"Sayang, kamu selalu deh lama ... Mama udah nungguin di bawah," ujar Shesa pada Alvin yang baru saja mengancingkan baju kemejanya.
Alvin hanya tersenyum, dia tahu betul jika istrinya itu selalu marah jika menunggunya terlalu lama.
"Pesawat jam berapa sih?"
"Jam 11," jawab Shesa membantu suaminya mengancingkan kancing kemejanya.
"Jam 11? Ini baru jam 8, Sayang," ujar Alvin mencolek ujung hidung Shesa.
"Ya setidaknya kita udah siap," gerutu Shesa.
"Jangan manyun gitu bibirnya," kata Alvin mengangkat dagu istrinya itu lalu menautkan bibir mereka.
Ciuman menghanyutkan pagi itu akan lebih lama lagi jika Shesa tidak ingat sang Mama sudah menunggu mereka di teras rumah.
"Udah?" tanya Alvin tersenyum kala melihat Shesa terhanyut dengan ciuman yang dia berikan.
"Udah," jawab Shesa tersenyum.
Pukul dua siang, Shesa, Alvin dan Wulan sudah berada di Singapura. Pandu dan Anggi sudah menunggu mereka di sana. Kening Al
Enjoy reading 😘 Maaf ya hampir satu minggu aku nggak update part karena RL lagi membagongkan 🤭 aku menulis harus dengan keadaan mood yang baik banget😁 Semoga suka part ini yaaah 😘
Pandu duduk si sofa ruang tengah apartemen Anggi, dia menunggu Anggi dan Wulan pulang dari swalayan siang itu. Tiga hari sudah lelaki itu berada di Singapura, berbagai macam ide bersemayam di benaknya jika dia pulang nanti ke Indonesia. Mulai dari menemui kedua orang tuanya hingga acara lamaran resmi yang akan dia lakukan di Pulau Bali nanti. Tiga kali bel berbunyi, namun lamunan Pandu sepertinya masih merajai benaknya. Hingga ketukan di pintu bertubi-tubi menyadarkan lelaki itu akan lamunannya. "Mas, kemana aja?" tanya Anggi saat Pandu membuka pintu apartemen itu. "Lagi di kamar mandi, sini aku bawain ... Pandu bantu, Tante," ujar Pandu meraih paper bag berisi sayuran, roti dan barang belanjaan lainnya. "Malam ini, kita makan malam di rumah aja ya, Tabte masakin kalian masakan spesial, nanti Anggi telpon Kak Shesa suruh mereka kesini," ujar Wulan. Pukul tujuh malam, Shesa dan Alvin sudah berada di apartemen Anggi. Hidangan yang di buat oleh W
"Mama dimana?" tanya Pandu pada Anggi yang sedang membereskan piring-piring bersih untuk di letakkan kembali pada rak. "Ikut Kak Shesa sama Mas Alvin, mau liat Singapura di waktu malam," jawab Anggi. "Berarti ada kesempatan buat kita berdua," ujar Pandu memeluk Anggi dari belakang. "Mending bantuin aku naruh piring-piring ini ke sana," ujar Anggi menunjuk sudut meja dapur agar Pandu membantunya. "Kalo aku nggak mau gimana?" tanya Pandu mengeratkan pelukannya. Tangan lelaki itu sudah dengan mudahnya menyelusup masuk ke dalam pakaian Anggi. Gadis yang hanya memakai summer dress sebatas dengkul itu kita sedang menikmati cumbuan kekasihnya yang menelusuri leher jenjang miliknya. "Lusa aku pulang, kamu nggak mau kita melakukan sesuatu?" lirih Pandu memutar tubuh Anggi menghadap padanya. Berkali-kali Anggi menciumi bibir kekasihny
"Fly me too the moon, Mas," desah Anggi saat keintiman mereka mulai merajai satu dengan yang lainnya. "Aku bakal pelan-pelan," ujar Pandu menatap lembut netra Anggi lalu melumat kembali bibir gadis itu. Pandu menyusuri leher jenjang milik Anggi, mengecupinya tanpa ada sela. Anggi bergerak semakin tak beraturan, tubuhnya meremang kala pijatan tangan Pandu berada di atas dadanya. Mata mereka sama-sama sendu, sama-sama mendambakan rasa ingin saling memiliki. Pandu menciumi setiap lekuk tubuh gadis itu, turun ke bawah mendaratkan ciuman tepat di atas perut gadis itu. Pandu menghentikan sejenak kegiatannya, kembali dia pandangi wajah kekasihnya yang sudah memerah, merona. Tangan Anggi mencengkeram lengan kokoh milik Pandu itu perlahan semakin erat. Matanya terpejam dengan bibir bawah yang Anggi gigit seakan menahan pertahanan inti tubuhnya. Perasaan takut tapi ingin bercampur menjadi satu. Lirih halus suara gadis itu seperti alunan musik yang terde
"Pagi Ma, Pa," sapa Pandu yang masih mengenakan setelan celana pendek dan kaos oblongnyo. Lelaki berumur 30 tahun itu masih berdiri di satu anak tangga saat mendapati kedua orangtuanya sedang berbincang di ruang makan pagi itu. "Papa nggak dengar kamu pulang," ujar Budiman. "Sampe jam 10 tadi malam, aku langsung masuk ke kamar. Mama sehat?" tanyanya mencium pucuk kepala ibu sambungnya itu. "Sehat," ujar Paula memberikan satu sendok nasi goreng pada piring di hadapan Pandu. "Pake telur?" tanyanya pada anak tiri kesayangannya. Pandu hanya mengangguk, mendapatkan perlakuan yang adil sedari kecil dari Paula membuatnya sangat menyayangi wanita itu. Paula selalu memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya, termasuk jodoh. Sayangnya, jodoh yang Paula berikan saat itu malah membuat Pandu sempat pergi meninggalkan mereka. "Gimana usaha kamu?" tanya Budiman. "So far so good, Pa ... masih tiga cabang, itu juga aku masih butuh banyak
"Ma, sop iga nya udah selesai," ujar Shesa sore itu di dapur. Paula yang baru saja kembali dari kamarnya segera menghampiri Shesa. "Ya udah nanti biar si bibik yang menghidangkan di meja makan," kata Paula pada menantunya itu. "Shesa bangunin Alvin dulu ya, Ma," ujar Shesa dijawab dengan anggukan Paula. Semenjak pulang dari Singapura empat hari yang lalu, Paula meminta mereka sementara tinggal di rumahnya. Kebetulan saja Budiman sedang mengadakan perjalanan keluar negeri, jadi Paula ada alasan meminta Alvin dan istrinya untuk menemaninya. Pintu kamar itu Shesa buka perlahan, Alvin masih terbaring di ranjang dengan selimut yang membalut tubuhnya. Pelan Shesa menaiki tempat tidur itu, memainkan anak-anak rambut suaminya. "Sayang, bangun yuk," bisik Shesa di telinga Alvin, lalu dia memberikan kecupan di pipi suaminya. Alvin menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhnya lalu memeluk Shesa yang berada di sampingnya. "Kenapa bar
"Mertua idaman," sahut suara yang datang dari belakang tubuh Paula. "Oh hai ... mantan calon mantu," balas Paula santai. "Terimakasih sudah datang ke acara ini," ujarnya lagi sambil tersenyum. "Tante, apa kabar? sepertinya sedang bahagia-bahagianya ya," sindir Soraya. "Ya seperti ini lah, kalo melihat keluarga bahagia sudah pasti Tante ikut bahagia. Kamu lihat ... ini," tunjuk Paula pada sisi ekor matanya, "sudah gak ada kerutan, ternyata perawatan mahal bisa kita kalahkan dengan hati yang bahagia," ujar Paula lagi-lagi membalas sindiran Soraya diikuti tawa dari teman-teman sosialita Paula. "Semoga secepatnya dapat momongan ya, Jeng ... biar bahagianya tambah lengkap." Mimik wajah Soraya jelas sekali terlihat kesal, dan dia yakin semua orang tahu isi hatinya saat ini. Musik mengalun dengan tempo cepat, beberapa peragawati melangkah gemulai di atas catwalk. Satu per satu dari mereka membawakan rancangan desainer terkenal yang di t
"Pa ...," sapa Alvin setelah mengetuk pintu ruang kerja Budiman siang itu. "Masuk, Vin," jawab Budiman. "Kita masih menunggu satu orang lagi," ujar Budiman lagi. "Siapa?" tanya Alvin bingung. "Ada apa, Pa?" Ketukan di pintu membuat keduanya menoleh ke asal suara. Windu, sang mantan pengacara melangkah masuk ke dalam ruangan. "Apa kabar, Vin?" Alvin menerima uluran tangan Windu dengan alis mengerut. "Baik, Win ... ada angin apa?" tanya Alvin. "Duduk dulu kalian," ujar Budiman beranjak dari kursi kerjanya bergabung di sofa. "Ada apa, Pa?" Lagi-lagi pertanyaan itu muncul kembali. "Papa minta Windu datang kesini untuk membahas perkara tentang Soraya. Entah kenapa sejak Pandu cerita dia mengunjungi Pandu beberapa waktu lalu, Papa menaruh curiga dengan dia," tutur Budiman. "Sebenarnya Alvin juga menaruh curiga pada Soraya, dan anehnya lagi kenapa saat acara kemarin Papa mengundangnya?" "Sengaja,
Untuk ke sekian kalinya Shesa keluar masuk kamar mandi. Sejak subuh rasa di perutnya tidak enak, entah karena salah makan semalam atau maagnya yang kembali kambuh. Alvin terbangun mendengar suara Shesa samar-samar dari kamar mandi. Lelaki itu beranjak menghampiri Shesa yang duduk lemas di sisi toilet. "Kenapa?" "Nggak tau, kayaknya salah makan atau kebanyakan makan," ujar Shesa memegangi perutnya. "Kan udah aku bilang, kamu makan kebanyakan," ujar Alvin membuka kotak obat di atas meja wastafel. "Sini, aku olesin minyak kayu putih," kata alvij dengan mata yang masih mengantuk. "Besok-besok kalo makan diingat-ingat ya, perut kamu itu nggak bisa langsung masuk makanan yang banyak." Alvin terus berceloteh namun tangannya juga tak berhenti membalurkan minyak itu ke perut dan dada Shesa. "Kamu kayak aki-aki, ngomel mulu," ujar Shesa memencet hidung suaminya itu. "Udah hangat belum?" "Udah ... minyaknya aku pegang aja, mau aku hirup b
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer