika adalah hal yang sulit. "Kamu tahu tidak?" ucap Dika. "Apa?" tanya Sera. "Kalau aku sudah menyuruh Bi Niken pergi liburan," jawab Dika. "Apa?" bola matanya melotot. "Kenapa tiba-tiba?" ucap Sera. "Tidak apa-apa. Aku merasa kasihan dengannya karena sudah mengalami berbagai macam masalah di rumah ini, kurasa dia pantas untuk kukasih piknik," kata CEO itu. "Hm, aku kadang tak mengerti jalan pikirmu," ucap Sera. "Biarkan aku saja yang mengerti," sahut Dika. "Cih, gombal!" celetuk Sera. "Sudahlah, lepaskan tanganmu, perutku sakit jika terus seperti ini!" tukas Sera. "Lalu, maunya bagaimana?" Dika menggodanya. "Mas!" kesal Sera. Jika seperti itu apa Dika melepaskannya? Tidak. "Aku rind
"Assalamualaikum, Sera?" sapa Rani. Sera dengan riang menjawab salam mamanya. "Waalaikumsalam, Ma," sahut Sera. "Sera, bagaimana kabar kamu dan suamimu? Apa kalian tak bertengkar lagi? Dika bilang kamu sudah kembali ke rumah," ungkar Rani. "Hm, Sera sudah pulang, Ma. Maafkan Sera sudah membuat kalian berdua khawatir. Mas Dika dan Sera sudah baikkan. Kami juga akan mengadakan penyambutan tamu hotel nanti," ungkap Sera. "Benar kamu, Sera?" ucap Rani. "Iya, Ma. Sera tak akan mengulangi perbuatan yang kemarin lagi, Sera tidak akan pergi dari rumah," ujar Sera. "Jika kamu memang benar-benar ada masalah dengan Dika, tolong selesaikan dengan cara yang baik. Kalian sudah sama-sama dewasa. Mama harap Sera mau belajar. Begitu juga Dika," ceramah Rani. "Iya, Ma, Sera akan melakukannya," sahut Sera. "Baiklah, Mama tutup teleponnya. Jangan bertengkar lagi," pesan Rani, "assalamualaikum," salam Rani. "Waalaikumsalam," jawa
"Kamu wanitaku," ucap pria itu menyeringai. Dia berbisik pada perempuan yang tengah bergoyang-goyang di depannya. Lelaki itu juga ikut menari-nari.Kelab malam di pusat kota Jakarta yang terkenal itu tak pernah sepi pengunjung atau pelanggan. Dan wanita yang sempat menjadi pelanggan sejati di kelab itu kembali datang lagi setelah sekian lama tak berkunjung. Namun, kedatangannya bukanlah untuk hura-hura. Bukan untuk bersenang-senang. Melainkan dia mencari seseorang pria yang membuatnya harus datang ke tempat tersebut. Pria itu juga yang pertama kali memperkenalkan tempat itu. Tidak melihat di dance floor. Di mana lelaki? Biasanya dia akan senang datang dan berdansa-dansa di tempat tersebut. "Aku tak bisa melakukannya di sini," ucap wanita itu. "Bukankah sebaiknya kita menyewa kamar?" tanya pria bule itu. Perempuan itu mengedipkan matanya. Leon, ya, dia menarik tangan wanita itu dan segera menyewa kamar untuk mereka berdua. Padahal mereka ba
Sudah hampir tiga bulan, rumah tangga Sera berjalan begitu sangat baik. Mereka saling menguatkan, romantis dan memberi kebahagiaan satu lain. Tak ada yang mengganggu rumah tangganya seperti dahulu lagi. Rumah tangga yang begitu Sera idam-idamkan pelan-pelan tercapai. Dika tak lagi cuek, Dika mau mengakui dan begitu mencintai Sera. Sera merasakan ketulusan cinta yang diberikan Dika. Lelaki itu selalu memiliki cara tersendiri dalam memberikan kebahagiaan, terlihat dingin nyatanya hangat di dalam. Intinya, Sera begitu bahagia hidup dengan Dika. "Sera, Sera," ucap Nindy memanggil. Wanita itu baru saja menerima kiriman bucket bunga mawar merah yang dikirim untuk Sera. "Wangi sekali!" serunya. "Sera, keluarlah," titah Nindy. Dia ingin menyentuh bunga itu. Tetapi, dia sadar kalau bunga itu milik orang lain. "Ya, Nin," Sera datang menghampiri. "Ada kiriman bucket mawar untukmu," Nindy memberikan bunga tersebut pada Sera. Sera tersenyum manis, "te
"Terima kasih, Mas," ucap Sera. "Kamu tak marah?" Dika mengusap wajah Sera dengan tangan kanannya. "Tidak, Mas. Bagiku kamu sudah bersikap adil. Kamu sudah membantunya. Itu lebih dari cukup," ujar Sera. "Itu semua aku lalukan karena kamu, Se. Kamu selalu baik sama orang yang sudah begitu jahat padamu, apa kamu tak memiliki rasa benci, Se?" ucap Dika. "Aku mungkin marah, Mas. Hanya saja aku ingin menolongnya. Entahlah, aku merasa kasihan saja dengannya," ujar Sera. Dika memang memberi bantuan pada wanita itu. Namun, dia tak mengizinkan Lia untuk bekerja di hotel lagi. Dika begitu sangat menghargai Sera. Meski Sera memaksa untuk menerima perempuan itu bekerja lagi, namun dia memiliki cara lain. Dia tak ingin berada dalam satu lingkungan dengan perempuan itu. Dia sudah berikan unag lebih dari cukup untuk Lia sampai beberapa bulan ke depan. Setelahnya, terserah wanita itu bagaimana. Lagi pula itu bukan tanggung jawab Dika. Dia menol
Hampir 1 tahun menikah dengan Dika, Sera sudah merasakan manis asam garam pernikahannya. Ada saja masalah yang menimpa meski tak ada lagi orang ketiga dalam hubungannya. Sera menerima tawaran Dika untuk mengantarkannya pergi ke butik sekalian lelaki itu pergi ke kantor. Dia sudah tak mendiamkan suaminya.Sikap Sera semalam, pagi ini telah berubah lagi pada sikap normal Sera. Wanita itu merasa lebih tenang. Dia mencium punggung tangan suami dan berpamitan sebelum masuk ke butik. "Assalamualaikum, Mas. Semangat kerjanya. Bekal yang aku masak jangan lupa dimakan," suruh Sera. "Hm, waalaikumsalam, kabari aku nanti pulang jam berapa biar aku jemput," ujar Dika. Sera mengangguk, "iya, Mas. Hati-hati," titah Sera. Dika mengangguk. "Se," ucap Dika sebelum Sera keluar dari pintu. Dika menahan tangan wanitanya. "Semangat kerjanya," Dika memberi kecupan singkat di punggung tangan sang istri. Hal itu membuat Sera tersenyum. "Sudah, pergilah,
Sera menolak tawaran Dika untuk ke rumah sakit. Dia hanya perlu istirahat di rumah. Sera benar-benar tertidur pulas setelah pertemuan dengan klien Dika. Dia mungkin benar-benar kelelahan. Lantas, Dika pun begitu. Menemani sang istri tidur hingga pagi. Hari berikutnya, Sera dan suaminya quality time di hari minggu. Dari bangun tidur, sarapan bersama, memutuskan untuk jogging di sekitar kompleks. Lalu, mengambil foto di lapangan hijau yang ada di sekitar rumahnya. Sera merasakan beban-bebannya terangkat. Melupakan masalah yang dia pendam. Dika juga mengajak Sera makan es krim di kedai. Sera begitu senang makan es krim terutama rasa strawberi. "Kamu senang, Se?" tanya Dika. Sera mengangguk, senyumnya mengembang, deretan giginya yang putih terpampang nyata. "Aku senang, Mas. Seolah beban-bebanku hari ini terlupakan," aku Sera. "Mau ke mana lagi setelah ini?" tanya Dika. Lalu, Sera menyarankan untuk ke Dufan. Menikmati waktu ber
Sera menangis dalam dekap suaminya. Dia sudah mencoba tes kehamilan dengan tespack, nyatanya hasilnya belum ada. Jadi, sadar kalau Sera hanyalah sekedar masuk angin."Sayang, sabar, Se," Dika tak berhenti membujuk Sera untuk berhenti menangis. Sera tak tahu, rasanya dia sudah senang kalau dia bisa hamil. Tapi, masih belum waktunya. "Aku akan temani kamu, istriku. Kamu tidak sendiri, jangan menangis," Dika tak menyerah untuk tetap mendiamkan Sera. Untuk tidak merasa bersedih terus-menerus. Sera tetap terisak. Faktanya Sera begitu mendambakan buah hati. Dika menuntun Sera untuk duduk di tepian ranjang. Lelaki itu memeluknya erat. "Ta-takut, Mas. Aku takut aku takkan hamil. Lagi-lagi hasilnya negatif," ucap Sera."Tak apa-apa. Aku akan selalu menemani kamu. Kita berdoa yang kencang dan usaha yang keras, ya?" ucap Dika. Sera tak menjawab. Sibuk menangis. Tak berapa lama kembali bersuara dan membuat Dika terkejut. "Mas, kenapa kamu tak
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita