Share

Mas Pras 8

Author: Nendia
last update Last Updated: 2023-03-17 10:58:48

Part 8. Grup Goib

Ke lautan lepas mataku tertuju. Hamparan air sejauh mata memandang. Ombak berburu menerpa karang. Membawa suara deburan yang menenangkan. Di sepanjang pantai selatan memang ombak selalu besar, konon katanya ada Ratu Kidul di tengah lautan sana. Itu cerita orang tua jaman dulu, sekarang aku tahu ombak besarnya dikarenakan laut selatan adalah samudera.

Hembusan angin menghantam tubuh, membawa turut serta angan-anganku melayang jauh. Ke masa bertahun-tahun lalu.

Prasetio hanyalah anak dari keluarga miskin, yang berada di lingkungan keluarga kaya. Tidak mudah menjalani semuanya, karena si miskin di antara keluarga mayoritas kaya hanyalah menjadi orang yang dikucilkan. Lulus sekolah aku tidak punya uang sepeser pun, sedangkan tidak mau hidup melulu seperti itu, harus ada perubahan. Ada tawaran menarik dari Bulik Retno, adik bungsu bapak. Ia menawarkan aku tinggal di sana sebelum mencari pekerjaan.

Senang sekali aku menyambutnya, tapi kala itu tidak punya uang sepeser pun, untuk berangkat ke Jakarta aku menjadi kuli bangunan sampai uang terkumpul dan bisa berangkat ke kota. Sebulan dua bulan membantu Bulik Retno, bekerja di rumah makan miliknya sebagai tukang bantu-bantu. Dari pagi sampai sore bekerja tanpa diberi upah, tapi santai saja karena merasa punya harapan yang besar, dapat bekerja di pabrik seperti yang lain.

Aku sering dimaki-maki karena hal sepele, seperti saat menumpahkan galon ke dispenser. Mana ada di rumahku dispenser, pertama kali melakukan pekerjaan itu airnya berceceran ke mana-mana, aku dimarahi habis-habisan. Dan banyak lagi hal sepele yang selalu dibesar-besarkan.

Sebulan dua bulan ternyata malah berlangsung sampai setahun, tidak diberi upah hanya makan saja. Itu pun dia masih sering mengungkit kalau aku hanya numpang tinggal di sana. Parah memang.

Sekarang aku mengerti, kalau kita kaya, orang lain pun bisa jadi saudara. Sedangkan kalau kita miskin, saudara pun jadi orang lain. Dulu sering menahan diri kalau ingin melawan, sekarang tidak. Aku bisa berdiri sendiri, makan enak dari hasil keringat sendiri. Untuk apa berlama-lama mengalah, bukankah mereka juga harus dibuat sadar.

Kuambil kembali ponsel yang kugeletakkan di samping tempat duduk. Ingin melihat berapa banyak ikan yang muncul setelah kulempar pancingan tadi. Dan, ‘wow’ tiga puluh delapan pesan baru di grup.

Diawali oleh chat dari Bulik Retno. Dalam grup keluarga ini memang dialah yang paling dituakan. Satu-satunya adik bapak yang masih menggunakan WA, usianya sekitar lima puluh tahunan, sedangkan yang lain walaupun gabung di grup WA tapi sudah jarang aktif.

[Di mana tenggang rasamu Pras. Saudara lagi sakit malah kirim video liburan.]

Aku jadi tersenyum membaca itu. Dia berbicara tentang tenggang rasa, seakan mereka paling pandai mengerti perasaan orang lain. Padahal kalau bagian keluargaku yang sakit, mereka cuek saja.

[Di keep sendiri saja Pras, tidak usah dipamerin.]

Respons kedua dari anak Bulik yang lain. Memang benar cermin saja tidak cukup untuk berkaca diri. Semut diujung lautan terlihat gajah di pelupuk mata tidak terlihat, begitu kata pepatah. Mereka tiap jalan, tiap liburan, makan-makan enak selalu pamer foto, aku yang baru sekali ini dibilang ‘pamer’.

[Iya nih Mas Pras. Seperti baru saja main ke pantai]

[Memang baru kali.]

[Mbo ya keterlaluan, Paklik sedang sakit, sudah sudara tetangga pula.]

[Bukannya bantu Bulik di rumah sakit malah liburan.]

[Mamakmu itu tidak sadar atau bagaimana, sering dibantu tapi tidak tahu diri.]

Setelahnya banyak lagi yang melontarkan argumen mengarah pada bullyan. Tidak tertinggal Ambar dan Hartanto ikut berkomentar juga.

[Mas Pras keterlaluan, ibuk minta tunggui di rumah sakit malah liburan]

Lanjut komentar dari Hartanto.

[Semakin belagu kamu Pras].

Aku menggeleng. Keluarga ini. Kapan mereka sadar? Atau mungkin tidak akan pernah. Baiklah setelah semua muncul, baru kutekan huruf-huruf sebagai balasan.

[Coba kalau posisinya dibalik, ibuku yang sakit, bagaimana cara kalian? Adakah namanya tenggang rasa. Tidak! Tenggang rasa tidak berlaku untuk ibuku.]

[Maksud kamu apa Pras?] Bulik Retno kembali membalas.

[Maksudku begitulah cara kalian memperlakukan ibuku, apa tidak sadar?]

[Ngada-ngada kamu Pras]

[Tidak mengada-ada Bulik, itu KENYATAAN]

Setelahnya tidak ada yang membalas lagi, yang muncul malah Mas Abimanyu, kakakku.

[Kamu benar, Pras. Sekali-kali bawa Mamak jalan-jalan, tidak perlu memikirkan orang lain. Titip salam untuk Mamak dan keluarga.]

Mas Abi tentu saja sudah khatam bagaimana peranan adiknya-adiknya bapak. Sayangnya keadaan ekonominya juga tidak baik, jadi diam saja tidak bisa berbuat apa-apa.

Baru kali ini aku berani bersuara. Tidak suka sebenarnya harus melawan mereka, buang-buang waktu saja. Tapi ini harus kulakukan agar mereka sedikit menahan diri saat akan menghina Mamak. Sekarang Mamak punya anak yang siap pasang badan.

***

Keputusan untuk berangkat esok pagi sudah bulat. Semoga tidak ada halangan lagi. Khawatir sebenarnya meninggalkan Mamak sendiri, kasihan harus kesepian di masa tuanya.

Dua kardus bekas indomie berisi oleh-oleh sudah dipersiapkan, aura perjalanan sudah di depan mata.

Mamak duduk di karpet dengan kaki selonjoran, ekspresi bahagia selepas jalan-jalan tadi berubah menjadi gurat lelah.

"Sebaiknya Mamak ikut sama Pras, dari pada di sini sendiri. Mendoakan bapak bisa dari mana saja." Lagi-lagi aku membujuk wanita yang masih memakai mukena itu. Tasbih masih melekat di tangannya.

Aku beserta kedua kakak tinggal di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Andai Mamak mau ikut tidak perlu jauh dari ketiga anak lelakinya.

"Kalau rumah dibiarkan kosong, akan cepat rusak, Ragil." Mamak beralasan kembali. Irisnya tertuju pada layar.

"Biarkan saja, toh rumah sudah jelek," tandasku seraya mengangkat gelas kopi, dan meminumnya perlahan.

"Memangnya kalau Mamak ikut sama kamu mau tinggal di mana? Kamu saja tinggal di ruko."

"Kita ngontrak rumah."

"Bukannya kamu mau buka toko ke tiga, lagian kalau bisa jangan ngontrak terus. Lebih baik beli, biar punya sendiri."

Sejenak aku berpikir, mencari solusi terbaik. Membiarkan suara televisi mendominasi. "Kalau begitu ikut Mas Abi atau Mas Tio. Dari pada di sini kesepian, di sana tinggal sama anak cucu," ucapku merasa mendapatkan ide terbaik.

"Ragil, Ragil. mereka itu sudah berumah tangga, sudah punya anak istri. Tinggal di rumah kecil. Kalau Mamak numpang di sana, hanya akan merepotkan. Lebih baik di sini, luas, adem, tenang. Selama Mamak masih sehat Mamak tidak mau merepotkan anak mantu."

"Kalau Pras punya rumah besar Mamak mau ikut?"

"Ya, kalau istri kamu boleh, Mamak mau ikut." Kini Mamak melihat padaku.

"Nanti Pras cari istri yang sayang sama Mamak."

"Aamiin." Mamak mengangguk.

"Doain Pras punya rumah yang besar di Jakarta," lanjutku.

"Aamiin, mudah-mudahan rumah kita yang dulu terjual bisa terganti dengan yang lebih bagus," tandas Mamak.

Beginilah untungnya orang tua masih ada, walau tinggal ibu saja. Minta doa tidak harus jauh-jauh. Sambil ngopi pun jadi.

"Tapi Pras tidak suka kalau Mamak dihina terus sama keluarga bapak. Mamak melawanlah jangan diam saja," pintaku. Kalau aku tidak di sini, siapa yang akan membela Mamak. Mana mulut mereka pedas sekali.

"Kalau itu Mamak sudah kebal Pras, Wes ora po-po. Memang Bulikmu seperti itu. Tapi kalau sudah kamu lawan biasanya mereka jadi takut."

Memang benar kalau sudah ada huru-hara biasanya mereka sedikit tahan diri. Walau pun ujung-ujungnya seperti itu lagi.

"Kalau ada apa-apa bilang, biar Pras telepon dari sana," ucapku, lalu kami berbincang panjang. Tentang ini dan itu.

Setiap malam, sebelum tidur kami sering ngobrol seperti ini. Mungkin ini jarang dilakukan oleh anak laki-laki, tapi karena dari kecil paling dekat dengan Mamak rasanya biasa saja.

Mamak memutuskan masuk kamar setelah waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku masih menonton TV, menikmati kopi dan singkong goreng. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar cukup berisik.

Cepat kubuka, entah siapa yang datang malam-malam, mengetuk pintu berisik tanpa etika. Saat hendel kutarik ternyata wajah garang itu yang ada di depan rumah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
lili kencana riani
lanjuuuuut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 9

    Part 9 Kartu AS Bulik Hasma Mamak memutuskan masuk kamar setelah waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku masih menonton TV, menikmati kopi dan singkong goreng saat tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar cukup berisik. Cepat kubuka, entah siapa yang datang malam-malam, mengetuk pintu berisik tanpa etika. Saat hendel kutarik ternyata wajah garang itu yang ada di depan rumah. "Semakin belagu saja kamu Prasetio, mentang-mentang meminjamkan uang segitu. Nih uangmu kukembalikan!" Hartanto melempar segepok uang ke dadaku, lantas uang itu terjatuh di lantai. Dia berbicara dengan nada tinggi. Mamak yang baru masuk kamar langsung ke luar lagi. "Anto? Kapan pulang?" tanya Mamak dengan ekspresi kaget. Aku mengambil segepok uang lima puluh ribuan yang jatuh di dekat kaki. Pinjamnya mohon-mohon, bayarnya di lempar. Walau tergeletak di lantai benda ini tetap berharga. "Alah tidak penting kapan aku pulang. Kalau bukan karenamu bapakku tidak akan sakit." Pria tinggi besar itu men

    Last Updated : 2023-03-17
  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 10

    Part 10. Pras Pergi Setelah keributan itu aku jadi lebih tenang untuk meninggalkan Mamak. Kalau ada apa-apa tinggal telepon saja Suroto. Biar kubuka semua kartunya. Mengingatkan orang sombong itu kadang tidak cukup dengan nasihat saja. Apa lagi nasihat dari orang miskin, jangankan didengar menengok saja dia tidak akan mau. Harus seperti ini, duit dulu berbicara baru dia mau berkaca. Mamak boleh memilih sabar bertahun-tahun diperlakukan seperti itu. Tapi tidak bagiku. Kenapa? Karena kesabaran Mamak pun tidak bisa membuat mereka sadar. Yang ada semakin menginjak saja. Aku sudah kenyang sekali dengan sikap menyepelekan, hinaan, cibiran. Di luar sana orang-orang dibully oleh orang lain. Aku? Sama keluarga sendiri. Itulah sebabnya aku memacu diri ... ‘harus kaya’. Akan kutunjukkan pada mereka, suatu hari nanti bisa satu level dengan mereka. Siapa tahu dengan aku kaya mereka bisa melihat Mamak dengan kedua mata. Aku mau sebelum Mamak kembali pada pangkuan pencipta, semua adik iparnya bi

    Last Updated : 2023-03-17
  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 11.a

    Part 11. Wanita di Kamar Pras Kendaraan melaju terus menjauhi Gunungkidul, meliuk di bukit bintang sampai turun ke Jogja. Alunan musik dari Sheila On Seven menemani. Dulu, pulang pergi naik motor mio butut, malam-malam kehujanan di jalanan. Kalau berangkat memang selalu pilih malam hari. Pulang pun tidak bisa sering, paling cepat setahun sekali ketika lebaran saja. Pernah juga bertahun-tahun tidak pulang, saat awal-awal tinggal di sana. Wah, seru sekali setiap mudik lebaran itu, karena ribuan kendaraan motor berangkat searah. Kalau kelelahan, istirahat, tidur di mana saja. Sekarang pertama kalinya pulang pergi pakai mobil sendiri, kadang masih merasa tidak percaya, tapi inilah jerih payah selama ini. Andai aku seperti katak dalam tempurung, sudah nyaman kerja di pabrik, cukup pendapatan bisa memenuhi kebutuhan, mungkin kehidupanku hari ini seperti kakak-kakak. Punya rumah subsidi, kendaraan cicilan, ngasih ke orang tua pikir-pikir dulu. Beruntung dulu diberi ujian, punya cambuk untu

    Last Updated : 2023-03-18
  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 11.b

    “Supri, sialan lu, ngapain bawa cewek ke sini?” sergahku saat kepalanya nongol di tangga.“Mas sudah lihat?” Dia malah bertanya.Aku mengangkat dagu, tangan melipat di dada dan bersilang kaki. Menunggu jawaban.Supri memainkan kuping, duduk di kursi hitam kecil yang ada di samping sofa. “Sori, sebenarnya dia adikku, Mas.” Ia berbicara pelan.“Ta-tapi tenang saja. Malam ini kucarikan kos-kosan.” Pria putih berpipi cabi ini menunjukkan telapak tangan.Aku menghela napas panjang. Sukurlah ternyata bukan wanita simpanannya, meski begitu tetap ini keterlaluan. Memakai kamarku tanpa meminta izin."Dari kapan ade lu di sini? Tidur di kamar gue gak bilang-bilang.""Maaf Mas, kalau bilang dulu takut gak diizinkan. Jadi minta izin belakangan, biar nginep dulu." Dia meremas rambut, alisnya menegang hampir bertautan. Merasa bersalah, mungkin."Hih! Bisa lu bermain politik."Supri melambaikan tangan ke arahku. Aku nengok ke sisi lain. Adiknya Supri berdiri di belakangku."Kenalin de, ini bos Aa."

    Last Updated : 2023-03-18
  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 12.a

    Part 12. Entakan Kaki Riri Riri tersenyum malu-malu, disimpannya segelas kopi itu di atas meja. Gadis berpipi bersih itu melihat ke arahku, “Terima kasih sudah diizinin tinggal di sini, A ... Eh! Mas.” Dia tersenyum lagi menunjukkan gigi-gigi. Matanya berbinar, bulu mata lentiknya terlihat jelas. “Makasihnya oke, tapi tanya dulu, emang siapa yang suka kopi cokelat begitu.” Alisku menegang. Anak ini aneh, semalam menyembunyikan muka, pagi ini so kenal so deket. Pake senyam-senyum segala lagi. “Ha? Emang gak suka?” dia ternganga, gak mingkem-mingkem. “Mas Pras sukanya kopi hitam, Neng,” timpal Supri yang sedang membongkar monitor di belakangku. “Buat Aa Anton saja atuh, Neng Riri,” canda Anton dari depan. Riri meruncingkan bibirnya, lalu menarik capucino yang baru saja disimpan itu. “Yaudah deh buat A Yana sajah.” Dia memindahkan gelas kopi ke dekat Supri. Lalu pergi hendak naik kembali. “Buat Aa Anton mana, Neng Riri? Aa Anton suka apa aja asal Neng Riri yang buatkan,” goda Anto

    Last Updated : 2023-03-18
  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 12.b

    Bekerja seperti ini adalah satu hal menarik. Seperti tantangan yang harus dipecahkan. Ada rasa bahagia ketika bisa memecahkan masalahnya. Aku juga tidak terlalu pintar sebenarnya, tapi karena ‘suka’ meskipun tidak bisa, terus saja dipelajari. Bekerja seperti ini harus melek buku, soalnya setiap tahun perkembangan alat-alat elektronik terus meningkat. Pak Samsul orang yang rajin, tapi tidak mau membuka buku, senangnya langsung praktik. Mempelajari semuanya secara langsung tanpa panduan. Jadinya ya gini. Ada saja alat-alat yang tidak bisa diselesaikan. Kalau aku mengerti, langsung kuberitahu caranya, tapi kalau tidak, aku cari dulu buku yang sesuai, pelajari, baru praktik. Itulah kenapa Pak Samsul lebih nyaman kerja denganku. Beliau tidak usah repot-repot membaca buku. Padalah kalau dia buka tempat reparasi sendiri mungkin sudah maju tokonya. Tapi beginilah, lebih banyak orang yang suka jadi katak dalam tempurung. Dulu saat pertama kali buka jasa servis aku tidak pernah pasang tarif u

    Last Updated : 2023-03-18
  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 13.a

    Part 13. Bisnis yang Menggiurkan Tak tahu lah apa yang terjadi dengan anak itu. Pagi-pagi sudah uring-uringan tidak jelas. Beres-beres ruko pakai teknik perang. Geser sana-geser sini, sapu ini-sapu itu. Gedebak-gedebuk terus. Bisa-bisa pecah semua barang-barangku. “PMS lu, Ri?” tanyaku pada gadis yang sedang menggeser etalase, lalu menyapu bersih bawahnya. Bagus, jadi bersih, tapi caranya itu membuat kami bergidik. Ah, bukan kami! Hanya aku dan Anton yang keheranan. Supri sepertinya sudah biasa, jadi dia tidak berkomentar. “Bukan, Om. Lagi kesel!” Gadis bermata bulat itu melirik menunjukkan muka kecut. “Om? Kemarin-kemarin bilang Aa, sekarang, Om.” “Hiih! Udah tua juga pengen dipanggil Aa. Ngaca mangkanya ... Om.” Dia memberikan penekanan saat menyebut kata ‘Om’. “Ampun dah, bocah!” Dari pada ngurusin keanehan Riri, lebih baik aku masuk ruang reparasi. Dan mulai memperbaiki barang-barang yang ada di sana. Tidak ada kopi panas hari ini. Anak itu disuruh beli sarapan pun ketus.

    Last Updated : 2023-03-18
  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 13.b

    Setiap pagi kusempatkan untuk menelepon Sari, hari ini rasanya aku ingin melihatnya. Setelah menatap layar cukup lama akhirnya kutekan panggilan video call. Sebentar merapikan rambut, berkaca di layar yang sudah terhubung. Memastikan kalau rambut tidak dalam keadaan kacau.Dering telepon keluar terdengar cukup lama. Layar memperlihatkan notifikasi menunggu. Padahal kalau telepon biasa cepat sekali anak itu mengangkat.“Assalamualaikum.” Wajah dari sana terlihat, suara ucapan salamnya masih putus-putus karena sinyal yang belum stabil.“Waalaikumsallam. Sedang apa?” Lagi-lagi aku merapikan rambut.“Biasa, baru bangun,” jawab pemilik wajah tanpa riasan itu, meski natural dia terlihat cantik. Mirip artis Angelina Mahameru. Tahu tidak? Tahu? Tidak? Ah sudahlah, aku pun tak tahu.“Emmm ....” Kaku, aku tidak dapat melanjutkan perkataan. VC dengan panggilan suara ternyata berbeda.“Hari ini mau ke mana?” Kulontarkan pertanyaan yang terasa bodoh.“Tidak ke mana-mana di rumah saja, Mas. Itu Mas

    Last Updated : 2023-03-18

Latest chapter

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 46. Tamat

    Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 45.b

    Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 45.a

    Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 44.b

    Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 44.a

    Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 43.b

    "Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 43.a

    Part 43. Warisan yang Selalu Menjadi Perdebatan“Mana anak juragan kontrakan?” Aku menyenggol pundak Vivian.“Orang gitu banget, ya. Menilai semua orang dari segi materi.”“Kebanyakan orang memang begitu apa lagi kalau tidak pernah susah. Di mata Tuhan manusia tidak berkasta-kasta. Tapi di mata manusia tetap saja.”“Iya, sih. Orang yang tidak pernah susah tidak peka terhadap orang susah.”Aku mengangguk kecil, kembali fokus melihat jalanan di depan. Ini hari ketiga kami di Gunungkidul. Keliling keluarga sudah. Rencana selanjutnya belum tahu apa lagi.“Main ke tempat bagus, yu, Dek!” ajakku jam delapan Malam.Vivian memicingkan mata, melihatku penuh tanda tanya. Seperti sedang membaca apa yang kupikirkan.“Kenapa?”“Bohong, ya? Pasti mau ngerjain.”“Enggak, lah. Ngerjain apa?”“Pasti tempat bagusnya kamar, hayo!” Mamak ikut tersenyum mendengar tuduhan menantunya ini.“Eh, pede. Memangnya yang kemarin kurang?”“Ih.” Vivian memukul pundakku. “Gak malu apa sama Mamak.”“Tidak apa-apa, pen

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 42.b

    “Dek.”Vivian menoleh. Ia terlihat sedang berbincang dengan seseorang, setelah dekat baru aku sadari kalau itu ibunya Sari.“Ayo pulang, sudah sore.”“Iya, Yang. Bude ini nanyain keadaan Doni,” jelas istriku.“Bulik.” Kami salaman.“Pras, gimana Doni sekarang?”Aku agak tak enak mengatakan ini. Mungkin saja mereka masih berharap Doni menjadi menantunya. Aku melirik Vivian, menerka apa dia tahu siapa yang sedang ia ajak bicara.Vivian mengangkat alis, sendok ice cream masih menempel di bibirnya.“Emmm.” Aku menggaruk kepala belakang. “Doni dihukum lima belas tahun penjara, Bulik.“Apa?”“Itu sebenarnya lebih kecil dari tuntutan, karena kejahatan dia merupakan upaya pembunuhan dan pemerkosaan pada istriku.”“Ohh, kamu? Tapi kamu tidak apa-apa?” Mamaknya Sari memindai Vivian.“Tidak Bulik, Allah masih melindungi.”“Memang dasar si Doni, Wedus. Apa setiap wanita yang dekat dengan Pras dia dekati?”Vivian membulatkan mata kala mendengar itu. Ya, dia tahu kalau aku putus dengan Sari karena

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 42.a

    42. Pamer Istri“Apa mau naik sepeda? Mas yang goes aku duduk di belakang.”Boleh juga idenya, minimalnya lebih cepat dari pada jalan kaki."Yaudah, mana?" Aku meraih sepeda. Duduk mantap di atasnya. Vivian duduk menyamping di belakang."Siap?""Cuuusss." Ia melingkarkan tangan di pinggang. Terdengar riang sekali.Pernah kukatakan bukan, kalau jalanan di sini bukan jalanan aspal. Namun, jalan coran dua jalur yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Untuk berada di satu jalur ini lumayan susah kalau boncengan, karena membawa beban cukup berat, kadang terlalu ke kanan, kadang terlalu ke kiri.Aku fokus melihat jalan, sementara Vivian di belakang bercerita riang."Di sini tuh enak, suasananya masih asri, udaranya sejuk, banyak pohon-pohon. Coba kalo deket, aku balik tiap bulan. Eh, iya. Kenapa dari tadi tiap lewat depan rumah orang Mas nunduk sambil bicara apa itu?""Nuwun sewu nderek langkung.""Artinya?""Permisi numpang lewat.""Emang harus gitu, tiap lewat di depan rumah orang lain,

DMCA.com Protection Status