“Selamat pagi semua,” dengan riang Dew menyapa Tara dan Mas Agus yang terlihat sedang terlibat diskusi ringan tentang pemilihan warna untuk desain cover sebuah novel yang rencananya akan dilaunching akhir tahun ini.
“Pagi, Dew. Gimana di bawah? padat gak?” Tanya Mas Agus
“Banget, Mas. Di saat seperti ini aku bersyukur dengan tinggi badan dan tubuh kecilku.” ucap Dew yang ditanggapi tawa oleh Tara dan Mas Agus
“Dew, hari ini belum keberuntungan kamu. Coba kamu lebih cepat beberapa detik. Pasti kamu bisa ketemu sekaligus memperkenalkan diri ke big bos.” ucap Tara
“Big boss?”
“Iya, Bos kantor pusat tadi pagi datang sempet ngopi-ngopi di pantry abis itu keluar bareng Pak Galen.”
“Emang aku gak beruntung, ya? hubungannya apa?” tanya Dew tak mengerti
“Big bos itu ganteng banget. Pokoknya proporsional, deh. Kan, lumayan memulai pagi dengan yang memanjakan mata.” terang Tara dengan mata berbinar. Dew hanya menanggapi
Dew berdoa semoga Tara tidak mengatakan keadaannya mengingat tadi ketika sedang menerima panggilan dari Galen, ia mendengarkan percakapan kecil antara Galen dan Tara walaupun tak sampai selesai. Ia tak ingin Galen, Tara ataupun orang-orang sedivisinya mengetahui kondisinya yang sebenarnya. Tak lama berselang pintu ruang kesehatan terbuka dengan sedikit kasar dan nampaklah Tara yang terlihat terengah-engah seolah habis berlari dengan membawa tas yang berisi obat Dew. “Are you ok?” “No, i’m not. Wait, sebelum kamu nanya kenapa biarin aku tarik nafas dulu.” Tara menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Omg, nafas gue.” Ucap Tara sambil mengusap dadanya dengan nafas yang masih terputus-putus. “Pelan-pelan aja, Ra.” Dew mengulurkan tangannya untuk meraih tas yang ada di tangan Tara. Tara segera bergegas mengambilkan Dew segelas air putih agar Dew dapat meminum obatnya. “Hai, Ra.” Sebuah suara yang terdengar ceria berja
Alvis dan Galen hanya diam membisu selama di dalam lift menuju ke lantai letak ruang kesehatan berada. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Galen yang sibuk pikirannya terbagi antara khawatir dengan keadaaan Dew dan bagaimana caranya menjelaskan ini semua pada Alvis. Sedangkan Alvis sibuk menerka-nerka apakah benar yang nama Dew yang tak sengaja ia dengar disebutkan dalam percakapan antara Galen dan Tara adalah Dew yang sama. Sosok yang selama ini membuatnya hampa selama tiga tahun terakhir? Lift berhenti di lantai tujuan mereka. Dengan langkah terburu-buru keduanya segera menuju ruang kesehatan tapi kemudian langkah mereka berdua melambat. Menyadari mereka sama-sama memperlambat langkah. Mereka berdua pun berhenti di koridor tepat di samping ruang kesehatan. “Before I enter that room. Aku ingin mendengarkan penjelasannya dari Lu.” kata Alvis dengan kemarahan dan kekecewaan yang tertahan di dada. Alvis menarik nafas panjang menenangkan se
Dew terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang lebih ringan. Penglihatannya masih kabur menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan netranya terbelalak meihat sosok yang ada di hadapannya. Seketika nafasnya terasa sesak dan dadanya sakit seperti tertusuk ribuan jarum. Dew mulai panik keringat dingin mulai mengucur dan kepalanya mulai terasa pening - Ia mual. “Aaaaaaa….!!! Tolong jangan mendekat! Tinggalkan saya. Tolong pergi!! “ teriak Dew yang membuat Alvis dan Dokter cantik terkejut. “Pergi … pergi … pergiiiiii!!! Dew berteriak keras disusul suara tangis tersedu-sedu. Alvis yang masih bingung dengan terpaksa keluar dari ruangan tersebut. Dirinya begitu shock dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ia tak menyangka reaksi Dew akan seperti itu ketika melihatnya. Sementara itu, dokter masih terus berusaha untuk menenangkan Dew. Memeluk Dew mencoba mengalihkan perhatiannya. Segera diraihnya tas Dew berusaha mencari
Dengan langkah berat Alvis berjalan perlahan menuju ruangan Galen meninggalkan beberapa dokumen kontrak yang belum selesai ia tinjau ulang. Baru saja beberapa langkah ia ambil pintu ruangan kesehatan menjeblak terbuka dengan suara sedikit gaduh. Seketika ia berbalik dan mendapati raut wajah kaget yang kemudian segera berubah berganti dengan wajah penuh kemarahan serta kebencian yang sangat kentara dari wajah Tari. “Kamu... kamu ngapain ada di sini?” ujar Tari galak. “Wait, jangan bilang ini adalah salah satu perusahaanmu?” Melihat reaksi Alvis yang diam saja telah menjawab pertanyaan Tari. “Omg, i cant believe this. After all the places in this country...” Tari mengusap wajahnya frustrasi masih tak percaya dengan kejadian yang dialaminya. Ia harus bergerak cepat menjauhkan Dew dari sumber utama trauma gadis itu. “Gue mohon sama Lu untuk jangan pernah muncul lagi di hadapan Dew.” Pinta Tari. “Kenapa? Setelah tau apa yang terjadi sama
Jam kerja telah selesai. Satu persatu karyawan meninggalkan ruangan hingga ruangan benar-benar sepi. Matahari telah masuk ke peraduannya sejak lima belas menit yang lalu menyisakan bayangan seseorang yang duduk diam dalam kegelapan. Sejak kembali ruangan kesehatan Alvis kembali ke ruangan Galen dan duduk diam di situ tak melakukan apapun. Pikirannya sibuk dan kalut memikirkan kejadian mengagetkan yang dialaminya hari ini. Ia bersyukur akhirnya dapat bertemu dengan seseorang yang membuatnya mengubek-ubek seluruh Indonesia demi mencari keberadaan gadis itu. Di saat dirinya memutuskan menyerah, alam semesta mempertemukan mereka kembali. Tapi, justru rasa sakit yang ia dapatkan melihat reaksi gadis yang menjadi pemilik hatinya. Alvis marah, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri karena hal itu disebabkan oleh perbuatannya di masa lalu. Desember 2014 Alvis dan Dew baru saja akan masuk ke dalam bioskop ketika langkah ALvis dihentikan oleh getaran yang
Sesuai dengan janji di telefon semalam saat ini mereka berdua telah berada di selasar rumah sakit sedang menuju ruangan dokter Ryan sembari bersenda gurau. “Lu tau kan kalo laki gue itu lawakannya tipe bapak-bapak banget yang lebih banyak garingya?” ucap Tari yang menceritakan tingkah absurd suaminya. Langkah kaki mereka berhenti tepat di depan pintu praktek dokter Ryan. “Aku temenin?” “Gak usah. Aku bisa, kok?” bersamaan dengan itu, Tari mengetuk pintu ruang praktek dokter Ryan. “Hai, Dok. Nih, Dew dah datang.” “Hai, Tar. Apa kabar, nih? Maaf, ya. Gak bisa datang di pernikahan kamu.” Dokter Ryan segera bangkit dari kursinya dan menjabt tangan keduanya satu persatu. “Iya, gak apa-apa, kok. Aku ngerti.” “Hai, Dew? Sapa dokter Ryan ramah. “Halo, dok.” Balas Dew canggung. “Beneran gak mau aku temenin? Tanya Tari memastikan kembali yang dijawab Dew dengan gelengan. “Ya, udah. Aku nunggu kamu di kafe depan yah?”
BAB 20Alvis berjalan memasuki apartemen Galen dengan lesu. Ditariknya dasi yang sudah mengendur dan direbahkan dirinya di sofa ruang tengah. Apartemen masih lengang menandakan sang pemilik masih belum pulang. Alvis berbaring terlentang, pikirannya melayang pada pertemuan tak sengajanya dengan Dew serasa menyedot habis seluruh tenaganya. Semuanya masih kabur dan serasa mengambang baginya. Permintaan maafnya yang tersimpan selama bertahun-tahun akhirnya terucap walaupun tidak membuatnya lega. Pengakuannya masih belum mendapatkan reaksi apapun dari Dew selain air mata yang menggenang di wajah imutnya yang sembab. Satu-satunya kunci untuk mendaptkan informasi apa yang terjadi pada Dew saat dia menghilang adalah Tari dan juga keluarga Tari. Tapi, itu semua tak mudah karena Tari yang begitu defensif dan membencinya sedngkan untuk mengorek informasi dari orang tua Tari pun bukanlah hal yang mudah. Orang tua Tari cukup punya nama dan mereka seperti punya sistem yang
Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Tari. Keduanya terdiam menikmati suasana senja gerimis dari balik kaca mobil. Tari yang menyetir tak henti-hentinya menoleh pada Dew. Mencoba membaca raut wajah sahabatnya itu tapi tak berhasil. Dew sedari tadi menyembunyikan wajahnya dengan menatap aktifitas jalan raya yang semakin ramai dan padat walaupun sedang gerimis. Tari hanya dapat melihat refleksi Dew yang kabur dari pantulan kaca jendel mobil. Yang Tari rasakan saat ini adalah sepertinya beban, kekhawatiran, dan ketakutan Dew sedikit mulai berkurang karena pengakuan Alvis siang tadi. Walaupun ia tidak seratus persen yakin tapi setidaknya itu yang dia rasakan dari reaksi yang ia terima saat memeluk Dew tadi. Dew memang menangis hebat tapi yang dapat ia tangkap itu bukan tangis kesedihan ataupun kecewa. Jadi, ia berharap pertemuan yang tak disengaja tadi sekaligus pengakuan dari Alvis dapat menjadi salah satu obat untuk Dew. Tak terasa mobil yang mereka kendarai t
Mobil yang dikendarai Alvis melaju membelah jalanan yang basah diguyur air hujan. Ia merutuki dirinya karena tidak dapat mengendalikan diri hingga terbawa emosi. Seharusnya ia bisa menahan diri. Terpaksa ia harus melewati hari ini dengan sendu. Padahal seharusnya hari ini ia bisa menikmati waktu yang berkualitas dengan Ai-nya. Kesempatan yang hanya bisa ia nikmati dan ia dapatkan di akhir pekan. Memang ada yang mengganggu pikirannya semenjak pertemuan keluarga besar. Tapi, sebisa mungkin ia sembunyikan tak ingin ia tunjukkan pada Dew. Larena pasti Dew akan menyalahkan diri sendiri jika mengetahuinya. Sejak pertemuan keluarga besar Komunikasi dengan ayahnya semakin sengit ditambah lagi keluarga besar ayahnya yang mengetahui apa yang ia lakukan selama hampir dua bulan di kantor cabang. Ayahnya masih bersikeras dengan pemikiran dan tindakannya. Alvis bersumpah kali ini dia tidak akan mengalah. Dulu ia tak bisa berkutik karena tak memiliki kekuatan dan pengaruh. Dia tak akan melepas apa ya
Minggu pagi yang mendung membuat joging yang sudah direncanakan batal. Dew, Tari, Galen, dan Alvis memang berencana akan mengisi minggu pagi dengan joging bersama di taman kota. Sebenarnya ini semua adalah ide dari Tari. Karena melihat perkembangan Dew dan juga kegigihan Alvis yang luar biasa. Dew memang sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Alvis tapi ia masih takut jika hanya berdua saja. Ketakutan dan kegelisahan kalau-kalau ada wartawan yang mengenali Alvis dan memotret mereka berdua. Bayang-bayang kamera membuatnya tiba-tiba mual. Jadi, disinilah dia duduk di dekat balkon sambil memandangi hujan yang terus turun tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Tari masih sibuk video call an dengan suaminya. Tak terasa sudah hampir tiga bulan ia tinggal di rumah Tari. Dew merasa bersalah karena ia sudah sering merepotkan. Karena kondisinya, Tari memutuskan untuk memperpanjang liburnya di Indonesia tentu saja atas izin suaminya. Walaupun sebenarnya Tari tak perlu melakukan itu. Dew merasa dirin
Tak terasa sudah seminggu berlalu sejak kejadian ia tiba-tiba izin sakit. Dew bersyukur orang-orang yang sedivisi dengannya tidak heboh bertanya macam-macam. Entah seperti apa Galen menyampaikan kepada mereka dan apa yang Galen sampaikan ke mereka. Berbicara tentang Galen, Dew bisa bernafas lega karena sampai saat ini ia maaih mempertahankan profesionalitasnya. Bosnya itu hanya akan bertibgkah dan mengusilinya jika hanya ada mereka berdua saja. Saat ini, bosnya itu dan bos besar siapa lagi kalau bukan Alvis tengah berada di ruangan Galen. Mereka sedang berbincang tentang keberhasilan salah satu proyek yang kantor ini tangani. Sesekali terdengar gelak tawa dari dalam ruangan. Sepertinya mereka berdua sedang bahagia. Tak lama kemudian pintu ruangan Galen terbuka dan keduanya keluar dari ruangan. "Perhatian-perhatian untuk merayakan keberhasilan proyek desain logo dan branding Mall Kerinci Mass pulang kantor kita adakan makan bersama di Sky Lounge Resto Palm Tree." ucap Galen yang disamb
Dalam perjalanan menuju rumah Dew, Alvis memandang sekotak kue rasa vanilla kesukaan Dew dengan senyum lebar. Sedari tadi ia menyusun kata-kata apa yang akan ia ucapkan jika sampai di rumah Tari tapi otaknya buntu. Mobilnya perlahan memasuki halaman rumah Tari. Ia telah menelfon Tari sebelumnya, memberi kabar akan kedatangannya sekaligus meminta izin. Tari memperbolehkannya datang tapi tidak menjamin Dew akan menemuinya.Alvis diarahkan oleh Mang Dedi menunggu di ruang tamu. Tak lama berselang minuman segar dihidangkan di hadapannya. Ia terlihat gelisah, harap-harap cemas dengan reaksi Dew. Sepuluh menit menunggu yang terasa seperti selamanya terlihat sosok Tari menuruni tangga tanpa Dew. Alvis tau jika hari ini bukan hari keberuntungannya."Sori," ucap Tari."Gak masalah. Aku ngerti, kok. Aku gak berharapa banyak di percobaan pertama langaung berhasil.""Diminum, gih." Tari mempersilahkan Alvis menikmati minuman dingin yang nampaknya belum disentuh sedari tadi.
Sudah sejam lebih Alvis duduk termenung memikirkan pertemuannya dengan Tari. Alvis tak menyangka akan seberat ini dramanya. Pengaruh ayahnya tidak main-main. Masih jelas dalam ingatan tentang kejadian itu. Setelah orang tuanya dan orang tua Bela mengumumkan pada publik bahwa mereka telah berkencan membuatnya serasa mendidih. Ia hendak menjelaskan semuanya pada Dew agar tidak ada kesalahpahaman. Tapi, bahkan ia tak pernah lagi ketemu dengan Dew, seperti ditelan bumi. Hilang tanpa jejak. Usahanya untuk menghubungi teman-teman atau keluarga Dew menanyakan keberadaan Dew tapi selalu nihil. Dew, gadis polos dan penuh semangat. Dengan segala kesederhanaannya dan tingkah yang agak unik menurut Avis terlihat begitu nampak diantara beberapa gadis yang pernah membuatnya jatuh hati. Dewnya yang rapuh, ingin rasanya memeluknya dan menjaganya. Melindungi dari berbagai orang-orang jahat di luar sana.Sekarang, ia bertekad akan kembali membuat Dew jatuh cinta untuk kedua kalinya. Ia memikir
*Flashback*Sepanjang perjalanan menuju rumah Tari, Dew terus menerus membujuk Tari untuk menceritakan ada apa sebenarnya. Tapi Tari bersikukh untuk menjelaskan semuanya ketika mereka sudah sampai di rumah. "Sekarang tolong jelasin ke gue ada apa sebenarnya", tuntut Dew begitu mereka bertiga baru saja mendaratkan bokong di kursi ruang keluarga Tari. Tari dan Galen saling berpandangan mereka khawatir bagaimana reaksi Dew nantinya."Semalam Alvis kebingungan karena kamu gak bisa dihubungin..." Galen memulai pembicaraan dengan gugup. "Ia akhirnya menghubungi Taro dan minta tolong untuk nyariin kamu karena kondisi semalam mengharuskan dia berasa di Rumah Sakit menemani Bela. Itu bukan keinginannya tapi dia dipaksa untuk melakukan itu.""Iya gue paham, kok. Bela lebih penting dari segalanya bahkan gue.""Gak, bukan gitu. Alvis hanya panik aja. It's always you.""If it's always me, dia gak bakal ninggalin gue nunggu kayak orang bego hampir dua jam gak ada kabar."
FlashbackKeesokan harinya mereka berdua berangkat ke kampus karena hari ini hari terakhir ujian semester. Sepanjang jalan Tari mengamati ekspresi Dew yang tanpa ekspresi sejak keluar dari rumah. Tari sengaja menyuruh Dew untuk menonaktifkan ponselnya menghindari agar tidak dihubungi oleh Alvis dan membuat keadaan semakin keruh. Ia pun menonaktifkan gawainya setelah pembicaraannya dengan Galen semalam. Setelah memarkir mobilnya keduanya segera menuju ruang kelas. Sepanjang jalan seperti ada yang tak beres. Tari merasa sepanjang jalan menuju kelas hampir semua orang memperhatikan mereka berdua tapi ditepisnya hal itu dan tetap melanjutkan langkahnya menuju kelas. Memasuki ruang kelas keadaan yang sama juga terjadi. Tari tak tau entah Dew sadar atau tidak tapi melihat dari keadaan dan reaksi Dew sepertinya gadis itu tak memperhatikan sekitar. Mereka memilih duduk di barisan tengah tidak terlalu menonjol tidak terlalu ke belak
FlashbackSecepat kilat Tari bangkit dan segera menyambar kunci mobilnya, “Lu di mana sekarang?” Kakinya tergesa-gesa menapak turun dari lantai dua dan berlari menuju basement tempat mobilnya terparkir dan menjaankan mobilnya menuju tempat yang Dew sebutkan. Sepanjang jalan dia sibuk menyumpahi Alvis. Ia bingung apa yang sebenarnya terjadi tapi tidak dengan meninggalkan Dew menunggu lama tanpa memberi kabar. Padahal hari ini Dew seharusnya bersenang-senang menikmati waktu yang bahagia. Hujan di luar masih deras, mobilnya memasuki area parkir sebuah pasar loak. Tempat ini adalah tempat healing bagi Dew. Dew selalu kesini jika sedang banyak pikiran dan juga untuk menenangkan diri. Hanya dia saja yang Dew beritahu tempat healingnya.Diparkirnya mobilny dengan tergesa-gesa dan seger berlari ke arah dalam pasar. Ia tau tepatnya dimana Dew menunggunya. Tempat itu sebuah taman kecil yang terl
BAB 22Alvis berjalan dengan terburu-buru. Semalam ia tak dapat memejamkan mata, akibatnya ia tak dapat fokus ke pertemuan penting yang membicarakan kontrak senilai milyaran rupiah. Alvis bersungut dalam hati pada sekretarisnya di kantor pusat karena dengan liciknya menyelipkan jadwal di tengah waktu lengang yang sudah lama ia rancang demi mengistirahatkan hati, otak, dan pikirannya sembari melanjutkan misinya mencari Dew. Mencari Little Ai-nya yang ternyata semesta mempertemukan mereka di sini. Di kota yang tak terpikirkan oleh Alvis. Untung saja ketidakfokusannya bisa diisi oleh Galen yang cepat tanggap membaca situasi dan keadaan. Ia terlambat tiga puluh menit dari waktu janjiannya dengan Tari. Hampir semua meja di restoran terisi penuh karena masih jam makan siang. Segera ia langkahkan kakinya menuju meja yang sudah lebih dulu dipesan oleh Tari.“Hai, maaf. Aku terlambat.” ucap Alvis merasa tidak enak.“Tak apa. Ak