Semua persiapan pernikahan sudah selesai. Undangan pun sudah tersebar, kini hanya tinggal menunggu sang mempelai pria datang.
Lia tampak cantik nan anggun dengan kebaya berwarna merah maroon dengan rambut yang disanggul rapi. Begitu juga dengan Saras, yang mengenakan gamis merah muda dengan hijab yang senada. Polesan mekapnya pun begitu tipis mampu membuat kadar kecantikan alaminya terpancar.
Suara petasan terdengar membuat Saras yang tengah melamun tersentak kaget. Ia melirik ke samping, di mana Kabir tengah berdiri. Tak lupa juga tangan kekar laki-laki itu memeluk pinggang rampingnya. Saras lupa kapan laki-laki itu berdiri sambil memeluk pinggangnya.
"Saya tahu saya tampan. Jangan melihat saya seperti itu," ucap Kabir sadar bahwa Saras tengah menatap dirinya.
Saras mengembuskan napas kesal sembari membuang tatapan tertuju pada besan yang tengah disambut oleh ibu dan ayah mertuanya. Jemput besan sudah terlaksana, kini gi
Hi, Jangan lupa dukungannya, ya.
Saras bisa menghirup udara segar. Ia sudah kembali di rumahnya, bukan rumahnya. Melainkan rumah Kabir. Masih baik laki-laki itu buru-buru pergi ke kantor, jadi tak perlu ada perdebatan yang malah berujung rasa sakit hati. Sikap manis dari sandiwara kemarin malah terlintas dalam ingatan Saras. Apalagi ingatan tersebut malah membawanya pada wajah Fadhillah. Pantas saja Kabir cinta mati dengan wanita itu. Toh, wanita itu terlihat cantik juga seksi. "Astagfirullah, kenapa negatif mulu, sih," gumam Saras menyadari lamunannya sendiri. Ia menatap tanaman yang sengaja dirawat di halaman belakang. Bunganya sudah bermekaran, Saras sangat menyukai bunga anggrek. Baru akhir-akhir ini ia merawatnya itu juga guna menghilangkan stres dan sakit hati dengan perlakuan Kabir. Notifikasi dari w******p membuyarkan lamunan Saras yang tengah menatap bunga anggrek. Ia merogoh gawai dalam saku gamisnya. Matanya membulat terkejut mendapati pesan dari Te
Setelah makan malam bersama Kabir tanpa ada obrolan. Saras lebih memilih mencuci piring terlebih dulu, daripada menunggu besok yang pastinya akan menumpuk nanti. Sementara Kabir, laki-laki itu pergi ke kamar untuk membersihkan tubuh. Pikiran Saras berkecamuk, bingung harus meminta izin bagaimana. Terlebih lagi, Kabir sangat tak menyukai Marcello. Wajah marah laki-laki itu masih terbayang dalam ingatan ketika tak sengaja melihat ia mengobrol dengan Marcello. "Hei, gadis bodoh! Tolong buatkan saya kopi," ucap Kabir dengan nada membentak. Saras hanya mengembuskan napas kasar. Memahami bahwa sang suami tidak bisa berkata manis, itupun kalau sedang membutuhkan pertolongan orang lain. "Ck, hari ini banyak sekali pekerjaan kantor yang menumpuk. Sial!" Saras mendengar keluhan dari Kabir. Laki-laki itu tampak berjalan menuju ruang tamu. Mengerjakan berbagai laporan penting bermap. Saras memandang kasihan sekaligus benci, f
"Bagaimana rasanya bekerja, Ras?" Tejana berbinar kala bertemu Saras di jam istirahat. Apalagi kantor yang ditempati oleh Saras merupakan kantor sahabatnya juga. Saras mengulas senyum tipis, beban di pikiran berkurang sedikit saat melihat wajah penuh binar dari Tejana. "Rasanya?" Saras mengernyitkan dahi seakan-akan berpikir. Membuat Tejana mendengkus kesal saja. "Menyenangkan. Apa lagi aku sudah lama tidak membaca cerita dari orang lain dan mengeditnya. Membuat artikel, seakan-akan kembali ke masa putih abu dulu." Percakapan mereka mendadak terjeda saat seorang waitress mengantarkan pesanan keduanya. Setelah mengucapkan terima kasih, keduanya mulai mencicipi pesanan masing-masing. "Oh ya, foto yang aku kirim tentang suamimu itu benar apa bukan?" tanya Tejana sambil mengunyah seblak yang dipesan. Tatapannya tak lepas dari Saras. Saras tersedak oleh kuah soto mi, menyeruput jus jeruk hingga setengah. Lalu membalas
Aneh! Satu kata itu menyelimuti benak Kabir selama satu minggu. Ia merasa aneh dengan sikap Saras, selalu menghindar, dan acuh tak acuh. Walaupun Saras masih melakukan tugasnya sebagai istri, seperti memasak, mencuci piring, atau bebersih rumah. Namun, sikap dingin dan acuh tak acuhnya membuat Kabir tak tahan. Bahkan selama satu minggu ini, ia mengawasi Saras. Mencari tahu apa yang dikerjakan perempuan itu. Tentu saja dirinya terkejut mengetahui bahwa Saras bekerja di kantor Marcello. Tidak hanya itu saja, kedekatan Saras dan Marcello entah mengapa membuat Kabir tak suka. Seperti ada gejolak aneh menyelimuti benak kala mendapat foto kebersamaan mereka dari anak buahnya. Semakin ia berusaha mengenyahkan rasa itu, maka rasa itu malah makin bersemayam di ulu hatinya. "Pak, bagaimana dengan keputusan Bapak mengenai proyek perumahan Karandince di kota Cikampek?" Pertanyaan Aldi membuyarkan lamunan Kabir. Ia mendongak menatap Aldi y
Langkah Saras terhenti di depan parkiran depan kantor. Terkejut dengan kedatangan Kabir, laki-laki itu tampak bersandar di mobilnya sambil bersedekap dada. Saras tidak salah lihat? Kalau Kabir datang menjemput? Bukannya menghampiri, justru Saras malah berjalan melewati. Membuat Kabir dengan cepat meraih tangan Saras. Laki-laki itu menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidung, menatap lekat pada Saras. "Kamu kenapa sih menghindar terus?" tanya Kabir dengan nada sedikit membentak. Saras tak menjawab. Ia sibuk memperhatikan sekitar, yang kini menjadi atensi anak-anak kantor. Dengan cepat, Saras menarik tangan Kabir ke arah mobil yang terparkir. Kemudian, masuk tanpa diperintah oleh laki-laki itu. "Ah, diamnya seorang perempuan ternyata menakutkan," gumam Kabir, berjalan memutari mobil ke arah kemudi. Menyalakan mesin, mengijak pedal gas, dan melaju membelah jalanan kota. Dalam perjalanan, keduanya tampak salin
Atmosfer di dalam mobil mendadak senyap. Kabir memandang wajah Saras dengan lekat. Kalimat yang dilontarkan oleh Saras seakan terngiang kembali di telinga. Iya, ia mengaku salah. Akan tetapi, hatinya belum bisa mengakui bahwa Saras itu istri sah terlebih menerima pernikahan tersebut. Walaupun ia mampu menerima, itupun dengan cara terpaksa. "Enggak ada gunanya juga aku mengatakan semua itu," ucap Saras sembari menyeka air mata di pipi. Tawa sumbangnya terdengar begitu menyayat hati. Kabir mengeratkan kepalan tangan di setir mobil. Menahan gejolak amarah dalam diri. Ia juga tidak bisa melarang Saras untuk jatuh cinta pada dirinya. Namun, rasa kasihan dan iba menyelimuti kala mendengar penuturan Saras tentang penyesalan menerima pernikahan ini. "Saya minta maaf. Saya harus apa agar kamu mau memaafkan saya?" Suara Kabir memecahkan kejedaan yang sempat tercipta selama sepuluh detik. Ia menatap Saras dengan tatapan datar, seakan tidak memiliki ra
Saras mengerjapkan mata secara perlahan saat mendengar suara berisik dering ponsel. Ia mengucek mata dengan pelan, lalu bangun dari tidurnya. Rasa sakit ia rasakan di sekujur tubuh terutama di daerah kewanitaan. Pandangannya menatap ke sekitar kamar, menarik selimut sampai sebatas dada. Keadaan kamar sangat berantakan, pakaian berserakan di mana-mana. Saras melirik ke sampingnya, di mana Kabir tengah tertidur dengan pulas sesudah merenggut kehormatan Saras secara paksa. Jika saja laki-laki itu meminta dengan cara baik-baik, mungkin ia akan mengiakannya. Daripada harus memaksa, membuat Saras merasa seperti diperkosa. Ia menyeka buliran bening yang menetes di pipi. Dering ponsel mengusik fokus Saras, ia melirik ke arah nakas. Bunyi itu berasal dari ponsel Kabir, tertera nama sang ibu mertua di layar monitor tersebut. Saras mengambil ponsel tersebut, lalu menggeser tombol hijau guna mengangkat telepon dari ibu mertua a.k.a Lia. Dalam hati, ia b
Sudah dua hari Saras sakit demam. Dua hari juga Kabir izin tidak masuk kantor demi menjaga Saras sampai sembuh. Memilih mengandalkan bertanya melalui virtual pada sang dokter mengenai cara merawat orang yang demam. Untuk pertama kali Kabir rela direpotkan oleh seseorang. Merawat dengan telaten sampai rela mengacak-acak dapur membuatkan makanan untuk Saras. Maupun untuk dirinya sendiri. Walaupun masakan yang dibuat tidak seenak masakan ibu dan Saras. Seperti sekarang ini, laki-laki itu begitu khusyu di dapur dengan bahan-bahan sayuran. Memotong wortel dengan pelan sampai kol, walaupun potongan tersebut besar-besar. Sementara Saras, ia disuruh untuk duduk diam di kursi. Dipinta untuk menonton saja, takut kalau ia memasak malah akan menularkan virus ke dalam masakan yang dibuat. Saras mengembuskan napasa kasar melihat Kabir kesusahaan memotong ayam. Laki-laki itu berniat membuatkan sup ayam untuk dirinya agar cepat sembuh. Padahal Saras sudah sembuh, sangat
Kabir bungkam, kata-kata Fadhilla membuat hatinya tertohok. Ia melupakan hal penting itu; laki-laki bodoh nan pengecut sepertinya sangat tidak pantas menjadi seorang ayah. Membayangkan saja, Kabir merasa tidak mampu. Memiliki seorang anak dari wanita yang berbeda membuat ia takut tak bisa berbagi kasih sayang pada anak itu. Di sisi lain, hatinya sangat menginginkan Saras. Namun di satu sisi, ia merasa bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri. "Tidak bisa, 'kan?!" Fadhillah kembali bersuara. Nadanya meninggi, wajah sudah sembab oleh buliran bening. "Sungguh, aku sangat menyesal menikah denganmu! Bodoh memang," lanjut Fadhillah, terus mengutarakan apa yang selama ini menyesakkan di ulu hatinya. Kabir menatap kosong ke lantai, seolah mencari jawaban di sela-sela retakan ubin. Setiap kata yang keluar dari mulut Fadhillah bagaikan palu yang menghantam hatinya tanpa ampun. Rasa sabar wanita itu sudah habis, hatinya sudah mati rasa. Tidak ada lagi rasa cinta yang Fadhillah rasakan
Fadhillah merasa bersalah kepada Saras. Ucapan Saras membuat Fadhillah merasa sakit hati. Memang benar sih lebih baik melepaskan daripada bertahan dengan seorang pengkhianat. Fadhillah menatap layar ponselnya di mana pesan dari Kabir muncul, Kabir memberitahukan bahwa laki-laki itu tidak bisa menjemput dengan alasan ada meeting yang tidak bisa ditunda. Fadhillah memaklumi, di sisi lain ia merasa kesepian. Sikap Kabir yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Sementara Saras, ia menghela napas pelan setelah berjalan jauh dari kafe menuju halte bus. Saras terduduk, pikiran berkecamuk. Sudut bibir mengulas senyum tipis, terlalu banyak luka yang ditorehkan oleh Kabir membuat Saras memendam rasa benci. "Jangan melamun, Ras!" Lamunan Saras buyar, tubuh menegang, kepala menoleh ke samping. Di sana, seorang laki-laki berambut hitam undercut ikut duduk di sampingnya dengan menciptakan sedikit jarak di antara mereka. "Gemintang? Ngapain di sini, bosen banget ketemu sama kamu." Saras berkel
"Rasanya sepi, Ras. Enggak ada kamu di kantor." Saras tersenyum kecil mendengar kelakar dari Marcello. Kepala tertunduk menghirup bau Caramel Latte pesanannya. Lalu menyeruput dengan pelan. Niat hati ingin menghilangkan beban pikiran, malah bertemu dengan Marcello yang sehabis meeting dengan klien. "Masih ada pegawai yang kompeten kali di sana. Lagian ya kalo dipaksain, nanti malah rentan keguguran. Sayang banget soalnya," ucap Saras sembari mengelus perutnya yang sebentar lagi akan buncit. Marcello menanggapi dengan tawa kecil. Seharusnya Kabir kala itu bersyukur memiliki Saras. Ah, sudah pada dasarnya skenario Tuhan, tidak ada yang tahu akan seperti apa ke depannya. "Ras ...." Marcello memanggil, ragu ingin bertanya kepada wanita itu. Dipendam, rasanya akan penasaran. Bertanya, takut membuat Saras tersinggung. Sebab, pertanyaan yang akan diajukan bersifat pribadi dan terkesan sudah berada di jalur masing-masing. "Kenapa?" Saras bertanya, menatap Marcello sekilas. Lalu mengedark
Saras tersenyum miris melihat berbagai foto mesra dan penuh kemewahan dari akun media sosial Fadhilah. Ada sedikit rasa cemburu di hati melihat keduanya kini telah resmi bersanding sebagai suami-istri. Saras bukannya tidak bisa mengiklaskan laki-laki itu, hanya saja ia tak suka melihat orang yang sudah membuatnya terluka berbahagia di sana. Tangan mengelus perut yang sebentar lagi akan terlihat membuncit. Bibir tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Tak terasa ia melalui hari-hari sendirian, tidak terlalu sendirian. Dibantu oleh kedua orang tua, yang nekat keduanya ingin menetap di Jakarta. Saras senang, di sini merasa dimanjakan. Tidak hanya sang mama kandung, mama mertuanya juga sering datang menjenguk sambil membawakan berbagai jenis makanan. Katanya, untuk anak Saras. "Ras, kamu yakin mau lanjut kerja?" tanya Lia yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah. Saras yang sedang asik menyantap rujak buatan sang mama mertua ralat mantan mertua, berhenti sejenak. Setelah dipikir-pik
Saras terdiam, pandangannya begitu lekat menatap manik mata Gemintang. Ulu hati terasa sesak, ia penasaran dengan alasan apa yang Gemintang sembunyikan sampai memilih pergi meninggalkan tanpa sebuah pesan. Namun, rasa sakit ditinggalkan, juga patah hati berbulan-bulan, membuat ia enggan mendengarkan. Akan tetapi, kala melihat binar sendu dan penuh harap dari laki-laki itu, membuat hati Saras goyah. "Aku sudah memaafkanmu, tetapi aku tidak bisa memberimu kesempatan untuk mengisi ruang di hatiku. Dulu, aku sudah memberimu kesempatan itu, tetapi kamu malah pergi meninggalkan begitu saja. Jujur Gem, aku enggak mau sakit hati untuk kedua kalinya," ucap Saras menarik sudut bibir dengan tipis, ia tidak yakin jikalau itu sebuah senyuman. Gemintang mengerti, ia terlalu pengecut untuk sekadar menyapa kembali. Atau bahkan mengirimi Saras pesan sebelum pergi. Ia hanya tak mau, Saras mengetahui bagaimana latar belakang keluarganya. Apalagi Saras merupakan anak yang bahagia memiliki keluarga utuh.
Satu bulan berpisah dengan Saras membuat Kabir mau tidak mau mengiakan permintaan sang ibu, yang meminta untuk menikahi Fadhillah demi anak yang tengah dikandung. Berat rasanya mengiakan permintaan itu, apalagi sekarang Kabir benar-benar sudah jatuh cinta kepada Saras. Mengapa semua yang terjadi terasa tidak adil untuk Kabir. Penyesalannya masih menyelimuti benak. Tatapan mata begitu kosong ke arah depan tak terelakkan. Batin bertanya-tanya bagaimana kabar Saras di sana. Apakah wanita itu hidup dengan baik? Lalu siapa yang memenuhi momen ngidam dari wanita itu? Banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepala tentang sosok wanita yang mulai mengambil tempat di hati Kabir. Pertemuan kemarin dengan Gemintang, mampu membuat Kabir menyimpulkan. Bahwa Saras merupakan wanita yang sulit digapai kembali. Kabir sadar, sudah banyak luka yang ditorehkan pada hati wanita itu. Kabir merasa malu kepada dirinya sendiri, andaikan saja dulu ia lebih bisa menghargai dan juga membuka mata tentang rasa
Saras merasa senang bisa kembali bekerja. Berkutat dengan naskah serta obrolan singkat dengan teman sekantor. Terlebih lagi Marcello mau menerima dirinya kembali. Membuat Saras merasakan suasana berbeda. "Jangan terlalu kecapean, Sar. Umimu menitipkan pesan bahwa kamu jangan terlalu capek," ucap Marcello yang berdiri di samping meja Saras.Saras mengulas senyum kecil. Ia sudah mendengar kalimat itu sebanyak lima kali. Marcello tidak henti-hentinya menasihati, tidak hanya Marcello saja. Tejana yang sedang bekerja di kantor seberang pun turut menasihati via telepon. Beruntung Saras memiliki orang-orang baik seperti mereka. Apalagi mereka seakan-akan tahu bahwa ia tidak ingin mengungkit tentang masalah penceraian itu. Mereka seakan bungkam, tidak bertanya lebih. Membuat Saras jadi lebih merasa nyaman menjalani hidup yang sekarang. "Kamu udah ingetin aku lima kali, lho. Bahkan Tejana pun udah ingetin lewat W*. Kamu enggak capek, bulak-b
Setelah resmi bercerai dengan Kabir, kehidupan Saras kembali seperti dulu. Dikhawatirkan oleh kedua orang tua, bahkan diperhatikan begitu sayangnya. Sampai ummi dan abbi memilih untuk tetap tinggal di Jakarta daripada harus balik kampung meninggalkan Saras sendiri. Awalnya Saras meminta keduanya untuk pulang, tetapi paksaan dari ummi membuat ia pasrah.Seperti hari ini, Haer tampak sibuk membuat susu hamil untuk Saras. Padahal Saras bisa membuatnya sendiri. Akan tetapi, lelaki paruh baya itu tetap ingin membuat. Katanya, takut Saras kelelahan, tak ada yang dilakukan oleh Saras selama dua hari ini selain di rumah. Kedua orangtuanya benar-benar sangat mengkhawatirkan dirinya yang sedang hamil muda."Habiskan susunya, Ras. Biar cucu Abi kuat," komentar Haer mengulas senyum kecil menatap Saras yang tengah menenggak susu buatannya.Saras menyeka sisa air susu di sudut bibir, menatap Haer dengan seulas senyum
Sidang terakhir penceraian Saras dan Kabir kini berjalan dengan lancar serta tanpa halangan. Kini keduanya sudah resmi berpisah, menjalani kehidupan masing-masing tanpa terikat ikatan lagi. Kabir merasa hancur saat ini, ia hanya mampu menatap Saras dari kejauhan dengan sorot mata penuh penyesalan. Kata maaf yang pernah terucap seakan tak berarti. Tak ada maaf untuk laki-laki berengsek seperti dia. "Bagaimana rasanya berpisah di saat hati masih menginginkan dia?" Suara dari Lia mengejutkan Kabir, hingga membuat laki-laki itu menyeka air mata tanpa sadar. Tanpa dijawab pun Lia pasti sudah tahu bagaimana rasanya serta hancurnya perasaan Kabir kali ini. Sontak saja Kabir memeluk tubuh sang ibu dengan erat, menumpahkan buliran bening tanpa suara. Mengapa penyesalan selalu datang diakhir? Tepat di kala hati menginginkan orang terkasih agar tetap tinggal. Lia melepaskan pelukan tersebut menangkup wajah anak laki-lakinya dengan sayang. Mencoba mengu