Aku pulang bersama mama, Afnan tertidur di pangkuanku karena kelelahan. Dia tak berhenti sepanjang hari tadi.Mama tersenyum saat melirik cucunya yang tengah tertidur pulas."Puas sekali dia hari ini.""Iya, Ma. Oh ya tadi mas Bara sudah pulang belum, Ma?""Aku tidak bertemu Bara hari ini, aku malas untuk meneleponya, jarang dia mau mengangkatnya. Aku kira kalau kau sudah meneleponnya. Entah juga dia sedang mengawasi toko yang mana."Ternyata mama juga malas menghadapi mas Bara. Memang semenjak mas Bara tahu jika mama sering berada di pihakku, mas Bara jadi kurang akrab dengan mamanya sendiri."Ya sudahlah, Ma. Nanti juga pulang sendiri.""Kamu yang sabar ya Aruna. Semoga Bara akan menyadari kesalahannya sesuatu saat nanti.""Entahlah, Ma. Aku masih bisa berharap atau tidak."Aku tersenyum masam saja. Hatiku sepertinya juga sudah membeku tak ada rasa lagi.Kubaringkan tubuh putraku senyaman mungkin, kucium pipinya yang menggemaskan itu.Aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk menyegark
"Bara benar-benar sudah pergi, ada apa dengan dirinya sampai berbuat senekat ini?""Aku tidak tahu, Pa. Akhir-akhir ini Bara hanya banyak diam.""Dia sungguh tega meninggalkan kita, orang tuanya sendiri yang sudah mengurusnya dan membesarkannya."Mama tidak lagi menyahut tapi kemudian terdengar Isak tangisnya.Tiga hari sudah mas Bara tidak ada kabar beritanya. Dan belum ada satu pun pihak yang bisa memberikan informasi tentangnya. Baik dari masyarakat sekitar, teman kerja maupun pihak kepolisian. Jejak mas Bara sangat sulit untuk ditemui.Aku terdiam dalam rasa yang sama sekali tak nyaman. Aku tidak berani angkat bicara. Sesungguhnya mereka pun tahu jika masalah mas Bara bukan dari mereka tapi dari diriku."Apa kau sudah menghubungi Citra?"Tanya Papa. Papa yang biasanya banyak diam kini jadi banyak bicara setelah kehilangan anak lelaki tersayangnya "Sudah, tidak ada sangkut pautnya masalah ini dengan Citra. Bahkan kini Citra sudah bertunangan dengan tetangganya di kampung.""Lantas
"Apa kau masih sakit, Aruna?"Tanya mbak Alya saat melihatku datang. Afnan langsung digendong ibu. Rumah mbak Alya sudah ramai orang. "Nggak kok, Mbak. Aku sudah merasa lebih baik.""Tapi masih pucat, kau pasti belum ke dokter ya?""Sudah Mbak, aku ini baik-baik saja. Jangan khawatir. Yok ah Mbak aku mau membantu yang lainnya. Masa datang cuma buat ngobrol nggak enak lah."Aku langsung masuk dan bergabung dengan yang lainnya. Aku ingin melupakan masalahku sejenak dengan melakukan kesibukan dengan mereka. Aku takut ibu dan mbak Alya semakin mencurigaiku. Biar nanti saja jika waktunya sudah tepat aku akan bicarakan masalahku ini. Siapa tahu mbak Alya bisa memberi masukan yang baik.Selepas Maghrib datanglah tamu yang sangat di tunggu oleh kami semua. Pihak keluarga mas Yusuf kekasih mbak Alya bersama rombongannya."Tampan sekali mas Yusuf, Mbak. Sangat sesuai dengan namanya. Mbak sudah mengenalnya lama?""Satu tahun yang lalu kami mulai dekat. Dia pemilik perusahaan yang menjadi mitra b
"Jadi kau tidak mengatakan apa pun pada keluargamu, Aruna?"Tanya mama Resti dengan nada rendah.Aku menggeleng.Kulihat Ibu dan mbak Alya saling berpandangan."Apa yang terjadi, Aruna?"Tanya ayah.Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku tidak mau disalahkan tapi aku tidak bisa membela diriku."Katakan, ayo jangan takut."Mbak Alya menyentuh pundakkuAku melihat ke arahnya. Mbak Alya mengangguk. "Mas Bara pergi dari rumah karena bertengkar denganku."Kataku kemudian dengan sangat berat dan itu pun sudah dengan gemetaran.Semua terkejut kecuali mama Resti."Sejak kapan?"Tanya mbak Alya."Kenapa kau tak bilang pada kami kalau suamimu pergi."Lanjut ayah."Apa kalian ada masalah sampai Bara meninggalkan rumah?"Tambah ibu.Sungguh aku bingung sekali untuk memulai dari mana."Bara sudah tidak ada kabarnya dari seminggu ini, dia sudah tercatat sebagai orang hilang di kepolisian."Ujar mama Resti memberi penjelasan pada keluarga yang sudah barang tentu tid
Aku masih tergugu, semua diam. Tidak ada yang berani angkat bicara.Ayah, ibu dan mbak Alya sama-sama merasa kecewa padaku. Lagi dan lagi aku membuat masalah untuk mereka."Permisi Bu Alya, mau ditaruh dimana barang-barang ini?"Seseorang itu muncul di pintu depan. Aku tahu kalau itu orang suruhan mama Resti untuk mengirimkan barang-barangku ke sini. Mbak Alya melirikku yang tak bergeming sama sekali.Mbak Alya yang bangkit karena melihat yang lain diam."Tolong bawa masuk semua, Pak.""Baiklah, Bu."Mbak Alya saja yang membantu suruhan mama, memasukkan barang-barangku ke dalam kamar yang biasa aku tempati jika aku bermalam di sini."Terima kasih ya, Pak.""Sama-sama, Bu.""Sekarang susun barang-barangmu itu, aku tidak ingin kau tidak merapikannya."Suruh mbak Alya padaku saat orang suruhan mama sudah pergi."Biarkan dulu, Mbak. Aku mau pergi. Tolong titip Afnan.""Berhenti, kau tak boleh pergi."Suara ayah menghentikan kakiku yang hampir melangkah ke luar."Aku harus pergi ayah, tolon
"Ayo Afnan, pilih mainanmu yang akan kita bawa ke rumah ibu Alya. Ayo, cepatlah sedikit.""Iya, Ibu."Afnan sibuk memasukkan mainan yang dipilihnya. Aku mengeluarkan sepeda motorku."Sudah belum?""Udah, Ibu."Langkah kecil Afnan terdengar sudah ke luar rumah, aku tersenyum melihatnya menenteng kantong plastik berisi mainan yang akan dimainkannya di rumah mbak Alya nanti dan aku bisa bekerja dengan nyaman karenanya.Aku menaikkan Afnan di kursi depan kemudian menghidupkan mesin sepeda motorku. Sepeda motor melaju dengan tenang seperti tenangnya hatiku setelah melewati beberapa hari yang cukup menyiksaku. Hampir satu bulan ini aku menjalani hari dengan kegiatan yang sama dan aku sudah mulai merasakan kenyamanan hidup bersama Afnan saja. Aku berusaha menepiskan semua bayangan yang menggodaku untuk mengungkit kenangan masa laluku. Aku tak mau."Hai, Afnan.""Hai, Ibu Alya."Afnan langsung ikut ibu Alya-nya masuk ke dalam rumah, di sana ada mbak Siti yang akan ikut menjaga dan mengawasiny
"Aruna, gawat!"Belum juga aku mematikan sepeda motorku mbak Alya sudah terburu-buru menghampiriku. Sepertinya dia sedang cemas."Ada apa, Mbak?"Aku sengaja membawa Afnan menjauh dari sepeda motor, dia hobi sekali bermain-main dengan sepeda motor yang sedang berhenti, Afnan suka naik-naik dan aku takut jika tangannya menyentuh knalpot yang masih panas.Aku tahu jika mbak Alya akan membicarakan masalah serius denganku."Aruna, aku tidak bisa membatalkan janjiku pada mas Yusuf. Acara yang akan dihadirinya sangat penting dan aku sudah telanjur berjanji padanya untuk mendampinginya. Terus tadi aku menerima telepon dari Farida itu, dia mengundangku untuk bertemu dengannya. Katanya dia ingin mengadakan kerja sama dengan kita. Aduh aku jadi bingung, Aruna. Aku tidak bisa membuat mas Yusuf kecewa tapi bagaimana kalau Farida kecewa karena aku tidak bisa datang?"Aku tidak bisa berpikir secara jernih. Mbak Alya bicara dengan sangat tergesa-gesa sekali."Kalau kita tidak menemui Farida jangan-ja
Aku duduk berjongkok, takut Abid melihatku. Aku mengintipnya. Dia masuk ke cafe shop. Napasku kembali lega."Mbak Aruna, kenapa berjongkok di situ?"Sumpah aku terkejud sekali, mungkin karena aku sedang tegang.Mas Khamid melihatku dengan keheranan. "Tidak, Mas. Aku tadi berdiri lama dan matahari sangat terik, aku berlindung pada bayangan mobil ini."Jawabku membuat alasan."Jadi, Mbak Aruna sudah dari tadi keluarnya. Maaf ya Mbak tadi aku di suruh geser sama tukang parkir setelah itu aku ngopi karena ngantuk nunggu Mbak Aruna."Aku kembali berdiri karena sudah merasa aman."Ya sudah tidak apa-apa, Mas. Kita langsung pulang saja ya.""Iya, Mbak."Masih dengan celingukan aku berjalan mengikuti mas Khamid.Aku tidak menyangka akan bertemu Abid di sini. Sudah berapa tahun aku tidak bertemu dengannya. Abid benar-benar berubah. Bekerja di mana dia, jadi manajer kah?Penampilannya sangat keren. Apakah dia sudah menikah?Konyol sekali aku, mengapa aku sampai memikirkan Abid seperti ini?Tentu
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de