"Dimana Shesa?" tanya Alvin pagi itu pada Pandu.
"Ada di kamarnya," jawab Pandu.
"Lo hutang penjelasan sama gue," ujar Alvin berjalan masuk ke dalam rumah Wulan.
Keadaan di dalam rumah itu sudah sepi, waktu menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Anggi jelas saja sedang mengantar Wulan ke restorannya, sedangkan Pandu meminta diri untuk di rumah menunggu kedatangan Alvin.
Alvin membuka pintu kamar itu perlahan, Shesa masih meringkuk di atas tempat tidur menghadap ke sisi yang lain. Melihat kekasihnya masih tertidur, Alvin ikut masuk ke dalam selimut, memeluk Shesa dari belakang.
Menciumi leher jenjang kekasihnya dan mengeratkan pelukannya. Alvin tahu betul apa yang di rasakan Shesa. Dan dia akan berjuang untuk itu.
Tubuh Shesa bergerak, merasakan lengan kokoh melingkar di pinggangnya. Mencium wangi yang menyeruak dari sosok yang dia rindukan. Shesa membalikkan tubuhnya, lelaki itu menatapnya, lalu tersenyum.
"Sudah siang, ayo bangun
"Tapi kenapa Shesa gak bialng ke gue!" Alvin menahan amarahnya. "Karena aku takut menerima kenyataan." Shesa menghampiri Alvin, Alvin membuang puntung rokoknya lalu merangkul pundak kekasihnya itu. "Kenapa harus takut? Kenapa nggak bilang saat itu juga, supaya aku bisa menghajarnya saat itu juga," geram Alvin. Mata Shesa sudah berkaca-kaca, dia tahun betul Alvin akan benar-benar melakukan tindakan itu jika Shesa mengatakan yang sebenarnya saat itu. "Beberapa hari setelah pertemuan di ruang meeting itu, dia juga datang menghampiriku. Aku jijik melihatnya, Vin." Shesa menangkup wajahnya, menunduk dan menangis terisak. "Kita harus laporkan ini, Sha," kata Alvin. "Benar kata Alvin," ujar Wulan yang ternyata sudah berdiri di dekat mereka. "Kalian harus tetap melaporkan kejadian ini meski sudah terjadi 10 tahun yang lalu." "Benar, aku yakin bukan hanya Shesa yang menjadi korbannya," ujar Pandu. "Maksud kamu, ini skandal
Dua hari di Tasikmalaya, akhirnya Shesa dan Alvin memutuskan kembali ke Jakarta. Begitu juga dengan Pandu yang akhirnya kembali ke Bandung, sementara Anggi menghabiskan libur semesternya membantu usaha sang Mama. Rencana mereka untuk menjatuhkan Chandra Adhiyaksa sudah mulai tersusun rapi, jika pun akan terendus oleh media, itu adalah konsekuensi yang harus di ambil oleh Alvin apalagi Shesa. "Hari ini masuk ke kantor ya," ucap Alvin pagi itu masih di atas tempat tidur mereka. Shesa menghela nafasnya, "kalo aku berhenti aja gimana? Bukan karena aku takut oleh cibiran orang, tapi lebih menjaga nama baik perusahaan kamu bahkan ... aku masih ragu bisa menatap mata Pak Budiman lama." "Papa dan mama urusan aku, Sha. Kamu nggak perlu mikir ke arah sana, cukup fokus sama aku," ujar Alvin memberikan kecupan di puncak kepala Shesa. "Tetap aku mikir ke mereka, Vin. Interaksiku dengan mereka akan lebih sering karena masalah ini, apalagi mama kamu sempat t
Shesa hanya bisa terdiam saat Minggu pagi Alvin mengajaknya untuk bertemu dengan keluarganya. "Ayo, masuk," ajak Alvin saat mereka tiba di rumah besar itu. "Nggak apa-apa, semua terkendali," ujar Alvin tersenyum lalu merangkul kekasihnya itu. Suami-istri itu sedang berbincang-bincang di sebuah taman yang asri, dua cangkir teh dan beberapa bakery menemani mereka pagi itu. "Pa, Ma," sapa Alvin. Paula dan Budiman Atmaja menoleh kepada asal suara, tidak nampak sedikit senyum pun yang menyambut kedatangan Alvin dan Shesa. "Ma, gimana? udah enakan?" tanya Alvin sambil menautkan kedua pipinya. "Kamu kemana aja?" tanya Paula tanpa menjawab pertanyaan Alvin. Mata Paula beralih pada Shesa, "ini sekretaris kamu itu, kan?" "Ini Shesa, pacar aku dan sekretaris aku juga, Mama sudah pernah bertemu, Papa juga sudah sering bertemu bahkan papa suka cara Shesa dalam mengerjakan pekerjaannya, iya kan Pa?" Alvin merengkuh
"Halo Mas," sapa Alvin pada Pandu yang menjawab telponnya malam itu. "Gimana?" "Gue udah dapet informasinya, ayah mereka tinggal di Bogor, perusahaan Pak Gunawan bangkrut dua tahun yang lalu, perusahaannya di ambil alih oleh Chandra Adhiyaksa, jadi bohong kalo Chandra bilang dia tidak tau keberadaan ayah Shesa." "Bogor?" "Iya, gue lagi pastiin alamatnya, tunggu kabar gue," jawab Pandu. "Jangan lama, Mas ... Mau nikah gue," ujar Alvin. "Sabar, Vin ... bukan cuma lo yang mau nikah, gue juga mau," seloroh Pandu. "Lo cari yang lain kenapa, Mas ... yang bener aja, kakak sama adik nikah sama pacarnya yang ternyata kakak adik juga, gimana ini ceritanya," ujar Alvin terkekeh sambil menghisap puntung rokoknya. "Gue nggak mikirin itu, Vin," ujar Pandu ikut tertawa. "Kebayang Budiman Atmaja pusing liat kelakuan anaknya," ujar Pandu lagi tertawa terbahak-bahak. "Ngobrolin apa?" tanya Shesa memeluk Alvin dari belakang.
Butuh waktu hampir dua jam mencari keberadaan Gunawan, ayah dari Shesa. Mobil yang di kendarai Pandu dan Alvin berhenti di sebuah rumah sederhana berhalaman besar tanpa pagar itu. Setelah memastikan pada beberapa orang yang mereka tanyai bahwa benar itu adalah rumah Gunawan. Beberapa kali mengetuk pintu serta kaca rumah itu, belum ada jawaban dari dalam. Hingga akhirnya Pandu dan Alvin menunggu di teras rumah itu. "Cari siapa?" tanya suara wanita berumur 40 tahunan itu tidak jauh dari tempat mereka duduk. Pandu dan Alvin buru-buru berdiri sambil menunduk tanda hormat. "Kami mencari Bapak Gunawan, apa benar ini rumahnya?" tanya Alvin. "Kalian siapa?" tanya wanita itu lagi. "Kami—" Alvin terdiam. "Kami kerabat dari Pak Gunawan. Pak Gunawan ada?" tanya Pandu. "Sebentar, biasanya jam segini dia ada di taman belakang," ujar wanita itu lagi. "Kalau Ibu?" Alvin mencari tahu siapa wanita ini. "Saya yang merawat
Alvin masih terduduk di sofa kamar Shesa, dia membiarkan Shesa tertidur setelah tangisan itu mulai mereda. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Alvin, Wulan membuka pintu kamar itu perlahan, menghampiri Alvin yang sudah berdiri dari sofa. "Gimana, Tante?" "Tante putuskan sementara Tante tinggal di sini untuk sementara waktu, Tante rasa Tante nggak bisa ninggalin Shesa dan papa nya berdua di rumah ini," ujar Wulan pelan. "Anggi?" "Minggu depan Anggi sudah harus oulang ke Singapura, jadi ... tadi Pandu bilang dia dan kamu akan bergantian menemani kami, hingga kasus ini selesai," ujar Wulan dan Alvin mengangguk tanda paham. "Bagaimana Shesa?" tanya Wulan. "Keadaannya masih sama, aku kira trauma itu tidak akan muncul lagi setelah hitungan 10 tahun Shesa melewatinya," ujar Alvin. "Tante merasa bersalah," ucap Wulan memandangi putrinya. "Bukan saatnya menyalahkan diri Tante, sekarang saatnya kita
"Aku akan mengusut kasusnya hingga tuntas, agar Papa tau sehebat dan sebaik apa Chandra Adhiyaksa itu." Alvin kembali duduk di kursi kerjanya. Budiman kembali melangkah meninggalkan ruangan itu. Sementara Pandu terduduk lemas menyaksikan perdebatan yang lagi-lagi membuatnya merasa tidak nyaman hidup di dalam keluarga itu. Pandu merogoh sakunya, meraih ponselnya yang bergetar. Nama Anggi tertera di sana. "Ya, Sayang." Suara Anggi terdengar begitu cemas. "Aku segera kesana, tunggu kami." "Kenapa?" tanya Alvin mengerutkan kedua alisnya. "Pak Gunawan terjatuh dari tangga saat akan mengunjungi Shesa ke kamarnya." "Astaga." Dengan langkah cepat mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Shesa dan keluarganya berada. Derap langkah kaki Alvin dan Pandu terdengar melewati selasar rumah sakit. Alvin sedikit berlari kala dia melihat Shesa berdiri di depan pintu ruang tindakan. "Gimana?" tanya Alvin merangkul pundak Shesa. "
Derap langkah Alvin tegas memasuki ruangan pemeriksaan di kepolisian saat berkas kasus Shesa telah di terima oleh pihak kepolisian. Di dampingi kuasa hukumnya, Shesa sudah ada di sana lebih dulu. "Sayang," ujar Alvin membelai lembut rambut Shesa yang duduk berhadapan dengan tim penyidik. "Maaf aku telat," ujar Alvin menarik kursi di sebelah Shesa. "Selain Anda sendiri, adakah orang yang bisa kita jadikan saksi pada kasus ini?" tanya penyidik. "A— ada," jawab Shesa ragu. "Siapa?" Penyidik menatap mata Shesa tajam. Shesa menoleh ke arah Alvin, lalu Alvin mengangguk. "Ayah saya sendiri," ucap Shesa menunduk. Dua jam dalam sesi interogasi, menjawab pertanyaan yang kadang sedikit banyak membuat Shesa merasakan ketakutan. Alvin merengkuh Shesa dalam dekapannya, memberikan kenyamanan pada kekasihnya. Berjalan bersisian, dengan mengenakan masker agar tak banyak orang yang mengetahui keberadaannya, Shesa berjalan
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer