“Jelek banget abis nangis.”Kaila menatap Angkasa dengan tajam. Sisa-sisa air matanya masih ada, tapi pemuda itu sudah memilih untuk mengejeknya, padahal gara-gara dia kecoak itu terbang ke arah Kaila. “Makan dulu baru beres-beres,” celetuk Angkasa karena melihat Kaila masuk ke kamarnya dan hendak membereskan kekacauan yang disebabkan oleh kecoak terbang itu. Kasurnya ketumpahan bubur ayam, bantal ada di sana-sini, buku-buku juga banyak yang jatuh dari meja. Kacau banget asli. Kaila menghela napas melihat kamarnya yang amburadul. Lagi pula, kecoak itu muncul dari mana sih?Gadis itu memutuskan untuk keluar kamar dengan membawa telur gulungnya. Ia duduk di depan Angkasa yang juga sedang memakan telur gulung.“Ini makan bubur gue aja,” ujar Angkasa dan menyodorkan bubur ayam yang dibeli oleh Kaila barusan.Gadis itu menggeleng seraya kembali menggeserkan mangkok bubur ayam. “Gak usah, itu punya lo.”“Kan lo yang beli, jadi ini punya lo,” balas Angkasa dan menggeserkan mangko
Cuaca yang awalnya terik, seketika berubah menjadi gelap.Semesta memang seaneh dan serandom itu. Sepuluh menit yang lalu, orang-orang mengeluh kepanasan karena sinar matahari menyerang mereka semua, namun detik berikutnya cuaca menjadi gelap dan angin datang dari segala arah. Kaila masih berdiri di tempatnya, langit sudah menggelap padahal baru beberapa menit yang lalu ia melihat cuaca yang terik. Angkasa juga masih duduk di tempatnya. Kedua orang itu menatap satu sama lain, beradu pandang dan tidak ingin memutusnya karena tidak ingin kalah satu sama lain. Padahal ini bukan kontes tatap mata. “Maksud lo apa?” tanya Kaila setelah mereka hanya diam dan membiarkan gorden balkon mengenai dirinya akibat angin yang deras, rambutnya juga melayang dan mengenai wajahnya. “Lo sadar kan kalo lo selalu nolak perhatian orang yang ditujukan untuk lo?” Angkasa memperjelas ucapannya barusan. “Dan lo tau dari mana kalo itu suatu bentuk perhatian?” tanya Kaila balik, nada suaranya seperti m
“Shit, kenapa dia di sini juga?”Dengan cepat Angkasa memalingkan wajahnya tapi sepertinya tidak begitu cepat karena Henni berhasil menangkap tatapan mata Angkasa. Kaila yang menyadari tingkah aneh Angkasa yang tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahnya, menatap pemuda itu dengan bingung. “Lo kenapa?” tanyanya. “Mantan gue ada di sini,” bisiknya karena jarak mereka berdua cukup dekat, tapi ternyata sang gadis masih tidak bisa mendengar. “Apa?!” ulang Kaila dan mendekatkan wajahnya. “Mantan. Gue. Ada. Di. Sini.” Angkasa menekankan tiap kalimatnya persis di telinga Kaila. Tepat ketika Kaila mendengar apa yang dikatakan oleh Angkasa, gadis yang menjadi pembicaraan mereka mendatangi mereka berdua dengan gurat wajah yang penasaran. Dia menatap Kaila dari ujung kepala ke ujung kaki dan Kaila juga melakukan sebaliknya. Gadis itu sedang menilainya, jadi ia juga ikut menilainya. Henni mengenakan dress selutut dengan lengan pendek, hampir tak berlengan tapi masih mending dibanding Kaila.
“Can I taste it?”Telunjuk Kaila masih berada di bibir Angkasa dengan pemuda itu yang hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan dari Kaila. Kesadaran Kaila hampir hilang tapi ia malah memajukan wajahnya, dan tanpa menunggu balasan dari Angkasa. Ia menempelkan bibirnya dengan bibir pemuda yang ada di depannya saat ini. Angkasa tidak bergerak seinci pun, dia mematung dan menatap mata Kaila yang terpejam. Ini bukan ciuman, tapi hanya kecupan karena bibir mereka hanya menempel selama beberapa detik dan kemudian Kaila tertidur di pundak Angkasa.Angkasa masih diam di tempatnya. Dia menghela napas dan melihat Kaila yang sudah tertidur dengan kepalanya yang bersandar di pundak Angkasa. “Damn Kai,” ujarnya kemudian. Lalu dia membenarkan posisi Kaila. Ia menatap Kaila yang sedang ditutupi oleh jaketnya. Tangannya bergerak dan merapikan rambut gadis itu. “Cantik,” ucapnya pelan.---Kaila terbangun karena merasakan sinar matahari yang sangat panas menembus kaca jendela kamarnya.Ia m
“Sa, kita rapat di mana?” Angkasa menoleh dan mendapati Angga, teman satu organisasinya yang menjabat sebagai Wakil Ketua BEM.Hari ini hari minggu, tapi Angkasa masih sibuk dengan kegiatan organisasinya karena sebentar lagi akan ada perlombaan besar yang diadakan oleh Universitas mereka dan akan mengundang banyak universitas lainnya. Kampus mereka sebagai tuan rumah, tentu saja banyak yang harus mereka persiapkan. Sebenarnya, persiapannya sudah dimulai dua bulan lalu. Angkasa pergi ke tiap-tiap fakultas juga mensosialisasikan hal itu serta turun tangan dalam merekrut pemain-pemain nantinya. Memberikan penjelasan pada Ketua BEM pada masing-masing Fakultas. Biasanya mereka akan rapat di kampus, kecuali hari minggu. Kalau hari minggu, biasanya mereka akan rapat di kafe, karena yang rapat hanya anggota inti saja. Angkasa menatap jam yang tertempel di dinding apartemen mereka. Jam menunjukkan pukul tiga sore.“Nanti lokasinya gue share,” ujarnya menjawab pertanyaan dari Angga.
Tamparan itu luar biasa keras.Kaila merasakan pipinya memanas karena tamparan yang baru saja dilayangkan oleh Hina. Dia memegang pipi kirinya dan merasakan sakit yang luar biasa menjalar di seluruh wajahnya. Popi berdiri mendekat, begitu juga Bang Yansa yang segera menghalangi Hina. Dia berdiri di depan Kaila dan menatap Hina tajam. Bukan hanya mereka, tapi pelanggan lain juga ikut ribut, bahkan Angkasa yang ada di dalam ruangan juga ikut mendengar kekacauan yang sedang terjadi di sana. “Lo jangan bicara sembarangan! Dasar anak simpanan!” teriak Hina.Kaila merasakan deru napasnya yang semakin berat dan cepat. Hina dan Nura adalah teman satu sekolahnya. Ah, bukan teman. Kaila tidak punya teman seorang pun ketika SMA, dia selalu dijauhi oleh orang-orang. Bahkan pacarnya juga meninggalkannya ketika ia tahu kalau Mama dan Papa Kaila tidak ada yang benar. Ia terkenal dengan sebutan anak simpanan dan anak tukang selingkuh. Tidak ada yang baik yang terjadi dalam hidup Kaila.
Angkasa baru saja masuk ke apartemennya tapi sudah disambut dengan teriakan dari Kaila. “Mama pernah gak sih mikirin perasaan aku?!” teriak gadis itu sedikit frustrasi di dalam kamar. Angkasa terdiam. Dia bahkan berhenti melangkah dan bergerak. Tangannya di dinding dan dia baru saja hendak melepas sepatunya, tapi berhenti karena mendengar teriakan kecil dari Kaila.“Mulai sekarang Mama bisa ngelakuin apa aja, aku gak peduli. Mama bisa jadi simpenan tiga om sekaligus aku juga gak peduli, tapi please jangan seret aku. Aku gak mau. Aku udah pergi dari rumah dan Mama yang ngusir, jadi aku mohon... jangan ganggu aku lagi.”Angkasa bisa mendengar kalau suara gadis itu bergetar. “Jangan bikin aku benci sama Mama,” ujar Kaila menangis. “Jangan bikin aku benci dunia hanya karena Mama, Papa, dan Kak Eric.” Angkasa masih berdiri diam di tempatnya. Tatapannya fokus ke pintu kamar Kaila yang tertutup rapat. Dia tidak tahu persis bagaimana rasanya, tapi ia ikut sakit hati mendengarnya. Me
“Gue kacau banget ya, Sa.”Kaila tertawa pelan, menertawakan hidupnya yang begini. Angkasa menggeleng. “Gak kok, gak ada yang kacau dari lo,” balas Angkasa.Kaila tidak berujar lagi, ia memilih untuk memakan habis burgernya. Angkasa juga tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Mereka berdua kembali hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. “Gue mau dijodohin sama om-om,” ujar Kaila tiba-tiba. “Om Erga namanya.”Angkasa diam. Dia tahu kalau Kaila masih ingin berbicara.“Gue pernah sekali ketemu dia karena cowok Mama temenan sama dia, jadi dia pernah main ke rumah. Dan..” Kaila tertawa getir. “Sa, Mama gue mau nikahin gue sama om-om yang umurnya udah 50 tahun. Lucu banget gak sih?” ujarnya tertawa, tapi air matanya tidak bisa bohong.Air matanya berkumpul di pelupuk mata, membuat penglihatannya menjadi tidak jelas karena air yang menggenang dan kalau Kaila berkedip satu kali saja, air mata itu akan jatuh.Angkasa mengulurkan tangannya dan memegang tangan Kaila. Ia men
"Mama tau gak kalo mereka berdua tinggal dalam satu apartemen yang sama?" Mama Angkasa mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan yang baru saja diajukan oleh Henni. "Siapa?" tanya Mamanya Angkasa. "Siapa yang tinggal dalam satu apartemen yang sama?" ulangnya lagi. "Angkasa sama Kaila, Ma," jawab Henni melirik dua orang yang ada di samping Mama. "Mereka memang tinggal dalam satu gedung apartemen, memangnya kenapa?" Henni menghela napas terlihat sangat kesal. "Bukan gitu Ma maksudnya," balasnya. "Mereka tinggl di unit yang sama. Satu ruangan." Penjelasan dari Henni tadi berhasil membuat Mamanya Angkasa melirik dua orang yang ada di sampingnya, ia bisa melihat kalau Angkasa dan juga Kaila terlihat sangat gugup dengan ucapan Henni barusan. Menunjukkan kalau yang Henni katakan memang benar. Mereka tinggal dalam satu apartemen yang sama. "Oh, itu saja?" tanya Mamanya Angkasa yang membuat ketiga orang itu mengangkat alisnya. "Kalo itu aja, yaudah, silakan pergi."Bukan hanya Henni yan
Angkasa berjalan menghampiri Kaila yang duduk sendirian di ujung sana."Hei, kenapa sendirian?" tanyanya menyentuh pundak Kaila.Kaila tampak terkejut. Ia menggeleng dengan cepat. "Gak papa kok, pengen sendirian aja," balasnya sekenanya.Angkasa mengangguk dan duduk di samping Kaila. "Masih gugup?" tanyanya.Kaila mengangguk. "Banget, malah makin gugup," sahutnya. "Aku gak kebiasa banget dikelilingi orang banyak kayak gini, mana baik-baik semua lagi."Angkasa bingung harus merasa senang atau menyesal.Ia senang karena keluarganya menyambut Kaila dengan hangat dan baik, tapi ia juga sedikit menyesal karena secara tidak langsung dia memaksa Kaila keluar dari zona nyamannya.Ia tahu Kaila harus mulai belajar perlahan-lahan, tapi ia masih merasa tidak enak."Maaf ya," ujar Angkasa kemudian. Ia memutuskan untuk meminta maaf.Kaila mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Kenapa malah minta maaf?" tanya Kaila bingung."Kamu pasti terpaksa ke sini ya," ujarnya. "Aku maksa kamu banget buat ikut k
Sedari tadi jantung Kaila berdetak dengan sangat cepat, terlebih lagi ketika dia sudah melihat tempat yang mereka tuju.Gedungnya berada tepat di depan, dan Kaila merasakan jantungnya semakin menggila. Rasanya ia ingin pergi saat ini juga. Dia masih belum bisa menghadapi orang-orang, terlebih lagi itu adalah keluarganya Angkasa. Seakan mengerti dengan apa yang dikhawatirkan oleh Kaila, Angkasa menggenggam tangan pacarnya dan mengelusnya pelan. "It's okay, ada aku, Kai," ujarnya menenangkan Kaila. Angkasa tahu kalau Kaila pasti sangat tegang dan gugup saat ini. Ia bisa melihatnya dengan sangat jelas. "Keluarga aku pada baik kok, kamu gak usah khawatir."Kaila masih tidak bisa tenang meskipun sudah mendengar kalimat dari Angkasa. Kaila berpikir, kalau keluarganya tahu mereka berpacaran, artinya mereka tidak lagi backstreet dong? Atau backstreetnya sama anak-anak kampus saja?Ah, Kaila pusing. Dia ingin pergi.Ia ingin lari saat ini juga. "Ayo," ajak Angkasa. Telat. Kaila tidak a
"Lho, kok udah pulang?" tanya Kaila ketika masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Angkasa yang sedang duduk di sofa sembari menonton Upin & Ipin. "Iya nih, agak cepet, soalnya besok juga bakalan ke sana lagi," balasnya dan menyuruh Kaila untuk duduk di sampingnya. "Lah, kalo mau ke sana lagi ngapain pulang deh?" tanya Kaila bingung seraya mendudukkan dirinya di sofa samping Angkasa. Angkasa tidak menjawab beberapa saat. Dia mengambil tangan Kaila dan menggenggamnya, membuat Kaila mendadak bingung dengan tindakan pacarnya barusan. Pasalnya dia memegang tangan Kaila dan menarik napas panjang. "Apa?" tanya Kaila. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya lembut. Kaila bisa merasakan kalau Angkasa sedang ingin mengatakan sesuatu tapi terlihat ragu. "Besok kan sepupu aku nikah," ujarnya. Kaila mengangguk. "Iya, terus?" "Kamu mau ikut gak?" tanyanya. "Kondangan bareng aku, Mama juga mau ketemu kamu." Angkasa tidak bohong mengenai Mamanya yang ingin bertemu dengan Kaila. Tadi Angkasa bert
"Aromanya enak banget nih brownies." Angkasa menghampiri Kaila yang berdiri di depan oven, menunggu browniesnya matang. "Iya kan, enak kan baunya," sahut Kaila penuh semangat karena ia sedari tadi memang sudah pengen makan tapi belum matang. "Tapi gak usah diliatin terus-terusan gini dong, nanti jadinya makin lama," ujar Angkasa. "Mending nonton aja deh selagi nunggu." Angkasa menarik Kaila menjauh dari sana, dan dengan berat hati Kaila menurut meskipun pandangannya masih pada ovennya yang sedang menyala dan tersisa lima belas menit lagi sebelum matang merata. "Nonton apa emang?" tanyanya setelah duduk di sofa. "Eh, tapi gimana kalo kita nonton drakor aja?" usul Kaila. "Drakor apaan?" tanya Angkasa menoleh. Remot di tangannya sudah siap untuk mencari drama yang akan Kaila sebut. "King Two Hearts, mau gak? Aku pengen rewatch," ujar Kaila. "Semalem tiba-tiba keinget sama drakor lama itu. Jadi kangen." Sepanjang Kaila berbicara, sepanjang itulah Angkasa tersenyum. Ia benar-benar
Angkasa kembali ke apartemennya di jam sepuluh malam dan belum mendapati Kaila di sana. Ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menelepon Kaila, mungkin saja gadis itu ingin ia menjemputnya, tapi baru saja ia hendak menelepon Kaila, suara langkah kaki Kaila terdengar. Angkasa memilih untuk bersembunyi dan berniat untuk mengejutkan Kaila. Dia bersembunyi di dekat pintu toilet luar dan melihat Kaila yang sedang melepas sepatunya. "Lho, belum pulang ya?" ujarnya pada diri sendiri ketika melihat apartemen mereka masih gelap, tanpa tahu kalau Angkasa sedang bersembunyi dan siap untuk mengagetkannya. Angkasa berjalan perlahan, mendekat pada Kaila yang sedang membelakanginya. Dengan kecepatan yang tidak begitu cepat, Angkasa memeluk Kaila dari belakang. Kaila menjerit kaget dan tangannya memukul sembarangan, tepat ke kepala Angkasa dan membuat pemuda itu mundur kesakitan. "Kai, ini gue," ujarnya dengan tangan yang memegang kepalanya yang baru saja kena pukul oleh pacarnya sendir
Angkasa kembali ke apartemennya setelah berurusan dengan Altar dan Popi yang mengajukan banyak pertanyaan. Ia melihat Kaila yang sedang memainkan ponsel di kamarnya. Matanya masih sayu karena mengantuk tapi dia berusaha untuk membuka matanya, dan sesekali ponsel itu hampir terjatuh mengenai wajahnya. "Tidur lagi aja kalo masih ngantuk," ujar Angkasa memasuki kamar Kaila. Kaila tertawa kecil. "Lo dari mana?" tanyanya. "Beli bubur ayam nih," sahutnya dan menunjuk dua wadah bubur ayam yang ada di atas meja. "Sana cuci muka, abis itu kita makan."Kaila mengangguk dan mengangkat tangannya, meminta bantuan pada Angkasa untuk menariknya berdiri. Angkasa terkekeh dan menarik tangan Kaila hingga gadis itu langsung berdiri di depannya. Kaila mencium pipi Angkasa singkat dan pergi ke toilet setelahnya. Senyum mengembang di wajah Angkasa. "Dasar."Dia kembali ke dapur dan membuka bubur ayam untuk mereka berdua. Tidak lama kemudian, Kaila keluar dari toilet dan menghampiri Angkasa."Lo abis
"Lho, Kak Kai juga tinggal di sekitaran sini sih." Angkasa mulai merasa gugup karena percakapan dua orang di depannya saat ini, terlebih lagi ketika Popi menanyakan apartemen Angkasa di mana. "Apartemen Kak Asa yang mana emang?" tanyanya. Angkasa tidak menjawab, tapi Altar menjawab mewakili dirinya. Ah, ia menjadi menyesal keluar dari apartemennya. "Itu," jawab Altar dan menunjuk gedung apartemen yang disewa oleh Angkasa. Popi membulatkan matanya. "Kak Kai juga nyewa apart di gedung itu lho," balas Popi yang tidak percaya kalau keduanya berada di gedung yang sama. "Ah, pantes kalian berdua deket ya, ternyata satu gedung apartemen," ujar Altar mengangguk dan menyenggol tubuh Angkasa. Angkasa terkekeh pelan. "Tapi jarang ketemu sih kami, itu juga gue baru tahu dua bulan yang lalu kalo ternyata dia tinggal di sini." "Oh, padahal Kak Kai udah cukup lama di sini katanya, sekitar hampir enam bulan sih kayaknya, apa lima bulan ya, lupa gue," balas Popi menatap gedung apartemen
Kaila baru saja duduk dan hendak beristirahat ketika mendengar Popi yang memanggilnya. "Kak," panggilnya. "Kak Kai." "Ya?" sahut Kaila sedikit berteriak karena ia masih berada di belakang sedangkan Popi ada di depan sana. "Sini dong, mumpung kafe sepi nih," suruhnya. "Ada Kak Asa sama Kak Altar juga ini," lanjutnya dengan suara yang sedikit nyaring. "Ah iya," balas Kaila dan berdiri dari duduknya. Dia melepas sarung tangannya yang masih terpasang di tangan dan berjalan ke depan dengan mulut yang menguap. "Ngantuk Bu?" tanya Yansa terkekeh. Kaila mengangguk. "Iya, ngantuk banget dah," jawabnya dan duduk di dekat Yansa padahal Angkasa ada di meja yang berada tidak jauh darinya. "Kok duduk sini?" tanya Yansa. "Duduk sana deket Angkasa, Altar dan Popi," suruhnya. "Kok gak boleh gue duduk di sini sih?" tanya Kaila. "Ya ampun," balas Yansa. "Ya udah duduk sini aja, temenin gue." Belum juga satu menit Yansa ngomong begitu, tapi Popi sudah menyeret Kaila untuk duduk di samping Angka