AUTHOR POV
Di sinilah Riri dan Haikal berada sekarang. Duduk di salah satu kursi sebuah restoran, sedang menunggu pesanan mereka disajikan.
"Habis ini, kamu mau ke mana? Apa ada tempat yang mau kamu kunjungin?" tanya Haikal ketika mereka mulai menyantap makanan yang tadi mereka pesan.
"Aku pengen ketemu sama Bunda, Ayah, dan Akhdan. Aku udah kangen banget sama mereka," jawab Riri pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Haikal.
"Ya, udah. Habis ini, kita langsung ke rumah Bunda. Sekarang, cepet habiskan makanan kamu," ucap Haikal yang diangguki oleh Riri.
"Uhuk, uhuk, uhuk."
Riri terlalu bersemangat melahap makanannya setelah mendengar ucapan Haikal. Hingga akhirnya membuat dirinya terbatuk-batuk karena tersedak.
Haikal buru-buru berdiri dan menghampiri Riri sambil menyodorkan segelas air minum. Riri menerima air minum itu, lalu meminumnya s
AUTHOR POV"Kamu kenapa bengong? Kamu nggak mau meluk aku tidur?" tanya Riri membuyarkan lamunan Haikal.Suara Riri sudah bergetar. Matanya juga sudah berkaca-kaca. Setumpuk cairan bening sudah berkumpul di pelupuk mata Riri, siap meluncur bebas di pipinya yang tirus dan putih mulus itu."Eh? Oh! Enggak kok, Ri. Enggak! B-bukan gitu. A-aku bukan nggak mau meluk kamu tidur. Aku cuma lagi bingung aja tadi," jawab Haikal gugup karena melihat Riri yang sudah hampir menangis."Bingung kenapa? Kalau nggak mau, ya udah! Pergi aja sana!" ucap Riri ketus."Bukan bingung karena itu .... Aku cuma lagi bingung, kok kamu tiba-tiba jadi manja? Apa karena kamu lagi ngidam? Tapi kayaknya emang bener kamu lagi ngidam, deh," Haikal bertanya sendiri dan menjawab sendiri pertanyaannya, berusaha menyangkal ucapan Riri yang terdengar sedikit menuduh."Ya udahl
AUTHOR POVTanpa sepengetahuan Haikal, diam-diam Riri tersenyum lebar mendengar penuturan Haikal. Wanita itu benar-benar bahagia sekarang. Dan Riri sudah tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya lagi. Riri merasa puas mendengar pengakuan Haikal. Meskipun dia tidak tahu, apakah Haikal benar-benar tulus atau tidak, apakah Haikal merasa terpaksa atau tidak. Tetapi yang penting sekarang adalah, Haikal memilih dirinya daripada Clara.Riri memutar tubuhnya menjadi menghadap Haikal. Senyum kebahagiaan masih terpatri di wajahnya. Namun senyum manisnya itu luntur seketika, saat melihat air mata yang mengalir di wajah tampan suaminya. Dan saat itu juga, perasaan bahagianya yang tadi sempat melambung tinggi, seketika terasa terhempas ke bumi dengan keras. Membuat perasaannya hancur berkeping-keping dan menjadi serpihan-serpihan kecil seperti sebuah kaca yang terhempas ke lantai.Mengabaikan rasa sakit di hatinya, Rir
AUTHOR POVMerasa ada tangan seseorang yang mengguncang bahunya, dan mendengar suara merdu seorang wanita yang memanggilnya, berhasil membawa Haikal kembali dari lamunannya.Menolehkan kepalanya ke asal suara, matanya menangkap sosok Riri yang baru selesai mandi. Tubuh mungil istrinya itu hanya dibalut dengan selembar handuk yang hanya menutupi dari bagian dadanya hingga ke paha. Bahkan pahanya tidak tertutup sebagian. Handuknya jadi terlihat lebih pendek pada bagian depannya karena tertarik oleh perut buncit Riri.Haikal mendudukkan dirinya. Matanya mulai menelusuri pemandangan indah berupa sosok wanita di hadapannya. Sosok wanita cantik yang berstatus sebagai istrinya dan ibu dari calon anak-anaknya. Sosok wanita yang mampu mengobrak-abrik pertahanan hasrat bercintanya."Kamu udah selesai mandinya?" tanya Haikal.Suaranya sudah mulai serak. Matanya sudah tertutup kabut g
RIRI POVBunda memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Dan aku dengan rencana yang sudah kususun. Pertama, aku akan kembali ke kamarku dulu. Aku akan mengambil sesuatu di kamarku. Kedua, aku akan masuk ke dalam kamar Akhdan dan menunggu sampai Akhdan pulang.Tetapi sebelum itu, aku harus mengajak Haikal untuk bekerja sama juga denganku. Hanya untuk jaga-jaga. Siapa tahu, Akhdan akan datang ke kamarku dan bertanya pada Haikal. Kalau Haikal tidak tahu, pasti dia akan membocorkan hal yang seharusnya dirahasiakan lebih dulu supaya rencanaku berjalan dengan baik. Dan itu akan menggagalkan rencanaku.Setelah melewati perjuangan dalam menaiki tangga, akhirnya sampai juga aku di dalam kamar. Aku langsung menyampaikan ajakan kerjasamaku dengan Haikal untuk menjahili Akhdan. Walaupun pada awalnya dia kelihatan heran dengan keinginanku yang ingin menjahili Akhdan, tetapi setelah aku sedikit membujuknya, akhirnya dia bers
AKHDAN POVAku mengernyit bingung dengan ucapan Kak Riri yang baru saja dikatakannya. "Penyakit? Penyakit apa yang kak Riri maksud?" akhirnya pertanyaan penasaranku meluncur mulus dari mulutku."Iya. Penyakit yang selama ini Kakak sembunyiin dari semua orang. Penyakit yang Kakak sembunyiin dari kalian semua. Cuma dokter di rumah sakit tempat Kakak periksa yang tau tentang penyakit Kakak. Dokter Andini, dokter spesialis kandungan Kakak, dan Dokter Arya, dokter spesialis yang ngevonis Kakak waktu itu. Juga ada Dokter Hana, dokter khusus keluarganya Haikal. Tapi, sekarang udah bertambah," cerita Kak Riri panjang lebar."Terus, sekarang udah berapa orang yang tau tentang penyakit Kakak? Siapa aja? Apa Bunda sama Ayah juga udah tau? Terus, sebenernya sakit apa yang Kakak derita selama ini?" tanyaku yang semakin penasaran."Kakak divonis ngidap penyakit kanker otak stadium lanjut atau stadium ti
AUTHOR POVSetelah makan malam, Riri, Haikal, Akhdan, Nisa', dan Malik memilih duduk santai bersama di ruang keluarga. Mereka masih ingin menghabiskan waktu bersama untuk bercengkrama dengan Riri agar dapat melepaskan rasa rindu pada diri mereka.Saat ini posisi duduk Riri tengah di apit oleh Nisa' dan Malik. Mereka duduk pada sebuah sofa panjang berwarna hitam. Sedangkan Haikal dan Akhdan, kedua orang itu seakan tersingkir dan duduk berseberangan dengan ketiga orang yang sedang asyik berbincang dan bercanda.Malik juga sempat menanyakan di mana Riri tinggal selama hampir dua bulan ini. Dan Riri menjawab kalau selama ini ia tinggal di villa keluarga Fikri yang berada di luar kota. Dan masih banyak lagi yang mereka bicarakan hingga tanpa mereka sadari, malam semakin larut.Riri dan Haikal pamit pergi ke kamar pada Nisa' dan Malik. Sedangkan Akhdan sudah beranjak dari sana sedari ta
RIRI POVSuara kicauan burung samar-samar terdengar olehku. Kicauan yang sangat merdu layaknya sebuah nyanyian penuh semangat dan penyambutan sang sinar mentari. Sepertinya burung-burung itu ingin membangunkanku dan mengatakan jika hari telah pagi.Sedikit demi sedikit aku membuka mataku. Mengerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina mataku dan berusaha mengumpulkan seluruh nyawaku. Menggeliat pelan untuk meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa sakit di beberapa bagian.Di depan wajahku, terlihat sebuah raut wajah seorang pria tampan yang sedang menutup matanya menandakan jika orang tersebut masih tidur. Kuperhatikan wajahnya yang tenang.Mata indahnya yang pernah menatapku setajam elang. Namun mata indah itu juga pernah menatapku dengan teduh. Memberikan rasa nyaman dan hangat secara bersamaan. Hidungnya yang mancung khas orang Indonesia. Rahangnya y
AUTHOR POVRiri dan Haikal berjalan di lorong rumah sakit dengan tangan yang saling bergandengan. Bukan. Lebih tepatnya Haikal yang menggandeng tangan Riri. Ya. Saat ini mereka memang sedang berada di rumah sakit. Setelah sarapan tadi, mereka memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Mereka ingin memeriksakan kandungan Riri.Ingin mengetahui perkembangan janin yang Riri kandung.Mereka berjalan menuju ruangan Dokter Andini dengan senyuman yang tak pernah luntur dari bibir mereka setelah mengambil nomor antrian di bagian resepsionis. Sesekali mereka juga mengobrol mengenai calon anak-anak mereka. Hingga tidak terasa mereka telah sampai di depan ruangan Dokter Andini.Sekitar lima belas menit kemudian giliran nomor antrian Riri dan Haikal yang dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan Dokter Andini."Selamat pagi, Dok!" sapa Riri begitu masuk ke dalam ruangan Dokter Andini."
Setelah hampir dua tahun kemudian. Riri membuka mata dan menjadi kebingungan karena mendapati dirinya berada di suatu tempat yang asing baginya. Bagaimana tidak? Saat ini dirinya tengah berada di suatu taman bunga yang luas dan indah. Padahal seingatnya, dirinya tadi sedang duduk di kasur Asahy dan tengah memeluk boneka panda kesukaan almarhumah anaknya itu. Tetapi sekarang? Dirinya bahkan tidak tahu sedang berada di mana ia saat ini. Di saat Riri tengah sibuk memperhatikan sekelilingnya, tiba-tiba seseorang menghampiri dan memanggilnya. "Mi ...." Riri menoleh dan berbalik. Detik berikutnya matanya terbelalak lebar melihat sosok di hadapannya yang tadi memanggilnya. Matanya memburam karena buliran bening yang menumpuk di pelupuk matanya. Sosok di hadapan Riri tersenyum manis. "Apa kabar, Mi?" tanyanya pada Riri. Riri tidak langsung menjawab. Ia langsung berjalan cepat dan memeluk soso
Saat Asahy siuman, gadis itu sempat marah pada 'Adnan karena mengingkari janjinya pada gadis itu. "Dek, jujur sama Mami. Kenapa kamu tutupin tentang penyakit kamu ini? Kenapa kamu nggak kasih tau dari awal? Biar kita bisa obatin? Mami, Papi, Kakak-kakak kamu semua bersedia dan dengan senang hati jadi pendonor untuk kamu." Nada suara Riri yang kecewa terdengar jelas oleh Asahy. "Pi, cepet cari Dokter Arya. Minta dia untuk tes darah kita semua. Pasti salah satu dari kita ada yang cocok untuk jadi pendonor," lanjutnya, beralih pada Haikal. "Mi ...," panggil Asahy sambi balas menggenggam jemari Riri yang sedari tadi tidak lepas menggenggam tangannya. Riri menoleh. Air matanya tidak berhenti mengalir sedari tadi. "Nggak perlu lakuin tes. Karena itu percuma. Waktu itu Dokter Arya udah bilang, penyakit Adek ini udah stadium akhir dan termasuk golongan yang lebih berbahaya dan sulit untuk diobatin walaupun udah ngejalani pencangkokan. Jadi, kalau pun Adek ngejalani pencangko
Hari ini adalah hari ulang tahun Asahy yang tidak lain adalah anak bungsu Riri dan Haikal. Sedari pagi Riri sudah menyeret Asahy ke sana kemari untuk berbelanja dan melakukan perawatan tubuh serta wajah. Meskipun Asahy terlihat kesal dan bosan, namun sepertinya gadis itu tidak dapat berbuat apa pun. Ia hanya terpaksa mengikuti keinginan Riri karena ingin menyenangkan hati ibunya itu. Sebab untuk ke depannya, dirinya tidak tahu apakah dirinya masih diberi kesempatan untuk melakukan hal-hal seperti hari ini lagi.Pada malam harinya, tepat sebelum acara ulang tahunnya dimulai, Asahy meminta Riri dan Haikal berkumpul bersama dengan orang tua dari Arkhai, yang merupakan sahabat Asahy. Mereka sempat merasa bingung mengapa gadis itu meminta mereka berkumpul. Sedangkan para tamu undangan sudah berdatangan dan acara akan segera dimulai.Namun, para orang tua dan juga Arkhai terkejut mendengar penuturan Asahy. Gadis itu menyatakan perasaannya pada A
Setelah kelahiran anak ketiga, semakin hari, Riri dibuat semakin repot dan pusing oleh tingkah anak-anaknya dan juga Haikal. Si kembar dan suaminya itu tidak mau kalah dari si bungsu yang mereka beri nama Asahy Tsurayya' Zahirah Perdana, yang usianya baru beberapa bulan. Mereka merasa cemburu karena Riri lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus si bungsu daripada mengurus mereka. Padahal menurut Riri, ia sudah berusaha membagi waktu untuk mereka semua dengan adil. Tetapi tetap saja, si kembar dan Haikal tetap melakukan protes dan mengatakan jika Riri tidak adil membagi waktu untuk mereka. Mereka selalu saja melakukan hal-hal yang membuat Riri marah agar dapat menarik dan mendapatkan perhatian dari Riri. "Haikal! Ayo, bangun!" Riri mengguncang tubuh Haikal dengan sedikit kuat. Kesal melihat Haikal yang masih memejamkan matanya erat dan terlihat nyaman, walaupun Riri sedari tadi sudah membangunkanny
Setelah beberapa bulan kembali dari Amerika, kehidupan Riri-Haikal dan kedua anak kembarnya berjalan penuh dengan kebahagian setiap harinya. Ada saja hal-hal yang membuat hari-hari mereka seakan-akan penuh warna."Devran, Devni! Jangan lari-lari, nanti jatuh!" peringat Riri kepada kedua anaknya yang sedang berkejar-kejaran.Sore ini, Riri sedang duduk santai di halaman belakang rumah. Menikmati suasana sore hari sambil mengawasi Devran dan Devni yang sedang bermain."Mami ...," Devni memanggil Riri dengan sedikit merengek."Kenapa, Sayang?" tanya Riri sembari mengelus pipi putrinya."Liat, Kak Devlan jahat! Dia bikin boneka Devni jadi jolok pake cat!" adu Devni sambil menunjukkan bonekanya yang belepotan cat."Bo'ong, Mi! Bukan Devlan yang bikin!" Devran menyanggah tuduhan adiknya."Devni nggak bo'ong! Kak Devlan yang tadi colet-colet boneka Devni!" Devni
Setelah diwajibkan untuk berpuasa selama sehari, Riri akhirnya dibawa ke ruang operasi untuk menjalani operasi pengangkatan sel kanker di otaknya. Selama beberapa jam Haikal menunggu dengan cemas.Kenapa hanya Haikal yang menunggu Riri ketika proses operasi? Sudah jelas, itu karena Mawarni dan Nisa' harus tinggal di apartemen untuk menjaga Devran dan Devni selama Riri dan Haikal berada di rumah sakit. Ya. Selama Riri berobat di sana, Haikal memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen.Saat proses operasi, keadaan Riri sempat menurun. Namun, jantungnya tidak sampai berhenti berdetak seperti ketika proses operasi caesar waktu itu. Selesai operasi dan dipindahkan ke ruang ICU, Riri dinyatakan koma oleh Dokter Gilbert. Haikal hanya dapat menghembuskan napas pasrah dan menahan rasa sesak di dadanya. Karena lagi-lagi dirinya harus menghadapi kenyataan bahwa Riri mengalami keadaan koma dan menunggunya terbangun entah sampai berapa
Hari ini Haikal tidak berangkat ke kantor. Ia sedang sibuk berkemas. Riri juga terlihat sibuk berkemas. Ia sibuk mengemasi perlengkapan untuk Devran dan Devni. Dan Haikal membantu Riri agar pekerjaannya cepat selesai. Mereka berencana akan pergi ke Baltimore, Amerika. Haikal yang mengajukan usulan tersebut dengan mengatakan jika ia mengajak Riri, Devran dan Devni, Mawarni dan Nisa' pergi ke Amerika hanya untuk berlibur.Walaupun sebenarnya Riri merasa sedikit ganjil dengan Haikal yang tiba-tiba mengajak mereka berlibur ke Amerika, namun Haikal dapat meyakinkan Riri. Haikal meminta Riri menganggap kepergian mereka ini sebagai bulan madu mereka yang dulu tidak pernah mereka lakukan. Dan Riri hanya mencoba untuk berpikir positif.Riri menghembuskan napas lega ketika ia menyelesaikan acara mengemasnya. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di kasur. Merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Setiap bagian tubuhnya benar-benar terasa seperti akan terlepas dari sendi-sendi
Waktu terus bergulir. Hari demi hari pun berlalu. Perkembangan si kembar sungguh membuat Riri dan Haikal kerepotan. Selain perkembangan mereka yang semakin menggemaskan, si kembar juga semakin rewel. Hingga tak jarang mereka meminta bantuan kepada Mawarni dan Nisa' dalam mengurus Devran dan Devni.Seperti pagi ini, Mawarni dan Nisa' sudah berada di kediaman Haikal dan Riri. Haikal dan Riri sengaja meminta mereka datang untuk membantunya menjaga si kembar. Dan seperti biasa, walaupun Mawarni dan Nisa' merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama si kembar, namun tidak jarang juga mereka menggerutu."Kalian ini pandainya cuma bikin anak doang, ya? Giliran jagain anaknya minta bantuan Mama sama Bunda," itulah gerutuan Mawarni setiap kali Haikal memintanya datang untuk membantu Riri mengasuh bayi kembar mereka."Ah, Mama. Namanya kita masih Pakmahmud. Jadi wajar dong, kalau kita minta bantuan," elak Haikal."
Seminggu setelah kepulangan Riri dari rumah sakit, mereka mengadakan acara syukuran Aqiqahan serta pemberian nama untuk si kembar. Semua terlihat sibuk dari dua hari sebelum acara.Halaman sudah dipasang tenda pesta. Tak lupa pula dekorasi tambahan seperti bunga dan poster foto si kembar beserta namanya telah terpajang. Juga ucapan selamat datang telah terpampang dengan indahnya menggunakan rangkaian bunga. Di dalam rumah juga sudah dihias dengan begitu indah.Devran Arlen Rasyad Perdana dan Devni Ranaa Adhwaa' Perdana. Itulah nama yang tertera di poster foto si kembar. Kedua nama itu adalah gabungan dari beberapa ide nama yang diusulkan oleh Riri, Haikal, keluarga, dan para sahabat Riri. Setelah perdebatan yang alot dalam menentukan nama si kembar, akhirnya kedua nama itu yang menjadi keputusan akhir.Acara berlangsung dan berakhir dengan lancar. Tidak ada kendala yang b