***
Hidup bergelimangan harta sebagai istri dari seorang CEO tetapi tidak ada cinta yang terlibat di dalamnya, memiliki orang tua yang gila harta sampai mengorbankan putri mereka sebagai umpan serta memiliki hubungan masa lalu dengan putra sulung dari keluarga suaminya.
“Hah,” aku menghela napas lelah setelah menulis jalan hidup Evandale Humeera yang sudah aku simpulkan selama beberapa hari terakhir. “Aku beruntung karena kecurigaan keluarga ini terhadapku tidak begitu besar, tetapi bagaimana aku bisa menghadapi keluarga Evandale Humeera jika hanya ada aku dan mereka di dalam ruangan?”
Pikiran itu terus menggangguku. Aku memang tidak perlu memikirkan sidik jari dan semacamnya karena tubuh yang aku tempati memang tubuh asli Evandale Humeera, tetapi … sepertinya ada cukup banyak rahasia yang menyebabkan pemilik asli tubuh ini menghela napas lega ketika dia tertabrak hari itu.
“Tanwira Tarachandra,” gumamku, aku men
Entah berapa lama aku tertidur tetapi saat aku terbangun sudah tidak ada Tanwira di sebelahku. Aku menguap, melihat bagaimana mentari berusaha menyusupkan silau cahayanya di balik gorden kamar yang tertutup rapat. Bukan hanya itu, aku juga mendengar deru mobil yang saling bersahutan dan juga suara teriakan yang terdengar samar-samar.Sudah pagi ternyata.“Tumben sekali dia tidak membangunkanku,” gumamku sambil berusaha bangkit dari tidur. “Jam berapa sekarang? Aku lapar.”Ketika kakiku menyentuh lantai, aku kembali menguap dan berjalan dengan wajah bantalku ke arah kamar mandi. Tangan kananku terus mengusap perut karena aku lapar, tangan kiriku berusaha merapikan rambutku namun tetap berakhir berantakan sampai kemudian ...Krek!“Oh Tuhan!” seruku terkejut, aku sedikit melompat ke belakang ketika kenop pintu yang aku sentuh malah bergerak bahkan sebelum aku memutarnya. Mataku yang tadinya masih setengah terpejam
“Seperti apa katamu tadi?”“Seperti apel.”Alis Tanwira terangkat, dia menatapku aneh. “Tidak juga,” katanya kemudian. “Milikmu tidak seperti apel, kau harus lebih banyak berolahraga.”“Body shamming!”Tanwira mendengus. “Kau yang lebih dulu membahas hal itu, aku hanya mengikuti topik pembicaraanmu.”Jadi kami berdua turun dengan penampilan sangat santai. Tanwira dengan kaos dan celana pendeknya sementara aku dengan dress selutut berwarna senada dengan kaos Tanwira.Nah, sejak aku memakai baju sampai kami masuk ke dalam lift aku mulai mengajaknya membahas topik random. Aku mengajaknya bergunjing, membicarakan tipe ideal tubuhku dan segala macam. Lucunya Tanwira tetap mendengarkan meskipun dia menanggapiku dengan malas.“Tapi berat badanku tidak naik-naik sejak terakhir kali aku menimbang berat badanku,” kataku, mengganti topik. “Apa karena aku baru sembuh?&rdq
Kamar menjadi lebih luas lagi setelah kasur Tanwira dikeluarkan. Butuh waktu lama bagi kami berdua untuk menentukan kasur siapa yang akan dikeluarkan, Tanwira tidak mau mengalah sampai kemudian aku harus memohon padanya dengan alasan bahwa kasurku jauh lebih luas sehingga saat tidur nanti aku tidak akan memeluknya seperti koala.Lalu dia setuju begitu saja? Haha, tentu saja tidak.“Mama heran karena salah satu kasur dikeluarkan,” ucapku kepada Tanwira yang sudah duduk di atas kasurku sambil memainkan ponselnya. “Bahkan Papa bertanya apakah kau mengancamku atau bagaimana.”Tanwira tidak menanggapiku, sebaliknya dia malah menempelkan benda pipih yang sejak tadi dipegangnya itu di telinga dan mulai mengucapkan rentetan kata dengan nada tegas kepada entah siapa yang diteleponnya.“Bagaimana dengan besok?” tanya Tanwira, dia menautkan kedua alisnya dan melirikku sekilas sebelum kembali berkata, “Oke. Kalau begitu besok malam s
***Aku menatap Tanwira kesal tetapi dia hanya tersenyum tanpa merasa bersalah. Laki-laki itu selalu saja seperti itu, dia membuatku ingin memukul wajahnya karena terus menampilkan ekspresi seperti itu bahkan setelah beberapa jam berlalu.“Berhenti menatapku seperti itu, aku hanya menciummu dan bukannya melakukan hal yang buruk.” Tanwira yang baru kembali dari mengambil dress baruku di bawah. “Di mana aku harus meletakkan dress mu ini? Apa aku taruh di lantai saja?”“Gila.” Aku turun dari atas kasur, melangkah pelan menghampirinya dan merebut dress berwarna merah itu darinya. “Mencolok sekali. Kau yang memilih warnanya, ya?”“Tentu saja,” akunya. Tanwira kemudian masuk ke dalam ruangan yang kami jadikan sebagai wardrobe, tempat baju-baju formal, perhiasan dan juga barang-barang seperti sepatu, tas, dompet dan lain sebagainya. “Kau belum bisa memakai sepatu hak tinggi, bukan? Aku rasa kita h
***Sejak Rindra pulang ke rumah ini, Tanwira menjadi semakin aneh. Aku tahu hubungan rumah tangga kami berdua tidak seperti pengantin yang dimabuk asmara, kami berdua sepertinya menikah karena suatu alasan dan yang pasti itu bukan cinta. Aku jamin.Namun tiba-tiba dia mengatakan kalau dia akan mewujudkan mimpiku. Dia berbicara tentang garden cafe yang pernah aku singgung—yah meskipun memang benar memiliki cafe adalah mimpiku, mimpi seorang Evandale Faeri—tetapi bukankah sikapnya menjadi aneh? Maksudku ... dia laki-laki jangkung yang menatapku dengan tatapan datarnya setelah aku terbangun dari koma sebagai Evandale Humeera.“Kenapa harus high heels 3 cm? Pakai flat shoes saja juga bisa, ‘kan?” Tanwira berkomentar ketika aku mengeluarkan heels 3 cm dari dalam lemari. “Ini acara yang cukup panjang, lima belas menit dan kau berdiri dengan heels itu jelas akan membuat kakimu kembali sakit.”“Benarkah?” Aku
**Menjadi sorotan tidak selalu menyenangkan yang artinya tidak selamanya menjadi pemeran utama itu mendebarkan. Tiba-tiba ada yang merindukan saat dirinya hanya menjadi pemeran figuran yang tidak dilirik oleh siapapun, saat tidak ada yang mengomentari hidupnya dan tidak menyuruhnya melakukan ini itu dengan kedok nasihat. Aku.Di sinilah aku berada sekarang, di dalam bangunan yang sangat megah dengan lampu gantung berlapis emas dan dikelilingi oleh orang-orang berpengaruh. Semuanya menatapku, mereka mencari celah kesalahanku untuk membuat diri mereka merasa lebih baik. Harus aku katakan, berada di situasi seperti ini dengan hampir semua pasang mata tertuju padaku jelas terasa sangat menjengkelkan.Kami semua di sini berpakaian rapi karena ini adalah acara yang diselenggarakan untuk merayakan sesuatu yang berkaitan dengan penyambutan kakak dari laki-laki yang berstatus sebagai suamiku itu. Sejak tadi Tanwira juga sibuk menyambut banyak orang yang dike
***“Siapa Lyssan? Lysa? Lissa? Atau siapapun namanya itu. Siapa dia sampai kakeknya berani sekali terlihat ingin menjodohkan kalian padahal aku berdiri di sampingmu?” tanyaku begitu aku dan Tanwira masuk ke dalam kamar. “Juga, kau bilang hanya lima belas menit tetapi ini sudah hampir satu jam sejak kita mengusir Arlando keluar dari rumah ini.”“Dia adalah tunanganku dulunya—”“Lalu kenapa menikah denganku kalau begitu? Jangan-jangan aku selingkuhanmu, ya?”“Kau gila?” Tanwira memukul kepalaku pelan, lebih seperti jitakan. “Bukan tunangan seperti yang kau pikirkan. Kakek kami dulunya berteman dan mereka berniat untuk menjodohkan cucu-cucu mereka nantinya. Sejak kecil kami diberitahu bahwa dia adalah calon tunanganku dan begitu juga sebaliknya.”“Lalu kenapa kau tidak menikah dengannya?” tanyaku lagi, sedikit takjub karena Tanwira mau memberiku penjelasan. &ldq
***“Kenapa kau terus menoleh padaku?” Tanwira menatapku dengan wajah datarnya itu ketika aku menoleh padanya entah untuk kesekian kali. “Hah, bukannya menjawab tetapi malah memalingkan wajah seperti itu. Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?”“Aku hanya tidak bisa menahan diriku karena kau semakin aneh setiap harinya.” Aku akhirnya memilih untuk menjawabnya setelah beberapa kali memalingkan wajah ketika dia memergokiku sedang menatap wajahnya. “Pada awalnya aku pikir kau sama sekali tidak tertarik padaku tetapi semakin ke sini kau itu semakin … hilang akal? Apa ada masalah di kantor sampai kau bersikap tidak seperti dirimu?”Tanwira tiba-tiba menyentuh kakiku yang baru saja selesai dicek oleh dokter. Jadi ya begitulah, dia tiba-tiba meminta Mama Vivian yang biasanya selalu menemaniku ke rumah sakit untuk istirahat saja karena dia yang akan menemaniku mulai sekarang. Tidak hanya itu, dia yang biasanya sela
Sebenarnya suasana hatiku juga berubah menjadi tidak baik setelah mendengar nama Lyssan disebut. Aku yang kesal langsung mengirim pesan kepada Tanwira bahwa aku akan menendang bokongnya jika sampai dia mematikan telepon, tetapi kalian tahu apa yang dia lakukan setelah membaca pesan yang aku kirimkan? Ya, dia tetap mematikan sambungan telepon dan membuat aku uring-uringan di kamar.Demi Tuhan, ini sangat menjengkelkan.Sepuluh menit telah berlalu sejak Wira memutuskan sambungan telepon kami dan dia belum juga menghubungiku kembali hanya untuk sekadar mengabari apakah Lyssan sudah pergi atau belum, apakah dia benar-benar akan pulang atau tidak. Wira seperti menghilang, entah karena dia sibuk berbicara dengan mantan tunangannya itu atau bagaimana, aku enggan untuk menebak-nebak.Tetapi tebak, ya … aku tetap mencoba menebak-nebak.“Apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan? Lalu apa? Tentang diriku?” Aku meninju bantal berkali-kali, tiba-tiba merasa bersyukur karena dulu aku tidak memil
Aku berjalan di taman samping rumah bersama kakek, tertawa bersama setelah kakek mengatakan kalau selera humorku menjadi lebih bagus dan aku tidak lagi kaku seperti sebelum-sebelumnya. Kakek juga mengatakan kalau dia sangat merindukanku dan tidak bisa tidur dengan tenang ketika mendapat kabar tentang kecelakaanku.“Kakimu benar-benar sudah membaik, Eve?”Anggukanku membuat kakek kembali tersenyum.“Kau terlihat lebih ceria. Tanwira memperlakukanmu dengan sangat baik, ya?” Kakek menatapku, terkekeh pelan. “Aku benar-benar tidak menyetujui permintaaanmu di masa lalu ketika kau lebih memilih Wira daripada Rindra. Tetapi kemudian kau mengancamku, kau bilang kalau kau tidak ingin menjadi menantu keluarga ini jika bukan Tanwira yang menjadi suamimu. Malam itu ... semuanya menjadi kacau, suamimu dan juga Rindra ... mereka bertengkar, saling memukul satu sama lain.”Sebenarnya cerita ini sudah pernah aku dengar, tetapi aku ingin mendengar juga dari kakek. Selama ini semua orang tidak mencerit
Jam empat pagi aku terbangun dan mendapati diriku berada dalam pelukan hangat Tanwira. Dia memelukku dengan erat namun lembut. Tangannya merengkuhku sementara kakinya mengunciku. Aku benar-benar merasakan jiwa kepemilikan dari Tanwira hanya dengan melihat bagaimana dia memperlakukanku, dia ini memang memiliki jiwa posesif dan aku menyukainya.Hanya saja, meskipun aku sudah buang air kecil segera setelah percintaan kami, aku merasa kandung kemihku kembali penuh sehingga aku harus pergi ke kamar mandi.“Wira ...” Aku memanggil namanya, pelan. “Wira, aku mau ke kamar mandi.”Tanwira menggeliat, tidak butuh waktu lama untuk dia membuka mata dan menatapku dengan manis. Suamiku ini hanya diam selama beberapa detik sebelum melepas pelukannya. “Mau buang air kecil?” tanyanya.“Iya,” sahutku yang perlahan beringsut. Sejenak aku berhenti bergerak, menyadari bahwa aku tidak memakai satu helai kainpun untuk menutupi tubuhku. “Ke mana kau melempar pakaianku?”“Hm? Kau membutuhkannya?” Wira bergera
Aku menunggu Tanwira yang sedang berbicara empat mata bersama kakek di dalam kamar. Bisa saja dia muncul dengan wajah datar, sedih atau bahkan dengan senyum bahagia, tetapi aku merasa kalau aku harus menunggunya. Sadar bahwa selama ini mungkin Tanwira hanya memiliki Evandale Humeera sebagai sandaran, tetapi mereka tidak bisa sedekat itu karena gengsi? Entahlah, yang pasti menurutku pasangan suami istri ini menyayangi satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.“Hei!” sapaku begitu mendengar pintu terbuka dan Tanwira masuk. Sesuai dengan tebakanku, wajahnya menampilkan ekspresi datar andalannya. Ah, aku menganggap wajah datarnya sebagai ekspresi karena sangat jarang sekali aku melihatnya tersenyum. Biasanya dia hanya melakukan itu untuk sekadar akting atau ketika dia berhasil menjahiliku saja. “Semuanya berjalan dengan baik? Kakek tidak mengatakan hal yang membuatmu sakit hati, bukan?”Suamiku itu hanya menggelengkan kepala dan berjalan menghampiriku yang duduk di sofa. Dia duduk di s
Manusia adalah makhluk sederhana dengan pemikiran yang sangat rumit. Mereka memikirkan banyak hal, membiarkan suara berisik di dalam kepalanya mengendalikan mereka sampai di satu titik di mana otak mereka tidak bisa berpikir jernih. Insecurity, anxiety, ada banyak kata yang sulit dipahami keluar dengan sendirinya. Membuat mereka semakin terlihat lemah dan kalah.“Apa yang sedang kau tulis?” Tanwira mengambil tempat duduk di sebelahku. Dia baru saja selesai membersihkan diri dan berganti baju. “Ah, kau tidak bersiap-siap? Mama dan Papa bahkan sudah menjemput Kakek di bandara, kau tidak mau menyambutnya?”“Aku tentu harus menyambutnya.” Aku menutup laptop yang aku gunakan untuk menyalurkan perasaanku. “Pakaian apa yang harus aku gunakan untuk bertemu Kakek malam ini? Jika kau memiliki ide, aku akan menerimanya dengan sangat baik.”“Pakai saja apapun yang membuatmu nyaman, kau bahkan bisa keluar dengan pakaianmu yang sekarang.” Wira membaringkan tubuhnya di sofa, dia juga memeluk bantal
Sepanjang perjalanan, Wira tampak gelisah. Dia awalnya ingin menyetir sendiri tetapi aku mengatakan padanya kalau aku belum ingin mati kalau-kalau dia melamun di perjalanan. Jadilah, kami berdua meminta bantuan orang kepercayaan Wira untuk mengantar kami berdua pulang.“Kakekmu ... orang seperti apa?” tanyaku, memecah keheningan. Aku ingin tahu seperti apa orang yang akan aku hadapi untuk memberikan reaksi yang bagus. “Apa beliau yang menjodohkanmu dengan Lyssan? Apa beliau juga teman Tuan Jayana yang kita temui di pesta kakak ipar?”Wira mengangguk. “Hm. Perjodohan yang kakek atur berantakan karena aku membawamu sebagai calon istriku. Kakek tidak bisa mengatakan tidak karena beliau sangat menginginkanmu menjadi menantu keluarga besar—yah, meskipun awalnya beliau berniat menjodohkanmu dengan Rindra. Dulu ... kau mengatakan kepada kakek kalau kau tidak mau menjadi cucu menantu kakek jika orang yang menjadi suamimu bukan aku.”“Apa itu juga termasuk ke dalam kesepakatan yang kita berdua
Wira terus melirikku sejak kami duduk untuk makan bersama di ruangannya. Dia mungkin merasa heran karena aku tidak banyak bicara seperti biasanya. Selain itu, aku hanya makan sedikit meskipun sebenarnya makanan kantin di perusahaan suamiku ini cukup enak.“Aku baik-baik saja, jadi berhenti menatapku seperti itu,” ucapku dengan nada kesal.Tiba-tiba aku terbawa suasana gara-gara makhluk yang tidak aku ketahui berasal dari mana itu. Aku jadi sangat kesal karena dia terus-menerus mengungkit tentang takdirku ketika aku sendiri tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Maksudku ... Humeera yang menawarkan diri untuk bertukar nasib denganku, lalu kenapa aku juga disalahkan?“Seharusnya aku yang kesal. Aku hanya meminta roti tawar dan kopi, tetapi kenapa ada banyak makanan di sini?” Wira berdecak. “Selain itu, kau bahkan hanya makan tiga sendok sejak tadi. Kau yang membeli semua ini, jadi habiskan dan jangan menghambur-hamburkan uang.”Menatap tajam ke arah Wira, suasana hatiku semakin b
“Ini!” Wira meletakkan dua buah buku yang membahas tentang pengembangan bisnis di hadapanku. “Kau bilang kau ingin membacanya.”Aku mengambil dua buku itu, membaca judulnya dan tersenyum kecil. Sebenarnya aku sudah membaca dua buku ini—tentu saja aku hanya meminjam milik pelangganku yang kebetulan mengambil jurusan ekonomi bisnis. Aku tidak memiliki uang untuk membeli buku salinan aslinya, jadi kebanyakan buku yang aku baca adalah buku hasil pinjaman atau buku yang aku beli dengan harga murah.“Kelihatannya kau sudah membaca buku ini berulang kali,” ujarku sembari menatap Wira yang kembali duduk di meja kerjanya. “Bahkan di dalam kamar kita juga ada banyak sekali buku, padahal di rumah sudah ada perpustakaan pribadi. Kau juga gemar membaca, ya?”Wira mendengus. “Begitulah,” jawabnya acuh tak acuh.Jadi ya, aku sudah sampai di kantor suamiku. Seperti katanya, begitu aku menginjakkan kaki di perusahaan ini, sudah ada perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris Tanwira. Selain
Sebenarnya ada yang mengganggu pikiranku.Seperti yang aku katakan, aku memiliki sebuah kalung yang entah bagaimana bisa berada di tangan mantan bos di tempatku bekerja dulu. Anehnya, aku bahkan tidak mengetahui nama ataupun bertemu pemilik kafe tempatku bekerja itu. Awalnya aku hanya tahu kalau pemiliknya adalah perempuan, tetapi sepertinya yang mengambil kalungku adalah laki-laki.Saat aku tenggelam dalam pikiranku, sebuah mug berisikan susu hangat diletakkan di hadapanku. Kepalaku otomatis mendongak dan aku menemukan Rindra sedang menatapku.“Apa yang kau pikirkan sampai ekspresimu terlihat sangat serius seperti itu?” tanyanya.Apa aku perlu menjawab pertanyaannya? Jika aku berbicara panjang lebar dengan Rindra, Wira pasti akan menatapku kesal—tidak, dia pasti akan marah dan mulai menasihatiku untuk menjauh dari Rindra.“Beberapa hal,” sahutku demi kesopanan.“Oh, aku pikir kau dan Wira sedang ada masalah.”Alis kananku terangkat. Bagaimana bisa kepalanya diisi prasangka buruk terh