Jardon menemukan David yang sudah tidak sadarkan diri. Ada darah segar mengalir dari lubang hidungnya, begitu juga dengan keningnya yang memar dan memerah karena mengeluarkan darah. Tanpa membuang waktu, Jardon segera membawa sahabatnya itu ke rumah sakit terdekat.
David segera mendapatkan pertolongan medis sesampainya di rumah sakit. Jardon berharap, dia tidak datang terlambt. Setelah beberapa jam terbaring dengan mata tertutup, David belum juga sadarkan diri. Padahal perawat sudah berkali-kali mengganti cairan infus yang mengalir di dalam pembuluh darah David.
Rushel berdiri di dekat kepala David. Tak henti menatap wajah putranya. Beberapa biarawan juga turut berjaga di sekeliling David. Mereka melantunkan doa yang sama.
David baru tersadar tiga hari setelahnya. Mata David bergerak-gerak, cahaya lampu menyilaukan matanya. Ia perlahan sadar begitu mendengar suara lirih ayahnya yang terus menyebut nama Tuhannya dalam tiap doanya.
“Ayah....”
Ayah David keluar. Ditinggalkannya David sendirian di kamarnya agar ia bisa lebih tenang. Dalam kesendiriannya, David berdoa. ”Tuhan, kenapa jalan cinta ini begitu sulit? Tak ada wanita lain yang kucintai selain dia, Tuhan. Apakah aku harus berpaling dari-Mu, dan mencintai Tuhan yang disembah oleh Maryam? Hanya itu jalan satu-satunya agar aku bisa mendapatkan cinta Maryam, Tuhan. Apakah Kau akan marah padaku jika aku berpaling dari-Mu? Aku tahu, Engkau yang menyelamatkanku, Engkau yang mengantarkan aku pada ayah, hingga dia merawatku bersama biarawan-biarawannya, Engkau yang mengurus aku, Tuhan. Tidak, Engkau pasti akan marah besar padaku, Engkau pasti mengatakan aku ini hamba-Mu yang tak berbakti. Ampuni aku, Tuhan. Ampuni aku. Jika Engkau tak ingin aku mengkhianati-Mu, hilangkan rasa cintaku terhadap Maryam. Aku mohon, karena sampai kapan pun Maryam tak akan pernah jadi milikku.” Tergugu David berdoa sambil memegang salib yang tergantung di lehernya. ***
Khaled mengangkat wajahnya, ia terkejut sedikit dengan pertanyaan itu. “Islam?” tanya Khaled memastikan. “Ya, aku ingin mengetahuinya. Apa benar islam terkait dengan teroris seperti orang-orang bilang? Maksudku, aku benar-benar tidak setuju.” David tiba-tiba antusias membicarakannya. “Kami dia
David masih larut dalam kesedihan. Hatinya lirih berbisik dalam isak tangis.Maryam...Mengejarmu ibarat mengejar embun untuk mendapatkan tetesnya di udara, kau ibarat molekul-molekulnya yang bisa kurasakan namun tak bisa kuraih dan kugenggam.Bukan kau yang menyiksaku, Maryam.Tapi keadaanlah yang memaksaku demikian.Aku mati di sini.Aku memang masih bernafasTapi jiwaku pergi dan hilang mengejar sosokmu yang semakin menjauh.Aku rapuh,Serapuh bangunan-bangunan Romawi yang ditelan oleh masa, namun dia tetap tegak.Aku tak kuat, Maryam.Haruskah aku pergi meninggalkanmuKe sebuah tempat di mana aku tak bisa lagi memandang wajahmu, Maryam?Haruskah?Tapi semakin aku menjauhDan mencoba menghilang darimuJiwaku semakin dekatSedekat jari-jari yang tak pernah memisah.Maryam...Lihatlah aku disini!Aku bahkan kehilangan harga diriUntuk me
Di lorong rumah sakit itu, Khadijah, ibu Maryam, sengaja menunggu suaminya untuk membicarakan sesuatu.”Sudah bertemu dengan anak itu?” tanya istrinya.”Sudah,” jawabnya singkat.”Sudah puas? Sudah puas membuat semua ini menjadi kacau?” istrinya berujar menyindir.”Maksudmu? Kenapa kau marah padaku, Sayang?” ayah Maryam heran dengan sikap istrinya.”Semua ini salahmu,” jawabnya.”Salahku? Di mana letak salahku? Tindakanku sudah tepat, Khadijah. Anak itu tidak seiman dengan kita.” Ayah Maryam membela diri.”Selama ini aku sudah cukup untuk diam, Ishak. Selama ini aku merasa sudah menjadi istri yang baik bagimu, selalu menuruti titahmu. Tapi kurasa sikapku tidak sepenuhnya benar, sebab aku juga punya hak untuk bicara dan ikut andil dalam menyelesaikan masalah keluarga kita.” Istrinya sedikit teriak.”Apa yang salah? Jelaskan
Khaled dan Anggel terdiam menyimpan kesedihan yang mendalam. Pandangan mereka terus tertuju pada pintu kamar Maryam yang berwarna putih itu, berharap sang dokter segera keluar dan mengabarkan bahwa Maryam baik-baik saja.”Tenanglah, istriku, Maryam akan baik-baik saja. Kita doakan saja.” Ayah Maryam mencoba menenangkan istrinya.Ayah dan ibu Maryam masih menunggu di depan pintu kamar rawat inap Maryam. Mereka tak henti berdzikir dan berdoa agar Maryam kembali pulih, sementara Khaled terus melantunkan ayat demi ayat untuk Maryam.Anggel menyusut air matanya. Ia teringat kejadian sebelum Maryam sekarat. Saat itu Anggel tengah sendirian menungguinya, sementara kedua orang tuanya masih di luar, Khaled pun tak ada entah ke mana. Anggel melihat tubuh Maryam bergerak-gerak hebat, lalu tiba-tiba membuka matanya dan berteriak memanggil-manggil nama David.“Maryam, kau kenapa?” tanya Anggel panik kala itu.“Aku bertemu David. Ak
Anggel menghapus air matanya, surat itu masih dia simpan di tasnya untuk David. Tapi saat itu dia masih menunggu saat yang tepat. Menunggu pintu kamar rawat inap Maryam terbuka dan dokter membawa kabar bahwa dia baik-baik saja. Dokter dan kedua perawat itu masih berupaya menolong Maryam yang desah nafasnya mulai terengah. Dalam alam bawah sadarnya, Maryam seolah berada di ruangan serba putih. Di sa
”Ayah...,” panggil David lemah.”Aku di sini, Anakku,” jawab ayah David.”Kulihat Maryam berdiri di ujung sana, di sebuah tempat yang aku tak tahu itu di mana. Dia menungguku, Yah. Dia mengajakku pergi,” ujar David.Ayahnya mendengar dengan seksama.”Bolehkan aku ikut dengannya? Kurasa pergi bersamanya adalah jalan satu-satunya agar aku bisa hidup bersamanya, Ayah,” sambungnya. Suaranya begitu lirih terdengar di telinga ayahnya.”Jangan bicara seperti itu pada ayah, Nak. Maryam baik-baik saja. Yang kau lihat itu bukan Maryam.” Ayah David sekuat tenaga menahan tangis.” Aku yakin itu Maryam. Aku tahu itu dia.” sambung David lagi.“Kau pasti sembuh, Nak. Kau harus sembuh!” Diusapnya kepala David, berusaha untuk meyakinnya.”Aku tidak kuat lagi, Ayah. Maafkan aku jika selama ini aku sudah banyak menyusahkanmu, Ayah. Ayah, aku mencintaimu.
”Maryam... Maryam....” perlahan David membuka matanya.”Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Dia peluk anaknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan lagi.”Ayah, tadi aku bertemu Maryam.. Tapi aku tidak bisa membawanya pergi. Aku tidak tahu kenapa, Ayah.” Wajah David sendu mengingat sosok Maryam."Jangan pikirkan Maryam lagi. Ayah mohon. Hidupmu masih panjang, Nak.” Pinta ayahnya.”Ayah, maafkan aku. Aku merasa semakin lelah, Ayah. Sangat lelah. Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku ingin bebas. Aku ingin lepas dari rasa ini, Ayah. Aku hanya ingin bersamamu. Peluk aku, Ayah. Aku akan berusaha melupakan Maryam. Aku janji.”David menyerah, walau sebenarnya hatinya masih sangat mencintai Maryam. Dia menyadari bahwa cinta yang dia rasakan saat itu begitu menyiksa dirinya. Rushel memeluk putranya itu dengan erat. Dav