Bimantara mencari-cari keberadaan Kuda Putih itu. Gavin dan Gala ikut panik karena ada dua karung ikan di punggung kuda itu, mereka pasti akan dimarahi neneknya jika pulang tak membawa ikan-ikan itu, dan jika tidak menemukan kuda itu, sudah pasti Gavin dan Gala akan mengajak Bimantara kembali ke lautan untuk menangkap ikan.“Kemana dia?” tanya Bimantara heran.“Apa dia kesal karena kita meminta bantuannya untuk membawa ikan-ikan itu?” tanya Gavin heran.“Itulah tugas kuda, membantu kita,” ucap Bimantara.“Apa kuda itu pergi mengikuti Tuan Puteri?” tanya Gala tak percaya.Bimantara mengernyit heran.“Kenapa dia harus mengikuti Tuan Puteri itu?”“Konon katanya Tuan Puteri pencinta hewan dan binatang, hingga hewan dan binatang memiliki intuisi yang tajam dan mencintai Tuan Puteri,” jawab Gala.Bimantara terdiam mendengarnya. Tak lama kemudian tedengar suara hentakan kuda yang banyak. Gavin dan Gala ketakutan.“Kita harus bersembunyi lagi!” pinta Gavin.Gala dan Gavin pun langsung bersemb
“Bagaimana dia membantu kalian hingga bisa mendapatkan ikan sebanyak ini?” tanya Nenek itu pada Gavin dan Gala. Mereka tengah berada di beranda rumah saat Bimantara sudah pergi ke sungai membawa pakaian yang dipinjamkan oleh Gavin. Dua cucunya yang kembar itu saling menatap dengan bingung. Mereka ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun mereka khawatir Nenek kesayangannya itu tak akan mempercayainya.“Kenapa kalian diam?!” tanya Neneknya heran. Ya, Nenek itu bernama Amita. Dia lahir di negeri Andana Warih saat negeri itu dipenuhi para pendekar yang gemar melakukan pertumpahan darah.“Jawab!” teriak Amita pada dua cucu kembarnya.Dua pemuda tampan itu tampak takut dan gemetar.“Pemuda itu membantu kami dengan menggunakan tongkatnya, Nek” jawab Gavin.Amita terkejut mendengarnya. Angin petang menyapu wajahnya. Pepohonan di sekitar rumah tampak bergoyang mengeluarkan suara misterius.“Dengan tongkat itu?”“Iya, Nek.” Kali ini Gala yang bicara.Amita terdiam cukup lama. Gavin
Bimantara duduk di atas batu. Dia baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya yang dipinjamkan oleh Gavin. Matanya tampak sayu memandangi aliran sungai yang mengalir tidak begitu deras. Tongkat hitamnya Ia sandarkan pada batu. Ujung tongkatnya tenggelam di aliran sungai. Wajahnya yang sudah bersih terlihat jelas dari permukaan sungai. Kuda putih yang ditemukannya di pinggir pantai tampak berdiri dengan keempat kakinya di pinggir sungai. Bimantara menoleh padanya.“Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menemuiku dan ingin ikut denganku? Apakah kau datang dari Nusantara? Apakah kau jelmaan dari para dewa yang sengaja ingin menemaniku?” tanya Bimantara pada kuda putih itu.Kuda putih itu hanya diam, tidak bersuara seperti biasanya.“Jika benar kau datang dari jelmaan para dewa atau dikirim dewa untukku, tugasku sebagai Chandaka Uddhiharta sudah selesai. Aku telah menyelamatkan Nusantara dari Penguasa Kegelapan. Kini aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku akan melepaskan semua ilmu yang ak
Amita datang dari dalam hutan. Dia heran melihat pemuda itu tidak ada bersama kedua cucu kembarnya. Gavin dan Gala berdiri dengan bingung saat mendapati Neneknya sudah kembali ke sana.“Mana pemuda itu?” tanya Amita.“Dia sudah tidak ada lagi di sungai saat kami mencarinya ke sana, Nek,” jawab Gavin.Amita menatap wajah Gavin dengan lekat. Dia tahu kalau cucunya itu sedang berbohong.“Kalian pasti membiarkannya pergi dari sini kan?” tebak Amita yang membuat Gavin dan Gala semakin gugup.“Benar, Nek.” Kali ini Gala yang menyahut.“Hanya Chandaka Uddhiharta yang memiliki tongkat hitam itu dan hanya dia yang dapat mengendalikan tongkat hitam itu. Dia adalah utusan Maha Dewa untuk menyelamatkan negeri kita dari keangkara murkaan penguasa. Dia akan mengembalikan generasi penerus tahta yang sebenarnya dari negeri ini!” ucap Amita dengan penuh rasa percaya.Gavin dan Gala terkejut mendengarnya.“Benar kah itu, Nek?” tanya Gala tak percaya.“Jangan banyak tanya! Cepat cari dia sampai ketemu l
Bimantara melangkah menembus hutan belantara sambil memandangi burung hitam yang terbang rendah di atasnya. Dia takjub dengan keindahan burung itu. Selama tinggal di Nusantara, dia tak pernah melihat burung seindah itu. Warna hitamnya jika terkena terpaan sinar matahari akan memantulkan warna kebiruan dan kehijauan yang lembut.“Kau pasti diurus dengan baik oleh Tuanmu,” ucap Bimantara pada burung hitam itu.Burung hitam itu tak bersuara, Ia terus saja terbang rendah memberi petunjuk arah padanya. Seketika burung hitam itu mendarat di atas dahan pohon di dekatnya. Bimantara berhenti berjalan dengan heran. Wajah burung itu tampak panik.“Tuanmu memanggilmu?” tanya Bimantara.Burung itu akhirnya mengeluarkan suara yang merdu. Lelaki pincang itu mengerti. Tuannya pasti tengah memanggilnya dari jauh.“Apa perkambungan masih jauh?” tanya Bimantara. “Jika masih jauh, pulanglah pada Tuanmu.”Burung hitam itu kini diam. Wajahnya masih tampak bingung. Bimantara semakin heran.“Apa kau lelah?”
Kakek itu tampak selesai mencukur habis kumis dan jenggot Bimantara. Rambutnya yang panjang pun sudah dirapihkan oleh Sang Kakek.“Ternyata kau sangat tampan,” puji Sang Kakek.“Terima kasih,” ucap Bimantara.Bimantara mengeluarkan koin emas dalam kantong celananya. Koin yang dia bawa dari Nusantara. Bimantara tidak tahu koin-koin emas yang dia bawa dari Nusantara apakah berguna di negeri asing itu.“Apa ini?” tanya Kakek itu heran.“Untuk Kakek,” jawab Bimantara.Kakek itu meraih koin itu dengan lekat. Lambang naga di permukaan koin itu membuat dahinya mengernyit.“Kau mendapatkan ini dari Nusantara?” tanya Kakek itu tak percaya.Bimantara mengangguk. Seketika wajah Kakek itu berubah menjadi marah.“Kau perampok?” ujar Kakek itu menuduhnya. Bagaimana pun dia heran bagaimana Bimantara bisa mendapatkan koin emas dari Nusantara itu jika bukan merampok. Lagi pula Kakek itu tidak tahu kalau Bimantara memang berasal dari Nusantara, bukan penduduk setempat.“Tidak! Aku memang datang dari sa
Bimantara terus saja memacukan kudanya mengejar seorang gadis yang mirip Dahayu yang tengah menunggangi kudanya di hadapan. Keringatnya bercucuran. Angin malam tidak mempan mendinginkan dahinya.“Dahayu! Berhenti Dahayu!” teriak Bimantara. Entah karena sudah terlalu rindu, dia menjadi begitu percaya bahwa gadis yang wajahnya mirip Dahayu dianggapnya sebagai Dahayu. Padahal Bimantara sudah mengerti, yang telah kembali ke Nirwana tidak akan mungkin bisa hidup kembali. Kecuali jika ada yang menggunakan ajian pembangkit kematian. Itu pun yang kembali hanya arwahnya, seperti di masa sulitnya di Nusantara Dahulu.“Dahayu! Dahayu!” teriak Bimantara.Gadis yang menunggangi kuda hitam itu tidak menggubrisnya. Dia terus saja memacu kudanya. Seolah sengaja ingin diikuti Bimantara. Saat Gadis itu tiba di hadapan mulut gua, dia menghentikan kudanya lalu bergegas masuk ke dalam gua. Bimantara yang berhasil mengejarnya turut menghentikan kudanya juga. Dia turun dari kudanya dengan heran. Kuda putih
Bimantara memacukan kudanya dengan kencang. Hutan malam begitu gelap, namun kuda putih itu memacu gagah seolah sudah mengerti jalur yang akan Bimantara tempuh. Akhirnya kuda yang ditunggangi Bimantara tiba di pinggir lautan. Bimantara langsung turun dari kuda lalu memeriksa perahunya yang membawanya ke sana dahulu. Dia tidak menemukannya. Hanya ada pasir dan ombak malam yang menderu. Tak lama kemudian, dia melihat tiba-tiba laut bergelombang tinggi. Bimantara tetap berdiri dengan tongkat hitamnya, sementara kudanya bersuara sambil mengangkat kedua kaki depannya, seolah mengajak Bimantara untuk pergi dari terjangan tsunami yang sebentar lagi menerpa.“Kenapa kau halangi aku pergi dari daratan ini?!” teriak Bimantara menantang gelombang besar yang hendak datang. “Aku ingin pergi dari sini! Jangan halangi aku!” teriak Bimantara lagi.Kuda Putih itu terus saja bersuara. Bimantara tidak menggubrisnya. Sesaat kemudian Bimantara menoleh pada kuda putihnya.“Pergilah! Aku tidak membutuhkanmu