Ganes berlarian kecil di sisi lain jalan. Kedua tangannya menggenggam erat belanjaan yang beratnya bukan kepalang.Alih-alih menghentikan angkutan umum untuk mempermudahnya tiba di tujuan, ia memilih berjalan kaki sebab lupa meletakkan di mana dompetnya terakhir kali.Bukan tanpa sebab. Jika bukan karena perintah atasan dengan gold card, ia tak akan mau disuruh tanpa diberi uang saku. Terlebih, karena yang memberinya perintah adalah sang direktur. "Sialan itu direktur! Mana hp sama dompet lupa di mana naro! Katanya aja barangnya enggak banyak! Enggak taunya seberat galon buat masing-masing tas belanjaan! Niat bener ngerjainnya!"Peluh membanjiri kening Ganes yang mulai licin. Napasnya mulai tersengal-sengal. Tak adanya angin yang berembus, makin membuat Ganes merasa kepanasan. Ditambah dengan terik mentari yang tiada habisnya.Ganes telah melewati belokan terakhir sebelum tiba di rumah sakit saat diletakkannya kedua tas belanjaan di aspal. Ia duduk berselonjor kaki di bahu jalan.Ali
Usai Ganes menyebut nama sang direktur utama seenak jidat, alih-alih mendapat dompet dan ponselnya yang hilang, ia malah dibekap oleh Faruk, kawan sekaligus supervisor di tempatnya bekerja. Ia membeliak, lantas mengangguk saat Faruk mengisyaratkan untuk tetap diam."Jangan sembarangan ngomong, Nes! Sadar enggak sih, kamu? Dia itu direktur utama. Namanya bak larangan untuk disebut dengan semena-mena! Buat bertatapan aja udah kayak larangan minum miras, apalagi maki dia, Nes!"Ganes membuang muka, mengempas tangan Faruk yang sebelumnya membekap mulutnya kuat-kuat."Aku enggak peduli, Ruk. Kalo cuma masalah kerjaan yang dibikin rumit, aku enggak masalah. Aku bisa terima! Tapi, beda lagi saat apa yang dipermainkan oleh si Jendra adalah uangku! Aku mengumpulkannya siang dan malam, diterpa panas dan hujan! Dia tak berhak untuk mencuri satu rupiah pun dariku, Pak Faruk!"Hampir saja Ganes beranjak, meninggalkan Faruk yang diperam gelisah saat tiba-tiba saja terdengar ucapan seseorang di loro
Ganes tengah terbahak-bahak setelah mengingat apa yang ia masukkan dalam bungkusan mi ayam dan es kelapa muda yang ia berikan pada Jendra. Alih-alih memberikan makanan layak untuk membangkitkan semangat, ia memilih untuk membalas dendam. Telah ia campurkan banyak sambal dalam mi ayam, lantas banyak garam pada air kelapa muda.Beruntung, penjual mi ayam yang kala itu tengah berbincang dengan orang lain tak melihat kelakuannya yang absurd. Tak adanya bukti dan saksi mata, akan membuatnya terbebas dari banyak praduga.Meski ia yakin, Jendra tak akan melakukan hal lain yang bisa mencemarkan nama baiknya sendiri, tetap saja ada rasa was-was yang sedari tadi menghantui. "Kalo dimakan ya syukur, dia kena batunya. Enggak pun, enggak papa. Aku rela."Sembari terus melahap mi ayam yang nikmat, Ganes terus tertawa. Tawa yang bahkan tak pernah ia sungging selain pasca mendapatkan uang lebih banyak dari yang diharapkan.Diana, sang tetangga yang paham betul bagaimana watak Ganes pun hanya bisa ber
Ganes mengernyit. Ia telah mendekat di balik bangku yang dekat dengan suara yang tengah mempertanyakan mengenai hubungannya dengan Rajendra. Ditundukkannya kepala, lantas memberi isyarat pada Diana untuk duduk di sampingnya.Diana yang baru usai memesan, langsung duduk sembari bertanya-tanya. Hampir saja ia melempar tanya jika Ganes tak langsung meletakkan telunjuk di depan bibir."Dengarkan saja. Coba klik fitur rekaman di ponsel."Permainan Ganes yang diucapkan dengan nada rendah itu membuat Diana langsung bertindak. Diberikannya ponsel pada Ganes, lantas turut mencoba mendengarkan.Ganes telah mengangkat ponsel Diana setinggi telinga, berusaha bersandiwara seolah-olah tengah menghubungi seseorang nun jauh di sana."Setauku, Rajendra memang tak pernah punya hubungan baik dengan perempuan. Bahkan dengan ibunya. Ada sesuatu yang mungkin sedang ia pikirkan atau bahkan ada sesuatu yang mungkin menjadi momok tersendiri baginya. Yang jelas, dia juga enggak sakit seperti yang banyak orang
Ganes tengah menatap nyalang pria yang ada di hadapan. Dengan tangan mengacung di depan wajah, telah ia berikan pria itu sebuah peringatan. Dianggukkannya kepala sembari merampas lagi uang yang telah diambil dari tangan Diana sebelumnya."Aku memang bukan perempuan yang berani melawanmu secara fisik dan mental, tapi aku percaya, bukti yang kupunya lebih penting dari segalanya!"Pria yang mengaku bernama Kelvin itu terperenyak. Ia menunduk, lantas mencoba bernegosiasi pada Ganes dengan suara yang tertahan."Kita bisa bicarakan ini dengan baik, Mbak."Ganes kembali naik pitam. Bukan tanpa sebab. Ia melihat sendiri, bagaimana pewawancara itu mencoba mengelabui Diana dengan menepuk pundak sang tetangga secara pelan, berulang-ulang.Beruntung, sejak Kelvin, pria yang katanya menduduki kursi manager itu datang, Ganes langsung mengabadikan setiap momen yang ada. Terlebih, saat melihat wajah yang katanya punya posisi penting, sama sekali tak mencerminkan kewibawaan."Ngomong baik-baik? Apa ka
Rajendra tampak kebingungan. Entah kenapa, ia merasa tak nyaman. Terlebih setelah membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Gracia."Pak, kayaknya besok aku enggak masuk. Aku kecopetan di jalan Sudirman. Kakiku keseleo. Ini masih nunggu ambulans datang."Jendra tahu betul, daerah yang disebutkan oleh Gracia masih berada di kawasan sekitar rumah. Didongakkannya kepala, lantas segera bergegas keluar rumah.Dengan motor dengan CC besar dan jaket hitam dengan logo tiga garis besar membentuk segitiga, ia keluar, membelah jalanan tengah kota demi menyisir tepian jalan. Meski lajunya telah dipelankan, tetap saja ia belum menemukan sosok Gracia.Hampir saja ia tiba di persimpangan terakhir menuju kediamannya saat melihat Gracia berada di seberang jalan sembari meringis kesakitan. Dengan sigap, Jendra menghentikan laju motornya di jalur berbeda.Setalah men-standart-kan motor, Jendra menyeberang jalan. Didekatinya Gracia yang tengah kesakitan. Dengan gagahnya, ia berlutut, lantas meraih kaki Gr
Gracia gemas. Ia berdecak tepat saat Jendra memutuskan untuk melihat ke depan rumah. Lantas, ia terkejut bukan kepalang saat menyadari bahwa sang direktur utama telah membawa banyak petugas kesehatan."Ini dia, Pak," ujar Jendra sembari menunjuk pada Gracia.Sadar bahwa rencananya mulai berantakan, Gracia mengambil duduk di sofa. Diraihnya ponsel yang ada di nakas dengan susah payah setelah menggeser pinggul demi memberi ruang pada petugas kesehatan."Diangkat kakinya, Mbak. Sini," pinta petugas kesehatan perempuan. Telah ditepuknya paha agar kaki Gracia bisa dilihat dengan seksama.Sayang, Gracia menggeleng dengan pelan. Nada bicaranya terlihat gugup dengan keringat yang bercucuran.Melihat itu, Jendra yang tahu betul bahwa Gracia tampak terkejut bukan kepalang, langsung menjelaskan duduk perkaranya."Katanya ada panggilan darurat dari sini. Itu sebabnya mereka kemari. Kamu kan yang telepon? Sorry, aku enggak kepikiran juga sih buat manggil mereka ke sini. Tapi kalo dipikir-pikir ema
Ganes mulai kembali bekerja saat jam baru menunjuk ke angka enam lebih empat puluh lima menit. Dipijatnya pelipis sebab merasa pening. Baru kali itu, ia merasa begitu lelah setelah semalam suntuk nge-bid. Bukan tanpa sebab. Ia ingin mengembalikan uang yang didapat dari usahanya bungkam dan memutarbalikkan fakta di depan sang direktur utama. Ia tak ingin merasakan sumpah serapah sama seperti yang ia lakukan pada pria yang hampir saja berhasil menipu Diana semalam.Dari kamar mandi, berkali-kali ia mencoba mengintip pada ruangan di ujung lantai tiga. Ada tanggungan dan hutang yang ingin segera dilunasi tanpa menunggu waktu lebih lama. Bukan tanpa sebab. Jika masalahnya karena uang, ia takut berubah pikiran.Ganes baru saja selesai nge-mopping lantai, juga membersihkan tiap kaca pada wastafel kamar mandi. Dengan dada yang berdentam-dentam tak keruan, ia mencoba menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum sang supervisor tiba.Tepat setelah melipat papan peringatan akan lantai basah, sosok
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka