Soraya bergegas keluar dari toilet VVIP perusahaan ayahnya, dia sudah sangat telat untuk menghadiri meeting perusahaan dengan beberapa pemegang saham. Tanpa sengaja Soraya melihat Shesa yang terburu-buru keluar dari ruangan meeting dengan wajah yang pucat.
"Mau kemana?" tanya Soraya menepuk pundak Shesa yang sedang menekan tombol lift dengan tak rasa ta sabar.
Shesa memutar tubuhnya, lagi-lagi dia terkejut harus bertemu dengan Soraya dalam keadaan seperti ini."Kamu ...."
"Bukannya kamu harus menemani Alvin di ruang meeting?" tanya Soraya dengan alis yang berkerut.
"Aku ada kepentingan mendadak, sudah izin dengan Pak Alvin, aku permisi," ujar Shesa saat pintu lift terbuka.
Pintu lift tertutup, Soraya menaruh curiga pada Shesa. Jelas ada yang terjadi saat dia masuk ke ruangan meeting tadi, tapi entah apa itu.
Soraya melenggang masuk ke ruangan meeting, menundukkan kepalanya memberi hormat pada pemegang saham perusahaannya. Soraya duduk b
Seperti biasa pagi hari adalah waktu yang paling sibuk di seluruh penjuru dunia, begitupun dengan yang dilakukan Shesa dan Alvin. Pagi ini terlihat' percakapan serius antara keduanya membahas beberapa file yang mengakibatkan mereka harus berdiskusi guna mengambil satu keputusan. "Jadi menurut aku, beberapa brand yang di beli perusahaan itu secepatnya mungkin harus di klaim, karena kalau tidak kita akan di kira membeli barang lepas dan di jual kembali dalam store yang bukan anak dari brand tersebut." Shesa menaikkan kacamatanya. "Kamu kalo lagi diskusi gini, keliatan banget smart nya," ujar Alvin memandangi kekasihnya. "Vin, kerja!" "Tapi aku seneng liatin kamu," kata Alvin lagi dengan tangan yang sudah mengusap-usap punggung Shesa. "Nanti ada yang tiba-tiba masuk, Vin." Shesa menyingkirkan tangan Alvin ketika pintu ruangan kerja Alvin terbuka. "Sayang." Suara manja itu datang lagi. Wanita dengan penampilan yang elegan itu
"Ada apa ini?" Suara bariton lelaki yang berumur sama dengan Chandra Adhiyaksa masuk ke ruangan Shesa cukup membuat Shesa merasa lega akan keadaan yang menegangkan tadi. "Ah, calon besan," ujar Chandra pada Budiman yang berdiri tak jauh dari dirinya. "Biasalah, kenalan dengan sekretaris Alvin, ternyata mantan model yang sering kita lihat di televisi." Chandra terlihat santai seperti tidak terjadi apa-apa. "Allvin belum kembali?" tanya Budiman pada Shesa yang masih berdiri terpaku. "Oh ... belum, Pak, sedang keluar dengan Ibu Soraya," jawab Shesa. "Kamu seperti melihat hantu," tanya Budiman lagi, melihat wajah Shesa yang masih ketakutan. "Iya, Pak ... maksud saya— saya sedang tidak enak badan."Shesa menjawab terbata-bata. Budiman melirik jam tangannya, "sudah bisa pulang, kalo memang sedang tidak enak badan." "Baik, Pak." Shesa mengangguk. "Kita ngobrol di ruangan saya saja," ucap Budiman pada Chandra lalu beranjak pergi
Alvin mulai melumat bibir Shesa yang basah karena kucuran air. Jari jemari Shesa melepaskan satu persatu kancing kemeja Alvin, hingga resleting celana yang Alvin kenakan. Alvin menyudutkan Shesa ke dinding, melumat bibir itu dengan liar, tangannya mencengkram kuat dada Shesa. Shesa mendesah saat tangan Alvin sudah turun menyusuri area intimnya. Tubuh Shesa bergerak tak beraturan, kucuran air itu menambah keeksotisan dua manusia yang sedang memadu cinta. Dengan satu gerakan, Alvin mengangkat tubuh Shesa dan mendudukkannya pada meja kamar mandi. Alvin semakin liar, lelaki itu mulai mengarahkan kelaki-lakiannya pada pusat inti Shesa. Lenguhan dan erangan yang menjadi satu memenuhi ruangan berukuran dua kali dua setengah meter itu. Alvin tetap mengayunkan tubuhnya semakin cepat, hentakan itu berulang kali Alvin berikan pada Shesa, cairan hangat itu sepertinya sudah leluasa masuk memenuhi tempat yang seharusnya. Shesa hanya mampu menggigit bi
"Ada yang lupa?" tanya Shesa membuka pintu, mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. "Kamu?" "Oh jadi di sini kalian tinggal." Wanita itu melenggang masuk ke dalam tanpa ada yang mengundang. "Mau apa?" "Gak ada ... aku cuma mau liat aja, tempat tinggal gundik calon suamiku." Soraya mengedarkan pandangan matanya ke semua ruangan. "Gak ada urusannya sama kamu, mending kamu keluar dari sini." "Untuk sekelas mantan model kayak kamu, boleh juga tempat tinggalnya ... di kasih sama pengusaha yang mana nih." "Jangan sembarangan kamu ngomong." "Pembelaan diri sepertinya ... lagu lama banget." "Keluar!" Shesa mengikat kimono satinnya, meminta Soraya keluar dari apartemen miliknya. "Berapa di bayar sama Alvin? Melayani dia di kantor dan di ranjang." "JAGA MULUT KAMU SORAYA!" "Kenapa? Takut kalo yang aku bilang benar?" "Terserah kamu mau bil
Alvin baru saja memarkirkan mobilnya di pekarangan besar kediaman orang tuanya. Rumah itu nampak sepi, hanya terlihat beberapa orang penjaga rumah, tukang kebun dan satu orang pembantu yang sedang menyapu di teras rumah "Mama sama papa sudah bangun, Mbak?" tanya Alvin pada pembantu rumah tangga itu. "Ada di ruang makan, Mas." Alvin melangkah masuk menuju ruang makan, dilihatnya kedua orangtuanya sedang berbincang seperti biasa. "Ma, Pa," sapa Alvin menarik kursi di samping Paula. "Vin ... tumben pagi udah kesini, gak ke kantor kamu?" "Nanti, Pa." "Tumben pulang, Mama kira kamu udah lupa jalan pulang," ujar Paula ketus. "Inget lah, Ma ... dari kecil Alvin tinggal di sini, gak mungkin Alvin lupa jalan pulang." "Pasti ada maunya," kata Paula lagi, sambil menyuapkan makanannya ke dalam mulut. "Mama memang ibu terbaik," ujar Alvin menyesap teh yang baru saja dia tuangkan di cangkir berwarna putih. "Ka
Shesa menepikan mobil di sebuah rumah asri, rumah milik Wulan ibunya, satu bulan yang lalu mereka bertemu dan berjanji akan saling mengunjungi. Ini kali kedua Shesa menginjakkan kakinya di rumah ini. Shesa perlahan membuka pintu pagar berwarna putih yang ukurannya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Terparkir dua mobil di pekarangan rumah milik sang Mama. Rumah itu terlihat sangat sepi, mungkin Wulan masih berada di restorannya pikir Shesa. Shesa mengetuk beberapa kali pintu rumah itu. Tak berapa lama suara kunci terputar pun terdengar, perlahan pintu itu terbuka. Seorang gadis berusia 20 tahun, dengan rambut hitam panjang se pundak, hidung yang mancung dan mata yang sama indah dengannya pun berdiri di ambang pintu itu. Lama mereka saling terdiam, seolah mengamati kemiripan di antara keduanya. Hanya umur saja yang terpaut tujuh tahun. "Kakak ... Kak Shesa? Kakak ...." Anggi memeluk Shesa yang masih berdiri terpaku tak percaya deng
"Kenapa?" tanya Shesa. "Kenal?" Shesa mengerutkan keningnya. "Uhuk ... uhuk ...." Pandu kembali meneguk air minumnya, mengusap bibirnya dengan tisue yang diberikan oleh Anggi. "Alvin? mungkin orang yang berbeda," ujar Pandu. "Tapi Alvin aku juga pernah menyebut nama Pandu, bisa jadi Alvin yang sama," kata Shesa lalu mengusap layar ponselnya. Shesa menunjukkan Poto Alvin dan dirinya saat di apartemen. "Kenal? Alvin ini?" "Alvin?" Pandu seketika terdiam. "Mas, kamu ditanya Kak Shesa, kamu kenal gak?" tanya Anggi. "Alvin Atmaja ... adik tiri aku," ujar Pandu. Shesa menyandarkan tubuhnya di kursi, dunia ini sungguh kecil, bertemu dengan orang yang satu sama lainnya saling berhubungan. "Mas, kamu serius?" tanya Anggi tak percaya. "Aku anak Budiman Atmaja dari pernikahan siri nya sebelum menikah dengan Mama Paula, mama nya Alvin." Anggi memijat keningnya, bagaimana mungkin bisa bertemu deng
"Dimana Shesa?" tanya Alvin pagi itu pada Pandu. "Ada di kamarnya," jawab Pandu. "Lo hutang penjelasan sama gue," ujar Alvin berjalan masuk ke dalam rumah Wulan. Keadaan di dalam rumah itu sudah sepi, waktu menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Anggi jelas saja sedang mengantar Wulan ke restorannya, sedangkan Pandu meminta diri untuk di rumah menunggu kedatangan Alvin. Alvin membuka pintu kamar itu perlahan, Shesa masih meringkuk di atas tempat tidur menghadap ke sisi yang lain. Melihat kekasihnya masih tertidur, Alvin ikut masuk ke dalam selimut, memeluk Shesa dari belakang. Menciumi leher jenjang kekasihnya dan mengeratkan pelukannya. Alvin tahu betul apa yang di rasakan Shesa. Dan dia akan berjuang untuk itu. Tubuh Shesa bergerak, merasakan lengan kokoh melingkar di pinggangnya. Mencium wangi yang menyeruak dari sosok yang dia rindukan. Shesa membalikkan tubuhnya, lelaki itu menatapnya, lalu tersenyum. "Sudah siang, ayo bangun
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer