BAB 2 Malam Pertama
Mata Syila mengerjap pelan. Ia memejam kembali, lalu membuka perlahan matanya. Yang dilihat pertama kali bukanlah suaminya, melainkan mertuanya umi Hira."Mi. Mas Zein mana?" tanya Syila dengan wajah memelas. Tampak raut bingung terlukis di wajah Hira."Oh, Zein sedang mandi di kamar sebelah. Tunggulah sebentar, nanti dia kemari!" ungkap Hira. Ia mencoba menenangkan menantunya."Kepalaku pusing, Mi." Syila meraba kepalanya yang tertutup jilbab instan berbahan kaos. Ia juga meraba badannya ternyata kebayanya sudah terlepas berganti dengan gamis. Melihat kebingungan di wajah Syila, Hira tersenyum sekilas."Umi yang tadi nggantiin baju kamu." Syila terkesiap, lalu beroh ria. Rasanya malu jika sampai suaminya yang mengganti bajunya. Sebab ia belum terbiasa."Mi, Wanita yang hamil besar tadi?" tanya Syila menggantung. Wajah tersenyum Hira berubah sendu. Seolah ingin menyampaikan berita sedih untuk Syila."Oh, nggak usah dijawab kalau gitu, Mi. Syila sudah tahu. Mas Zein yang sudah jelasin tadi," lanjut Syila dengan muka pasrah."Maafkan umi, Syila! Umi hanya ingin Zein bahagia, menemukan wanita yang bisa membuatnya tersenyum kembali setelah terluka. Umi percaya wanita yang cocok itu kamu.""Bahagia? Apa hanya Mas Zein yang berhak bahagia? Lantas aku?" Syila berkutat dengan pikirannya sendiri. Otaknya mendadak buntu. Ia teringat ucapan wejangan dari ayah dan ibunya sebelum memutuskan menerima perjodohan ini."Syila, perusahaan ayah sedang diujung tanduk. Hanya kamu putri satu-satunya yang bisa menyelamatkan. Mas Arka sudah berkeluarga dan punya anak. Dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengajar.""Maksud Ibu gimana?" Syila mengerutkan keningnya tak paham."Menikahlah dengan putra rekan bisnis ayah ya!" Syila tercenung."Menikah. Yang benar saja?" Bagi Syila menikah muda belum masuk dalam list rencana jangka pendeknya. Haruskah ia mengikuti jejak sang ibu yang menikah di usia 22 tahun dengan sang ayah yang seorang duda beranak satu. Usia mereka terpaut jauh, hampir 17 tahun kala itu.Di usianya yang baru genap 20 tahun, Syila ingin meniti karirnya. Begitu ibunya meminta, bagaimana bisa ia menolaknya. Ia termasuk anak yang patuh, meski gejolak hati ingin menentang itu ada. Syila tidak ingin mengecewakan ibunya. Terlebih akhir-akhir ini ayahnya sering keluar masuk rumah sakit untuk pengobatan sakit jantung."Syila mau asal ayah dan ibu merestui. Karena tanpa restu kalian, Syila tidak mungkin bisa kuat menjalani." Swari sang ibu mengulas senyum. Kenyataan membujuk putrinya tidak sesulit yang ia bayangkan.Sebulan setelah keputusan menerima perjodohan, Syila berangkat ke Jakarta meninggalkan kota kelahirannya Yogyakarta. Sesuai ijazahnya, Ia bekerja sebagai sekretaris di perusahaan calon mertuanya. Perusahaan kosmetik ternama itu dipegang oleh pria tidak lain putra pemilik perusahaan. Namanya Zein Raditya Arkana. Syila dan Zein menjalin hubungan perkenalan melalui statusnya yaitu sekretaris dan bos.Syila terbangun dari lamunannya. Ia tersenyum kecut jika mengingat proses perjodohannya dengan Zein. Terlintas sebuah penyesalan karena tidak mengindahkan ucapan adik iparnya bernama Refan Raditya Arkana saudara kembar suaminya."Umi ke kamar dulu ya, mau mijit abi katanya capek tadi berdiri terus menyalami tamu." Syila mengangguk, mencoba tersenyum pada ibu mertuanya."Jangan lupa supnya dihabiskan sama jahe panasnya juga ya! Biar pusingnya reda.""Ya, Mi. Terima kasih."Malam telah menyambut, terlihat dari jam di nakas menunjuk pukul setengah delapan. Syila melihat semangkuk sup yang masih mengepul ada di nampan bersama segelas jahe yang membuat air liurnya mengucur. Sepertinya lezat dan hangat. Gegas ia mengambil jahe itu dan menyeruputnya sedikit karena masih panas. Ia beralih mengambil mangkuk sup.Sup berisi kuah daging ayam dan sayuran brokoli, wortel serta daun bawang menghangatkan tubuhnya setelah tandas masuk ke perut. Rasa pening di kepalanya mulai berangsur hilang. Namun hatinya masih terasa nyeri. Menepuk-nepuknya berulang pun tidak mampu mengubah rasa nyeri itu. Memilih menenggelamkan kepalanya di atas lutut yang ditekuk, Syila justru tergugu.Suara derit pintu dibuka pun tidak disadari oleh Syila yang tenggelam meratapi nasibnya. Langkah kaki kian mendekat, lalu si pelaku berdiri tidak jauh dari ranjang."Ngapain menangis! Gue pikir cewek bar-bar kayak lu nggak bisa nangis. Syila, Syila. Memangnya sudah berapa lama kamu mengenal abangku, sampai-sampai tidak tahu kalau ditipu."Kalimat serupa ejekan bergulir masuk ke indra pendengaran Syila. Lama kelamaan darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun.Ia menghentikan tangisannya, lantas mengusap wajah agar tidak terlihat kuyu."Ngapain kamu ke sini? Kalau kemari hanya ingin mengejekku, silakan pergi sekarang juga!" teriak Syila pada Refan."Huh, dasar cengeng!" balas Refan dengan tatapan sinis."Berhenti mengolokku! Sana pergi!" Syila mengusir tanpa melihat Refan yang berdiri menjulang di depannya. Laki-laki yang dulunya berambut panjang itu baru saja bertengkar dengan uminya sehari sebelum pernikahan Zein.Hira memaksa Refan merapikan rambutnya. Alhasil, jadilah Refan pria yang tampan dengan rambut cepak, berbeda dengan saat Syila bertemu pertama kali. Bisa jadi kalau dijajarkan, Zein dan Refan sama-sama tampan dan susah dibedakan kecuali kelakuannya."Lu nggak mau gue temenin? Bang Zein masih sibuk dengan istrinya yang hamil besar. Mungkin setelah kangen-kangenan baru dia ke sini." Mendengar ucapan Refan, dada Syila kembali berdenyut nyeri."Kapan?" Refan hanya mengedikkan bahu. Syila yang melihatnya membuang napas kasar."Kalau nggak tahu jangan suka mengira-ira," ucap Syila seraya mendengkus kesal."Ya mungkin saja nanti tengah malam. Ini kan malam pertama, harusnya Bang Zein memilih istri barunya dong." Refan terlihat memanas-manasi Syila hingga wajah gadis yang masih duduk menekuk lutut di atas ranjang berubah kesal. Refan pun tersenyum puas."Nggak ada malam pertama," decis Syila seraya membuang muka ke samping. Ia tidak mau Refan melihat wajahnya yang menyedihkan."Nggak usah memalingkan muka. Bagaimanapun wajah lu tidak bisa berbohong. Lu pantas bersedih, tapi jangan terlalu lama meratapi.""Sok bijak." Syila mencebik kesal sambil membuang muka."Memang gue dari dulu bijak, kok," ujar Refan tidak terima. Ia duduk menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Syila yang tidak sadar lantas berjengkit kaget."Ngapain duduk di sini? Pergi sana! Awas ya, jangan dekat-dekat sama aku. Ingat aku kakak iparmu." Syila menghalau Refan dengan tangannya supaya pergi dari ranjangnya."Cih, kakak ipar gue harusnya lemah lembut, nggak galak macam lu.""Astaga. Nih orang semakin ngelunjak ya, dibaikin dikit."Refan melompat dari kasur. Ia berdiri hendak meninggalkan Syila."Oke, gue pergi kalau lu nggak mau ditemeni. Paling Bang Zein sudah terlelap ke alam mimpi bersama Sania." Seringaian tipis di wajah Refan sungguh menyebalkan bagi Syila. Ia semakin geram dengan adik iparnya itu."Mungkin juga mereka sudah berbagi selimut yang sama," lanjutnya meledek. Syila makin dibuat emosi. Hatinya berkecamuk. Dilemparkannya bantal ke arah Refan. Namun, pria itu dengan gesit menghindar."Ups, maaf nggak kena." Refan mengangkat kedua tangannya setinggi bahu, lalu bergegas kabur."Refan!" teriak Syila. Refan hanya melambaikan tangan hingga punggungnya berangsur hilang.Satu jam, dua jam berlalu. Syila tidak bosan menunggu kedatangan suaminya di kamar. Ia membunuh kebosanan dengan mengutak atik ponselnya. Beberapa menit kemudian terdengar pintu dibuka. Sebuah salam menyapanya. Hatinya membuncah saat melihat suaminya datang."Syila, kamu tidurlah dulu! Aku harus menemani Sania karena dia tidak bisa tidur nyenyak di tempat yang baru." Seperti biasa Zein berkata dengan wajah dingin."Begitu, ya?" Syila mencoba bersikap sabar."Tolong mengertilah!" Permohonan serupa titah keluar dari mulut Zein, diiringi ekspresi tanpa senyum sedikitpun."Tapi Mas, aku...." Syila terlihat memohon pada Zein, tetapi tidak diindahkan."Lalu bagaimana denganku? Kamu nggak tahu perasaanku, Mas." Kalimat yang hanya tertahan di hati karena tenggorokannya terasa tercekat."Sekarang tidurlah!" Zein memohon, lalu memberi kecupan singkat di kepala Syila yang masih setia dengan jilbab instannya. Syila hanya tercengang dibuatnya. Tubuhnya gemetar hebat."Pernikahan macam apa ini?" jerit Syila dalam hati.Saat pikiran Syila kalut, ponselnya berdering. Tertera nama Mas Arka, sang kakak menelpon. Ia menarik napas dalam dan mengetes suara agar tidak terdengar sendu."Halo, Syila. Apa kamu baik-baik saja?""Apa maksud Mas Arka?" Dahi Syila mengernyit."Apa dia tahu aku sedang bersedih?" guman Syila."Suamimu memperlakukanmu dengan baik, kan?" tanya kakaknya lagi."Ya, Mas. Aku baik-baik saja." Syila berpura-pura baik-baik saja agar keluarganya tenang. Apa jadinya kalau orang tua sampai tahu keadaan pernikahannya. Bisa-bisa ayahnya kena serangan jantung."Maafkan Syila, Mas. Syila sudah berbohong." Syila menggigit bibir bawahnya. Tentu saja ucapan itu hanya tertahan di dalam hati."Bertahanlah, Syila! Demi keluarga kita. Jangan sampai bisnis yang dibangun ayah hancur. Cukup bertahan enam bulan saja, Syila.""Tapi, Mas?" Bahu Syila melorot. Ia masih tidak paham maksud kakaknya."Berjanjilah!" Titah dari seberang membuat Syila menarik napas panjang."Ya, Mas. Syila janji."BAB 3 NyamanRefan masih belum bisa memejamkan mata, karena kebiasaan buruk akibat segelas kopi yang diminumnya. Niat hati menahan kantuk untuk mengedit hasil jepretan dan video yang diambil saat dia traveling malah berujung insomnia.Suasana rumah sudah lengang, saat ia hendak turun ke lantai bawah. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam kamar yang ia lewati. Kamar pengantin pikirnya, ternyata bukan. Suara itu dari kamar abangnya. Mencoba memutar knop, ternyata di kunci. Ia mengetuknya beberapa kali. Namun tidak ada jawaban. Baru saja hendak pergi, terdengar pintunya dibuka."Hmm, menyesal?" ungkap Refan dengan nada sedikit mengejek.Syila hanya tertunduk membuat Refan tidak tega melihatnya. "Bang Zein nggak ke sini?" tanya Refan penasaran.Syila hanya menggelengkan kepala. Tangannya mengusap lelehan air mata yang sudah membasahi pipi. Wajahnya pasti sudah kusam dan jelek pikirnya."Sini, gue temani begadang." Kali ini Syila menurut. Ia bahkan lupa kalau keputusannya sudah seperti me
BAB 4 Sarapan"Zein, yang benar saja hari ini kamu mau ke kantor? Baru juga menikah kemarin," protes Hira yang melihat Zein sudah bersiap dengan kemeja rapinya. "Iya, kenapa harus buru-buru?" Ilyas sependapat dengan istrinya. Mereka lebih mendukung Zein menikmati bulan madu lebih dulu sebelum disibukkan dengan pekerjaan di kantor."Mi, Bi. Zein mau nunjukkin contoh yang baik ke karyawan. Zein memang bos di sana, tapi tidak mau sesuka hati mengambil libur kerja." Zein berusaha memberi pengertian pada umi dan abinya. Sementara itu, duduk di samping Zein, Syila yang hanya terdiam mencerna ucapan suaminya. Dia meneguk ludah saat melihat Sania juga rapi dengan pakaian yang cocok untuk ibu hamil ke kantor."Astaga, apa dia juga mau ikut ke kantor?" guman Syila. Ia memandang lekat penampilannya, lalu membandingkannya dengan penampilan Sania. Jelas, beda jauh. Kelihatan kalau Sani itu berkelas. Sangat elegan penampilannya mengikuti fashion."Lho, San. Kamu pakai baju rapi mau ke mana?" tanya
BAB 5 Bubur Ayam"Suaminya nggak dipesenin sekalian, Mbak?" tanya pelayan yang berdiri menanti pesanan. "What?! Suami?!" "Biar pesan sendiri. Tanya aja orangnya!" Syila masih bersikap tak acuh karena Refan selalu mengejeknya. "Bubur dan jeruk panas, Mas." "Baik silakan ditunggu dulu!" Syila terpaksa duduk bersisihan dengan Refan, karena warung bubur itu ramai di pagi hari. Banyak karyawan perusahan di ibukota yang mampir sarapan di situ. "Eh, pasangan serasi ya mereka." Syila sempat mendengar bisik-bisik wanita paruh baya yang duduk berselang satu meja dengannya. "Iya, biasanya Mbaknya yang cantik sendirian. Apa dia sudah menikah?" Syila semakin risih. Dia memang rajin sarapan di sana bersama teman kantornya sewaktu tinggal di kontrakan. "Itu mungkin suaminya. Ganteng banget kayak artis yang jadi brand ambasador kosmetik terkenal itu lho." "Komestik yan mana?" "Itu lhoh, kosmetik B ***?" "Oh, kosmetik yang lagi hitz?" Wanita satunya mengangguk dengan tatapan masih fokus ke
BAB 6A Bromo"Aku juga melayani Mas Zein dengan baik. Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan tadi." "Bukan itu, Syila. Pelayanan plus-plus. Ini obrolan dewasa, bukan anak TK." "Apa?!" pekik Syila dengan mulut menganga. Refan justru membalas dengan kedipan alis. Menyebalkan. "Apa yang dimaksud Refan pelayanan di ranjang. Hufh, malam pertama aja kami nggak tidur sekamar. Gimana aku mau melayani." Refan menoyor kepala Syila hingga suara mengaduh Syila melengking. "Nggak usah piktor. Maksud gue apa lu pernah ciuman sama bang Zein gitu?" Syila terlonjak kaget. Ciuman, boro-boro ciuman, ngobrol bareng aja ada Sania kayak polisi sedang patroli. "Belum. Masak iya ada Sania mau ngelakuin kayak gitu." Refan terbahak mendengar kejujuran Syila. "Polos amat sih lu. Masak iya minta gue ajarin?" Refan mengedikkan alisnya. Mulailah keluar sifat playboynya. "Nggak perlu!" pekik Syila bercampur malu. "Gimana bisa cantik banget kayak Mbak Sania, Fan?"Syila menerawang jauh, bayangan Sania yang a
"Hufh, nasib mau liburan jauh-jauh dari bos dingin. Eh ketemu sama laki-laki tampang playboy gini," gerutunya dalam hati.Demi menghemat kantong biar ngga kering, Syila menyewakan satu kamarnya. Sayangnya, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Keduanya sepakat untuk menjadi penghuni saling asing. Artinya tidak ada dua orang di tempat yang sama. Saat salah satu menggunakan dapur, maka salah lainnya tidak berada di situ. Terdengar ribet, tapi demi keamanan bersama terutama Syila yang aslinya gadis polos lulusan pesantren. Di luarnya saja dia menjadi gadis bar-bar untuk tameng dari godaan playboy. Pria itu mengenalkan diri dengan nama panggilan Refan. Syila sempat membatin, pria itu mirip bosnya. Namun kelakuan mereka bertolak belakang. Apalagi penampilan Refan berambit gondrong, menambah kesan plaboynya.Menjelang malam, cacing di perut mulai berteriak protes. Syila mengeluarkan bahan untuk makan malam yang sudah menjadi bekal di tas. Keluar kamar dengan kerudung instan, kaos panjang d
BAB 7A Ciuman"Sudah ketawanya. Tadi aja nangis-nangis, sekarang ketawa nggak jelas. Dikira lu cantik-cantik nggak waras nanti.""Fan, tadi malam yang mindah aku ke ranjang siapa?" Syila berubah serius saat menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.Refan hanya bergeming membuat Syila menoleh dan menatap lama adik iparnya."Fan.""Hmm." Refan menyunggingkan senyum, membuat Syila mendecis."Kamu maunya gue yang angkat atau Mas Zein?" Refan justru berbalik tanya semakin membuat Syila kesal."Ckk, selalu begitu kalau ditanya. Ya, jelas aku berharap suamiku yang mindahin lah. Lain kali awas ya kalau aku tidur di sofa, kamu jangan mindahin aku. Panggilkan saja Mas Zein.""Tentu saja, suami lu yang lebih pantas memindahkan." Syila menghentikan perdebatannya setelah merasa lega, bukan Refan yang memindahkan tidurnya di ranjang melainkan suaminya. Mobil akhirnya memasuki pelataran perusahaan kosmetik yang turun temurun dari keluarga kakeknya. Awal mula perusahaan itu dipegang omnya karena
Bab 7B"Pagi, Bu Syila." Seorang karyawan bagian keuangan barusan melintasinya."Selamat atas pernikahannya ya, Bu. Bos memang serasi dengan Bu Syila." Syila memandnag kesal pria di sampingnya."Terima kasih, Pak." Refan berdehem membuat karyawan itu menunduk hormat."Pagi, Bos." "Lanjutkan kerjamu!" titah Refan diangguki patuh oleh karyawan laki-laki yang berusia muda tadi. Syila hanya mengernyit, dan bertanya-tanya dalam hati."Apa mereka tidak tahu Refan kembaran bosnya?" Syila hanya mengedikkan bahunya lalu melangkah kembali menuju ruang kerjanya yang menjadi satu dengan ruang direktur. Ia lupa kalau Refan sudah memangkas rambut hingga pendek seperti Zein.Syila melangkah tanpa ragu. Ia sudah biasa mengetuk pintu, lalu masuk ke ruang Zein seperti hari biasa saat bekerja."Kayaknya yang ini lucu deh bajunya.""Iya, Sayang." Zein terlihat mencolek dagu Sania, saat Syila masuk ruang kerjanya."Ishh, nakal." Suara manja khas wanita menyapa telinga Syila saat masuk ruang Zein. Ia mel
BAB 8A Coba-coba"Mas Zei...." Bersamaan dengan bunyi lift berdenting. Pintunya terbuka, tampak dua orang karyawan berdiri terperangah di luar. Keduanya melihat adegan dewasa telah terjadi di dalam lift. Reflek Syila mendorong dada Refan sesaat setelah pintu lift terbuka. Ia menerobos dari bawah lengan Refan yang mengurungnya."Syila?! Apa yang kamu lakukan?" Refan ikut menoleh ke arah sumber suara."Hah. Maaf Bos, kami sungguh tidak melihat apa-apa. Bener, deh!" Salah satu karyawan yakni Merry sahabat Syila segera menarik tangan temannya untuk kabur dari situ. Keduanya takut dipecat karena kedapatan mengganggu kesenangan bosnya.Syila hanya melongo melihat Merry yang terbirit bersama rekan yang lain. Ia berbalik ternyata lift sempat menutup dengan Refan memberikan kiss dari jauh."Hufh, menyebalkan." Tubuh Syila merinding melihat tingkah adik iparnya. Gegas ia mencari Merry untuk berbagi cerita.Langkah Syila yang tadinya cepat berubah melambat setelah sampai di depan ruang bertuli
S3 Bab 42 "Beginikah caranya menghukum diri sendiri, huh?" "Alea." Irsyad melebarkan matanya. Sedetik kemudian ia mengucek berulang untuk memastikan apa yang dilihatnya bukanlah sebuah fatamorgana. "Al, kamu datang?" lirih Irsyad sambil menoleh ke sekitar. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Alea lantas duduk di kursi sebelah Irsyad dengan meja kecil sebagai penghalang. Irsyad berusaha menetralkan deru napasnya. Rasa haru menyeruak. Kesedihan karena memikirkan kebencian Alea terhadap dirinya pun terpatahkan. Nyatanya, Alea masih mau menemuinya. "Ya, aku datang karena ada yang mengundang," ucap Alea dengan wajah datar. Gaya bicaranya tidak sesopan dulu dengan menyebut aku saat bicara. Tatapannya tidak sedikitpun mengarah pada Irsyad. Lelaki itu sadar diri, Alea pasti masih benci padanya. "Kamu tahu Om tinggal di sini?" "Sangat mudah dicari, bukan?" cetus Alea. Irsyad hanya beroh ria. "Aku akan menikah, jadi silakan mau bicara apa?" lanjut Alea. Irsyad menarik napas dalam.
S3 Bab 41Sesampainya di rumah, Alea mengucap terima kasih pada Damar dan memaksanya segera pulang. "Alea!" "Mama?!" Perempuan paruh baya yang menanti kedatangannya segera memeluk erat. Ya, Syifa sudah seminggu sakit dan terbaring di tempat tidur merindukan putrinya. "Mama! Maafin Alea. Mama sakit gara-gara Alea, kan?" sesal Alea sambil mengeratkan pelukannya. "Tenanglah, Al. Mamamu sakit bukan karena kamu. Tapi dia ngidam." "Apa?!" "Ishh. Papa nih, nggak usah becanda. Orang anaknya barusan pulang malah dibecandaain." "Maksudnya apa, Pa? Mama ngidam? Mau punya adik bayi?" Alea sudah melototkan matanya horor ke arah papa dan mamanya. Sementara Rendra yang baru saja ikut duduk di sofa hanya bisa terkikik. "Apaan sih, Ren? Kamu ngerti?" "Tuh, Mama ngidam pengin punya mantu, Mbak," celetuk Rendra masih dengan tertawa renyah. "Astaga. Kamu masih SMA udah mau nikah? Awas ya, belajar dulu sana!" "Yeay, siapa juga yang mau nikah. Mbak Alea tuh yang dilamar sama Mas Damar. Mama dan p
S3 Bab 40 "Aku mau melamarmu." "Hah?!" Alea ternganga. "Mas Damar sudah gil*. Alisa mau dikemanain coba?" protes Alea. "Alisa mau menyelesaikan kuliahnya dulu. Saat di bandara, Alisa mengikuti kepergian Damar menyusul Alea. Namun, Alisa hanya mendapati Damar yang melangkah lesu di batas ruang masuk penumpang dan pengantar. "Mas Damar? Sudah ketemu Mbak Alea?" "Tidak Lisa. Alea sudah pergi." "Oh, gitu. Kita perlu bicara Mas." "Ya, Lisa." "Kami berdua memutuskan memilih jalan masing-masing terlebih dulu, Al. Siapa yang menemukan jodoh duluan ya tidak apa kalau mau menikah lebih dulu." "Astaga, memangnya kami berdua mainan. Mas Damar gonta ganti melamarku atau Alisa," ucap Alea tak terima. Namun, ia setengah bercanda. "Ya gimana lagi, kalian sama-sama cantik." "Dasar laki-laki!" "Ough. Jangan kasar Al. Kamu masih pakai jurus karatemu?" "Iya lah. Mau dihajar?" "Ampun, Al." Alea tersenyum mengembang. Tiga bulan ia bisa menghilangkan rasa sakit hatinya pada Damar. Hanya mela
S3 Bab 39 Dua bulan berlalu, Alea sudah mulai menikmati perannya di tempat tinggal yang baru. Ia kini tinggal di salah satu kota kecil di Austria yakni kota Klagenfurt. Saat sampai di Vienna Internasional Airport, Alea hanya memberi kabar pada keluarganya kalau sudah sampai. Ia meminta izin memberi kabar kembali setelah tiga bulan selesai. Setelah Syifa mengiyakan dengan berat hati, Alea pun menonaktifkan nomernya dan berganti ke nomer lokal. Satu yang tidak dikatakan Alea pada keluarganya adalah tempat akhir yang ia tuju. Keluarga tahunya Alea ada di kota Vienna bukan di Klagenfurt. "Al, masih lama nggak me time kamu?" tanya Aida satu-satunya mahasiswa dari Indonesia yang ada di Klagenfurt. Terhitung sekarang ada dua mahasiswa termasuk Alea. "Kenapa? Kamu terburu, ya?" jawab Alea sambil menikmati pemandangan danau yang membentang luas di depannya. Danau yang biasa dengan sebutan Wörthersee di Klagenfurt memang indah. Dengan berdiri di pinggir danau, Alea bisa melihat pegunungan A
S3 Bab 38 "Maaf, Ma. Alea harus pergi. Hanya tiga bulan saja, Alea janji Ma." "Sayang, Papa dan Mama pegang janjimu. Di sana tiga bulan jangan berbuat aneh-aneh. Kamu harus jadi wanita kuat seperti mamamu," pesan Zein. "Iya, Pa, Ma. Alea janji. Jaga diri Mama dan Papa. Alea berangkat sama Rendra saja." "Baiklah, Sayang. Hati-hati, jangan lupa kabari kami kalau sudah sampai di sana," lirih Syifa sambil memeluk erat Alea sebelum pergi meninggalkannya. "Gimana Alea, Pa?" "Ma, Alea anak yang kuat. Kita sebagai orang tua harus mendoakan yang terbaik untuknya. Selalu berprasangka baik sama Allah." Syifa mengangguk lalu menghambur ke pelukan Zein untuk menumpahkan tangisnya. Selama 20tahun ini Syifa tidak pernah ditinggalkan Alea. Justru Syifa yang meninggalkannya saat bertugas menjadi relawan. Namun, kali ini Alea yang pergi membuat hatinya bersedih. "Sayang, ingat Alea pergi untuk menuntut ilmu. Allah akan mengangkat derajat putri kita. Jadi kita tidak pantas bersedih. Kita seharusn
S3 Bab 37 Plak! "Keterlaluan kamu, Syad. Begini caramu membalas apa yang sudah kuberikan?! Kamu membalas sakit hatimu karena perasaanmu padaku, kan? Kamu memanfaatkan Alea, putriku?" "Tidak, Fa. Tolong jangan berpikir begitu." "Jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Kamu pantas mendapat hukuman yang setimpal." Irsyad terhenyak, kekecewaan Syifa menari-nari di wajahnya. Ia merasa terluka karena telah mengecewakan hati Syifa. Perempuan yang sudah menjadi kakak angkatnya. Mengubah kehidupannya yang gelap hingga menjadi terang. Bahkan dulu namanya pernah singgah di hati Irsyad. Malam itu, Irsyad dan Rendra menemukan hotel tempat Alea dibawa Ronald berdasar informasi dari teman Alea bernama Yoga. Irsyad memaksa resepsionis mengecek kamar atas nama Ronald dengan dalih calon istrinya bersama laki-laki itu. Rendra menunggu di lobby, sedangkan Irsyad mencari ke kamar. Sesampainya di kamar yang dituju, Irsyad hanya mendapati Ronald yang membuka pintu dan Alea ada di dalamnya. Tanpa berpi
S3 Bab 36 "Maaf, sebaiknya saudara Irsyad menjelaskan di kantor. Karena Pak Ronald sudah memberi keterangan terkait kejadian di hotel malam itu sesuai yang dilaporkan Mbak Alea." "Saya pikir cukup lelaki bernama Ronald itu yang ditangkap, Pak," bela Alea. "Maaf, Mbak Alea. Kami perlu membawa Saudara Irsyad. Sebab dia juga berada di hotel yang sama malam itu." "Apa?!" pekik Alea. "Tenanglah Alea, ini pasti salah paham. Baik, saya akan ikut ke kantor." "Tapi, Syad. Acaranya?" Syifa menagih jawab atas pertanyaan yang sudah bisa ia tebak jawabannya. "Pak, kalau boleh Irsyad datang ke kantor polisi setelah acara akad nikah selesai," bujuk Zein. "Maaf, kami harus membawa saudara Irsyad sekarang juga." Zein tersentak, pun Syifa tidak bisa menahan air mata. Acara sakral putrinya mendadak kacau. Ini tentu tidak masuk dalam perkiraannya. Ia sungguh kasian pada Alea yang mendapat masalah bertubi. "Jangan khawatir Mas, Fa. Aku akan baik-baik saja. Setelah urusan dengan polisi selesai, ak
S3 Bab 35 Seminggu berlalu, Irsyad sudah menyelesaikan persiapan akad nikah bersama Alea. Sesuai kesepakatan, keduanya tidak menceritakan pada Syifa dan Zein kalau pernikahan ini dijalani serius. "Om kebayanya bagus, nggak? Udah pas belum?" tanya Alea dengan wajah tak henti-hentinya mengulas senyum. Ia terkadang geli sendiri. Hubungan yang baru mau dibangun dengan Damar kandas, ternyata tergantikan oleh sosok lelaki dewasa yang tidak jauh-jauh dari kehidupannya. "Jelas, cocok, Al. Yang makai juga cantik kok, iya kan, Mbak?" celetuk Irsyad pada petugas butik yang melayani. "Iya, Mbak Alea cantik. Apalagi memakai kebayanya, pas banget deh." "Ishh, Mbak bisa aja." Senyum kembali terukir di bibir Alea sambil memandang sekilas Irsyad yang mengambil jas lalu memakainya. "Sini, Al!" Irsyad melambaikan tangan supaya Alea berdiri di sampingnya. Keduanya berdiri di depan cermin. "Serasi banget, Om," ujar Alea. Namun, senyum Irsyad tiba-tiba surut. Lelaki itu mendekat ke telinga Alea hingg
S3 Bab 34 "Al, boleh Us ngobrol sebentar?" tanya Silvi dengan wajah serius. Ia membiarkan Maryam menikmati es krimnya di kursi tak jauh dari keduanya duduk. "Ya, Us." Alea merasa sedikit salah tingkah. Ia menduga Silvi akan bertanya tentang Omnya. "Apa benar Mas Irsyad mau menikahimu?" "Us Silvi sudah tahu?" tanya Alea. Jelas ia hanya berbasa basi. Pastilah Irsyad sudah memberitahu. Sebab sebelumnya Irsyad berencana melamar Silvi. "Mas Irsyad yang ngasih tahu. Sebenarnya Abi sudah berharap Mas Irsyad melamar Us, Al. Maryam juga seneng banget bisa punya ayah baru, tapi...." Ucapan Silvi menggantung saat ponsel Alea tiba-tiba berdering. "Maaf Us sebentar." "Iya benar, tas selempang warna krem." "Gimana, tadi Us? Maaf ada yang menyela," celetuk Alea sambil meletakkan ponselnya ke meja. "Kalian benar-benar akan menikah?" tanya Silvi dengan wajah sendu. "Kamu kan tahu Al, Mas Irsyad baru mau memulai lagi hubungan baik dengan Us. Abi juga sudah menerimanya. Kenapa dia harus merelak