Saras mengerjapkan mata secara perlahan saat mendengar suara berisik dering ponsel. Ia mengucek mata dengan pelan, lalu bangun dari tidurnya. Rasa sakit ia rasakan di sekujur tubuh terutama di daerah kewanitaan. Pandangannya menatap ke sekitar kamar, menarik selimut sampai sebatas dada.
Keadaan kamar sangat berantakan, pakaian berserakan di mana-mana. Saras melirik ke sampingnya, di mana Kabir tengah tertidur dengan pulas sesudah merenggut kehormatan Saras secara paksa. Jika saja laki-laki itu meminta dengan cara baik-baik, mungkin ia akan mengiakannya. Daripada harus memaksa, membuat Saras merasa seperti diperkosa.
Ia menyeka buliran bening yang menetes di pipi. Dering ponsel mengusik fokus Saras, ia melirik ke arah nakas. Bunyi itu berasal dari ponsel Kabir, tertera nama sang ibu mertua di layar monitor tersebut.
Saras mengambil ponsel tersebut, lalu menggeser tombol hijau guna mengangkat telepon dari ibu mertua a.k.a Lia. Dalam hati, ia b
Kabir plan-plin banget, sih. Semoga aja benih-benih cinta muncul:v
Sudah dua hari Saras sakit demam. Dua hari juga Kabir izin tidak masuk kantor demi menjaga Saras sampai sembuh. Memilih mengandalkan bertanya melalui virtual pada sang dokter mengenai cara merawat orang yang demam. Untuk pertama kali Kabir rela direpotkan oleh seseorang. Merawat dengan telaten sampai rela mengacak-acak dapur membuatkan makanan untuk Saras. Maupun untuk dirinya sendiri. Walaupun masakan yang dibuat tidak seenak masakan ibu dan Saras. Seperti sekarang ini, laki-laki itu begitu khusyu di dapur dengan bahan-bahan sayuran. Memotong wortel dengan pelan sampai kol, walaupun potongan tersebut besar-besar. Sementara Saras, ia disuruh untuk duduk diam di kursi. Dipinta untuk menonton saja, takut kalau ia memasak malah akan menularkan virus ke dalam masakan yang dibuat. Saras mengembuskan napasa kasar melihat Kabir kesusahaan memotong ayam. Laki-laki itu berniat membuatkan sup ayam untuk dirinya agar cepat sembuh. Padahal Saras sudah sembuh, sangat
Setelah pembicaraan sensitif mengenai hubungan percintaan Kabir dengan Fadhillah. Saras lebih banyak diam, tidak ingin mengusik atau membahas kembali. Takut kalau sewaktu-waktu emosi laki-laki itu berkobar. Ia tahu kalau Kabir berat melepaskan Fadhillah, terbukti dari tatapan mata laki-laki itu. Selama perjalanan menuju rumah Lia, tidak ada yang mau membuka pembicaraan. Kabir sibuk dengan pikiran; antara lanjut dengan Fadhillah atau malah putus. Sementara Saras, ia sibuk dengan rasa sakit di hati. Ingin rasanya ia pulang, memeluk ummi dan abi. Sekaligus menceritakan apa yang selama ini didapat dalam rumah tangganya. Namun, ia takut, takut berbagi rasa sakit itu dengan orang lain. Bagi Saras, yang mampu mengerti itu hanya dirinya sendiri. Andaikan saja dulu ia mau menunggu Gemintang, mungkin sekarang ia sudah bahagia dengan laki-laki itu dibandingkan dengan Kabir. Lagi-lagi pikiran memandingkan kehidupan masa lalu dan masa kini selalu saja be
Lia merasa aneh dengan sikap Kabir semenjak laki-laki itu sampai di rumah. Ia merasa kalau anak dan menantunya tengah menyimpan sebuah masalah. Ingin bertanya pun rasanya sungkan. Takut dikira ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka. Sesekali senyum di wajah Saras membuat dirinya khawatir. Belum lagi tatapan Kabir yang sedang menyembunyikan sesuatu. Lia sangat kenal betul bagaimana sifat sang anak. Kabir begitu lihai menyembunyikan sesuatu, juga berbohong. Lia tahu itu, tetapi ia hanya bisa diam. Lia tidak ingin mengekang Kabir. Hanya nasihat yang selalu dilontarkan untuk Kabir. Takut sewaktu-waktu anak itu lepas kendali atau membuat keputusan yang salah. "Kak Saras, selama tiga hari ini Kakak ke mana saja? Acara syukuran dan yasinan sudah lewat, kalian baru datang. Padahal aku ingin menunjukkan sesuatu," ucap Adira menatap pada Saras ingin tahu. Lia tersentak. Berbagai lamunan yang bersemayam di kepala mendadak hilang. Ia
Saras benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Kabir dua hari belakangan ini. Semenjak keduanya memulai dan menerima satu sama lain, sikap laki-laki itu berubah menjadi aneh. Selalu berubah-ubah dalam sekejap. Benar-benar membuat perasaan Saras menjadi resah. Tinggal kembali di rumah membuat rasa bosan melanda. Apalagi mengingat tentang peristiwa bagaimana Kabir bercinta dengan sang mantan kekasih. Tepat di ruang tamu yang tengah diduduki oleh Saras. Seulas senyum kecut terbingkai di wajah. Selalu saja kenangan buruk yang terlintas di kepala. Berusaha melupakan rasanya susah. File tersebut susah untuk dihalau. Saras tidak tahu bagaimana ke depannya nanti. Ia sudah pasrah dengan jalan takdirnya sendiri. Ketukan dari pintu membuyarkan berbagai keresahan dan lamunan Saras. Ia beranjak dari duduk menuju ke arah pintu. Membukakan pintu melihat siapa yang datang bertamu. Matanya mem
Saras menatap hamparan bunga yang dulu dirawat dengan kosong. Bunga yang seharusnya mekar, kini malah layu. Firasat buruk menyelimuti benak. Perasaannya benar-benar tak karuan.Embusan napas panjang terembuskan. Sangat membosankan berdiam diri di rumah tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Diajak keluar oleh sang ibu mertua pun, ia menolak. Tidak memiliki gairah melakukan aktivitas apa pun."Mengapa rasanya seperti sedang mati?" tanya Saras pada dirinya sendiri.Ia beranjak dari duduk, menghampiri pot bunga dan tanaman hijau yang dirawatnya. Tangannya terulur menyentuh bunga mawar yang sudah layu."Seharusnya kamu mekar sekarang. Tapi kenapa malah layu? Kamu tidak suka, ya, mekar di sini?" Saras bergumam tidak jelas.Seharian ini ia melakukan hal seperti itu guna mengalihkan rasa stres. Menghibur diri sendiri, meski usaha yang dilakukan hanya sia-sia.Langkah Saras membawa memasuki rumah saat mendengar suara
"Kau sudah gila? Apa yang kamu katakan bohong, 'kan?" Marcello begitu terkejut, bahkan sangat terkejut mendengar curahan hati Kabir. Laki-laki itu sedang gundah gulana dan bimbang hati menentukan keputusan yang tepat. Kabir tidak ingin melepaskan mereka berdua. Kabir menatap malas pada Marcello. Lalu meneguk pelan wine yang dipesannya. Ia sengaja memanggil Marcello ke klub malam untuk menjadi teman minum serta teman ceritanya. "Aku tidak berbohong. Dia hamil, aku harus bagaimana? Ingin bertanggung jawab, tetapi aku tidak bisa melepaskan Saras," ujar Kabir sembari menatap segelas wine dalam genggamannya. Marcello mengembuskan napas kasar. Sungguh, ia menyumpahi Kabir yang tidak baik-baik. Ia mengusap wajah dengan kasar, menatap tidak percaya pada Kabir. "Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu sendiri, Ka," ucap Marcello pada akhirnya.&
Saras mengerjapkan mata kala merasakan intensitas cahaya di matanya. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya. Perlahan-lahan mata yang tadinya terpejam, kini terbuka. Ia menguap sebentar, lalu menoleh ke samping menyadari bahwa ruangan yang ditempati bukanlah kamar tidurnya. "Selamat pagi," ucap laki-laki itu terdengar serak sehabis bangun tidur. Sontak saja Saras langsung bangun dari tidurnya. Menutup mulut saat tidak sengaja mencium bau alkohol yang begitu menyengat dari mulut Kabir. Sementara Kabir hanya mengerjakan mata seperti orang bodoh menatap ke arah Saras. "Kamu bau sekali! Kamu habis minum semalam?" Saras mendelik tajam menatap ke arah Kabir. "Padahal minum sedikit," kata Kabir dengan tenang, sembari mengubah posisi yang tadinya menyamping menjadi telentang. "Sama aja minum! Lagian minum kayak gitu haram juga, emang apa enaknya, sih?" Entah mengapa mood Saras mendadak berubah menjadi jelek. Ka
Kabir sengaja mengambil cuti dari kantor. Ia ingin menghabiskan waktu bersama istri serta ibu mertuanya. Apalagi saat sang ibu mertua akan menginap, sang mama malah merencanakan acara makan-makan sesama keluarga saja di rumahnya. Membuat ia di sibukkan membantu Saras membeli perlengkapan makanan di pasar. Belum lagi Adira dan sang suami juga akan mampir ke rumah. Sudah seperti akan ada acara besar-besaran di rumahnya. "Kenapa kau mengambil cuti?" Lama berbelanja tanpa mengobrol sedikitpun membuat Saras tak nyaman. Lagi pula, Kabir tidak biasanya mengambil cuti cuma karena sang ummi menginap. Pasti ada alasan lain yang disembunyikan oleh laki-laki itu. Namun, Saras tidak ingin mengambil pusing. Tidak ingin berdebat dengan laki-laki itu. Kabir yang tengah memilih ikan ke dalam keranjang, menoleh sekilas. Sudut bibir tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Lalu berjalan mendekat ke arah Saras, membantu wanita itu memilih berbagai ayam yang tersedia di s