Aku tak bisa berucap apa-apa, setelah melihat foto yang dikirim Erina. Pikiranku tak karuan hingga aku linglung beberapa saat dan aku sadar saat ibu memanggil.
"Kinan, kamu di dalam?" tanya Ibu."Iya, Bu," ucapku. Segera ku ambil ponselku dan ku simpan. Ibu gak boleh tahu soal Mas Ilham.Ibu masuk ke kamar, dia tampak melihat aneh diriku."Kamu sakit, wajahmu pucat," kata ibu."Gak, Bu. Hanya butuh istirahat saja," ucapku."Ya udah istirahat saja," kata ibu. Ibu keluar kamar lalu aku berbaring di tempat tidur. Ku buka ponselku lagi dan menelpon Mas Ilham sayangnya tak diangkat.Aku menelfon Pak Willi, tetapi juga nomornya malah tak aktif. Akhirnya aku pasrah dan berdoa agar pikiran negatif ini salah.Hingga malam, Mas Ilham belum memberi kami kabar. Ibu ku tanya juga belum di telfon Mas Ilham. Hingga akhirnya sebelum tidur ku telfon istri Pak Willi."Assalamualaikum, Ma," ucapku."Waalaikumsala"Mereka siapa, Mas?" tanyaku. "apa hubungannya dengan kamu?" tanyaku."Dia istriku," jawab Mas Ilham.Seketika kakiku lemas, kakiku tak bisa menopang tubuhku lagi. Aku terjatuh ke lantai pelan. Kenyataan pahit ini sungguh menyiksa hati."Mas Ilham, mengapa...," Vira hendak berbicara tapi di cegah oleh Mas Ilham."Kinan maafkan aku, aku terpaksa melakukannya," ucap Mas Ilham.Ku lihat Vira menarik tangan Mas Ilham, diajaknya Mas Ilham ke belakang. Entah apa yang mereka bicarakan di belakang sana. Namun, aku merasa duniaku seketika runtuh. Kali ini lebih menyakitkan dari pada saat diduakan Mas Arfan."Mengapa semua terjadi?" tanyaku lirih.Mas Ilham dan Vira kembali. Mereka membantu aku untuk duduk di sofa."Maafkan aku, Mbak," ucap Vira. "Aku tahu apa yang aku lakukan salah, aku harap Mbak Kinan gak akan berpisah dari Mas Ilham. Mas Ilham mencintai Mbak Kinan," kata Vira.Cinta, jika memang dia mencintai
Aku langsung menutup panggilan Pak Willi, ku biarkan dia di sana panik. Aku tak mau mengorbankan keluargaku hanya demi dia."Kinan, apa ada yang menelfon?" tanya Mas Ilham keluar dari kamar mandi."Iya, Pak Willi," jawabku. "Dia terkejut karena aku yang angkat telfon. Padahal dia mengatakan kalau istrinya mulai curiga san kamu harus mengaku suami Vira," ucapku.Mas Ilham duduk di tepi ranjang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk."Mandilah, besok kita pulang," ucap Mas Ilham. "Apapun nanti keputusan kita, aku harap semua yang terbaik," ucap Mas Ilham.Aku mandi, tapi tidak lama karena aku mendengar Mas Ilham mendapat telfon dari ibu."Kinan baru selesai mandi, Bu," ucap Mas Ilham ketika melihat aku keluar dari kamar mandi. "Ibu tenang saja kamu di sini baik-baik saja. Besok kami pulang, kami titip Marvel dan Kiara ya, Bu," kata Mas Ilham."Iya, Nak. Kamu jaga istrimu baik-baik," ucap ibu.Mas Ilham tersen
Aku sebenarnya kepo dengan apa yang Pak Willi bicarakan. Namun, kami harus tetap bersandiwara dan mengobrol biasa saja.Setelah Pak Willi pergi dengan Mas Ilham, kami membahas rencana istri Pak Willi."Surat-surat akan jadi satu Minggu. Jadi selama satu Minggu aku harus tetap bersandiwara kalau aku tidak tahu," ucapnya."Tapi Pak Willi sudah tahu kalau aku tahu semua," ucapku."Ya sudah tak masalah, yang penting kita tetap bersandiwara seperti biasa," ucapnya.Istri Pak Willi lalu pamit, dia tidak bisa lama karena banyak yang harus diselesaikan.Tidak berapa lama Mas Ilham kembali dengan Pak Willi. Dia melihatku dengan tatapan sinis."Ilham, ingat pesanku tadi," kata Pak Willi."Baik, Pak," ucap Mas Ilham.Pak Willi pamit, aku segera mengajak Mas Ilham ke kamar. Aku ingin menanyakan apa yang dia bicarakan dengan Mas Ilham."Dia bicara apa, Mas?" tanyaku."Dia meminta aku untuk pura-pur
"Ada apa?" tanya Mas Ilham padaku."Kiara dengar kalau kamu punya istri lagi, jadi dia marah," jawabku."Pantas dia terlihat membenciku," kata Mas Ilham.Kiara di dalam kamar mengamuk, dia menggedor kamar Dina dan Sofia bergantian hingga penghuninya bangun. Sementara Ana sudah pulang, dia merasa tak enak karena dia Kiara dengar semua."Ada apa Kiara?" tanya Sofia."Kalian harus pergi, ajak kakak kalian itu. Dia udah nyakitin mama," jawab Kiara."Nyakitin apa sih? Mas Ilham emang melakukan apa sama Mama?" tanya Dina berjongkok di depan Kiara.Kiara mendorong Dina hingga terjengkang. Aku langsung mendekati Kiara."Kiara sayang, kamu salah faham. Mama tadi hanya bohongin Tante Ana. Mama gak suka kalau dikepoin," kataku."Gak mungkin mama bohong, aku benci kalian semua. Pergi dari sini!" Usir Kiara."Bagaimana ini, Mbak?" tanya Sofia."Udah jangan di dengarkan. Biarkan dia marah nanti juga
"Mas Willi...," ucap istri Pak Willi.Pak Willi menoleh, dia terkejut melihat ada aku dan istrinya."Ngapain papa di sini?" tanyanya.Aku hanya melihat pemandangan yang langka ini. Aku tidak mau ketinggalan info apapun."I...ini aku jenguk Niko," jawab Pak Willi."Memang ada hubungan apa kamu?" tanyanya."Kalian ngapain ke sini?" tanyanya balik."Vira datang ke rumah Kinan, saat itu aku di sana. Dia bilang anaknya butuh donor darah," jawabnya."Mbak Kinan, bagaimana ini?" tanya Vira mengabaikan pembicaraan Pak Willi dan istrinya."Suruh saja papanya untuk donorkan darahnya," jawabku."Dia gak mau," ucapnya."Pak Willi, boleh saya minta tolong! Tolong donorkan darah anda! Siapa tahu cocok dengan darah Niko," ucapku."Kenapa harus aku?" tanya Pak Willi. "Aku kan bukan papanya mana mungkin bisa cocok," bantahnya."Hah...tolong saja anak itu!" Perintah istrinya.
Seminggu setelah Vira ikut di rumah mantan istri Pak Willi, kami berkunjung ke sana karena waktu itu hari minggu. Sekaligus Mas Ilham ada perlu.Sampai di sana aku melihat Vira membantu asisten rumah tangga Bu Kia."Mbak Kinan, ada apa kemari?" tanya Vira."Ada keperluan," jawabku.Mas Ilham menemui Bu Kia sementara aku duduk di ruang keluarga bersama Marvel dan Kiara."Mbak, aku gak betah di sini," ucap Vira sambil meletakkan minuman di meja untuk kami."Emang kenapa?" tanyaku."Bu Kia, dia sering nyuruh aku ini itu," jawabnya. "Aku di sini dianggap kaya pembantu," ucapnya."Lha itu kan wajar, masa iya kamu numpang di sini tapi gak mau bantu apa-apa," kataku santai."Gak gitu, Mbak. Dia nyuruhnya keterlaluan," ucapnya lagi."Keterlaluan gimana?" tanyaku."Huuhuu...huu," Vira justru menangis. Aku gak tahu harus mengatakan apa lagi padanya. Aku gak mungkin mudah percaya dengan
"Maaf, Pak. Ibu anda kehilangan banyak darah sehingga beliau tidak bisa di selamatkan," jawab Dokter. "Kami sudah berusaha sebisa kamu, tapi takdir berkata lain," ucapnya.Mas Ilham langsung saja lemas tak berdaya. Dia berlutut di depan sang Dokter dan menangis. Baru kali ini aku melihat Mas Ilham yang kuat bisa menangis. Kehilangan orang yang sangat dia sayangi sangatlah berat.Tak hanya Mas Ilham, Dina dan Sofia semakin keras tangisnya."Maafkan Ilham, Bu," ucap Mas Ilham setelah dokter pergi. Dia segera beranjak masuk melihat ibunya untuk yang terakhir kali. Kami mengikutinya di belakang. Mas Ilham susah memeluk tubuh sang ibu yang sudah di tutup kain putih. Kami berempat mendekati jenazah ibu dan memastikan bahwa dokter tidak salah orang.Aku membuka kain penutup wajah ibu, Mas Ilham dan kedua adiknya langsung menangis saat melihat wajah ibu yang pucat."Maafkan Ilham, Bu! Ilham tidak bisa jaga ibu!" Ucap Mas Ilham.
"Apa Pak Willi tersangka utamanya?" tanya Sofia saat mendengar jawabanku.Aku mengangguk, mereka sangat marah karena apa yang dilakukan Pak Willi sudah diluar batas."Dia harus dihukum," ucap Sofia."Mas Ilham tidak akan membiarkan dia hidup tenang," kataku.Pagi itu kami tengah sarapan, Mas Ilham belum pulang dari kantor polisi. Aku meminta Bi Sri pesan makanan untuk acara tahlilan nanti malam."Kinan...Kinan...keluar kamu!" Suara Vira terdengar.Setelah aku membuka pintu, Vira menyerang ku. Dia langsung saja menjambak rambutku."Aku sudah peringatkan kamu, kan. Kalau Mas Willi punya rencana kamu sih gak mau dengar. Sekarang aku mau kamu bujuk Ilham untuk mencabut laporannya," ucap Vira."Maaf gak bisa, yang salah harus tetap mendapat hukuman," balasku.Dina dan Sofia langsung menyusulku, melihat yang datang Vira, emosi mereka meluap."Masih gak punya malu kamu, udah jelas suami kamu salah mas