Perasaan bersalahku kepada Rafael terus-terusan menghantuiku saat Rafael tidak menghubungiku semenjak aku menanyakan Rafael kepada Mbak Tika. Ya, wajar jika Rafael masih kesal kepadaku atas apa yang sudah aku lakukan. Aku pun mencoba menghubungi Rafael lagi waktu itu, setidaknya aku ingin dia tahu kalau aku mengakui kesalahanku. Pada akhirnya Rafael menurunkan egonya dan mau menemuiku di salah satu coffee shop yang berada di mall dekat kampusku. Saat itu aku dan Rafael duduk terdiam dengan waktu yang cukup lama. Wajah Rafael datar dan seolah dia tidak ingin menatapku lebih lama. Ya, aku tahu, dia benar-benar kecewa. "Rafael... Sorry." Ucapku yang mencoba memberanikan diri membuka pembicaraan sembari menatap Rafael dengan penuh penyesalan. Rafael pun terlihat tertawa sinis saat aku mengatakan maaf kepadanya "See? Pada akhirnya kamu masih ragu dengan aku. Pada akhirnya kamu yang gak nepatin janji." "I know. Sorry." Lagi-lagi aku hanya bisa mengucapkan kata maaf. "La, harusnya aku y
Beberapa bulan kemudian... Semenjak Rafael memberikan kesempatan untukku, aku dan Rafael tidak pernah bertengkar lagi dan aku pun selalu membiarkan Rafael dengan bebas bersama Mbak Tika tanpa mencemburuinya. 16 Juni 2019... Pada tanggal itu aku benar-benar tidak sabar menantikan esok hari yang merupakan sebuah penantian yang aku tunggu-tunggu selama ini. Hari anniversary hubunganku bersama Rafael yang satu tahun pun akhirnya tiba. Aku meminta teman-temanku untuk pergi menemaniku membeli hadiah untuk anniversary esok hari. Saat itu kami berada di salah satu toko batik yang memang sangat terkenal di Jakarta. Aku memilih untuk membeli Rafael Batik karena Rafael selalu suka mengenakan Batik ketika pergi bekerja. Selain itu, aku pun sudah memesan sebuah rangkaian foto dengan karikatur di salah satu toko online. "Laila. Kalo batik ini cocok gak buat Rafael?" Aurora menunjukkan salah satu batik berwarna coklat kepadaku "Cocok sih. Tapi lebih bagus kalo warnanya lebih ke dark chocolate
Aku tidak bisa tidur semalam suntuk memikirkan pengkhianatan yang di lakukan Rafael kepadaku yang bahkan aku pun masih tidak percaya dengan kejadian itu. Hari itu pun merupakan hari anniversary aku dan Rafael. Hari yang aku nantikan selama ini. Namun hari itu pula hubunganku dengan Rafael akan segera berakhir. Parahnya, sampai detik ini Rafael tidak membalas pesanku dan nomornya pun tidak dapat di hubungi. Mengapa dia tiba-tiba menghilang? Aku benar-benar butuh penjelasan dan pengakuan secara langsung darinya. Drett... Drett... (WazzApp Notification - Rafael) "Aku minta maaf, La. Aku memang pacaran dengan Mbak Tika. Waktu aku kenal kamu, aku lagi punya masalah. Pas kita coba ngobrol satu sama lain aku ngerasa nyaman dan ngerasa masalah aku hilang gitu aja.” -Rafael Aku membaca pengakuan Rafael dengan menangis tersedu-sedu. Bisa-bisanya dia memanfaatkanku untuk pelampiasan masalahnya. “Kalo kamu ngerasa nyaman dengan aku. Kenapa kamu gak ngomong yang sejujurnya dengan Mbak Tika? K
Aku terbangun dengan mata yang sudah bengkak akibat terus-terusan menangis. Aku bergegas bangun dan langsung mengumpulkan barang-barang pemberian Rafael dan barang yang aku belikan untuk anniversary kami yang sudah aku hancurkan. Aku membawa semua barang-barang yang berkaitan dengan Rafael ke dapur dan membakar semuanya tanpa tersisa. Aku pun melihat setiap barangnya terbakar cepat hingga sampai tersisa menjadi abu. Andai saja aku bisa melupakan Rafael secepat terbakarnya barang-barang itu, pasti saat itu aku tidak akan merasakan sakit. Namun kenyataannya malah berbanding terbalik. Aku kembali ke kamar dan membuka ponsel untuk menghapus semua foto-fotoku bersama Rafael dan obrolan yang kami ciptakan selama satu tahun bersama. "Aku gak kuat. Kenapa harus ngomong ke arah serius kalo taunya aku cuma di jadiin untuk pelampiasan masalah kamu. Aku manusia, bukan malaikat yang bisa tolong kamu saat kamu susah. Dan aku juga bukan sampah yang bisa kamu buang saat kamu udah gak punya masalah
*Flashback* "Mungkin suatu saat kamu bakal tau dan kamu bakal ngerti gimana rasanya ada di posisi aku saat ini, La" “Aku milih kamu, La. Inget kamu gak berjuang sendirian.” “Aku bener-bener gak bisa tanpa kamu. Aku mohon. Jangan pernah tinggalin aku, ya. Tetep sama aku apapun yang terjadi.” “I love u more then u know, Laila.” "Kenapa? Kamu selingkuh?" "La, biasanya orang kalo nanya kaya gini biasanya dia ngelakuin hal itu, tapi merefleksikannya ke orang lain. Aku bukan anak kuliahan yang masih ga paham akan hal ini loh. Jujur ya." "Nggak. Aku yang salah. Kalo aku punya banyak waktu untuk kamu, pasti kamu gak akan selingkuh." "Sekarang kita mulai lagi dari awal ya. Kita lupain masalah ini. Aku kasi kamu kesempatan karna aku gak bisa lepas dan jauh dari kamu, La. Aku udah terlanjur nyaman dan cinta sama kamu. Aku sayang dan cinta banget sama kamu" Aku minta maaf ya udah marah-marah. Aku minta kamu sabar dulu, ya, sayang. Kita udah janji kan untuk memperjuangkan hubungan ini dar
Dari dulu aku merasa bahwa aku adalah orang yang tidak mudah untuk membuka hati dengan pria lain. Tetapi mengapa sekalinya membuka hati kepada pria seketika itu juga dia gampang menyakiti? Mengapa sekalinya mencoba untuk percaya dengan seseorang seketika itu juga kepercayaan itu dikhianati? Mengapa aku bisa sebegitu gampangnya membuka hati dengan orang yang salah lagi? Akan tetapi aku harus bagaimana? Disesali pun tidak dapat mengubah semuanya. Sekarang sudah waktunya bagiku untuk melupakan masalalu, tidak terjebak dengan masalalu dan melanjutkan hidup untuk masa depan. Karena jika aku selalu mengingat dia, aku benar-benar berat untuk melangkah ke depan. Hubunganku dengan Rafael benar-benar pelajaran yang sangat berharga sekali untukku. Ya, hubungan itu perlahan membuatku menjadi lebih berpikir realistis dan tidak berpikir seperti anak remaja lagi. Dan, tidak gampang pula di bodohi dengan lelaki. Akupun belajar untuk tidak percaya dengan kata-kata lelaki yang tidak dapat memberikan
“Guys… Hari ini kita jadi ke acara Grand Opening coffee shop Diego, kan?” Tanya April memastikan kepada aku, Aurora, dan Dina. Ya, Diego yang seringkali menjadi pengisi acara di salah satu coffee shop favorit kami pada akhirnya sedikit demi sedikit dapat mewujudkan mimpinya untuk membuka coffee shop. Pada akhirnya semesta memberikan hadiah yang sangat dia nanti-nantikan berkat kegigihan serta kerja keras dia sampai saat ini. Jujur, aku ingin sekali mengunjungi grand opening coffee shop milik Diego yang berlangsung pada hari ini. Tetapi aku masih sangat lemah untuk sekedar melangkahkan kaki untuk keluar dari apartemen. Perandai-andaian akan Rafael yang menemaniku untuk mengunjungi grand opening pun seketika bermunculan untuk mengganggu pikiranku. Sampai kapan aku harus mengingat dia di setiap hari-hari yang aku jalani? “Kalian pergi aja, ya. Gue lagi pengen sendiri.” Ucapku mencoba meyakinkan teman-temanku.
Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bertahan di restaurant sushi sampai aku melihat Rafael dan Mbak Tika melewati meja kami seolah-olah kami tak saling kenal. Melihat hal itu teman-temanku yang sudah pernah bertemu dengan Rafael benar-benar kecewa atas sikap dia saat ini. “Oh jadi ini pacar Rafael? Laila lo harus percaya kalo lo bener-bener lebih cantik dan lebih menarik dari perempuan ini!” Celetuk April kesal saat melihat Mbak Tika melewatinya. Aku memelototi April untuk tidak membahas hal itu di depan Mbak Tika karena aku tahu dan kita semua pun tahu sesuatu yang menyinggung masalah perbandingan fisik pasti akan sangat menyakitkan. Mbak Tika seketika menghentikan langkahnya tepat di hadapan April. Sementara aku melihat Rafael seakan memberikan kode kepada Mbak Tika. Rafael pun terlihat meninggalkan Mbak Tika seorang diri di hadapan kami. Entahlah sepertinya Mbak Tika memang ingin menyampaikan sesuatu atas perkataan April sementara Rafael tidak ingin terlibat dan langsung p
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos
Saat ini aku sadar bahwa aku benar-benar merasakan kehilangan Mas Daffin. Lagi lagi aku merasakan hal itu, sama halnya saat Eithan memutuskan hubungan denganku hanya karena aku selalu membawa nama Rafael. Mas Daffin adalah pria yang selalu ada disaat aku membutuhkannya dan juga pria yang selama ini bertegur sapa setiap harinya denganku. Dan tanpa sadar dia adalah pria yang aku sayangi akhir-akhir ini. Namun sekarang? Aku sudah mengecewakan Mas Daffin hanya karena ketakutanku akan masalalu. Ketakutanku akan disakiti lagi. Aku masih sering bertemu dengan Mas Daffin, apalagi setiap pagi ketika aku pergi kuliah dan dia pun berangkat kerja. Namun, hubungan kami saat ini memang sebatas sapa saja dan hanya bertemu di lorong apartemen. Sejujurnya aku tak bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat Mas Daffin tak ada di dekatku lagi. Namun, aku tetap harus mengikhlaskannya dan mengambil pelajaran dari semua pengalamanku. Waktu itu, aku benar-benar kehilangan Mas Daffin. Mas Daffin yang be
Setelah aku meninggalkan Mas Daffin di apartemennya beberapa hari yang lalu karena aku menolaknya lagi dan lagi. Mas Daffin pun akhirnya mengunjungi apartemenku lagi seperti biasa. Mungkin Mas Daffin memang membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya. Ditambah lagi Mas Daffin juga masih belum pulih sepenuhnya dengan luka yang masih membekas di lututnya. Namun saat Mas Daffin mengunjungiku waktu itu, syukurlah dia sudah berjalan dengan normal. “La, I think you aren’t okay.” Mas Daffin mengejutkanku dengan pernyataannya seperti itu saat aku tengah fokus menonton serial tv. “Maksudnya?” Tanyaku menatap Mas Daffin dengan bingung “Oh… Pasti kamu mikir aku gak baik-baik aja karna kelakuan aku beberapa hari ini, kan?” Tanyaku dengan yakin. Mas Daffin hanya tersenyum sembari memegang tanganku "Laila, you’re not okay. Kita ke dokter yuk?" "Ke dokter?” Aku tertawa sinis “Mas, aku gapapa loh." Jawabku tegas "Kamu sakit, La." "Apaan sih, Mas. Aku baik-baik aja!" Seruku "Bukan, bukan fisik kam
Mas Daffin… Entahlah, semenjak kejadian memalukan yang aku ciptakan di bar beberapa hari yang lalu dia selalu saja semakin memperhatikanku. Terkadang aku selalu tertawa dan senyum-senyum sendiri saat mengingat kenangan aku ciptakan dengan Mas Daffin. Ditambah lagi saat Mas Daffin mengajakku menonton di salah satu bioskop. Aku benar-benar merasa bahwa Mas Daffin tidak pernah menutup nutupi aku dari wanita lain. Namun lagi-lagi hatiku masih saja selalu meragukan Mas Daffin. “Lo udah sadar?” Tanya April menginterogasiku bersama dengan Dina dan Aurora. Bisa-bisanya mereka datang ke apartemenku tanpa basa basi sedikitpun dan masuk ke dalam apartemenku tanpa mengetuk sama sekali. “Ya udah dong. Lo pikir gue mabok sampe berhari-hari apa?” Ucapku cetus sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo gak pernah sampe mabok gini, La. Kenapa, sih?” Tanya April sembari duduk di hadapanku. “Gue juga bingung. Udah deh gue gak mau bahas. Intinya sih beberapa hari yang lalu itu gue lost control karna ke