Hari itu Kafka tidak hadir. Nun sudah menghubunginya, tetapi tidak ada jawaban. Alif bahkan seharian itu mencoba menelepon Kafka, tetapi semua panggilannya diblokir. 33 kali, sebanyak butir tasbih. Sebanyak itu pula panggilan telepon dari Alif tertolak.
Anggap saja dia kurang kerjaan, tetapi dia bukan orang yang mudah menyerah. Alif tidak akan pasrah meskipun tanda-tanda restu Kafka sepertinya jauh dari jangkauan.
“Kafka pasti marah sama gue gara-gara kejadian waktu itu!” pikir Alif.
Dia akhirnya tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan sebuah rencana.
***
Malam harinya, Kafka memberi kabar kepada Nun bahwa dia ada urusan keluarga di luar kota. Dia sedang melakukan mediasi dengan keluarga besar ayahnya soal Nun, adik yang baru diketahui keberadaannya setelah sekian tahun.
“Ayah sudah lama meninggal. Saya sendiri diasuh oleh Om dan Tante, adiknya ayah. Mereka tinggal di luar kota. Jadi, kemarin saya ke sana untuk berdiskus
Pekerjaan tidak terlalu banyak, tetapi perkataan Kafka masih membekas di kepala. Nun bingung harus bagaimana. Bicara dengan Bapak akan jadi dilema.Sejak kecil Nun tidak pernah jauh dari rumah. Hendak menginap di rumah teman saja pasti langsung disusul bapaknya. Pernah ada kegiatan kemping –agenda Pramuka di sekolah– tiga hari dua malam. Selama itu juga setiap hari Bapaknya datang menjenguk dia, membuat Nun habis-habisan diledek panitia, tetapi dipuji teman-temannya karena tiap kali datang, Bapak pasti bagi-bagi makanan.Nun jadi kangen Pak Sabar, padahal dia baru pamitan kepada orang tuanya itu 30 menit yang lalu. Dibukanya bungkusan ketoprak yang jadi jatah sarapannya.Dalam satu suapan saja, Nun akhirnya mengakui Alif benar. Ketoprak buatan bapaknya memang yang paling enak sejagad raya. Tiada tanding. Tidak heran pegawai Biro Jodoh Pangkalan Hati tidak bosan memesan ketoprak setiap pagi.“Sarapan ketoprak tuh mengenyangkan,” kat
Sore hari setibanya Nun di rumah, Bapak menyambutnya dengan semringah.“Buruan mandi, ganti baju yang rapi! Jangan lupa dandan yang cantik!” kata Pak Sabar.“Memangnya ada apa, Pak?”“Kan malam ini calon mantu Bapak mau lamaran ke sini.”Nun serasa kena serangan jantung. “Maksud Bapak apa?”“Memangnya Alif enggak cerita? Dia mau bawa keluarganya ke sini buat lamaran secara resmi.”Nun membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya kebat-kebit tidak karuan. Ingin dia menggigit sepatu bututnya saat itu juga. Namun keburu dihardik bapaknya.“Buruan beres-beres. Bapak mau ambil kue dari Ceu Saodah, sekalian manggil Pak RT buat jadi saksi.”“Bapak ....” Nun teriak sambil menangis.“Terharunya nanti aja. Bapak lagi buru-buru ini. Bapak pamit dulu!”“Bapaaak ....”Nun segera mengambil gawai dan membuka deretan pes
Di ruang tamu mungil rumah Pak Sabar, Alif berhaha-hihi dengan Pak RT dan rombongan yang dibawanya. Mereka adalah pengurus rumah dan orang-orang kepercayaan kakeknya, mulai dari kepala ART, hingga satpam. Semuanya diperkenalkan Alif sebagai keluarganya.Pak Sabar dan Pak RT juga kini mengetahui bahwa ketergesaan pemuda itu melamar Nun adalah karena kakeknya sedang sakit. Mereka pun bersepakat bahwa acara pernikahan akan dilangsungkan paling lambat sebulan setelah lamaran ini.Nun langsung permisi ke belakang karena tidak tahan dengan semua yang serba dadakan ini. Perutnya mual. Ketika dia kembali, Alif tampak santai menikmati kue basah yang dihidangkan. Nun langsung mendekatinya untuk bicara empat mata.“Kamu tuh banar-benar gila, ya! Enggak mirikin perasaan saya?” kata dia setengah bergumam karena tidakut didengar orang.“Emang lu mikirin perasaan gue?” balas Alif santai saja.“Memang kamu punya perasaan?” timpa
Pagi hari, ketika Nun menghampiri Pak Sabar di angkringan ketoprak, dia tidak mendapati Alif."Tumben," pikirnya. Namun, dia tidak sudi menggubris rasa kehilangan yang muncul begitu saja di hatinya. “Nun berangkat, ya, Pak!” Dia mencium tangan Pak Sabar seraya menyabet bungkusan ketoprak pesanan teman-temannya.“Iya, hati-hati!” ucap Pak Sabar. “Eh, Nun ... ini sebungkus lagi buat calon menantu Bapak!”“Alif?” tanya Nun. “Dia kan enggak ada, Pak.”“Ada. Tuh!” Bapaknya menunjuk Nun.“Jangan bilang ‘di hatimu’ deh, Pak!” Nun melengos.“Itu ... di seberang!” jelas Pak Sabar. Ternyata yang dia tunjuk adalah seberang jalan yang tepat dibelakangi Nun.Gadis itu menoleh. Dipicingkannya mata. Alif tampak sedang ngobrol dengan seseorang. Mata Nun membulat sempurna saat identifikasinya berujung kesimpulan. Itu Kafka.“Tadi Al
Di Solo, untuk pertama kalinya Nun bertemu dengan satu-satunya keluarga yang tersisa dari pihak ayah, yakni tantenya yang bernama Muthmainah. Panggilannya Tante Muthi. Begitu menginjakkan kaki di rumah besar peninggalan kakek-neneknya itu, Nun langsung mengerti mengapa Om dan Tantenya tidak bisa pergi untuk menemuinya di rumah Bapak.Tante Muthi adalah penyandang disabilitas. Dia mengandalkan kursi roda untuk berjalan. Sementara suaminya yang juga Om Nun dan Kafka, bekerja di luar pulau Jawa. Mereka tidak punya anak. Nun maklum, ketika sang Tante berkata, “Kalau saja Tante tahu keberadaan kamu sejak dahulu, pasti kamu sudah Tante besarkan seperti anak sendiri, Ainun.”Wanita seumuran almarhum ibu Nun itu menangis tersedu-sedu. “Setelah ayah kamu meninggal, Kafka pun Tante yang mengurus dan membesarkannya.”“Om dan Tante sudah seperti orang tua bagi saya Nun,” tegas Kafka. “Kamu juga tidak usah sungkan kepada mereka, ya!&
“Tante rasa, lebih baik kamu tinggal di sini saja bersama Tante,” ujar Tante Muthi sambil mengarahkan selang ke perdu-perdu rimbun yang memagari pelataran rumahnya. Nun tidak berkata apa-apa. “Kamu takut sama bapakmu?” cecar tante Muthi. “Bukan begitu, Tante ....” “Lantas nopo to, Nduk (lantas kenapa, Nak)?” “Bapak enggak punya siapa-siapa lagi selain Nun. Mana mungkin Nun meninggalkan bapak begitu saja ... dia yang merawat dan membesarkan Nun selama ini, Tante,” tutur Nun. “Salah ibumu juga sih ... menikah lagi sama orang lain ndak ngabari kami. Lah, kalau Tante sama almarhum kakek-nenekmu tahu, yo pasti kamu ndak akan terlantar seperti sekarang ini, tho,” celoteh tante Muthi. Entah kenapa, Nun merasa sikap wanita itu berbeda jika mereka sedang berdua. Padahal, jika sedang bersama Kafka dan yang lainnya, sikap dan kata-katanya sangat manis. “Harusnya bapakmu tahu diri. Dia kan cuma bapak tiri. Lagipula ibumu sudah meni
“Aku minta maaf ....” ucap Alif serius. Dia tidak membawa Nun ke kamarnya, tetapi ke dapur karena Nun butuh air putih untuk minum.“Kenapa minta maaf?” tanya Nun. Wajahnya masih pucat. Hanya mata dan hidungnya yang tampak kemerahan.“Karena aku, kamu jadi terlibat masalah dengan keluarga.” Alif menundukkan kepala. Dia tidak sanggup menatap penderitaan di wajah calon istrinya.“Tanpa kamu pun masalahnya tetap ada.” Nun membuka pintu belakang. Tampak hamparan kebun peninggalan nenek-kakeknya. Hijau, menyejukkan mata.Alif mengekor seperti kena hipnotis.“Saya minta maaf, ya ....” ucap Nun. Tiba-tiba dia menoleh hingga beradu pandang dengan Park Seo Joon kw. Nun jadi ingat adegan di drama Korea.Pipi Alif seperti dihiasi blush on seketika. “Ke ... kenapa minta maaf?” suaranya bergetar sebagaimana hatinya saat itu.“Karena saya, kamu jadi terbawa-bawa ke sini.&r
Ada banyak pertanyaan di kepala Nun sepulang dari rumah tantenya. Sepertinya tidak berimbang jika informasi tentang ibunya hanya berasal dari satu pihak saja. Nun merasa dia juga perlu tahu cerita versi bapak.“Pak,” panggil Nun ketika makan malam tiba. “Hm ... dulu, bagaimana ceritanya bapak bisa menikah dengan ibu?”Pak Sabar melirik sambil senyum-senyum. “Kamu nanya begitu supaya dapat gambaran soal pernikahan, ya? Hm ... baper ya, yang mau nikah?” lepas tawa orang tua itu. Padahal kemarin saat Nun baru pulang dari Solo dia nangis-nangis karena kangen katanya. Eh, sekarang sudah usil saja.Nun mengernyitkan dahi. “Sok tahu aja nih, Bapak,” gumam Nun.“Begini Nun ... Bapak itu jatuh cinta pada pandangan pertama sama ibu kamu.”Makanan yang baru Nun suapkan ke mulut hampir dia muntahkan. “Enggak usah lebay deh, Pak. Mana ada yang begitu.”“Eh ... ada,” tegas
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya