Dua bulan berlalu, akan tetapi Al tidak juga datang menemui Hanna, bahkan Al juga tidak menghadiri persidangan perceraian mereka. Hanna menganggap Al benar-benar tidak ingin kembali padanya. Sungguh pahit luar biasa, Hanna harus menyandang status janda di usianya yang masih muda. Siapa sangka pernikahan pertamanya harus kandas begitu saja.Kevin menatap sosok Hanna yang sedang memandangi pesawat. Dia turut prihatin atas permasalahan yang dihadapi wanita itu. Namun di sisi lain Kevin merasa senang karena akhirnya dia bisa membawa Hanna ke Amerika. Dia merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki hubungan Hanna dengan Dean. Suatu saat mereka harus bertemu, entah kapan karena untuk saat ini Hanna ingin Kevin merahasiakan kedatangannya dari Dean.Hanna dan Kevin sedang menunggu pesawat di ruang VIP yang akan membawa mereka ke Amerika. Langit di bandara tampak cerah dan Hanna mengambil sejumlah gambar dengan ponselnya. Dia memilih gambar yang paling bagus lalu mempostingnya ke media sosial.P
Setibanya di Bandara Internasional Tampa, Kevin segera membawa Hanna ke sebuah hotel bintang empat. Cuaca di Tampa sangat cerah, langit biru serta semburat awan cirrus menghiasi pemandangan kota. Selama di dalam mobil tak henti-hentinya Hanna mengagumi kota itu, dia tidak sabar ingin mengunjungi pantai di kota yang terletak di bagian selatan negara Amerika Serikat."Istirahatlah Hanna, aku juga menginap di hotel ini. Jika membutuhkan sesuatu kamu bisa menghubungiku. Besok kita akan ke Al Huda Pre School," ucap Kevin sebelum meninggalkan Hanna.Perjalanan yang memakan waktu lebih dari dua puluh jam membuat Hanna sangat kelelahan, apalagi dia juga masih harus transit untuk mengganti pesawat. Awalnya Kevin menawarkan agar dijemput dengan jet pribadi milik Dean, akan tetapi karena Hanna tidak ingin keberadaannya diketahui Dean maka Kevin terpaksa menggunakan pesawat komersil.Setelah Kevin pergi lalu Hanna mengunci pintu. Dia mengeluarkan beberapa helai pakaian ganti dan bergegas ke kamar
Al masih sibuk dengan pekerjaannya ketika Tania masuk ke ruang kerjanya. Sekilas Al mengamati Tania yang mulai mendekat ke arahnya."Ryan bilang kamu akan ngantor di Jakarta lagi, Mas?" tanya Tania sambil mengamati pekerjaan suaminya."Ya, di sini sudah ada manajer baru. Aku akan kembali mengurus kantor pusat." Al menjawab pertanyaan istri sirri nya tanpa mengalihkan pandanganya dari layar laptop."Apa aku boleh ikut?" tanya Tania seraya memeluk punggung suaminya. Dia menghidu leher suaminya, seolah itu adalah candu yang bisa memabukkan."Lusa kita akan berangkat ke Jakarta. Aku juga ingin membawamu bertemu dokter Toni. Beliau dokter kandungan yang dulu mengawasi kehamilan almarhumah mamaku," jawab Al kemudian melepaskan tangan Tania.Sejujurnya Al merasa sudah tidak nyaman berdekatan dengan Tania, apalagi setelah mendengar fakta dari dokter Toni. Perasaan Al pada Tania semakin tergerus hingga tak tersisa barang sedikitpun."Bagaimana dengan Hanna?" Tania memiringkan kepalanya agar dap
"Saya mohon, Bu. Tolong beri tahu saya keberadaan Hanna. Saya sangat mencintainya, saya ingin rujuk dengannya." Entah sudah berapa kali Al memohon pada Bu Yana tapi wanita itu tidak menggubrisnya, bahkan Rayyan pun tak bisa berbuat apa-apa."Maaf, Nak. Hubungan Al dan Hanna kan sudah berakhir. Jikalau Al benar-benar mencintai Hanna, tolong biarkan dia memulai kembali hidupnya," ucap Bu Yana pada pria yang sedang bersimpuh di depannya."Bangunlah, Al! Jangan merendahkan dirimu seperti ini! Jika Hanna ditakdirkan untukmu pasti dia akan kembali padamu. Untuk sekarang, biarkan dia menenangkan dirinya dulu." Bu Yana memaksa Al untuk berdiri dan kembali duduk di kursinya."Apa Hanna sudah menikah dengan pria lain, Bu?" tanya Al cemas."Belum. Sejauh yang ibu tahu, Hanna tidak sedang dekat dengan pria manapun. Hanya saja ...." Bu Yana tidak melanjutkan ucapannya, dia merutuki dirinya sendiri yang hampir saja kelepasan berbicara."Hanya apa, Bu?" telisik Al pada mantan mertuanya. Al tidak ingi
Di dalam bus sesaat sebelum mereka berangkat meninggalkan sekolah, Hanna dengan sabarnya memimpin anak-anak membaca do'a naik kendaraan. Hiruk pikuk serta canda tawa meramaikan suasana di dalam bus sepanjang perjalanan mereka, sesekali Hanna melemparkan kuis lalu memberikan hadiah bagi anak yang bisa menjawabnya.Bus yang mereka tumpangi membawa tujuan pertama mereka, yakni kebun binatang. Ammar dan Unsa membimbing anak-anak berbaris sebelum memasuki Kebun Binatang Tampa yang terletak di Lowry Park. Nampak anak-anak itu sangat tidak sabar ingin segera memasuki kebun binatang.Dibimbing oleh guru kelasnya masing-masing, satu persatu anak-anak memasuki kebun binatang melewati susunan gapura yang terbuat dari kayu. Mereka sangat antusias melihat satwa-satwa di dalam kebun binatang itu.Perhatian Hanna tertuju pada sebuah ornamen kayu yang bertuliskan 'Sulawesi', seketika rasa rindunya terhadap tanah air membuncah di dadanya. Dia belum memikirkan kapan akan kembali ke negara asalnya karena
Dean baru saja menutup panggilan telepon ketika pintu ruangannya diketuk, Kevin muncul dari balik pintu setelah Dean menyuruhnya masuk. Dia membawa beberapa berkas yang perlu ditandatangani Dean."Barusan Al meneleponku," kata Dean datar. Dia dengan santai menyandarkan bokongnya di tepi meja. "Oh, ya? Untuk apa? Aku baru saja menerima laporan keuangan perusahaannya, nampaknya tidak ada masalah di sana." Kevin yang baru saja ingin meletakkan berkas-berkas itu mengurungkan niatnya.Dean bersedekap lalu menghela napas. "Al bilang Hanna kabur dari rumah. Apa terjadi sesuatu ketika kamu di Kalimantan? Rasanya mustahil Hanna kabur begitu saja."Jantung Kevin mulai berdegup lebih kencang, dia mengeratkan tangannya pada berkas yang dipegangnya. Dia mencoba mengatur napasnya agar tidak tampak panik. Kemudian memikirkan alasan apa yang harus dia katakan untuk mengelabui bosnya.Nampaknya Kevin tak memiliki kesempatan untuk berkelit lagi. Tatapan Dean yang meng-intimidasi seolah ingin mengatakan
I am a muslim, the things I sayIn everything I do everydayWe are a muslim, the things we sayIn everything we do everydayOooh ... bismillahOooh ... alhamdulillahMia Johnson mengetuk-ngetukkan pisau dan garpu di atas meja, kedua matanya berbinar menyanyikan lagu milik Yusuf Islam yang sering di dengarnya di Al Huda Pre School.Mendengar putrinya yang sedang bernyanyi, lantas Debra Johnson memusatkan perhatiannya pada Mia yang sama sekali belum menyentuh pancake di piringnya.Telinganya menyimak dengan teliti setiap kata yang keluar dari mulut mungil Mia. Dia sangat terkejut dengan lirik lagu yang sedang dinyanyikan Mia. Kedengarannya seperti lagu rohani, entah milik siapa. Debra mengernyitkan dahinya, dia sadar ada yang tidak beres dengan putrinya."Lagu apa itu, Mia?" Mendadak Debra kehilangan selera makannya. Dia meletakkan garpu dan pisaunya di sisi piring makan. Kedua tangan Debra saling bertautan dan diletakkannya di bawah dagu. Dia berusaha menjaga mimiknya sesantai mungkin a
"Dua orang petugas kepolisian sedang menunggumu di luar. Apa kamu bersedia menemui mereka? Kau yakin tidak apa-apa?" tanya Noah ragu. Dia takut polisi itu akan membawa Hanna."Biar aku menemuinya, Noah. Ini salahku." Hanna bergegas keluar hendak menemui polisi itu, sedangkan Noah mengekorinya di belakang. Dia mengabaikan perasaan mual dan pening di kepalanya."A-ada yang bisa saya bantu, Sir?" sapa Hanna sedikit gugup pada dua orang polisi yang sedang menunggunya. Jemarinya saling meremas karena kedua telapak tangannya yang dingin dan basah. Bahkan Hanna beberapa kali menyeka peluh di dahinya. Dia berusaha melawan panic attack yang sedang menderanya."Anda Miss Hanna?" tanya salah seorang dari mereka."Iya," jawab Hanna."Ikutlah dengan kami ke kantor. Seseorang telah membuat laporan, dan kami membutuhkan keteranganmu." Hanna lalu menyetujuinya dan ikut bersama mereka. Memangnya apa yang bisa dilakukan Hanna selain ikut ke kantor polisi? Melawan pun dia tak bisa."Apakah saya boleh iku
Assalamu'alaikum. Hallo Readers, Terimakasih telah membaca novel "Berdamai dengan Takdir". Kisah di dalam novel ini semata-mata hanyalah fiksi belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat. Namun, salah satu tokoh utama di dalam novel ini terinspirasi dari seorang sahabat pena author yang tinggal di Tampa, Florida. Meski dia seorang mualaf tapi pemahaman agamanya tidak diragukan, bahkan author yang muslim sejak lahir banyak belajar agama dari dia. Sejak tahun 2005 author lost contact dengan dia. Terakhir author melihat keberadaannya sekitar tahun 2018 di fanpage sebuah perusahaan di Tampa, tapi sayangnya author tidak berhasil mendapatkan kontaknya. Author sempat menyesal karena tidak banyak bertanya tentang perjalanan hidupnya. Padahal itu bisa author jadikan novel true story. Jadi, mohon maaf author hanya bisa menyajikan cerita fiksi hasil imajinasi author sendiri. Satu harapan author, semoga dia masih dalam keadaan sehat dan istiqomah dengan keislamannya. Salam Lit
Suasana di pemakaman pagi itu tampak suram. Sebagian besar tamu memandang penuh rasa iba pada dua anak yang sedang berdiri bersisian. Mereka baru saja ditinggal kedua orangtuanya di usia yang masih sangat belia. Alexander Slavik, anak tertua Ivander Slavik dengan Alicia Sashenka secara otomatis menjadi kepala keluarga Slavik menggantikan posisi ayahnya. Meski usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Alex harus terjun langsung mengurus beberapa perusahaan peninggalan Ivander Slavik. Di bawah bimbingan Mikhailov Dmitry-asisten mendiang ayahnya, Alex akan memimpin perusahaan minyak terbesar di Rusia. Beruntung selama ini Alex banyak menghabiskan waktunya belajar bisnis bersama ayahnya di tengah kesibukannya mengikuti homeschooling. Alex bersama adik kandungnya-Ruslan Slavik yang usianya hanya terpaut dua tahun maju ke sisi pusara di mana ayah dan ibunya dimakamkan secara berdampingan. Dia kemudian meletakkan rangkaian bunga tulip di atas makam kedua orangtuanya. Begitu juga Rusl
Jet pribadi milik Dean mendarat di Moskow menjelang siang. Istri dan kedua anaknya sudah memakai mantel mereka mengingat saat ini Rusia sudah memasuki musim dingin.Beberapa bodyguard dengan mantel hitam yang diutus Alex tampak berbaris di samping tiga mobil SUV hitam. Mereka menunggu Dean beserta keluarganya turun dari pesawat dan mengantarnya ke mansion Slavik."Kita akan menginap di mana?" bisik Hanna pada suaminya. Mereka berjalan melewati para bodyguard yang membungkukkan badan penuh hormat."Mansion Slavik," jawab Dean sambil mengangguk pada para bodyguard milik Alex. Hanna cukup terkejut dengan jawaban suaminya, tapi dia hanya bisa menurut meski ada rasa takut yang merasuki jiwanya. Dia membayangkan Alexander Slavik adalah sosok yang dingin dan kejam.Iring-iringan mobil itu meninggalkan bandara dan melaju di jalanan kota Moskow yang ditutupi salju putih. Mobil sempat berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam sebelum dua orang penjaga membukakan pintu untuk mereka. Setelah
"Berikan tanganmu!" pinta Hanna pada suaminya. Dean mengulurkan tangannya, dan Hanna memasukkan tangan kanan suaminya ke dalam lengan baju. Kemudian memasukkan lengan kiri dan merapikan bagian depannya. Dia lalu menyematkan butir-butir kancing bagian depan dan pergelangan tangannya. Hanna mengambil sebuah dasi berwarna biru metalik dari dalam salah satu laci, kemudian memasangkannya di leher Dean dengan apik. "Sampai jam berapa rapatnya?" tanya Hanna sambil membuat simpul dasi di leher suaminya. Dean tampak menawan dalam balutan jas dan kemeja berwarna biru tua senada dengan dasinya. Rambut halus di dagunya menambah kemaskulinan dalam dirinya. "Aku usahakan tidak sampai malam." Dean membingkai wajah Hanna lalu memberikan kecupan yang dalam di keningnya. Dia tahu istrinya sedang mengkhawatirkan dirinya, maka dia melakukan hal itu untuk menenangkannya. "Pastikan dua bodyguard mu selalu bersamamu. Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi." Dean terkekeh mendengar nada cemas istr
Samar-samar Dean bisa mendengar suara dengung di depan bangunan tempat dia dan Noura disekap. Setelah hening beberapa saat, telinga Dean kembali menangkap suara gemerincing rantai yang membelenggu pintu.Sinar matahari yang menyilaukan masuk ke dalam ruangan hingga membuat Dean menyipitkan mata. Kedua tangannya secara refleks mengangkat untuk menghalangi cahaya yang menyorot matanya.Dean bisa melihat dua sosok anak kecil memasuki satu-satunya pintu."Menjauhlah dari perempuan itu, Dad! Kami tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan dia," kata Ethan dengan suara tegasnya. Sedangkan Elena memberengut sambil mengepalkan kedua tangannya.Melihat betapa marahnya kedua anak itu lantas Dean mengangkat kepala Noura dan meletakkannya di lantai. Dia lalu menggeser tubuhnya agar menjauh dari wanita itu.Setelah ayahnya membuat jarak dengan Noura lantas Elena membuka tasnya, mengambil sebotol air mineral dan meminumkannya pada Dean. Ethan memeriksa kondisi ayahnya dan segera mencari alat untuk mem
"Saya sudah menemukannya." Mark berhasil memindai lokasi terakhir mobil Dean. Dia lalu menyimpannya di ponsel dan bergegas meninggalkan apartemen."Aku akan menemanimu, Mark." Nick hendak bangkit mengikuti langkah Mark."Kau terluka, Nick. Tetaplah di sini," pinta Hanna yang merasa tidak tega melihat kondisi Nick."Tidak apa-apa, Nyonya. Berbahaya jika Mark pergi sendiri. Jika terjadi sesuatu, salah satu dari kami bisa pergi mencari bantuan." Nick berusaha meyakinkan Hanna dengan argumennya."Baik. Tetaplah berhati-hati, segera berkabar jika sudah menemukan suamiku."Hanna kemudian melepas kepergian dua pengawalnya. Apartemen mulai terasa hening kembali setelah kepergian Nick dan Mark. Sedangkan Grace membenahi segala peralatan yang baru saja dipakai untuk mengobati luka Nick."Ingin kubuatkan teh, Nyonya? Atau Anda ingin istirahat dulu?" tanya Grace sebelum meninggalkan Hanna di ruang tengah sendirian."Tolong buatkan aku teh hijau, Grace. Aku masih ingin di sini menunggu dua pengawal
"Alexander Slavik," desis Noura dengan mimik wajah ketakutan.Noura tentu mengenal baik pemilik wajah itu. Pria berdarah Rusia dengan iris mata berwarna hijau masih memiliki hubungan darah dengan mantan suaminya, Ruslan Sashenka alias Ruslan Slavik."Noura Al Khudr. Putri tunggal sekaligus ahli waris Rasyid Al Khudr, pendiri perusahaan Mideast Oil Company." Pria dengan setelan jas hitam itu menatap Noura dengan tatapan benci dan merendahkan."Apa lagi yang kau inginkan, Alex? Hubunganku dengan adikmu sudah berakhir. Kau juga tidak perlu melibatkan Dean. Semua ini tidak ada hubungan dengannya." Kedua netra Noura mulai berkaca-kaca sedangkan napasnya mulai menderu, hampir saja dia tidak bisa mengendalikan rasa takutnya.Alexander Slavik? Kakak kandung Ruslan Sashenka? Batin Dean menggaung, mengulang-ulang dua nama itu yang terdengar familiar."Noura Al Khudr ... aku berusaha menerima kenyataan ketika adikku memutuskan untuk memeluk Islam demi bisa menikah denganmu. Aku pun bisa menerima
"Apakah akan pulang malam lagi? tanya Hanna sambil memasangkan dasi di leher suaminya."Semoga tidak, tapi sampai sekarang belum ada keputusan siapa yang akan memimpin perusahaan." Dean menatap lekat wajah istrinya yang tampak fokus dengan dasi di tangannya. Wajah serius Hanna memang sangat menggemaskan hingga Dean tak bisa menahan diri untuk tidak mengecup hidung istrinya."Sabarlah ... sedikit lagi." Hanna berusaha mengelak dari tingkah usil suaminya. Dean hanya terkekeh sambil memandang istrinya."Jangan menunggu jika aku pulang malam. Kau pasti sangat lelah mengurus anak-anak. Kamu harus cukup istirahat." Dean mengalihkan pandanganya ke cermin, menatap dasi yah sudah dipakaikan Hanna."Bagaimana dengan makan malam? Sekarang ini kita lebih sering melewatkan makan malam bersama. Anak-anak sering menanyakan keberadaanmu," keluh Hanna pada suaminya.Dean mengangkat tangan kanannya lalu membelai pipi istrinya. Dia pun merasa bersalah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melewatk
Setelah mengantar Ethan dan Elena pulang ke apartemen mereka, Steve kembali ke hotel tempat pesta itu diselenggarakan. Dia bersikap seolah-olah tidak pernah bertemu dua anak kembar milik Dean dan Hanna.Hal yang pertama kali dilihatnya saat memasuki ballroom adalah sosok cantik Hanna masih duduk sendirian di mejanya, sedangkan Dean masih sibuk berbincang bersama Rasyid dan putrinya. Nampaknya dua orang pengusaha yang tadi membersamai mereka sudah beranjak ke perkumpulan yang lain.Alunan musik Timur Tengah masih menghentak di dalam ruangan. Steve melirik Dean yang masih serius berbincang dengan Rasyid. Nampaknya aman jika Steve menghampiri Hanna barang sejenak. Dia lalu melangkahkan kakinya ke meja tempat Hanna berada.Steve mengambil segelas minuman dari seorang pelayan yang lewat di depannya."Selamat malam, boleh saya duduk di sini?"Mendengar seseorang menyapanya lantas Hanna menoleh. Dia melihat Steve yang berdiri di sisi meja sambil menggenggam segelas minuman."Silakan. Tapi mu