Aku baru saja tiba di depan ruang bersalin, tiba-tiba Kak Ros menyapa.
"Pagii, eh, glowing amat. Abis perawatan, ya?" Tanya Kak Ros.
"Bukan, Kak, lagi jatuh cinta!" kak Nita mengkoreksi.
"Ih ,kak Nita, apaan sih." Aku mendorong lengannya.
"Oh iya nih, mukanya langsung bersemu merah," kak Ros menimpali.
"Iih udah ah, ngeledeknya. By the way lagi pada apa? Kok, pada tegang gitu mukanya?" tanyaku
"Ini, bikin slide AMP," jawab kak Ros. (-Audit Maternal Perinatal)
"Eh, ada yang plus? Kapan? Dimana?" (-plus : meninggal)
"Ada kemarin pas dirujuk karena Pre Eklampsi, keluarganya kelamaan ngambil keputusan. Alhasil sampe RS udah plus. Tapi yang kena kan kita," wajah kak Ros berubah masam.
"Aku tuh suka ga abis pikir deh sama keluarga pasien. Udah tahu melahirkan itu antara hidup dan mati, tapi kok ya ga gerak cepat dalam mengambil keputusan."
"Kemarin tuh suaminya belum datang, tetangganya ga berani ambil keputusan. Si ibu
"Assalammualaikum.." Aku mengucapkan salam saat memasuki rumah Mama."Waalaikumsalam.." sahut dari dalam, "Loh, kamu pulang, Nak? Gak dinas?" tanya Mama heran."Ini baru pulang dinas, Ma. Langsung ke sini.""Emang besok libur?" Mama bertanya masih dengan nada heran."Gak sih, cuma kangen banget sama Mama." Aku mendekap mama erat.. Kuciumi kepalanya tanpa henti."Yuk, masuk, tapi Papa gak ada di rumah." Ia mempersilakankuAir mataku berderai seketika. Ingatan Mama kacau sejak Papa meninggal. Kadang Mama mengira Papa masih hidup. Kadang Mama mengira om Kenzi dinas luar. Tak jarang teman-temanku yang masih single dikira sudah menikah dan punya anak. Ketika Skizonya kumat, ia akan histeris karena mengira tamu yang datang ialah perampok yang akan membunuhnya.Beruntung isteri om Kenzi bersedia menemani. Sehingga ada yang menemani Mama mengobrol dan meminimalisir Skizonya kambuh. Anak-anak om Kenzi sedang kuliah di luar kota, mereka a
Kami berada di ruang tamu yang tak seberapa besar. Hatiku memantul ke sana kemari bak naik trampolin. Sungguh ingin menelan Eki hidup-hidup. Lelaki ini selalu membuat diareku kumat."Siapa ini?" tanya Mama yang menghampiri kami setelah dibangunkan oleh tante Rita."Eki, Tante." Ia meraih tangan mama."Ooh Eki. Teman Mima yang punya anak dua itu?"Oh no! Mama mulai kumat Skizonya. Aku melirik tante secepat kilat."Bukan Uni, ini teman Mima jaman sekolah dulu.""Ooh,.." Mama mengangguk, membalas uluran tangan Eki. Mengusap kepalanya lembut dengan tangan satu lagi.Deg!Ada rasa menyeruak tiba-tiba.Rasa sakit sekaligus bahagia."Ada apa datang ke sini?" tanya Mama melihat Eki dengan wajah bingung."Saya mau melamar Mima jika diijinkan, Tante." ucap Eki sopan."Oh... memang Mima belum menikah, ya?" jawab mama."Mama, Mima 'kan masih single." jawabku buru-buru."Mima mau, menikah dengan dia
"Ibu.. gimana, bayinya mau nyusu?" Aku bertanya pada pasien yang baru saja melahirkan."Belum dapat, Bu Bidan, masih mencari-cari," jawab si Ibu pelan. Wajahnya memucat. Di sebelahnya, sang suami berdiri memeluk isterinya dan memandang buah cinta mereka."Gak apa-apa, namanya juga baru keluar. Saya suntik dulu, ya, Bu, pahanya." Aku melakukan informed consent atas tindakan kala tiga. (fase persalinan - plasenta)"Iya, Bu Bidan." jawabnya."Pak, tolong ibunya dikasih minum, ya. Biar ada tenaga. Saya mau keluarkan ari-arinya." ucapku pada suami pasien."Oh iya, Bu Bidan." Ia mengambil minum yang sedari tadi ia beli namun belum sempat disentuh."Bu Bidan, saya ngantuk banget, Bu..," ucapnya lemah dengan mata setengah tertutup.Aku yang sedang memegang perut pasien untuk melakukan asuhan kala tiga dalam persalinan, sontak melarang. Karena butuh kerjasama pasien."Jangan tidur dulu, Bu. Belum selesai, masih ada plasentanya nih, yang
Baru saja selesai makan di kantin Rumah Sakit, aku bertemu sejawat. "Kak Rifki!" panggilku. Ia menoleh "Eh Mim. Ngerujuk?" tanyanya memastikan, karena melihat aku berpakaian dinas. "Iya, ada pasien HPP tadi. Kakak jaga?" Aku balik bertanya. "Iyah, ada Operasi Cito. Jadi dateng, deh. Mima sama siapa?" (cito - darurat) "Sama temen." "Temen apa temen? Kok, ganteng? Kenalin donk. Anggota?" Ia bertanya dengan wajah menyelidik namun nada menggoda. "Gak ah, ntar Kakak godain lagi. Kasihan isteri Kakak kalo sampe Kakak balik suka sama cowok. Bukan, Oil Engineer." Aku membalas godaannya. "Ehh gak apa-apa, donk, kan diem-diem aja. Loh, gak sama anggota? Kirain cuma suka sama anggota. Kalau suka sama sipil juga mah, dari dulu Kakak deketin." Ia berkata genit, khas kak Rifki. "Suka-suka aja, kok. Selama gak mesum kayak Kakak." Aku melewek, menjulurkan lidah. "Halo." sapa Eki, ia menjulurkan tangannya mengajak
"Mima.."Satu detikDua detikTiga detikWanita di hadapanku mendekapku erat, hangat. Membuat dada sesak. Bukan sesak yang menyakitkan, tapi sesak haru."Hai Mima, banyak pasien, ya? Sudah ditunggu loh, dari tadi," sapa mama Eki setelah memelukku.Aku terkesiap, melongo, sungguh takjub. Apa aku mimpi? Aku memeriksa bibirku, barangkali ada iler yang masih melekat."Aa.. aah.. iya tante. Tadi habis ngerujuk pasien perdarahan. Duh maafkan ya Tante, jadi menunggu lama," ucapku gagap."Iyah Nak, gak apa-apa. Yuk kita langsung makan aja. Udah laper, kan? Oh iya panggil Mama aja, Mama sama Bibi sudah masak khusus buat menyambut Mima," balasnya ramah. Merangkulku menuju ruangan yang dimaksud.Aku melirik Eki yang kini berada di belakangku. Ia tersenyum, seolah berkata 'apa aku bilang, ini tidak seperti dugaan kamu'.Kami melangkah menyusuri lorong terang menuju ruang makan. Aku sedikit bingung, karena aku tak pernah berta
Havana, ooh na-na (ay)Half of my heart is in Havana, ooh-na-na (ay, ay)He took me back to East Atlanta, na-na-naOh, but my heart is in Havana (ay)There's somethin' 'bout his manners (uh huh)Havana, ooh na-naDering telepon membangunkanku dari mimpi melelahkan. Aku melirik jam, pukul sembilan pagi. Badanku masih terasa remuk redam sebetulnya. Hanya saja bising suara dari gawai yang kuatur maksimal membuatnya hampir memecahkan cochleaku. Menerima panggilan adalah cara paling kilat untuk menghentikannya.[Halo Assalammualaikum] jawabku.[Waalaikumsalam] balas di seberang sana.[Siapa nih?][Ini Lita][Oh kenapa, Lit?][Mim, bisa tukeran dinas, gak? Aku ada keperluan mendadak nih harus ke dokter. Kamu sore, ya, aku ganti jaga malam][Uhm...] Aku mencoba mengumpulkan serpihan nyawaku yang terserak terbawa mimpi.[Bisa kan, Mim? Please! Urgent banget] suaranya memohon.[Okelah] Aku mengiy
"Bu Bidan... saya udah gak kuat..," rintih pasien."Sebentar, Bu, tahan dulu ya. Saya periksa dulu."Aku bergegas melakukan vaginal tussae atau biasa dikenal dengan periksa dalam kumasukkan kedua jari saktiku kedalam jalan lahir demi mencari portio.Rupanya kepala janin sudah teraba dan boleh diloloskan. Jadilah aku segera membuka seluruh partus set atau alat persalinan. Mempersiapkan alat, siapkan diri. Memasang alat pelindung diri, penampilanku tak jauh berbeda dengan astronot. Hanya saja aku akan bergelut dengan darah dan ketuban, bukan pasir. Jika astronot berada di ruang hampa, maka aku berada dalam suasana yang hening dan penuh kosentrasi tinggi.Srooot....Darah beserta air kehijauan muncrat di hadapanku. Jika saja aku tak memakai celemek, pastilah seluruh baju putihku bak habis bermain lumut.Ah, mekonium. Aku curiga si Ibu salah hitung usia kehamilan. Aku khawatir dengan kondisi janin di dalamnya. Semoga baik - baik saja."Yu
Tililut..Gawaiku bergetar, tanda ada pesan instant masuk.[Aku udah di depan]Aku melirik jam dinding. Masih sepuluh menit lagi jadwal dinasku berakhir. Namun Lita tak kunjung datang.[Lit, di mana?][Bentar lagi sampai][Oke]Aku masuk ke ruang jaga. Berganti pakaian dinas dengan baju bebas. Kali ini aku menyemprotkan cologne ke seluruh sudut pakaian. Hmmm, semerbak wangi bunga mawar mengelilingi tubuhku yang sebelumnya amis oleh aroma darah.Tok tok tok.."Assalammualaikum, Mim..." terdengar suara Lita memanggil ."Sebentar Lit," jawabku..."Kamu dijemput Eki ya, Mim?""Iyah. Kok tau?""Tadi pas aku turun angkot ngeliat ada cowok atletis bener. Pas aku pantengin ternyata ganteng, trus setahuku yang ganteng biasanya yang jemput kamu. Haha.""Halah.. lebay!""Ya udah sana, jangan kelamaan ganti bajunya. Entar keburu dia disamber orang loh.""Iya, iya... Nih udah."
"Baik, sila mempelai pria menjabat tangan wali." Penghulu memberi intruksi untuk diikuti oleh Eki"Bismillahhirohmanirrahim. Saudara Reiki Savian Altezza bin Kuncoro Adi Kusumo. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan keponakan saya yang bernama Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya berupa dua puluh gram logam mulis, seperangkat alat shalat dan mushaf wanita dibayar tunai," ucap om Kenzi dengan suara berat seolah menahan tangis."Saya terima nikah dan kawinnya Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai." Eki mengucapkan janjinya dengan lantang tanpa ada kesalahan sedikitpun."Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu ke arah saksi, juga para tamu yang hadir."Sah!" Seluruh yang hadir mengucapkan satu kalimat yang kami nanti."Alhamdulillah..."Seisi ruangan mengucap hamdalah. Pertanda aku telah sah menyandang gelar nyonya Eki.Aku mengusap wajah. Menutup wajah
Aku duduk sendiri di kamar, membiarkan penata rias melakukan aksinya. Puluhan tetes kecil foundation cair ia berikan pada wajahku, lalu diratakan menggunakan spons. Kembali ia membubuhkan foundation berbentuk stick berwarna sedikit lebih terang pada wajahku, diratakan kembali. Ia menambahkan shading berwarma coklat pada bagian bawah tulang pipiku di kanan dan kiri, meratakannya dengan kuas. Setelah itu ia menepuk-nepuk mukaku dengan bedak tabur bewarna natural. Lalu membubuhkan blush on berwarma pink pada pipi.Aku memperhatikannya dengan mata mengintip. Ia masih asyik membubuhkan warna pada kelopak mataku. Memberikan garis hitam pada tepinya. Memasangkan maskara yang kemudian ditimpa bulu mata palsu, lalu alis yang simetris."Akhirnya sahabat gue mau married juga. Gimana rasanya, Mim?"Suara Tri yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mengagetkanku."Eh lo, baru dateng sih. Tapi syukur deh lo dateng sekarang. Deg-deg-an nih gue..""Udah, bismillah." I
Akankah semua akan berakhir seperti sebelumnya? Bahkan membayangkannya saja aku tak sanggup walau telah berserah.Aku mencoba menekan panggilan suara dari aplikasi pesan instan. Berharap pemilik telepon yang aku tuju menerima panggilan. Mehempaskan keresahan.Tuut.... nada panggilan tersambung namun tak ada jawaban.Tuut... kembali nada panggilan tersambung.[Halo assalammualaikum] sapa di seberang.[Allahuakbar, waalaikumsalam. Kamu dimana? Gimana pesawatnya?] Tanyaku beruntun.[Aku masih di Muscat International Airport. Pesawat gak ada yang bergerak karena badai.] terangnya.Aku mulai sesegukan.[Mima, aku ga akan menggagalkan pernikahan ini. Aku berusaha sekuat tenaga agar tetap sesuai jadwal. Kalau tidak, enggak mungkin aku membersamai kamu sejak enam bulan lalu.] Ia mencoba menenangkanku.[Iya, tapi... aku enggak bisa membohongi diri kalau aku khawatir. Khawatir kita sebetulnya tidak berjodoh. Menyesakkannya lagi, sem
"Mim..." Suara tante Rita saat mendekatiku yang sedang duduk di ruang tamu."Ya Tante," jawabku buru-buru meletakkan telepon."Gimana persiapan pernikahan kalian?" Ia bertanya seolah tahu apa yang tengah terjadi."Barusan telepon mama Inen. Ternyata Mama Inen belum dapat bahan tile untuk kebaya Mima. Mana waktu tinggal empat belas hari lagi," curhatku. Entah kenapa hatiku tak tenang. Kepalaku mendadak pening."Trus saran mama Inen bagaimana?" Tante Rita yang tahu aku selalu mudah cemas dengan kondisi seperti inipun terdengar khawatir."Mima disuruh ke toko tempat Mima beli kain. Barangkali di sana ada." Aku memberi tahu tante Rita solusi dari mama Inen tadi sambil memijat kedua sudut keningku."Kapan Mima mau ke sana?" Ia kembali bertanya, wajahnya ikut khawatir dan tak tahu harus melakukan apa."Hari ini mungkin Tante. Mumpung Mima libur." Aku menjelaskan rencanaku pada tante Rita."Seserahan sudah selesai? Sudah dibeli semua?
Aku memesan taksi online, menantinya dengan rasa gusar. Sudah jam empat sore, dan sebentar lagi jalanan ibu kota akan ramai. Beruntung taksi tiba dalam lima belas menit. Setidaknya aku berangkat sebelum jam pulang kantor.[Kamu sudah dimana?] Chat Eki terdengar resah.[Di jalan, baru keluar jatinegara.][Lewat tol aja ya, biar cepat. Aku udah mau sampai.] balasnya.[Oke. See you then]Klik!Aku mengunci gawai, pandangan kuedarkan ke luar jendela. Dalam beberapa menit ke depan, Eki akan meninggalkan Indonesia. Itu berarti tidak akan ada lagi lelaki penuh kejutan yang datang ke puskesmas, rumah mama, atau kostanku. Tanpa sadar, aku menyukai kejutan yang dibuatnya. Mungkin akan merindukannya beberapa saat, hingga nanti penghulu menyatukan kami dalam akad.Perjalanan ke bandara memakan waktu sembilan puluh menit. Aku tiba di terminal yang dimaksud, tiga puluh menit sebelum jadwal check-in. Eki sudah berdiri disana. Dengan celana chino war
"KUDA disini, singkatan dari Kendaraan, Uang, dan DArah. Pastikan ada kendaraan yang mudah dijangkau untuk kondisi darurat, lalu uang, atau tabungan persalinan. Biaya bersalin cukup mahal. Paling murah itu satu juta. Itu pun jika normal tanpa komplikasi. Kalau ada komplikasi atau malah operasi, biayanya bisa sepuluh kali lipat dari itu Pak. Jadi mulai menabung ya Pak. Biar nanti gak bingung dana kalau kondisi darurat. Yang terakhir ialah darah. Di Indonesia yang penduduknya padat, sangat sedikit stok darah. Karena itu, biar gak pusing cari donor, bapak siapkan dari sekarang calon pendonornya. Ibu golongan darahnya A kan? Bapak apa?""Saya A juga Bu Bidan," jawab si suami."Nah Bapak bisa jadi donor, keluarga yang golongan darahnya A juga dimintai tolong jadi donor jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Tapi bilangnya dari sekarang, jangan pas butuh. Biar mereka juga standby.""Baik Bu Bidan. Lalu kalau isteri sendiri, apa yang harus dipantang?" Ia kembali bertanya. Aku
HeyHavana, ooh na-na (ay)Half of my heart is in Havana, ooh-na-na (ay, ay)He took me back to East Atlanta, na-na-naOh, but my heart is in Havana (ay)There's somethin' 'bout his manners (uh huh)Havana, ooh na-na (uh)Aku yang tengah bersiap untuk berangkat kerja, mengambil gawai yang tergeletak di atas meja.[Halo Assalammualaikum] salamku menjawab telepon.[Waalaikumsalam. Kamu udah mau berangkat?] tanya Eki di seberang.[Iya, ini lagi mau pakai sepatu. Kamu pesawat jam berapa?][Malam jam tujuh, jadi mau anter ke bandara? Kalau capek gak usah.] Ia memberi saran.[Insya Allah iya. Aku pulang dinas jam tiga. Semoga gak ada halangan. Nanti aku kabari, ya.][Iya, ya sudah. Aku packing dulu, ya. Hati-hati berangkatnya. Wassalammualaikum.][Iya. Waalaikumsalam]Tit!Panggilan terputus. Aku bergegas memakai sepatu dan meninggalkan kamar kost menuju parkiran."Pak Jaja?" Aku m
Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu dengan jantung berdebar. Ada rasa takut menghinggapi. Bukan, bukan karena penyakit mama yang memungkinkan ia kumat. Tapi keberadaan Kellan. Aku takut ia bersikap menjengkelkan ketika prosesi berlangsung.Mama dan tante Rita tiba di ruang keluarga lebih dulu. Menyapa Eki dan keluarganya, bersalaman, dan tersenyum manis, tenang. Ketika mama melirik ke arah Kellan yang tersenyum, ia sempat terdiam, lalu... Histeris!"Kamu mau ngapain disini?? Kamu mau apa? Kenapa kamu ada dirumah saya? Pergi kamu penjahat! Pergiii!!!" pekiknya dengan wajah merah padam dan nafas terengah menahan emosi yang meluap tak beraturan."Mama, tenang Ma.." Aku menepuk pundaknya."Uni, saba uni...," Tante Rita ikut menenangkan."Pergii, kamu pembunuh! Pergiii!" Kembali mama histeris seraya mengambil makanan dan melemparnya ke arah Kellan. Tak lama memegang kepalanya dan ambruk!"Mamaaa.." teriakku.Baru aku akan menopang bada
"Silakan dicicipi menunya," ucap staff Adhiyakti Wedding Organizer.Aku dan Eki mencoba aneka menu yang dihidangkan bergantian untuk dipilih sebagai sajian saat resepsi. Appetizer, main course, dessert, pondokan, semua terasa sangat enak di lidahku. Tak terasa perutku menjadi penuh."Bagaimana, Mba?" tanya staff tadi."Saya pesan yang ini saja. Jika undangan saya sebar seratus, berasa porsi harus kami siapkan?" Aku meminta pendapat."Tiga ratus saja, Mba. Pamali kalau kurang. Mending berlebih," tukasnya."Baiklah. Kami menurut saja," balas Eki.Setelah sesi mencoba makanan, kami beralih memilih desain undangan, dekorasi, baju adat, dan paket foto plus video. Semua bagus-bagus, sebanding dengan harga yang mereka bandrol dalam masing-masing paket.Sesi diskusi saat mengunjungi WO biasanya mencuatkan intrik antar pasangan. Di mana ada selera dan kemauan yang tak seiring sejalan. Bersyukur, aku dan Eki tidak mengalami hal tersebut.