AAARRRH SEBEL BANGET SAMA DIKA! Kalian gitu juga kan? Please, Sera be strong! Jangan lupa tinggalkan komentar yang baik baik. Like juga ya...kalau bisa share juga. THX YA, READERS RAKA OR KARA
Sera tidak salah lihat! Entah sudah berapa kali air matanya akhir-akhir ini terjatuh. Dan itu penyebabnya adalah suaminya sendiri. Bukankah kemarin wanita itu sudah datang? Lantas, kenapa tiba-tiba pagi-pagi sekali Lia, berada di kamar sang suami? Dika bahkan belum terbangun dari tidurnya. Dari luar, Sera bisa melihat gadis itu membawa bunga serta buah-buahan yang sudah ditaruh di atas meja. Sesak. Untuk kesekian kali, Sera tak mampu menghampiri perempuan itu. Seharusnya, Sera bisa memarahinya atau bisa saja menariknya dari dalam ruangan. Apa perempuan tersebut sungguh tidak punya kesadaran akan perilakunya? Air mata Sera tak henti-hentinya terjatuh membasahi pipi. Di depan pintu, tubuhnya terasa kaku, juga terasa lemah di saat yang bersamaan. Tidak ada Rani maupun Karina di rumah sakit, Sera meminta keduanya beristirahat saja di rumah. Sementara, tidak apa-apa jika dia yang merawat Dika di rumah sakit. Karena luka Dika masih belum pulih, dia belum diperbolehkan pulang. Kemungkinan,
“Ma, bagaimana keadaan Dika?” “Mas Deri?” ucap Karina terkejut. “Kau sudah pulang, Mas?” Karina segera mengubah posisi menjadi duduk. Deri mengangguk seraya duduk di samping Karina. Tadi, wanita itu sedang membaringkan tubuhnya di atas sofa sembari menonton acara televisi. Namun, dia tidak benar-benar menyaksikan acara tersebut lantaran terus memikirkan putranya yang berada di rumah sakit. “Dika baik-baik saja, Mas. Sera pasti merawatnya dengan baik, bagaimana keadaan hotel?” “Dika sedang dirawat, bukankah hotel tidak ada kendala?” sambung Karina. Deri menggeleng, “tidak ada masalah, aku sepertinya akan ke sana untuk menemuinya.” “Aku juga ingin ikut.” Karina tidak betah berada di rumah dalam keadaan putranya yang sedang sakit. “Baiklah,” putus Deri. Namun, keduanya tidak memutuskan pergi saat itu juga. Karina serta Deri memilih makan malam di rumah lebih dahulu. Baru berkunjung ke rumah sakit. Karina juga ingin membuatkan anak dan menantunya makanan enak. Pasalnya masakan di ruma
“Mas Dika!” Dika lantas menoleh. Sera mengembuskan napas lega. Tak ada Lia. Sudah dapat dipastikan kalau perempuan itu pulang. Dan yang terpenting dia juga sudah sampai lebih dahulu. Dia tak perlu khawatir jika sesuatu terjadi pada suaminya. Jika Karina sampai lebih dahulu, Sera tak bisa bayangkan apa yang terjadi di rumah sakit. "Di mana perempuan itu?" tanya Sera untuk memastikan. "Untuk apa kau menanyakannya?" "Aku butuh jawabanmu, Mas. Bukan kau malah balik bertanya." "Tidak penting kuberi tahu," Dika sibuk memainkan ponsel. Mengabaikan Sera yang berdiri di sana. "Keluar kau. Mau apa kau ke sini?" "Tidak, aku tidak mau." "Aku ingin beristirahat. Jangan menggangguku!" gertak Dika. "Tapi, orang tuamu akan ke mari, Mas. Dan sebentar lagi mungkin mereka akan sampai," ungkap Sera. "Apa? Kalau kau hanya ingin berbohong lebih baik keluar! Aku tidak sudi mendengarkan omonganmu,” tolak lelaki itu. Dika melengos lagi. Dia benar-benar tidak tahu kalau Sera belum lama mendapatkan panggil
Mobil memasuki area komplek perumahan elit. Tepat di Kuningan, Jakarta. Sera jelas tahu tempat tersebut. Pasalnya perumahan di sana adalah perumahan di isi oleh orang-orang berada. Tidak salah jika keluarga sang suami mengajaknya ke sana. Namun, Sera belum tahu apa kejutan signifikan dari Deri sendiri. Sampai pada akhirnya, mobil yang ia tumpangi itu berhenti di salah satu rumah minimalis berwarna coklat putih, bertingkat dua. "Sera, Dika," panggil Deri seraya melepaskan sabuk pengaman. "Ayok turun," sambung Karina menoleh pada keduanya. "Kenapa kkta harus turun?" tanya Dika tak mengerti. "Dika, turuti saja Papamu," ujar Karina. Keempatnya lantas menuruni mobil bersamaan. Karina yang dekat dengan Sera kemudian berkata, “Sera, ini rumah yang baguskan?” tanya Karina disertai senyuman cerah, sama seperti kondisi langit yang membiru. Sera mengangguk setuju kalau rumah di hadapannya itu bagus dan nyaman untuk disinggahi, namun Sera penasaran kenapa mereka berdiam diri di sana. “Tapi, ruma
Sera lantas bangkit dari ranjang dengan perasaan kecewa. Lagi-lagi upayanya untuk mengajak suaminya berbuat baik gagal. Apa Sera akan menyerah sampai di sini? Tidak. Masih banyak waktu yang dia miliki untuk meraih hati Dika. Sera memakai sandal. Dia menuju toilet untuk segera berwudhu. Dan yang terpenting memohon kebaikan untuk pernikahannya juga. Itu yang jangan sampai dia lupakan. ‘Mas, Sera harap Mas Dika kelak menjadi imam impian,’ tuturnya membatin.Sera selalu punya keinginan dan harapan baik kepada suaminya yang jelas-jelas sama sekali tidak memiliki rasa untuknya. Tak peduli cepat atau lambat akan menjawab, wanita yang tengah belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik itu mencoba berusaha semampu yang dirinya bisa.Waktu berlalu begitu cepat. Perasaan Sera belum lama melaksanakan shalat subuh seorang diri. Kini pukul sudah menunjukkan hampir jam 7 pagi. Wanita dengan abaya hitam yang melekat sempurna di tubuhnya itu tengah menata sarapan di atas meja. Ini cara Sera. Tidak a
Prank! Sera membulatkan tatapannya. Tak sengaja tangannya menyenggol figura dia dan Dika saat menjadi pengantin. Terjatuh sampai kacanya pecah berkeping-keping. Jantung Sera seakan berhenti sejenak. Pikiran buruk pun datang. Sera mengkhawatirkan sesuatu hal buruk terjadi pada suaminya. Menggelengkan kepala, Sera tidak ingin berpikir negatif. Dia lantas segera menaruh kemoceng yang dia pegang. Beralih mengambil sapu untuk membersihkan pecahan kaca tersebut. Sera meraih bingkai foto tersebut. Memandanginya dalam diam. Sera benar-benar tidak sengaja menyentuh foto pernikahannya saat tengah bersih-bersih. Mengingat ini adalah rumah baru. Ada banyak barang yang juga tengah dia rapikan seorang diri. Menyusun ke sana dan sini. Apakah itu suatu tanda hal buruk akan terjadi? Dalam foto tersebut Dika terlihat senyum. Mungkinkah itu senyum terpaksa? Jawabannya sudah Sera dapatkan. “Apa terjadi sesuatu terhadap Mas Dika? Hatiku mendadak tidak tenang,” jujur Sera. Sementara itu, hari semakin l
Bergegas, Sera lantas kembali ke kamar. Membiarkan Dika pergi ke mana pun yang dirinya mau. Tiba di dalam kamar, dia berdiri di dekat jendela dengan membuka sedikit gorden. Sera hanya dapat memandangi kepergian suaminya dengan tangisan yang tak dapat dibendung olehnya. Apa yang bisa Sera lakukan selain menangis dan berdoa berharap suaminya berhenti bermain perempuan. Hatinya begitu sakit. Sera terisak, dia terduduk di lantai karena kakinya begitu lemas. Menangis kencang di dalam kamar, tangan kirinya meremas ke arah jantungnya. Sakit. Perih bukan main. Dalam tangisnya yang keras, dia menyebut nama sang suami. Sera berjalan tertatih-tatih menuju ranjang berukuran besar itu. Mengusap kasur sembari meratapi pernikahan yang tidak jelas arahnya akan dibawa ke mana. Sera merasa dirinya begitu lemah. Tangisan itu terus-menerus turun tanpa henti. Wajahnya serta matanya menjadi merah. ‘Apa yang kau lakukan, Sera? Jangan menangis. Berhenti menangis, Sera. Kamu harus menjadi wanita kuat demi m
Tidak. Tidak seharusnya Dika terjebak pesona wanita tersebut. Wanita itu yang sudah mengacaukan dirinya dan juga kekasihnya. Dika tidak boleh memikirkan perempuan itu berlebihan. Sekarang dia harus fokus pada pekerjaan. Melupakan kejadian beberapa hari lalu tentang ketidaksengajaan dirinya yang menarik Sera demi ponsel miliknya. Dan tentang pelukan itu, dia harus menganggap itu tidak pernah terjadi. Sekarang, setumpuk dokumen di atas meja mesti dikerjakan. Tangannya digerakkan untuk pemanasan. Meregangkan jari-jemari juga. Layar laptop sudah dinyalakan. Dika siap dengan pekerjaannya. Lelaki itu sangat tampan duduk di kursinya dengan postur tubuh yang duduk tegak. Jas yang begitu rapi, jas yang tanpa Dika ketahui itu adalah hasil Sera setrika dengan tangannya sendiri. Beberapa deadline mesti diselesaikan hari itu. Namun, terkadang pria itu tidak begitu memedulikan dan menyuruh tangan kanannya alias Fendi yang turun tangan. Sementara dirinya pergi mencari tempat untuk bermesraan dengan
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita