Pengkhianat yang Dikhianati
"Em, yah. Baik, Dok." Bimo pun keluar bangsal, meninggalkan Zaki dan Adelia hanya berdua, untuk melakukan tugas dari dokter itu.
Zaki tersenyum senang. Lalu menatap pada Adelia yang tampak tenang dalam tidurnya. "Siapa sangka kita akan berjalan sejauh ini, Sayang?" Pria itu menyeringai.
Bimo yang akan menutup pintu, memperhatikan ekspresi dokter psikopat tersebut dengan kebingungan yang memenuhi hatinya. Kenapa seorang dokter yang harusnya menyelamatkan nyawa pasien, bisa berpikir untuk membunuh seseorang? Bimo mungkin bukan orang baik, dan mata duitan tapi ... apa iya dia tega melenyapkan nyawa seseorang.
Sedang Zaki? Jangan-jangan pria itu sudah membunuh banyak orang dengan obat di tangannya. Tatapan Bimo beralih ke arah ampul obat dan air mineral, yang sekarang berada di tangan. Ia mendesah, dengan pertanyaan dalam hatinya, 'Apa aku sanggup melakukan ini?'
Pria itu akhirnya melangkah pergi setelah pintu tertutup rapat
Sang Penyelamat"Na, kamu yang sabar, ya." Indah berusaha menenangkan adik iparnya. Hanna terdiam, ia masih menyeka air mata yang terus jatuh membasahi pipinya."Ingat kamu sedang hamil jadi tak boleh banyak pikiran.""Apa?!" Risa yang duduk di sebelah dua wanita itu terkejut. "Hanna hamil? Benarkah?" Eksha pun bahkan turut menoleh. Ingin tahu benarkah keluarganya akan kedatangan anggota baru? Itu pasti akan sangat menyenangkan.Indah mengangguk. Wanita oaruh baya itu sontak tersenyum. Namun, tak lama senyum itu redup kala ingat kasus yang menjerat Yusuf. Ia takut, anak dalam kandungan Hanna akan lahir tanpa ayah kandung di sisinya.Risa manggut-manggut. "Semoga dia kuat ya di dalam sana," ucapnya lagi sambil mengelus perut Hanna.Tak lama perhatian mereka beralih pada seseorang yang baru datang. Pria dengan perawakan sedang dan berpakaian rapi itu menenteng tas di tangan.Begitu jarak mereka sudah sangat dekat, orang pertama yang di
Pura-Pura Jahat"Perkenalkan saya Herman Faris. Pengacara yang akan membela Bapak Muhammad Yusuf." Pria dengan pakaian rapi itu mengulurkan tangan pada polisi."Yah, itu hak Anda." Polisi meraih uluran tangan sang pengacara. "Silakan duduk, sebelum berdiskusi dengan tersangka, kami ingin menyampaikan sesuatu pada Anda." Polisi mengatakannya pada Eksha dan sang pengacara."Hem, ya." Eksha menoleh sebentar sebelum akhirnya duduk di depan polisi telat di samping Yusuf. Keduanya tampak canggung kala tatapan mereka beradu sejenak."Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, Pasal 1 butir 14 KUHAP.Tersangka merupakan pihak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tersangka atau terdakwa belum tentu bersalah sehingga masih harus dibuktikan dulu kesalahannya di depan pengadilan.""Hem, kalau begitu, seharusnya tidak ada kontak fisik dengan tersangka ole
Polisi akhirnya memberi waktu pengacara dan Yusuf untuk berdiskusi. Namun, Eksha yang merasa ini adalah kesempatan bicara dengan Dareen anaknya, meminta sang pengacara berbagi waktu dengannya sebelum mereka berbincang sebagai pengacara dan klien. Yusuf yang duduk dengan tangan terborgol, mendongak kala merasakan sebuah pergerakan dari arah pintu. Tampak sosok paruh baya dengan jas mahal membalut tubuhnya. Pria itu terus berjalan dengan tatapan canggung ke arah Yusuf. Eksha mendapat sebuah anggukan kecil dari Yusuf sebagai sebuah tanda bahwa ia menghormati orang tua itu. Ekspresinya masih datar. Tak ada senyum hangat yang ditujukan pada pria yang telah jelas adalah ayah kandungnya. Berbeda dengan Eksha, pria yang biasanya tampak dingin, kali ini memberikan tatapan hangat dan teduh pada Yusuf. Pria itu langsung duduk begitu saja di sebernag Yusuf dengan berbatasan meja. "Di sini hawanya panas." Eksha memulai obrolan dengan canggung. Yusuf mengangguk. "Saya sudah terbiasa sejak keci
Ratu Telah Terbangun"Tolong meski kamu tak mau menemuiku dan tak mau bicara padaku, terimalah Risa saat ingin bicara dan memelukmu. Dia ... menderita selama puluhan tahun menunggu anaknya."Hati Yusuf bergetar mendengar ucapan pria itu. Sesuatu yang mengukuhkan dalam hatinya, bahwa ia bersikap buruk pada ibu kandung yang merindukannya."Ya, Om. Tentu.""Terima kasih." Eksha yang merasa miris, melangkahkan kaki ke luar. Sementara Yusuf tak berkedip menatap punggung pria tua yang menjauh darinya.'Itukah papaku yang sebenarnya. Dia yang tampak dingin, nyatanya memikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang dicintainya. Menjaganya agar tak terluka.'Pria itu mendesah. Merasa bersalah. Ia tahu bagaimana sakitnya mengingini dan merindukan, tapi yang dirindukan tidak tahu-tahu. Begitulah yang Yusuf pikirkan sejak kecil.Prayoga selalu bilang bahwa kedua orang tuanya telah meninggal, tapi Yusuf remaja punya pemikiran lain. Dia selalu berpik
Wanita yang KuatMata Zaki membeliak. Semua akan jadi bahaya untuknya karena sejak semalam perempuan itu tak mendapat suntikan obat darinya.Ia merasa harus berbuat sesuatu sekarang.Zaki terus memutar otak, sementara Adelia telah mendapat lebih banyak kesadaran."Tenang, Bu. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit," ucap salah satu petugas polisi."Rumah sakit?" Matanya yang cekung melebar. Ia kemudian menggeleng. "Di mana Kak Yusuf?" tanyanya mulai panik tak mendapati satu-satunya orang yang bisa diandalkan."Berikan obat penenang saja. Sepertinya reaksi obat sebelumnya belum hilang. Dia bahkan mencari orang yang membuat kondisinya semakin memburuk, yang artinya dia tak sadar apa yang sedang dibicarakan."Seorang polisi meminta rekannya yang bekerja bagian medis untuk bertindak."Apa maksud kalian? Siapa yang membuat kondisiku memburuk?" Adelia semakin bingung melihat sekeliling, dan orang-orang berseragam itu tampak mengerumun
Hanna yang Selalu MenangIndah masih menatap Hanna dengan tak percaya. Kenapa dia tak menangis? Mengeluh? Atau setidaknya meminta quotes bijak seperti biasa kala menghadapi masalah pada Indah, untuk menguatkan hatinya.Namun, istri Zidan itu pasrah mengikuti adik iparnya bergerak menjauh dari teras kantor polisi. Begitu juga Zidan. Pria itu berjalan ke arah mobilnya mengikuti dua wanita yang lebih dulu melangkah ke sana."Apa wanita memang seperti itu? Misterius dan sulit dimengerti." Zidan menggumam. Namun, gumamanya terdengar oleh pria yang berjalan mensejajarinya."Apa Tuan mau saya menyelidiki Ibu Hanna juga?" tanya detektif tersebut, ucapan itu terdengar seperti mengejeknya."Hah? Apa kamu mengejekku sekarang?""Hahaha." Detektif itu terkekeh. "Siapa tahu memang Anda perlu, wanita memang begitu. Tapi, seharusnya Tuan bersyukur. Wanita itu tak tampak lemah dan bisa menguasai diri sendiri. Ini awal yang bagus, karena di depan sana akan ba
Mendahulukan Suami"Kali ini aku tak akan melepaskanmu," ucap polisi yang sebelumnya mendapat air mineral berisi racun dari Zaki."Ini adalah operasi tangkap tangan, jadi jangan bertanya surat perintah padaku!" tekan polisi itu. Mengingat sebelumnya Zaki kukuh meminta surat perintah agar bisa ikut ke kantor polisi."Ka-kamu?" Mata Zaki melebar. Bagaimana bisa, pria yang dipikir sudah mati, tiba-tiba berdiri di hadapannya sekarang? Apa mungkin dia yang berhslusinasi?Namun, apa pun itu, Zaki tak berkutik sekarang."Yul! Ambil ampul itu dan bawa ke lab!" perintah polisi itu pada rekannya. Menunjuk ke arah perawat yang juga tampak kebingungan dari kejauhan."Baik, Bang." Pria itu menyahut, seketika langkahnya mendekat pada asisten Zaki yang akan pergi ke ruang administrasi."Ada apa, Pak? Saya tidak melakukan apa pun." Perasaan perawat itu jadi buruk seketika, saat dia turut diseret dalam masalah Zaki."Pak, tolong lepaskan! Saya
Alasan Bertahan"Jangan memperlakukanku seperti penjahat! Kalau tidak, kalian akan menyesal!" gertak Zaki sambil berteriak, kala polisi mendorongnya paksa begitu keluar dari mobil."Ya, lakukan itu kalau kamu bisa!" jawab polisi yang menangkapnya. Pria itu baru saja keluar dari mobil sementara sejak tadi, Zaki diurus oleh rekannya sepanjang perjalanan.Ia tak peduli dianggap kasar dan semena-mena oleh penjahat berdarah dingin sepertinya.***Saat membuka gorden dan melihat perempuan di depan pintu, wanita itu segera membuka pintu."Ka-kamu?" Mata Hanna melebar. Bingung kenapa wanita itu ada di depannya sekarang."Selamat pagi, Nyonya." Arista menyapa lebih dulu."Ah, ya. Selamat pagi. Assalamuallaikum." Hanna mengucap salam yang biasa diucap kala baru bertemu seseorang."Maaf Nyonya, saya mendapat amanah dari Tuan Yusuf untuk menemani Anda di rumah." Wanita itu mengucap."Oh, begitu. Tapi, bagaimana dengan Adelia?
EP Terakhir - Pujian"Pa, belum tidur?" tanya Zidan pada papanya yang tengah duduk di ruang kerjanya menatap layar komputer. Ia sengaja bertanya, sebagai isyarat meminta izin meminta masuk dan menggangu sang papa."Oh." Papa Zidan yang juga papa dari Hanna itu sontak mendongak. Menatap ke pintu, di mana asal suara datang.Meski pria tua itu tampak sibuk memandangi komputer, namun, kenyataan ... pikiran pria paruh baya itu tak sedang ada di sana. Ia terus kepikiran pada munculnya Alex di depan mereka hari ini. Seseorang yang ia pikir akan mendekam di penjara lebih lama.Putra sulungnya itu lalu masuk ke dalam. Ia duduk di sofa yang jaraknya berdekatan."Apa Papa tahu sesuatu tentang Alex?" Zidan menyampaikan kekhawatirannya melihat sosok Alex tadi pagi.Ia ingin menghubungi pemuda yang dulu jadi teman dekatnya tersebut. Akan tetapi, takut jika masalah justru akan bertambah rumit.Pria paruh baya itu menggeleng. "Aku tak tahu apa pun."
EP11 - Malam Pertama"Apa kamu sudah siap?" tanya Henry yang sudah berdiri di depan ranjang. Di mana Adelia tengah memeluk putrinya.Henry merasa sudah sangat bersih sekarang. Mandi dan menggosok tubuhnya lebih dari setengah jam. Menggosok gigi dan memakai parfum di mulutnya. Juga menyemprotkan ke seluruh tubuh yang hanya dibalut pakaian handuk."Hem?" Mata gadis kecil di pelukan Adelia sontak membuka sempurna.Saat itu Adelia memejamkan mata.Henry tampaknya tak tahu bagaimana harus mengatasi kondisi anak kecil yang akan tidur. Ini saja dia perlu mendongeng, bercerita tentang masa kecilnya, juga menjanjikan banyak hal menyenangkan untuk putrinya kalau dia mau tidur dengan cepat.Akan tetapi ... sekarang. Hanya dalam hitungan detik, Henry mengacaukannya."Ayah mau ke mana Bunda? Aku boleh ikut kan?""Huhhh. Sabar ....." Adelia mengenbus berat. Ia kemudian melirik pada Henry yang tampaknya juga sangat kecewa kala melihat gadis k
EP10 - Double Date (3)"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Maya pada Alex."Ke rumah teman. Bentar Mi." Pria yang sedang sibuk mengikat tali sepatu itu menyahut. Melirik sekilas wanita yang selama ini setia menemaninya."Lex, Mami gak mau kamu kena masalah lagi, ya." Maya mengingatkan. Sudah cukup mereka merasakan hidup lebih sulit dari sebelumnya tanpa Alex.Pikir Maya, sekarang ini, dua keluarga kaya itu pasti tengah mengawasi Alex dan mencari-cari kesalahannya."Iya. Mi. Tenang saja." Alex menyahut singkat. Kali ini ia telah berdiri tegak di atas kedua kakinya dan siap bergerak pergi."Aku pamit dulu." Pria itu menunjuk keluar, di mana mobil sudah siap di depan rumah mengantarnya ke mana saja."Ya." Maya melepas putranya dengan kondisi hati yang was-was. Berharap Alex bisa memegang kata-kata, dan tak membuat masalah di luar sana.***"Jadi tadi ... aku bertemu dan bicara dengan Alex, bahkan dia sempat mencengkeram
EP9 - Double Date 2Yusuf menyerah. "Kita bahas soal bulan madu kita saja.""Hah?" Mata Hanna membulat. Semudah itu? "Bu- bukan kita yang bulan madu, tapi mereka Mas.""Tapi kita diajak untuk meramaikan acara mereka." Yusuf tersenyum pada Hanna."Yeah! Itu lebih baik!" Henry berseru senang. Sejak awal pria itu memang terus terlihat senang. Apalagi ini adalah malam pertamanya dengan Adelia.Karena itu juga lah, Yusuf yang sebenarnya sangat kesal, menahan diri untuk tidak marah. Tak etis rasanya kalau harus merusak kebahagiaan pengantin baru karena kesalahan yang menurutnya tak disengaja."Btw, Mas bakal perjalanan bisnis ke mana?" tanya Henry."Ke Inggris. Kami perlu bertemu klien dan memeriksa lapangan untuk memutuskan apakah tanda tangan kontrak atau tidak." Yusuf menjelaskan hal yang tak Henry pahami."Yah ... kenapa ke Inggris. Kami baru mau rencana ke Turkey berkunjung ke Aya Sofia." Henry menyayangkannya."Wah, kali
EP8 - Double DateAlex mondar-mandir gelisah di dekat meja makan. Meski sang mami sudah menyediakan makanan lezat di atas meja, pria itu tampak tak berselera untuk menyantapanya."Lex kenapa tidak segera duduk dan makan?" tanya Maminya heran. Pemuda itu malah mondar-mandir gak jelas, dan membiarkan makanan sampai dingin."Mi, udah dapat telepon dari Tante Risa?" tanya Alex penasaran.Mami Alex menggeleng. "Belum, sabar. Sekarang dia pasti sedang berusaha keras membujuk Om kamu buat maafin kita."***"Waallaikumussalam. Mas Yusuf. Baiknya kamu pulang deh sekarang.""Hah? Pulang?" protes Yusuf. Dia bahkan baru sampai. "Ada apa?""Udah cepetan. Ini aku mumpung baik loh ngasih tau!" teriaknya memaksa di ujung telepon.Yusuf terbengong-bengong. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan kerisauan hatinya. Atau pria itu cuma mengerjainya saja? Henry kan dikenal usil."Bilang deh. Kamu ngerjain aku, ya.
EP7 - Paksaan Henry pada YusufHanna tak ingin mempedulikan Alex dan berjalan begitu saja melewati pria itu. Namun, di saat bersamaan, tangan panjang Alex dengan cepat meraih lengan wanita tersebut. hingga langkah wanita itu terhenti.Merasa tak nyaman dan risih, Hanna menarik kasar tangannya. "Jaga perilakumu!" tekannya mengacungkan jari tepat ke wajah Alex, dengan tatapan tajam pada pria itu."Oke." Alex mengangkat kedua tangannya. Seolah takut pada ancaman Hanna. "Ck. Galak amat. Padahal aku udah berubah jadi anak baik." Senyumnya tipis. Ingin menunjukkan ketulusan pada lawan bicaranya, kalau dia memang sudah berubah.Hanna bergerak mundur, sekira tak lagi sampai Alex meraihnya. Tak ingin berlama-lama meladeni pria yang menurutnya gila, kakinya pun bergerak semakin cepat menjauh.Alex hanya bisa tersenyum. Tak mudah mengambil hati orang-orang yang disakitinya."Yah, semua perlu waktu. Aku akan mencoba memahami itu." Pria itu memiringkan s
EP6 - Apa Maumu, Lex!?Tujuan utama Alex ke rumah Adelia, selain membuat semua orang yang bahagia saat dia di penjara, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, adalah untuk bertemu sosok wanita yang terus dirindukannya, Hanna.Setelah menemui Adelia dan suaminya, ia berkeliling mencari di mana Hanna berada. Namun, setelah mendapati Eksha dan tantenya Risa sudah tak terlihat, ia pun yakin bahwa Hanna juga sudah pulang bersama mertuanya itu. Apalagi Yusuf juga tak terlihat. Sepasang suami istri itu harusnya bersama, jika tak ada salah satunya, berarti satu yang lain pun tak ada.Merasa putus asa, Alex akhirnya memilih pulang saja. Dia bisa meneruskan keinginannya itu di lain waktu, dan beristirahat untuk sekarang. Sepulang dari lapas, punggungnya sama sekali belum bertemu tempat rehat, bahkan sekedar untuk bersandar. Di dalam mobil pun, tanpa sadar ia terus duduk tegap, karena serius menyimak penjelasan pengacara yang dibawa sang mami.Langkah lebar pr
EP5 - Bawa Aku, Mas!"Selamat ya," ucap Alex sembari menyodorkan tangan pada mempelai wanita yang kini sedang beristirahat di ruang ganti. Seluruh make up di wajahnya dibersihkan oleh penata rias.Adelia mengerutkan kening. Ia tampak tak mengenali pria itu, lalu menangkupkan dua tangannya. Kenapa ada pria asing yang bisa masuk ke ruang pribadinya. Keluarga atau kenalan dekat memang masih dibolehkan untuk masuk, tapi ia merasa tak mengenal Alex.Alex tersenyum. Meski kecewa respon yang didapat tak sebaik bayangannya. Dia lalu beralih ke mempelai laki-laki. Pria itu dengan terpaksa meraih tangan Alex."Selamat ya, Dokter em ...." Alex tampak berpikir. Bodohnya tak memperhatikan banner di depan dengan nama sepasang pengantin di sana."Henry. Nama saya Henry." Pria itu tersenyum tipis. Setelah bersalaman Alex pun menjauh."Siapa dia?" bisik Henry yang merasa aneh. Karena bahkan wanita yang sudah sah jadi istrinya itu tak mengenalnya."Ent
EP4 - Turunin, Mas!Hanna baru saja selesai mandi. Wanita itu keluar dari pintu toilet sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil."Kenapa pakai handuk kecil itu? Bakal lama selesainya. Itu ada hair dryer." Yusuf yang tengah menggendong Akhyar menunjuk ke arah lemari.Hanna menggeleng. Nanggung menurutnya. Pakai handuk kering sudah cukup simple tak perlu menyalakan mesin dan menggerakkannya ke kepala. Lagi pula mereka tak sedang buru-buru, karena takut kepergok berduaan di kamar itu."Ck. Pasti sengaja, ya. Mau goda," goda Yusuf dengan menyebut Hanna yang menggodanya."Ish, apa sih, Mas? Baru juga selesai. Masa goda lagi," protes Hanna sambil mencebik, melirik pura-pura kesal ke arah sang suami."Heleh. Pura-pura jaim." Yusuf tak menyerah. "Ya, kan, Dek." Kini tatapannya beralih pada batita dalam gendongan. Rasanya senang saja Hanna kesal, dan hanya memperhatikannya."Hehmh. Mas kali yang jaim. Padahal pengen lagi kan tapi ngomong