Malam itu, udara dingin menusuk tulang, tetapi hati Yoga terasa jauh lebih dingin. Ia duduk dan memegang hasil tes DNA yang baru saja ia ambil dari klinik. Rania duduk di seberangnya dengan wajah tegang. Di sudut ruangan, Raka, bocah yang telah menjadi pusat dari segala keributan ini, bermain dengan Adam dan Arka, tanpa menyadari badai yang melanda di sekitar mereka.Yoga menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Rania," suaranya rendah tetapi tajam, "kita akan menyelesaikan ini sekarang. Aku ingin tahu semuanya."Rania menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku juga terkejut saat dia muncul dengan Raka."Yoga menggelengkan kepala, tidak puas dengan jawaban itu. "Lalu, bagaimana dengan hasil ini?" Ia mengangkat amplop putih itu, seolah-olah jawabannya tergantung pada secarik kertas di dalamnya. "Aku ingin membacanya sekarang."Rania menahan napas, tetapi tidak berkata apa-apa. Yoga membuka amplop itu dengan tangan gemetar, menarik keluar kertas hasil tes DNA,
Ruangan rumah sakit begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi detak mesin monitor yang semakin lambat, seakan mengikuti napas berat Siska. Yoga duduk di kursi di samping tempat tidur, memandangi wajah lemah wanita itu."Yoga..." suara Siska terdengar serak, nyaris tak terdengar.Yoga menggenggam tangan Siska yang dingin. "Aku di sini, Siska. Jangan bicara terlalu banyak, kamu butuh istirahat."Siska tersenyum tipis meskipun matanya mulai berkaca-kaca. "Waktu untukku sudah tidak banyak. Ada yang harus aku sampaikan sebelum terlambat."Yoga terdiam, merasakan berat dari kalimat Siska. Ia tahu saat ini penting, tapi mendengarnya tetap membuat dadanya terasa sesak."Kamu tahu, sejak Fandy pergi… aku hanya punya satu tujuan dalam hidupku, yaitu memastikan Raka mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri," suara Siska semakin lemah, tapi penuh tekad.Yoga mengangguk pelan. "Aku sudah janji, Siska. Raka adalah bagian dari keluarga kami sekarang. Aku akan menjaga
Rania duduk termenung di ruang kerjanya, membiarkan suara ketukan jam yang berulang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Perkataan Yoga tadi malam terus menghantui pikirannya, menimbulkan perasaan bersalah yang sulit diabaikan.Sementara itu, Yoga mencoba melanjutkan hari-harinya seperti biasa, tapi ia tak bisa menghilangkan kegelisahan yang kini membebani hatinya. Adam dan Arka, meskipun belum benar-benar memahami permasalahan di antara orang tua mereka, mulai menyadari perubahan kecil dalam rutinitas sehari-hari yang sering kali mereka abaikan. Mereka bahkan sempat bertanya pada Rania, "Mama, kenapa Papa sedih?"Pertanyaan sederhana itu membuat hati Rania makin teriris. Anak-anak mereka mulai merasakan dampaknya, dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Keputusan untuk mengejar impiannya terasa begitu egois, tetapi di saat yang sama, ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan yang perlahan-lahan menggerogoti jiwanya.Rania memutuskan untuk mencari jalan keluar. Ia tahu b
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Yoga duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Di sampingnya, Rania sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Namun, suasana di antara mereka terasa dingin, bahkan canggung."Mas Yoga, kamu baik-baik saja?" tanya Rania sambil menyiapkan bekal untuk Adam dan Arka.Yoga tersentak dari lamunannya. "Iya, aku baik. Hanya... sedikit kepikiran pekerjaan," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.Rania mengerutkan dahi. "Kamu sering terlihat melamun belakangan ini. Kalau ada sesuatu, lebih baik kamu cerita."Namun, Yoga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencari keberanian untuk menghadapi kenyataan.Setelah Rania berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, Yoga menerima telepon dari Armand."Yo, aku tahu kamu pasti masih bingung, tapi kita harus bicara lagi," kata Armand di ujung telepon."Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mand. Rania bahkan sudah curiga," jawab Yoga dengan suara lelah."Kamu nggak bisa terus menyembun
Yoga menarik napas panjang sebelum mendekati Adam dan Arka yang berdiri di ambang pintu. Rania masih terduduk di lantai, memeluk map cokelat erat-erat. Ia menatap Yoga dengan mata yang mengisyaratkan dukungan, meskipun hatinya masih bergejolak."Adam, Arka, duduk sini dulu sama Papa," kata Yoga dengan suara selembut mungkin, sambil mengulurkan tangannya.Kedua anak kembar itu berjalan mendekat dengan raut bingung, lalu duduk di sofa kecil di ruang tamu. Mata mereka masih melirik Rania, seakan mencari jawaban dari wajah ibunya.Yoga berjongkok di depan mereka, sehingga pandangannya sejajar dengan anak-anaknya. "Kalian tahu, Papa dulu punya adik laki-laki yang namanya Om Fandy, kan?"Adam mengangguk cepat. "Om Fandy yang suka cerita lucu pas kita kecil, kan, Pa? Tapi dia udah lama nggak kelihatan."Arka menambahkan dengan suara kecil, "Kakek bilang Om Fandy tinggal di surga sekarang."Yoga tersenyum tipis mendengar ingatan polos mereka. "Betul sekali. Om Fandy sudah di surga. Dan sebelu
Malam terasa dingin ketika Yoga tiba di rumah. Keheningan menyelimuti ruang tamu, hanya suara jam dinding yang terdengar seperti detak jantungnya yang tak beraturan. Rania belum kembali, dan ia tahu alasan kepergiannya adalah dirinya sendiri.Di kamar, anak-anak sudah tertidur. Namun, di meja makan, Raka masih duduk dengan wajah bingung, menatap segelas susu yang sudah dingin."Om Yoga, kenapa Tante Rania pergi?" suara Raka memecah keheningan.Yoga terdiam sesaat, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Ia berjalan mendekati Raka, duduk di samping keponakannya, atau mungkin, anak kandungnya."Raka, dengar ya," suara Yoga pelan, tetapi mengandung kepedihan yang sulit disembunyikan. "Kadang orang dewasa harus menghadapi sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Tante Rania pasti kembali."Raka memiringkan kepalanya, mencoba memahami. "Om, tadi aku dengar Tante Rania bilang ‘kamu harus jujur sama anak-anak’. Maksudnya apa?"Yoga menelan ludah. Ia tahu, cepat atau
Hari-hari berlalu, dan suasana di rumah Yoga perlahan berubah. Rania yang semula canggung dengan kehadiran Raka kini mulai terbiasa. Bocah itu, meski pendiam, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Kelembutannya mulai mengisi celah-celah dalam hati Rania yang sempat tertutup oleh rasa bimbang.Pagi itu, Rania sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Raka datang menghampiri."Mama, aku bantu ambil piring, ya," ucap Raka sambil tersenyum.Rania tertegun sejenak. Kata "Mama" terdengar begitu alami keluar dari mulut bocah itu. Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba muncul, lalu mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih, sayang. Kamu bisa letakkan piringnya di meja, ya," balas Rania dengan suara lembut.Di ruang makan, Adam dan Arka sudah duduk menunggu. Ketika melihat Raka membawa piring-piring, Arka berseru, "Wah, Kak Raka sudah jadi bagian tim, nih!"Raka tertawa kecil. "Iya dong. Tim kita harus kompak."Yoga yang baru turun dari tangga menyaksikan pemandangan itu dengan hati y
Waktu berlalu begitu cepat, hujan rintik-rintik menyambut sore itu. Rania sibuk di dapur, memastikan makanan kesukaan Raka tersedia, sementara Yoga duduk di ruang tamu bersama Adam dan Arka, yang kini sudah remaja."Kak Raka pasti kaget lihat rumah kita nggak banyak berubah," Arka berkomentar sambil melirik Adam.Adam mengangguk. "Tapi mungkin dia lebih kangen sama kamar lamanya."Terdengar deru mobil di halaman. Semua serentak berdiri, bersiap menyambut sosok yang selama ini hanya bisa mereka lihat melalui panggilan video.Pintu depan terbuka, dan Raka masuk dengan senyuman lebar, mengenakan kemeja hitam rapi. "Aku pulang."Rania langsung memeluknya erat. "Akhirnya, Nak. Kamu nggak tahu betapa Mama kangen sama kamu."Yoga menepuk bahu Raka dengan bangga. "Selamat datang kembali, Nak. Kami semua bangga sama kamu."Adam dan Arka langsung merangkul kakaknya bergantian. "Kak Raka, gimana rasanya tinggal di luar negeri? Kamu bawa oleh-oleh, kan?" goda Adam, membuat suasana menjadi lebih r
Ruang tamu rumah keluarga Raka terasa lebih hangat malam itu. Semua anggota keluarga telah berkumpul, termasuk orang tua Elina. Yoga dan Rania duduk berdampingan, sementara ayah dan ibu Elina, Pak Arman dan Bu Ratna, duduk di seberang mereka. Raka dan Elina duduk di tengah, keduanya tampak cemas namun saling menggenggam tangan untuk saling menenangkan.Suasana terasa tegang sebelum akhirnya Pak Arman memecah keheningan."Terima kasih sudah mengundang kami malam ini, Yoga. Aku pikir ini memang saatnya kita bicara terbuka."Yoga mengangguk pelan, sorot matanya tajam namun penuh kehati-hatian. "Terima kasih sudah datang, Arman. Kita sudah terlalu lama membiarkan rahasia ini membebani kita. Ini saatnya kita biarkan anak-anak kita berjalan di jalan yang mereka pilih sendiri."Rania menatap suaminya dengan penuh dukungan. Sementara itu, Elina menatap ayahnya dengan wajah bingung. "Papa, maksudnya apa? Apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga kita dan keluarga Raka?"Pak Arman menarik nap
Sudah lewat tengah malam ketika Raka duduk di balkon kamarnya. Angin malam dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk merasakan udara yang menusuk tulang. Ponselnya bergetar pelan di genggaman tangannya, pesan dari Elina."[Kita harus bicara. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku.]"Raka memejamkan mata. Ia tahu momen ini akan tiba. Hubungannya dengan Elina selama ini berjalan di antara rahasia besar yang membentang seperti jurang di antara mereka.---Keesokan Harinya, di Sebuah Taman Kota, Raka menunggu di bangku kayu di tengah taman yang sepi. Daun-daun berguguran, menandakan musim berganti. Elina datang dengan langkah cepat dan wajah penuh tanda tanya."Raka... apa sebenarnya yang kamu sembunyikan? Aku merasa ada sesuatu yang belum kamu katakan."Raka menatap mata Elina dengan dalam, mencoba mencari kekuatan di sana."Elina, mungkin setelah ini kamu akan membenciku, atau mungkin malah pergi meninggalkanku. Tapi aku harus jujur."Elina menggigit bibirn
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Elina. Nama ayahnya, Yoga, disebut dengan begitu santai dalam cerita Elina. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?"Pak Yoga? Maksudmu... ayahmu mengenal Papa-ku?" tanya Raka dengan hati-hati.Elina mengangguk pelan sambil mengaduk kopinya. "Iya. Aku tidak tahu detailnya, tapi dulu waktu aku kecil, aku pernah dengar percakapan antara Papa dan Mama tentang bisnis mereka dengan seseorang bernama Yoga. Tapi setelah itu, nama itu jarang disebut lagi."Raka mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. "Apakah ada masalah di antara mereka?"Elina menggeleng. "Aku nggak yakin. Papa jarang cerita hal-hal seperti itu. Tapi... sepertinya hubungan mereka tidak berjalan baik di akhir-akhir."Percakapan mereka berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Raka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ayah Elina ternyata memiliki hubungan dengan ayahnya. Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Apakah ada
Waktu berlalu begitu cepat, hujan rintik-rintik menyambut sore itu. Rania sibuk di dapur, memastikan makanan kesukaan Raka tersedia, sementara Yoga duduk di ruang tamu bersama Adam dan Arka, yang kini sudah remaja."Kak Raka pasti kaget lihat rumah kita nggak banyak berubah," Arka berkomentar sambil melirik Adam.Adam mengangguk. "Tapi mungkin dia lebih kangen sama kamar lamanya."Terdengar deru mobil di halaman. Semua serentak berdiri, bersiap menyambut sosok yang selama ini hanya bisa mereka lihat melalui panggilan video.Pintu depan terbuka, dan Raka masuk dengan senyuman lebar, mengenakan kemeja hitam rapi. "Aku pulang."Rania langsung memeluknya erat. "Akhirnya, Nak. Kamu nggak tahu betapa Mama kangen sama kamu."Yoga menepuk bahu Raka dengan bangga. "Selamat datang kembali, Nak. Kami semua bangga sama kamu."Adam dan Arka langsung merangkul kakaknya bergantian. "Kak Raka, gimana rasanya tinggal di luar negeri? Kamu bawa oleh-oleh, kan?" goda Adam, membuat suasana menjadi lebih r
Hari-hari berlalu, dan suasana di rumah Yoga perlahan berubah. Rania yang semula canggung dengan kehadiran Raka kini mulai terbiasa. Bocah itu, meski pendiam, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Kelembutannya mulai mengisi celah-celah dalam hati Rania yang sempat tertutup oleh rasa bimbang.Pagi itu, Rania sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Raka datang menghampiri."Mama, aku bantu ambil piring, ya," ucap Raka sambil tersenyum.Rania tertegun sejenak. Kata "Mama" terdengar begitu alami keluar dari mulut bocah itu. Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba muncul, lalu mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih, sayang. Kamu bisa letakkan piringnya di meja, ya," balas Rania dengan suara lembut.Di ruang makan, Adam dan Arka sudah duduk menunggu. Ketika melihat Raka membawa piring-piring, Arka berseru, "Wah, Kak Raka sudah jadi bagian tim, nih!"Raka tertawa kecil. "Iya dong. Tim kita harus kompak."Yoga yang baru turun dari tangga menyaksikan pemandangan itu dengan hati y
Malam terasa dingin ketika Yoga tiba di rumah. Keheningan menyelimuti ruang tamu, hanya suara jam dinding yang terdengar seperti detak jantungnya yang tak beraturan. Rania belum kembali, dan ia tahu alasan kepergiannya adalah dirinya sendiri.Di kamar, anak-anak sudah tertidur. Namun, di meja makan, Raka masih duduk dengan wajah bingung, menatap segelas susu yang sudah dingin."Om Yoga, kenapa Tante Rania pergi?" suara Raka memecah keheningan.Yoga terdiam sesaat, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Ia berjalan mendekati Raka, duduk di samping keponakannya, atau mungkin, anak kandungnya."Raka, dengar ya," suara Yoga pelan, tetapi mengandung kepedihan yang sulit disembunyikan. "Kadang orang dewasa harus menghadapi sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Tante Rania pasti kembali."Raka memiringkan kepalanya, mencoba memahami. "Om, tadi aku dengar Tante Rania bilang ‘kamu harus jujur sama anak-anak’. Maksudnya apa?"Yoga menelan ludah. Ia tahu, cepat atau
Yoga menarik napas panjang sebelum mendekati Adam dan Arka yang berdiri di ambang pintu. Rania masih terduduk di lantai, memeluk map cokelat erat-erat. Ia menatap Yoga dengan mata yang mengisyaratkan dukungan, meskipun hatinya masih bergejolak."Adam, Arka, duduk sini dulu sama Papa," kata Yoga dengan suara selembut mungkin, sambil mengulurkan tangannya.Kedua anak kembar itu berjalan mendekat dengan raut bingung, lalu duduk di sofa kecil di ruang tamu. Mata mereka masih melirik Rania, seakan mencari jawaban dari wajah ibunya.Yoga berjongkok di depan mereka, sehingga pandangannya sejajar dengan anak-anaknya. "Kalian tahu, Papa dulu punya adik laki-laki yang namanya Om Fandy, kan?"Adam mengangguk cepat. "Om Fandy yang suka cerita lucu pas kita kecil, kan, Pa? Tapi dia udah lama nggak kelihatan."Arka menambahkan dengan suara kecil, "Kakek bilang Om Fandy tinggal di surga sekarang."Yoga tersenyum tipis mendengar ingatan polos mereka. "Betul sekali. Om Fandy sudah di surga. Dan sebelu
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Yoga duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Di sampingnya, Rania sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Namun, suasana di antara mereka terasa dingin, bahkan canggung."Mas Yoga, kamu baik-baik saja?" tanya Rania sambil menyiapkan bekal untuk Adam dan Arka.Yoga tersentak dari lamunannya. "Iya, aku baik. Hanya... sedikit kepikiran pekerjaan," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.Rania mengerutkan dahi. "Kamu sering terlihat melamun belakangan ini. Kalau ada sesuatu, lebih baik kamu cerita."Namun, Yoga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencari keberanian untuk menghadapi kenyataan.Setelah Rania berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, Yoga menerima telepon dari Armand."Yo, aku tahu kamu pasti masih bingung, tapi kita harus bicara lagi," kata Armand di ujung telepon."Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mand. Rania bahkan sudah curiga," jawab Yoga dengan suara lelah."Kamu nggak bisa terus menyembun
Rania duduk termenung di ruang kerjanya, membiarkan suara ketukan jam yang berulang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Perkataan Yoga tadi malam terus menghantui pikirannya, menimbulkan perasaan bersalah yang sulit diabaikan.Sementara itu, Yoga mencoba melanjutkan hari-harinya seperti biasa, tapi ia tak bisa menghilangkan kegelisahan yang kini membebani hatinya. Adam dan Arka, meskipun belum benar-benar memahami permasalahan di antara orang tua mereka, mulai menyadari perubahan kecil dalam rutinitas sehari-hari yang sering kali mereka abaikan. Mereka bahkan sempat bertanya pada Rania, "Mama, kenapa Papa sedih?"Pertanyaan sederhana itu membuat hati Rania makin teriris. Anak-anak mereka mulai merasakan dampaknya, dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Keputusan untuk mengejar impiannya terasa begitu egois, tetapi di saat yang sama, ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan yang perlahan-lahan menggerogoti jiwanya.Rania memutuskan untuk mencari jalan keluar. Ia tahu b