Aku sampai di rumah sakit langsung berlari menuju ruangan Putra. Di sana sudah ad Pak Willi dan istrinya."Putra, aku di sini. Kamu harus sembuh," ucapku. Air mataku tak terbendung lagi, Putra sudah kejang-kejang tak karuan.Sesaat dia tak kejang,"Kinan, aku mencintaimu," ucap Putra."Aku juga mencintaimu," ucapku.Dokter mengambil tindakan, Putra sudah tak dapat berbicara lagi. Aku menunggu di sampingnya. Sementara Kiara aku pasrahkan pada Ilham."Kinan, ini sudah sore. Apa tidak sebaiknya kamu minta jemput Ilham?" tanya Pak Willi."Gak, Pak. Biarkan malam ini aku yang jaga Putra. Kalian pulang saja," jawabku.Aku ingin menemani Putra di saat terakhir hidupnya. Dia sudah banyak menolongku selama ini.Sebelum Pak Willi pulang, Mama dan papa menjeguk Putra. Mereka menguatkan Pak Willi agar tetap sabar."Kinan, kalau kamu di sini. Mama akan ke rumah nemenin Kiara," kata mama."Iya, Ma. Kinan titip Kiara ya," kataku.Mama pulang, begitu juga dengan Pak Willi dan istrinya. Aku mengambil w
Kematian Putra membuatku turut sedih sekali. Bahkan berbeda dengan saat Mas Arfan dinyatakan meninggal. Apa mungkin karena aku dulu sudah tak mencintai Mas Arfan? Bisa jadi."Kinan, kamu tak ikut ke acara tahlilan Putra?" tanya mama."Ikut, Ma. Sebentar lagi aku siap-siap," jawabku.Kami berangkat tahlilan ke rumah Putra selama tujuh hari full. Setelah tujuh hari kematian Putra aku berangkat kerja seperti biasa diantar Ilham.Sore itu aku mampir ke resto untuk membeli makana. Aku melihat seseorang mirip Mas Arfan dia berdiri tidak jauh dari mobil seseorang. Aku ingat mobil itu seperti mobil mama mertua.Aku kembali ke mobil, membuat Ilham heran."Kenapa balik, Mbak?" tanya Ilham."Aku melihat orang mirip mantan suamiku," jawabku.Tidak berapa lama aku melihat mama mertua dan Ana ke luar dari restoran mereka mendekati Mas Arfan."Jadi selama ini mereka tahu Mas Arfan masih hidup?" tanyaku."Wah gak bener, Mbak. Mereka membohongi Mbak Kinan," sahut Ilham.Setelah mobil yang dibawa Mas
Ketika aku terbangun, aku berada di rumah. Ternyata Ilham membawaku pulang. Mama dan papa ada di sana.Ya, aku juga melihat Mas Arfan di sana. Dia tengah dimarahi habis-habisan oleh papa."Mau kamu apa? Ganggu Kinan terus," kata papa."Aku hanya ingin Kinan mengizinkan aku menemui Kiara sebulan sekali, Pa," jawab Mas Arfan tertunduk."Kamu mau melanggar perjanjian yang sudag kamu tanda tangani? Apa kamu juga kurang puas telah membohongi semua orang dengan pura-pura mati?" tanya papa penuh emosi.Aku tak melihat Kiara, sepertinya di sedang bersama Ilham di luar."Kamu sudah merusak ketenangan Kinan. Aku gak akan memanfaatkan kamu. Akan aku laporkan kamu ke kantor polisi," ucap papa."Jangan, Pa! Aku mohon jangan!" pinta Mas Arfan sambil berlutut di kaki papa."Kamu kira aku akan percaya padamu lagi?" tanya papa. "Kalau kamu berani mengganggu Kinan, maka aku juga akan mengganggu Ana. Aku bisa buat kamu kehilangan dia dan anak dalam kandungannya," ancam Papa.Aku tahu papa sudah tidak bi
Kinan sampai di rumah, dia melihat api melalap sebagian rumahnya. Bi Sri sudah memanggil pemadam kebakaran."Bi, bagaimana ceritanya?" tanyaku bingung. Padahal saat aku pergi keadaan rumah baik-baik saja."Sepertinya ada yang sengaja membakar rumah Non Kinan," jawab Bi Sri. "Aku melihat ada orang membawa jerigen. Dia langsung menyulutkan api setelah menyiram sebagian rumah dengan bensin," sambung Bi Sri."Aku yakin ini pasti ulah Arfan," kata papa. "Aku tidak terima Kinan," kata papa marah.Memang tidak semua terbakar, hanya bagian belakang saja. Namun, tetap saja aku harus mengeluarkan biaya lagu untuk memperbaikinya."Pak, lebih baik kita tunggu keterangan dari polisi dulu," kataku.Api sudah padam, kami pun bertanya pada polisi apa penyebab kebakaran di rumah kami."Sepertinya dugaan Bi Sri benar, Bu Kinan. Ada orang yang sengaja membakar rumah ini," kata polisi. "Kami akan mengusut kasus ini," sambung polisi.Rumahku masih bisa ditempat namun bagian belakang harus di perbaiki. Kam
Aku pusing memikirkan semua ini. Apa mungkin papa selamat? Tapi kenapa dia tak menghubungiku? Lalu mama dimana dia? Pikiranku tak karuan."Ma, jangan sedih ya! Oma dan Opa pasti baik-baik saja," kata Kiara."Benar, Mbak. Kita doakan mereka saja agar tetap lindungan Allah," ucap Ilham.Rumahku sudah selesai di renovasi, namun aku belum berani kembali mengingat rumah mama pasti akan sepi."Bagaimana mungkin Kiara bisa melihat papa di resto, Ham? Apa papa memang sengaja membuat rencana ini?" tanyaku."Jika seperti itu, apa tujuannya?" tanya Ilham."Entahlah aku tak tahu. Jika memang benar aku sangat kecewa padanya," jawabku.Malam itu aku tak bisa tidur. Aku melihat ada orang masuk ke rumah mama. Aku melihat dia masuk ke kamar mama."Siapa kamu?" tanyaku setengah berteriak.Orang itu langsung saja pergi melalui jendela. Aku kehilangan jejaknya."Ada apa, Mbak?" tanya Ilham baru datang."Ada orang masuk kamar mama," jawabku."Coba kita cek apa yang hilang," kata Ilham.Kami mengecek kamar
Sampai saat ini belum juga ada perkembangan perihal hilangnya orang tuaku. Aku semakin pusing, jika polisi saja tidak bisa menemukan papa apalagi aku dan Ilham.Saat aku tengah melamun sore itu, Mas Arfan datang. Dia menawarkan bantuan untuk mencari orang tuaku."Kinan, bagaimana kalau aku bantu kamu?" tanya Mas Arfan."Bantu aja kalau kamu mau. Siapa tahu kamu bisa temukan orang tuaku," jawabku.Mas Arfan lalu pulang, entah apa yang dia lakukan untuk membantuku."Tadi Mas Arfan ke sini, dia bilang akan membantu," kataku.Seketika raut wajah Ilham berubah, dia diam saja."Kamu kenapa?" tanyaku."Oh tidak, Mbak," jawab Ilham.Aku merasa Ilham tak suka Mas Arfan menemuiku. Apa dia cemburu? Entah hanya dia yang tahu.***Dua hari berlalu, tiba-tiba saja Mas Arfan datang. Yang membuat aku terkejut, dia membawa mama dan papa. Hanya saja keadaan mereka babak belur."Mama...papa...," teriakku.Ilham langsung membantu Mas Arfan membawa Mama dan papa ke kamar. Aku segera memanggil Dokter ke
Hubungan antara Aku dan Mas Arfan memang membaik. Tapi tetap saja tak ada niatan untukku rujuk dengannya.Aku sudah pindah ke rumahku bersama dengan Kiara dan Ilham."Ma, Om Ilham mana?" tanya Kiara."Gak tahu, gak ada di kamar?" tanyaku.Kiara menggeleng, kemana Ilham biasanya kalau keluar selalu izin.Hingga malam Ilham tak memberi kabar. Aku telfon ponselnya malah tak aktif."Ma, temani Kiara tidur ya," kata Kiara.Aku menemani Kiara tidur, setelah Kiara tidur aku baru bangun dan melihat keluar lagi. Ilham belum pulang, kamarnya juga masih kosong."Cari Mas Ilham ya, Bu?" tanya Bi Sri."Iya, Bi. Dia sejak siang gak ada. Ditelfon juga gak bisa," jawabku."Bu Kinan suka sama Mas Ilham?" tanya Bi Sri.Pertanyaan itu terdengar lancang tapi aku tak marah pada Bi Sri."Apaan sih, Bi. Gak waktunya bercanda," kataku lalu masuk ke kamarku.Aku gak mau kalau Bi Sri sampai tahu aku khawatir pada Ilham.Akupun akhirnya tertidur, bangun tengah malam. Mencari Ilham kembali tapi tetap nihil."Kem
Pagi itu aku dan Kiara sarapan bersama. Ilham sudah sarapan lebih dulu. Dia sedang di depan membersihkan mobil."Ma, kita di rumah aja?" tanya Kiara."Iyalah, mau kemana lagi?" tanyaku."Ke kolam renang yuk, Ma!" ajak Kiara.Kiara merengek, akhirnya aku mengalah. Aku sedang halangan jadi tak bisa menemani Kiara. Ku minta Ilham menemani Kiara."Ham, Kiara ngajak pergi berenang. Aku lagi halangan, nanti kamu temani dia ya," kataku."Iya, Mbak," ucap Ilham.Kami bertiga pergi berenang. Di rumah ada kolam renang tapi Kiara tak suka. Dia lebih suka renang di tempat umum karena banyak temannya."Kiara, boleh minta tolong gak?" tanya Ilham."Minta tolong apa, Om?" tanya Kiara."Jadikanlah aku ayahmu," jawab Ilham.Kiara tertawa, sementara Aku menabok pelan Ilham dengan tasku."Om Ilham mau jadi ayahnya Kiara?" tanya Kiara."Iya, kamu mau gak?" tanya balik Ilham."Mau, tapi ada syaratnya," jawab Kiara."Apa syaratnya?" tanya Ilham."Nanti aku kasih tahu," jawab Kiara.Kami sampai di kolam ren
Ternyata Allah menjawab doa anak-anak selang dua bulan kemudian aku hamil lagi. Mereka bergembira saat tahu aku tengah mengandung adiknya."Hore... hore punya adik," seru Kiara diikuti dengan Marvel sambil lompat-lompat.Kehamilan aku dan Dina beriringan, tentu aku tak akan bisa menemani dia lahiran. Namun, keluarga Brian sudah siap menemani Sofia lahiran.Papa senang melihat aku bahagia bersama Mas Ilham. Rasa sakit hati yang dulu diciptakan Mas Arfan seketika hilang sudah. Digantikan dengan kebahagiaan yang diberikan Mas Ilham.Tak hanya diriku, Ana juga merasakan hal yang sama. Dia mencurahkan semuanya padaku. Bahkan dia sempat menangis saat kami bercerita dan ingat saat-saat masih bersama Mas Arfan."Semua hanya masa lalu," kataku. "Sekarang kebahagiaan kita sudah di depan mata, meskipun bukan dengan Mas Arfan," kataku."Iya, Mbak. Hanya saja aku masih merasa bersalah pernah masuk dalam rumah tangga Mbak Kinan," katanya."Semua sudah berlalu, dulu memang aku sempat membencimu. Nam
Ku lihat banyak orang berkerumun, bahkan orang yang berada di dalam gedung pernikahan Sofia ada yang ikut melihat.Ku dengar dari beberapa orang bahwa yang kecelakaan adalah orang yang tadi diusir di pesta pernikahan Sofia."Aduh dia pasti kena karma," kata seseorang.Aku kembali ke gedung, ku lihat Mas Ilham sedang bersama Brian."Ada apa, Mbak?" tanya Sofia."Wanita itu kecelakaan sepertinya," jawabku. "Ku lihat tadi mereka bertengkar," ucapku."Ya ampun!" ucap Sofia.Acara pernikahan Sofia telah selesai. Kini Sofia akan tinggal di rumah ibu. Rumahku kembali sepi, karena hanya kami sekeluarga yang tinggal di sana.Rumah kembali seperti semula, hanya ada aku, Mas Ilham dan anak-anak."Mas, sepi ya?" tanyaku."Ya memang begitu, kan mereka udah punya keluarga sendiri-sendiri," jawab Mas Ilham. "Bagaimana kalau kita liburan?" tanya Mas Ilham."Liburan kemana, Mas?" tanyaku."Ke tempat yang sederhana saja," jawab Mas Ilham. "Nanti aku akan siapkan semua," ucapnya.Kamu akhirnya pasrah de
Kamu semua terkejut saat pria itu menyatakan niatnya untuk menikahi Sofia di atas panggung.Sofia mengangguk pelan," Ya aku menerima kamu," ucap Sofia.Ku lihat kedua mempelai merasa malu melihat Sofia mendapatkan jodohnya di depan mata mereka. Padahal baru satu menit yang lalu dia diejek."Nah, lihat kan kalau aku bisa dapat yang lebih baik," kata Sofia.Sofia lalu mengajak aku dan pria itu keluar dari acara tersebut. Aku terheran-heran, aku kira pasti Sofia tengah membuat drama."Akting kalian bagus," ucapku setelah sampai di tempat parkir."Akting, siapa yang akting Mbak?" tanya pria itu. "oh ya aku Brian, teman SMA nya Sofia," jawab Brian memperkenalkan diri."Jadi kamu beneran melamar Sofia?" tanyaku."Iya benar," jawab Brian."Sofia, Mbak gak mau kejadian kemarin ke ulang lagi. Lebih baik kamu pikirkan matang-matang, setidaknya sebelum menikah kalian memantapkan hati kalian dulu," kataku.
Sofia dan suaminya langsung pamit pulang. Kami tak bisa mencegahnya. Kamu hanya mendoakan kehadiran teman Sofia tidak membuat rumah tangga Sofia yang baru seumur jagung menjadi hancur."Aku jadi Sofia gak mau gantiin," kata Dina. "Sekarang dia kembali, bagaimana kalau sampai dia tidak terima dan merebut suami Sofia lagi?" tanya Dina."Kita berdoa saja semoga tidak seperti itu," jawab Mas Ilham.Aku merasa kasihan pada Sofia, dia harus menjalani asmara yang begitu rumit.Seharian Dina main di rumah, dia sedang libur. Dia bermain dengan anak-anak. Sorenya dia pulang di jemput Seno."Loh katanya Sofia ada di sini kok udah sepi," kata Seno."Udah pulang waktu aku datang," kata Dina."Mereka baik-baik saja, kan?" tanya Seno."Kamu tidak tahu, Sen," ucapku.Dina hendak pulang tapi dia melihat Sofia datang naik taksi."Loh katanya mau tinggal sama mertua kamu," kataku."Suamiku diminta sama t
Siang itu ku lihat Sofia pulang dengan wajah kusut. Dia terlihat memikirkan sesuatu."Ada apa, Dek? Temanmu sudah pulang?" tanyaku.Dia menggeleng, sepertinya masalahnya semakin rumit."Kak, aku mau nikah," kata Sofia."Hah," aku terkejut mendengar apa yang barusan dia katakan."Menikah dengan siapa?" tanyaku."Aku disuruh menggantikan pengantin perempuan besok, Mbak," jawabnya."Bukankah itu keinginan kamu, menikah dengan orang yang kamu cintai?" tanyaku heran melihat sikap dia yang justru lemas."Justru itu, aku merasa hanya sebagai tempat pelarian saja karena pengantin wanitanya kabur,' jawab Sofia. "Kak Ilham pasti kaget kalau aku akan menikah besok," kata Sofia."Itu sih tentu, nanti aku bantu bicara sama Mas Ilham," ucapku.Aku segera menelfon Mas Ilham, agar dia pulang lebih awal. Biar bagaimanapun, kami harus menemui keluarga calon mempelai putra."Mas, pulang sekarang! Ada hal
Dua hari setelah pernikahan Dina dan Seno, mereka akan pindah ke rumah baru Seno. Kami mengantar Dina ke sana dengan membawa barang-barang Dina."Aku pasti akan sering kangen kak Kinan," kata Dina."Kalau kangen ya datang kemari lah," ucapku."Insyaallah ya, Kak," ucap Dina.Sampai di rumah Seno, di sana sudah ada keluarga Seno. Pembantu Seno membantu membawakan barang milik Dina ke kamar.Aku ikut melihat kamar Dina, kamarnya sangat luas hampir sama dengan kamarku di rumah. Rumahnya juga bagus dan sangat modern."Wah bakal betah nih kalau rumahnya sebagus ini," pujiku.Dina hanya tersenyum, setelah itu kami ke ruang tamu menyusul yang lain. "Dina, sekarang kamu udah sah istrinya Seno. Jadi mama harap kamu harus saling jaga sama Seno," kata Mama Seno."Iya, Ma," kata Dina.Anak-anak bermain, mereka suka karena rumah Seno ada kolam renangnya. Mereka bermain air di sana."Seno,kamu udah
Pagi itu Dina tampak pergi dengan terburu-buru. Aku melihat ada wajah kecemasan pada dirinya."Kamu kenapa?" tanyaku."Tadi keluarga Mas Seno menelfon, katanya Mas Seno kecelakaan, Mbak," jawab Dina."Ya sudah kalau gitu aku ikut," ucapku.Aku dan Dina ke rumah sakit di mana Seno di rawat. Pernikahan mereka tinggal satu Minggu lagi tetapi Seno malah kecelakaan.Sampai di rumah sakit, kami bertemu dengan keluarga Seno."Dina, Seno belum sadar," kata Mama Seno.Dina langsung lemas, ku ajak dia duduk. Aku tahu Dina pasti terpukul."Din, sepertinya pernikahan kalian harus ditunda kalau Seno tidak sadar juga," kata Papa Seno.Dina Kembali lemas, harapannya segera menikah pupus. Dia harus menunggu Seno sembuh dulu.**Dina menunggui Seno di rumah sakit, selang satu jam kemudian Seno sadar. Lukanya tidak terlalu parah hanya saja dia perlu waktu untuk dirawat beberapa saat."Sayang, a
Pagi itu Mas Ilham membangunkan diriku, setelah pertempuran semalam aku sampai bangun kesiangan."Sayang, bangun!" Perintahnya.Di tak lupa mengecup keningku dengan penuh kasih sayang. Aku yang baru setengah sadar dari tidurku hanya tersenyum melihat perlakuan Mas Ilham."Hari ini aku antar kamu ke salon ya," ucap Mas Ilham."Ngapain ke salon?" tanyaku heran. Mas Ilham tak pernah mengantarku ke salon sama sekali. Tapi pagi ini dia ingin mengantarku ke salon."Cepat mandi!" Suruhnya.Aku segera mandi, setelah itu sarapan berdua saja dengan Mas Ilham. Ternyata yang lain sudah sibuk dengan urusan masing-masing."Mbak, nitip Marvel ya. Aku mau ajak mamanya ke salon," kata Mas Ilham saat melihat baby sitter Marvel."Baik, Pak," ucapnya lalu berlalu meninggalkan kami.Selesai makan kami berangkat ke salon, Mas Ilham memilihkan perawatan terlengkap untuk diriku."Mas, ini perlu waktu beberap
"Apa Pak Willi tersangka utamanya?" tanya Sofia saat mendengar jawabanku.Aku mengangguk, mereka sangat marah karena apa yang dilakukan Pak Willi sudah diluar batas."Dia harus dihukum," ucap Sofia."Mas Ilham tidak akan membiarkan dia hidup tenang," kataku.Pagi itu kami tengah sarapan, Mas Ilham belum pulang dari kantor polisi. Aku meminta Bi Sri pesan makanan untuk acara tahlilan nanti malam."Kinan...Kinan...keluar kamu!" Suara Vira terdengar.Setelah aku membuka pintu, Vira menyerang ku. Dia langsung saja menjambak rambutku."Aku sudah peringatkan kamu, kan. Kalau Mas Willi punya rencana kamu sih gak mau dengar. Sekarang aku mau kamu bujuk Ilham untuk mencabut laporannya," ucap Vira."Maaf gak bisa, yang salah harus tetap mendapat hukuman," balasku.Dina dan Sofia langsung menyusulku, melihat yang datang Vira, emosi mereka meluap."Masih gak punya malu kamu, udah jelas suami kamu salah mas