"Aku sudah tidak kuat lagi." Isla menjatuhkan kedua lututnya di atas permukaan salju. Bibirnya sudah terlihat semakin pucat seiring dengan semakin turun suhu tubuhnya.
Angin yang bertiup cukup kencang dan seolah mengiris setiap permukaan kulitnya.
Kedua tangan Isla mengepal kuat salju-salju di sekitarnya. Ia tak berhasil menemukan Rhys dan pria itu pun tak berhasil menyusulnya, entah apa yang telah terjadi.
Namun di tengah perasaan putus asanya, Isla melihat sesuatu yang berada di kejauhan. Kedua matanya lalu menyipit, mencoba mengenali objek itu sebelum akhirnya ia bangkit dan dengan sekuat tenaga gadis itu bangkit dari posisinya dan berlari ke sana.
"RHYS!" Isla langsung mengangkat tubuh Rhys yang sudah dingin. Gadis itu menjatuhkan air matanya saat pria yang ada di pangkuannya itu benar-benar tak meresponnya sama sekali. Ia menyentuh salah satu pergelangan tangan daj juga leher milik Rhys, memeriksa apakah masih terdapat denyutan nadi
Isla perlahan berjalan keluar dari kamarnya dan ia berjalan mendekati sebuah pintu yang lain yang terletak tidak jauh dari posisi kamarnya. Gadis itu terdiam selama beberapa saat di depan ruangan itu sebelum akhirnya ia mengetuk pelan permukaan pintu itu setelahnya, namun tak terdengar adanya respon sedikit pun."Apa dia belum sadar?" Isla membatin. Ia lalu perlahan memegang handle pintu dan menggerakkannya ke bawah, membuat pintu itu perlahan terbuka hingga gadis itu bisa melihat keadaan di dalam sana secara langsung."Rhys?" panggilnya pelan. Ia melihat Rhys yang masih terbaring di atas tempat tidur dengan luka-luka yang membalut tubuhnya."Lukanya parah sekali," batin Isla. Gadis itu menelan ludahnya sebelum akhirnya ia duduk di pinggiran tempat tidur milik Rhys agar bisa melihat keadaan pria itu secara lebih dekat.Dengan jarak yang dekat, ia bisa melihat wajah Rhys yang begitu terlihat lelah."Maaf karena tak bisa membantumu,
Isla menghidupkan ponselnya dan gadis itu mendapat banyak sekali notifikasi yang masuk, terutama dari Teresa. Persis seperti dugaannya sebelumnya, Teresa berusaha meneleponnya selama berkali-kali dan gadis itu juga mengiriminya banyak pesan.Karena tak tega membiarkan sahabatnya diselimuti rasa cemas yang cukup besar terhadapnya, akhirnya Isla pun memutuskan untuk membalas pesan yang dikirimkan oleh Teresa. Hingga kurang dari lima menit, ponsel milik Isla berbunyi pertanda adanya sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya. Gadis itu lalu mengeceknya dan ternyata benar, kalau itu adalah telepon masuk dari Teresa."Halo?" Isla menempelkan ponselnya di sebelah telinga."Isla? Apa ini benar-benar kau, Isla?" tanya Teresa yang berada di seberang sana, berusaha meyakinkan karena Isla yang pergi menghilang entah ke mana selama beberapa hari dan secara mengejutkan gadis itu membalas pesan yang pernah dikirimkannya beberapa hari lalu.Isla terkikih pelan
"Dilaporkan bahwa akan terjadi badai dari arah barat menuju ke arah Swedia dengan kecepatan sekitar 20 km/jam. Diperkirakan badai ini akan melintas dalam kurun waktu satu hari. Pemerintah menghimbau agar masyarakat pergi ke tampat yang aman demi keselamatan masing-masing dan berlindung di ruangan bawah tanah.""Ini tidak bagus." Isla mencebikkan bibirnya. Maria yang duduk tepat di sebelahnya hanya memandangi layar TV sebelum akhirnya wanita itu membuang napasnya pelan."Ingat, Isla. Jangan pergi ke mana pun mulai nanti malam dan tetaplah berada di rumah. Kita akan berlindung di ruang bawah tanah," ujar Maria.Isla mendengkus pelan, "Aku benci musim panas kali ini. Kita bahkan seperti tak diizinkan liburan di pertengahan tahun ini. Padahal tahun-tahun sebelumnya tak pernah seperti ini," ujarnya."Mungkin jika besok pagi badai itu benar-benar akan mengamuk saat sampai di negeri ini, semua sekolah kemungkinan akan diliburkan." Maria membawa gelas-gelas
Isla memasuki ruangan kelasnya dengan langkah yang tergesa dan di dalam ruangan itu ternyata Teresa sudah bersiap menyambutnya. Sahabatnya itu sudah bersiap berlari menghampiri Isla dan memeluknya dengan erat namun tubuh Teresa justru membeku di detik berikutnya."Isla, kau—""Hm? Ada apa?" Gerakan kedua kaki milik Isla pun memelan secara perlahan dan menatap Teresa dengan pandangan yang sulit diartikan."Siapa ... " Teresa yang masih terbengong-bengong itu pun berjalan mendekati Isla secara perlahan dan kedua tangannya terangkat, memegang kedua sisi wajah Isla dan menatap gadis itu dalam jarak yang dekat. "Siapa yang melakukan ini, Isla?" ujar Teresa.Ucapan Teresa itu lalu membuat orang-orang yang ada di kelas menoleh dan mereka terkejut melihat keadaan Isla. Memang terlihat tak begitu parah, namun wajah gadis itu terlihat tergores oleh sesuatu di beberapa bagian dan kedua kakinya juga terlihat terdapat beberapa lecet."Ah
Kedua mata Isla terbuka dan gadis itu langsung mendudukkan tubuhnya dengan napas yang tersengal. Namun hal pertama yang dilihat Isla begitu ia membuka kedua matanya adalah gelap. Hanya ada setitik cahaya kecil yang berasal dari lilin yang mungkin sebelumnya telah dinyalakan oleh ibunya yang diletakkan di atas nakas tepat di sebelah tempat tidur milik gadis itu.Isla lalu bangun dari posisinya dan ia membuka tirai jendela kamarnya yang sudah ditutup. Kedua matanya membulat saat mendapati kalau keadaan di seluruh kota juga semuanya padam, tak ada satu pun rumah yang listriknya menyala.Apa yang terjadi?Dengan segera Isla keluar dari kamarnya dan menuruni satu per satu anak tangga."Ibu, kenapa semuanya gelap sekali?" tanya Isla. Gadis itu berjalan menghampiri ibunya yang tengah duduk di sebuah sofa yang terletak di depan perapian yang terasa begitu hangat dan menenangkan."Entahlah, ibu juga tak tahu ada apa. Beberapa waktu
Gerbang segera ditutup oleh penjaga tidak lama setelah Isla berlari melewatinya. Gadis itu segera berlari memasuki lobi sekolahnya namun tepat sebelum ia benar-benar masuk, entah kenapa tiba-tiba kedua kaki milik gadis itu tiba-tiba saja berhenti dengan sendirinya bahkan tanpa ia perintah."Kenapa perasaanku tiba-tiba tak enak?" gumam Isla. Kedua kakinya perlahan bergerak mundur, namun suara penjaga sekolah yang berada tidak jauh di belakangnya itu membuatnya terkesiap pelan."Apa yang kau lakukan di situ? Kenapa diam saja? Bel jam pertama sudah mau berbunyi jadi cepatlah masuk!" ujar sang penjaga sekolah. Hal itu membuat Isla segera memasuki lobi sekolahnya. Namun di sepanjang koridor perasaannya mendadak begitu tak tenang entah kenapa, padahal tadi ia masih merasa baik-baik saja saat sampai di sana. Kedua kakinya berlari melewati koridor dan menaiki satu per satu anak tangga menuju kelasnya hingga gadis itu benar-benar sampai di sana.T
Kedua lutut Maria seketika langsung terasa lemas sesaat setelah Teresa dan Alex mengantarkan tas milik Isla pulang ke rumah. Kedua remaja itu tampak begitu sedih atas apa yang terjadi kemarin dan terutama Teresa, yang merupakan orang terakhir yang bersama dengan Isla. Gadis itu benar-benar merasa menyesal karena sudah membiarkan Isla pergi sendirian kemarin, padahal dia sendiri harusnya menemani gadis itu dan memastikan kalau sahabatnya itu benar-benar berada di dalam ruang kesehatan dengan aman. Bahkan hingga hari ini, Maria masih tak bisa menenangkan dirinya sendiri. Beberapa minggu terakhir Isla memang cukup mengalami hal seperti ini dan menghilang secara tiba-tiba tapi hal itu tetap saja membuat Maria dilanda rasa cemas yang begitu luar biasa dan juga bahkan ia tak bisa makan dengan benar dan bahkan untuk masak saja ia rasanya enggan, karena di dalam kepalanya wanita itu hanya memikirkan keselamatan putrinya yang sekarang entah sedang berada di mana dan dengan siap
Kedua lutut Maria seketika langsung terasa lemas sesaat setelah Teresa dan Alex mengantarkan tas milik Isla pulang ke rumah. Kedua remaja itu tampak begitu sedih atas apa yang terjadi kemarin dan terutama Teresa, yang merupakan orang terakhir yang bersama dengan Isla. Gadis itu benar-benar merasa menyesal karena sudah membiarkan Isla pergi sendirian kemarin, padahal dia sendiri harusnya menemani gadis itu dan memastikan kalau sahabatnya itu benar-benar berada di dalam ruang kesehatan dengan aman.Bahkan hingga hari ini, Maria masih tak bisa menenangkan dirinya sendiri. Beberapa minggu terakhir Isla memang cukup mengalami hal seperti ini dan menghilang secara tiba-tiba tapi hal itu tetap saja membuat Maria dilanda rasa cemas yang begitu luar biasa dan juga bahkan ia tak bisa makan dengan benar dan bahkan untuk masak saja ia rasanya enggan, karena di dalam kepalanya wanita itu hanya memikirkan keselamatan putrinya yang sekarang entah sedang berada di mana dan dengan siapa
Dengan tangan yang bergetar, Isla kemudian meraih tangan yang terulur padanya itu dan entah mendapat kekuatan dari mana, ia langsung bangkit lalu berhambur memeluk sosok di depannya dengan erat.Mungkin jika ia tak berhasil menahan tubuh Isla yang tiba-tiba menyerangnya, mereka berdua pasti akan langsung jatuh ke atas permukaan rumput."Dasar bodoh," ujar Isla pelan. Pada akhirnya gadis itu tak bisa lagi menahan segala isakan yang sedari tadi ia tahan dengan sekuat tenaga. "Aku merindukanmu ... Rhys," lirihnya.Rhys terdiam selama beberapa saat usai ia mendengar ucapan Isla barusan. Kemudian pria itu tersenyum tipis dan tangannya beralih mengusap punggung Isla. "Maafkan aku, ya."Dengan perlahan kemudian Rhys melepas pelukan Isla dan ia mengalungkan kembali kamera milik gadis itu di lehernya."Setidaknya perhatikan langkahmu saat berlari, dasar ceroboh." Rhys berujar seraya mengusap kedua pipi Isla yang basah.Buk!
Mobil milik Maria sudah melaju dan membelah jalanan di kota Goteborg dan sekarang ini ia dan juga putrinya tengah menuju ke Angelholm untuk urusan pekerjaannya, dan memungkinkannya menginap selama beberapa hari di rumah adiknya yang berada di sana juga bersama dengan putri semata wayangnya.Isla yang kemarin sempat protes karena rencana awal liburannya ditunda itu pun kini tak mengoceh atau sekadar melayangkan sebuah komplain pada sang ibu."Apa kau membawa kameramu?" tanya Maria.Isla kemudian menganggukkan kepalanya pelan. "Hm. Sudah aku letakkan di dalam koper."Perlahan, kedua sudut bibir Maria pun naik dan membentuk seulas senyuman tipis tanpa diketahui oleh sang putri. Setidaknya Isla tak akan mati kebosanan selama berada di Angelholm, jadi Maria pun bisa bekerja dengan lebih tenang selama berada di sana. Ia tahu betul kalau putri semata wayangnya itu gampang sekali merasa bosan namun jika Isla sudah membawa kamera kesayangannya ke
"Barusan itu ... murid laki-laki yang kemarin, kan?" Isla berkedip dua kali."Kupikir aku barusan salah lihat, Isla. Tapi ternyata kau juga melihat hal yang sama denganku," ujar Teresa."Tapi kurasa ada yang aneh, ya. Kenapa laki-laki itu ... malah bersikap biasa saja? Maksudku, barusan dia bersikap seperti orang yang benar-benar berbeda dari yang kemarin memberikan cokelat dan juga croissant ini." Isla kemudian menatap cokelat yang tengah berada di salah satu tangannya."Apa mungkin kalau yang barusan itu bukan dia? Apa dia orang yang berbeda dari yang sebelumnya?" Teresa berkedip. Gadis itu langsung menghabiskan cokelat yang ada di tangannya itu."Tunggu, maksudmu kalau dia itu ... memiliki seorang kembaran di sini?" Isla kemudian menatap Teresa yang ada di sebelahnya. Sahabatnya itu juga tampak masih terkejut dan gais itu terlihat masih berusaha mencerna situasi yang baru saja ia alami."Atau mungkin kemarin kepalanya itu habis terbentur s
"Isla? Siapa itu Isla? Dan, apakah aku dan kau berada di sekolah yang sama?""Cokelat, katamu? Cokelat apa, ya? Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang kau katakan.""Tunggu, tunggu. Kau dari tadi mengatakan tentang seseorang yang bernama Isla. Tapi aku benar-benar tak kenal dia, asal kau tahu saja. Mungkin kau ini salah orang, lain kali lebih teliti lah lagi. Kalau begitu aku permisi dulu."Alex seketika tak bisa diam di tempat tidurnya. Ia masih saja teringat dengan pria yang ditemuinya beberapa jam yang lalu itu.Bisa-bisanya dia lupa dengan kejadian pagi tadi. Padahal dia sendiri yang memulai semuanya. Dari menyimpan cokelat di dalam loker milik Isla secara diam-diam, hingga memberikan gadis itu sebuah croissant secara tiba-tiba saat sedang jam istirahat."Ini sangat aneh. Apa mungkin ya, dia memang memiliki seorang kembaran di sekolah? Dan yang tadi bicara denganku apakah mungkin kalau itu ternyata kembarannya yang lain,
Isla menatap sebungkus croissant yang diletakkan oleh seseorang di hadapannya dan kemudian gadis itu mendongakkan kepala untuk menatap siapa orang yang meletakkannya.Gadis itu kemudian terdiam selama beberapa saat, mencoba mengenali sosok yang kini berdiri di sebelah mejanya itu. Ia bahkan sama sekali tak mengenali orang itu.Sementara Teresa dan Alex juga terlihat menatap satu sama lain, namun tak ada satu pun dari mereka yang mengenali orang itu. Mereka berdua lalu menatap kembali orang itu dan berusaha mengenali orang yamg baru saja memberikan sebungkus croissant kepada Isla."Untukku?" tanya Isla.Laki-laki yang berdiri di sebelah itu kemudian menganggukkan kepala."Ma-maaf, tapi ... kau siapa, ya? Aku sama sekali tak mengenalimu," ujar Isla."Aku dari kelas lain," ujar laki-laki itu."Tunggu, apa kau ... orang yang tadi menaruh cokelat di dalam loker milik Isla?" Kini giliran Teresa yang kemud
Dua minggu kemudian ...Isla keluar dari salah satu ruangan dengan begitu lesu dan juga tak bersemangat. Dua orang yang menunggunya di depan pintu ruangan itu pun segera menyemangatinya agar Isla tak terlihat mengerikan dengan ekspresi yang ada di wajahnya itu."Astaga, ada apa dengan raut wajahmu yang menyedihkan ini? Hei, kau kenapa? Apa soalnya sangat sulit?" tanya Teresa begitu Isla keluar dari ruangan itu.Isla membuang napasnya pelan lalu gadis itu menggelengkan kepalanya."Lalu apa mau kau bisa mengerjakan semuanya?" Kini giliran Alex yang bertanya.Kali ini, Isla menganggukkan kepala. Teresa dan Alex pun saling mengerutkan dahi dan mereka menatap satu sama lain."Lalu? Apa masalahmu, Isla?" tanya Teresa dengan kening mengerut.Isla kemudian mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku yang ada di sana dan gadis itu mendengkus pelan. "Rasanya aku benar-benar hampir gila karena mengerjakan semua soal itu!" ujarnya."
Isla dan Teresa saat ini tengah memakan beberapa potong buah yang sudah disiapkan leh Maria beberapa waktu yang lalu seraya sesekali mengobrol tentang berbagai hal hingga mereka berdua pun tertawa satu sama lain."Emmm, ngomong-ngomong, Teresa, apakah saat ini kondisi bagian sekolah yang rusak sudah selesai diperbaiki?" tanya Isla sebelum gadis itu menggigit sepotong apel yang ia ambil dari piring yang ada di hadapannya. Saat ini ia dan juga Teresa tengah duduk bersila di atas tempat tidur dengan sepiring buah-buahan yang ada di depan mereka."Ah, soal itu. Kurasa sedikit lagi. Sebelumnya mereka memperbaiki pintu atap terlebih dahulu karena pintu itu benar-benar terlihat mengenaskan karena terbagi menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil dengan jumlah banyak," ujar Teresa. Gadis itu awalnya hendak menggigit potongan pir yang ia ambil dengan garpu namun ia mengurungkan niatnya itu dan kembali menatap Isla yang duduk di depannya."Isla, jika aku boleh tahu, se
Maria membka kedua matanya dan ia melihat Isla yang tertidur dengan ponsel yang berada di genggaman tangannya. Wanita itu kemudian berjalan mendekati tempat tidur putrinya untuk membenarkan letak posisi selimut Isla yang sedikit tersingkap seraya mengambil ponsel milik gadis itu secara perlahan agar ia tak membuat tidur putri semata wayangnya itu terganggu.Saat hendak menyimpan ponsel itu di atas meja, sebuah notifikasi masuk ke ponsel milik putrinya hingga layar benda pipih itu pun kembali menyala. Karena ponsel milik Isla memang sering tidak memakai password, Maria pun bisa dengan mudah mengecek ponselnya dan kali ini wanita itu melihat dari siapakah pesan itu berasal dan ternyata itu dari teresa namun Maria tak membalasnya, ia membiarkan isla saja yang akan mebmalas pesan itu nanti ketika gadis itu sudah bangun.Kemudian tanpa sengaja Maria melihat sebuah foto yang menampakkan dua orang yang ada di dalam foto itu."I-ini ... " Maria mengeru
"Hujannya deras sekali. Untung saja Ibu kembali tepat waktu." Maria meletakkan tasnya di atas meja.Isla yang berbaring di atas tempat tidur itu hanya diam saja seraya memandangi hujan di luar sana.Bersamaan dengan itu, Maria menemukan sebuket bunga yang berada di atas meja. Kedua alisnya saling bertaut menatap benda itu."Tunggu dulu,ini bunga dari siapa?" tanya Maria.Isla menatap buket yang tengah Maria pegang, kemudian gadis itu menjawab, "tadi pagi Alex datang ke sini sebelum dia berangkat ke sekolah," ujarnya."Benarkah?" Maria berkedip dua kali dan wanita itu kemudian menatap buket di tangannya, hingga akhirnya ia tersenyum setelahnya. "Dia memang anak yang baik," ujar Maria dan wanita itu terkikih setelahnya."Berarti sore ini Alex dan juga Teresa tak akan datang ke sini?" tanya Maria kembali."Hm. Aku sudah menghubungi Teresa agar dia dan juga Alex tak perlu datang ke sini karena hujan deras yang tak