Part 2. Pagar Tinggi
“Mbok, ya, kalau punya ayam itu dimasuki kandang, bukannya suruh berkeliaran di mana-mana. Mbak, yu, woi, mbak yu, ayammu lho iki, buang kotoran sembuarangan. Pagi-pagi wes merusak pemandangan rumah orang.”
Aku mengusap wajah, Mamak terbelalak.
“Gil, ayam-ayam ke luar?” Mamak memukul pundakku.
“Tadi Pras keluarin, Mak, orang kandangnya mau Pras perbaiki.”
“Walah kamu teledor.” Mamak beranjak, menghampiri Bulik Hasma. Aku diam mendengarkan. Bulik Hasma belum tahu kalau aku ada di rumah. Karena baru semalam aku datang. Coba ingin kudengarkan, masih sama enggak kelakuannya seperti dulu.
“Maaf, Le, kandangnya lagi diperbaiki.” Mamak terdengar menyesal, kenapa juga Mamak harus seperti itu. Biarkan dia sarapan kotoran ayam. Toh mulutnya lebih menjijikkan dari pada pantat ayam.
Lah gue juga ikut emosi ternyata. Padahal tadi bilang sama Mamak jangan ambil hati.
“Masukkin kamarmu apa gimana, kek, yu, halamanku sudah kinclong begini dirusak ayam, mana banyak lagi.”
Orang itu memang kelewatan, ayam suruh dimasuki kamar, pintar kalau menghina.
Rumahku dan rumah Bulik hanya terbatas oleh tanamannya yang memang sengaja dibuat rimbun. Halamannya berpaving sedangkan halaman kami tanah saja. Kalau kalian datang ke sini, akan melihat pemandangan yang sangat jomplang, karena rumah dia terlalu ‘wah’, sedangkan rumah Mamak gubuk saja.
“Iya maaf, Le. Biar aku kurung lagi.” Untuk ke sekian kalinya Mamak minta maaf lagi. Aku jadi mengambil napas panjang, karena dada jadi terasa panas. Kalau mereka hanya menghinaku, itu tidak apa-apa. Tapi kalau menghina Mamak, itu tidak bisa kuterima.
Setelah Mamak minta maaf, terdengar ayam berkokok, mungkin Mamak sedang mengejar ayam. Tadinya aku tidak mau menunjukkan diri di depan Bulik tapi kasihan Mamak.
“Ragil?” Bulik terbelalak saat melihatku keluar dari rumah. Aku berjalan menghampirinya dengan kedua tangan di kantung celana, sedang menahan kesal sebenarnya.
Setelah aku dewasa adik-adiknya bapak tidak banyak menghina, ya paling membeda-bedakan prestasi aku dengan anak-anaknya. Setidaknya mereka pasti segan melihatku sudah tinggi begini.
“Ada berapa memang kotoran ayamnya?” tandasku seraya mengeluarkan tisu dari kantung celana, di sekeliling terlihat hanya ada satu.
Bulik berkedip cepat, mengalihkan pandangan dari irisku.
Kukeluarkan tisu dari bungkusnya sedikit kasar. Lalu mengusap kotoran ayam, melemparkannya ke rumput di atas tanah halaman rumahku.
“Satu saja ributnya se-RT. Mulut Bulik itu lebih kotor dari pada pantat ayam.” Tidak tahu ucapan itu datangnya dari mana. Mungkin karena dari panasnya dada akibat melihat Mamak sibuk mengejar ayam.
Bulik mendengus, “Heh! Apa kamu bilang? Ora sopan ya itu mulut ....”
Aku balik badan sambil mengunci telinga. Membiarkan Bulik ngoceh sendiri, semoga cepat darah tinggi.
Aku dan Mamak mengejar ayam, dan segera mengurungnya lagi.
“Kamu itu, Pras. Pake ngomong tidak sopan sama Bulik,” tegur Mama sambil melemaskan pinggang di kursi rotan depan rumah.
Terdengar suara di samping masih mengoceh karena ucapanku tadi. Kalau ditulis ocehannya itu mungkin lebih tebal dari novel Harry Potter.
“Ya memang mulutnya kotor, Mak,” seruku asal.
“Suruh Mamak jangan ambil hati, malah kamu yang ambil hati. Pintar kamu, kalau ngasih tahu.”
"Aku bilang jangan ambil hati biar Mamak gak banyak pikiran, kalau dia sampai bilang ayam masukkin kamar, ya, itu kelewatan. Masa kamar disamain sama kandang ayam. Dia itu ngehina, Mak. Jangan diam saja, dilawan, kan dia adik Mamak walau dari bapak."
"Lah, iya, wong ngomongnya gitu dari dulu."
"Lawan mangkannya."
"Mamak gak berani." Mamak tersenyum.
Lima menit terjeda. Aku mengayunkan kaki menjauhi rumah.
“Mau ke mana, Pras?” sergah Mamak.
“Mau ke rumah Mas Galuh, mau minta bantuin bikin kandang sama benerin atap,” jawabku.
“Yo wes, sana. Kalau tidak ada kerjaan pasti ada di rumah.”
Aku melangkahkan kaki di jalan kecil. Di sini kalian tidak akan menemukan jalanan aspal (kecuali di jalan raya). Jalanan di sini cor-an tapi hanya bagian samping kanan dan kiri saja, untuk sebatas ban kendaraan. Sementara bagian lainnya dibiarkan tanah. Pun jalannya tidak luas hanya cukup satu mobil saja. Itu sebabnya aku bawa mobil ke sini tapi tidak dibawa ke rumah, soalnya takut nyungseb ke sawah. Maklum tidak pernah bawa mobil di jalan seperti ini.
Rumah orang tua belum diperbaiki tapi sudah punya mobil? Eit, beda gaes. Mobil itu kebutuhan karena aku memang punya usaha. Untuk belanja ke sana-sini butuh kendaraan.
Rumah Mas Galuh terhalang dua petak sawah. Jangan dikira dekat, sepetak sawah mungkin panjangnya 50 meter, jadi dua petak sudah seratus meter, sama dengan panjang lapangan bola.
Kiri-kanan jalan di sini banyak pohon jati, hampir setiap rumah menanam jati, dan selebihnya pemandangan didominasi sawah.
“Woi, itu Prasetio, si ragil (bungsu)?” Sambut Mas Galuh, padahal jalanku masih jauh. Aku mengayunkan tangan untuk menjawabnya.
“Kapan datang?” tanyanya.
“Semalam, Mas.” Kami salaman.
“Naik apa ke sini?”
“Naik mobil, Mas.”
“Sekarang ongkos mahal, ya?”
“Iya, pada naik.”
“Ayo ... ayo duduk!” ajaknya.
Aku duduk di kursi ... eh tidak, ini bukan kursi, semacam tempat untuk berbaring seperti yang ada di sisi kolam, terbuat dari kayu tanpa cat.
“Ngopi, yo,” serunya.
“Mboten, Mas. Aku mau minta tolong bikinin pagar. Dari bambu saja lah dulu. Buat pembatas rumah Mamak sama Bulik Hasma. Pusing kepalaku, Mas. Ribut terus.”
Mas Galuh duduk di kursi panjang yang ada di hadapanku. Dia terbahak, “Ribut terus to. Pras. Udah tua gak ada perubahan bulikmu itu.” Semua orang sudah tahu bagaimana sikap Bulik pada Mamak.
“Makin menjadi.”
Mas Galuh kembali tertawa. “Bikin pagar? Siap. Kebetulan sedang tidak ada job,” sambutnya setelah tawanya usai.
“Kalau bisa minta tolong tambah orang lain, Mas. Mau kuganti kayu-kayu yang lapuk itu.”
“Siap. Butuh berapa orang?”
Sesaat aku berpikir. “Dua orang lagi, Mas.”
“Sekarang?”
“Ya, kalau bisa hari ini, tapi gak perlu sekarang juga.”
“Wokeh! Kalau begitu aku siap-siap dulu.” Mas Galuh beranjak.
Mas Galuh kuli yang kerja serabutan, apa pun dia kerjakan, dari membangun rumah, nguli di sawah, dan sebagainya.
Aku menghirup napas segar, seraya melihat pemandangan. Rumah khas di sini memiliki banyak pintu di bagian depannya. Termasuk di rumah Mas Galuh ini. Pemandangan dua belas tahun lalu dan sekarang tidak ada bedanya. Masih begini saja.
.
Hari ini juga Mas Galuh dan dua orang temannya bekerja di rumah. Mamak maki-maki gara-gara mau renop rumah gak bilang-bilang dulu.
“Mamak tidak persiapan air, lauk, dan makanan. Maen kerja-kerja saja.”
Setelah beberapa menit ngoceh baru keluar dari Rumah. Setelah itu menjewer kupingku. Pasalnya beliau kaget melihat satu dus air, cemilan, dan sekantung lauk sudah kubeli.
“Kerjaanmu itu Ragil. Ini kapan belinya?” Mamak memelintir kupingku.
“Aduh, duh, duh ... tadi ... sakit, Mak.” Aku mengusap kuping yang terasa panas.
“Mamak sibuk di dapur nyiapin makanan, kamu beli malah gak bilang-bilang.” Mamak masih ngoceh.
“Abis Mamak nguoceh terus dari tadi.”
Sebelum Bang Galih dan para pekerja datang ke rumah, aku sudah pergi belanja. Pulang-pulang ada yang ngoceh. Ya sudah, biarkan saja. Jangan tanya kabar penghuni samping rumah. Masih ngoceh gara-gara kubilang mulutnya lebih kotor dari pantat ayam.
**
Suara palu bertemu paku berdenting. Gerinda mengaung. Juga suara golok yang memutilasi bambu. Berisik.
Seorang pria berpakaian partai bergambar moncong itu bertolak pinggang. Lirik kanan-kiri mengamati keadaan rumahku. Lalu tangannya melambai. Seakan mengatakan, “Hai, budak. Sini kau!”
Mengerti. Aku langsung menghampirinya.
“Sedang buat apa ini?” tandasnya dengan tangan di belakang pantat. Matanya tajam mengawasi para pekerja. Dia berdiri di halaman berpaving perbatasan antara rumahnya dan rumahku.
“Lagi buat pagar, Paklik. Biar ayam gak bisa masuk,” jawabku. Bertahun-tahun tidak bertemu manalah dia bertanya kabar, buat dia aku hanya butiran debu.
“Bagus. Buat yang tinggi biar gak dilewati ayam,” ucapnya dengan mata menantang. Aku mengangguk saja.
“Nanti malam kamu ke rumah. Saya mau bicara.” Pria veteran itu ngeloyor pergi tanpa persetujuan.
Aku membuang napas kasar.
Ada apa kira-kira?
Adakah hubungannya dengan pantat ayam?
Bersambung ....
Part 3 Kalau Masih Punya Hutang Tidak Perlu SombongSatu kebiasaan unik di sini, orang-orang terbiasa menggunakan sepeda untuk bepergian. Termasuk Mamak. Meskipun sudah nenek-nenek, Mamak lihai pergi dengan sepeda ontelnya, tapi sekarang sepeda itu hanya teronggok di belakang rumah dengan bannya yang kempes.Tidak kupikirkan apa kata Paklik tadi. Mana tahu nanti malam dia mau ngajak makan-makan. Dinner berdua, misal. Sekarang lebih baik kuperbaiki sepeda Mamak. Kalau pekerjaan per-bambuan aku tidak begitu lihai.“Beli motor, kek, Mak.” Aku menarik ontel dari belakang rumah, mau kubawa ke jalan raya tempat bengkel sepeda.“Mamak ora punya duit.”“Lah bohong, kirimanku numpuk di bawah bantal.” Ini aku berlebihan, hanya bercanda saja menghibur para pekerja, dan disambut tawa Mas Galuh dan teman-temannya.“Hebat tenan, uang numpuk di bawah bantal. Pinjami aku lah, Mbah,” kata Mas Galuh.“Ngarang, mana ada. Bukan di bawah bantal di kolong ranjang,” balas Mamak, selanjutnya aku tidak mende
Part 4.Kembang DesaDulu Mamak pernah menyimpan uang di lemari. Tidak terpakai karena dimakan rayap. Sekarang aku jadi kepikiran di mana Mamak menyimpan uang?"Mak .... Mamak.""Opo, Pras," seru Mamak dari dalam kamar."Mamak simpan uang di mana? Apa di ATM?" tanyaku setelah Mamak menghampiri."Di ...." Mamak menggantung jawabannya."Di mana Mak, ada berapa di ATM?"Mamak diam saja, terlihat serba salah."Itu, Pras. Sebenarnya ...."“Sebenarnya apa, Mak.”Mamak menjeda. “Sebenarnya dipinjam Pakde Karyo.”Aku mengangguk pelan. Pakde Karyo adalah kakak ibuku yang paling besar, rumahnya sekitar satu kilo meter dari sini. Wajar kalau Pakde Karyo pinjam uang, keluarga dari pihak Mamak memang tidak ada yang mapan. Semuanya menengah ke bawah. Rumahnya juga sama, memiliki dinding kayu. Yang rumahnya kekinian hanya milik anak-anaknya saja.Mamak anak terakhir dari empat bersaudara. Dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka memang miskin tapi tidak miskin hati. Kalau aku pelajari, beberapa hal y
Part 5Ketika Mas Pras NgapelJam delapan malam aku sudah berpakaian rapi mau ngapel. Celana jeans dan kaus polos dibalut sweter. Dompet dan ponsel kumasukkan ke dalam kantung celana. Terlihat Mamak masih mengaji saat aku keluar kamar.“Pergi, Pras?” tanya Mamak menghentikan lantunannya sesaat, Mamak yang sudah rabun dekat itu menurunkan kaca matanya saat melihatku.“Inggih, Mak. Eh tapi, Mak. Emang Mbah Pur, punya anak gadis?” Setahuku Mbah Purwanti itu sudah sepuh, mana mungkin punya anak gadis, jangan-jangan bukan perempuan yang hampir kutabrak tadi. Mana tahu salah paham. Takutnya anak Mbah Pur yang janda.Mamak menutup Al-Quran, dan melihat padaku lagi. “Bukan anaknya, Gil. Tapi cucu. Cuma sudah dianggap anak, wong diurus dari kecil sama mbahnya,” kata Mamak.“Tapi bapaknya ada?”“Sekarang ada. Dulu jarang, merantau.”Aku mengangguk. “Ya sudah, aku pergi, Mak.” Aku meneruskan langkah.“Nah gitu, bujang harus ke luar rumah. Jangan seperti dipingit, sembunyi terus di rumah.”Aku me
Part 6 Jangan Hina Ibuku! “Masnya masih lama di sini?” “Besok Mas berangkat.” Sari terlihat kecewa, dia menunduk tidak mau menunjukkan wajah. “Aku banyak kerjaan soalnya.” Aku menjeda. “Ayo masuk, takut keburu dicari,” lanjutku. Lalu Sari memasuki rumahnya kembali. *** Di pagi yang hening. Suhu dingin dan basah. Aku baru saja selesai shalat subuh ketika tiba-tiba terdengar jeritan yang terdengar samar. Kupasang telinga lekat-lekat, tidak mungkin itu teriakan kunti mengingat ini lewat adzan subuh. Teriakan tadi hilang. Setelah tidak ada suara lagi aku jadi bertanya-tanya siapa yang menjerit tadi. “Pras, Pras dengar yang berteriak, tidak?” Mamak tergopoh berjalan rusuh dari dapur menghampiriku yang masih di kamar. Dapur tungku berada di bagian paling belakang rumah, dengan dinding geribik, saat Mamak sedang di dapur pasti mendengarkan teriakan itu lebih jelas dari pada aku. “Iya, Mamak dengar?” “Sepertinya, bulikmu,” ucap Mamak lalu melangkahkan kaki ke luar rumah. Saat kuikut
Part 7. Cari Ribut “Loh, kok, pulang, Pras. Kita butuh laki-laki di sini,” seru Bulik Hasma. Tidak peduli lagi. Aku menarik tangan Mamak keluar dari ruangan itu. Aku berjalan tegap melewati lorong rumah sakit, mata dan dada terasa panas. Memang betul ibuku kampungan, penampilannya kolot, udik, dan apa pun terserah, tapi siapa mereka sampai bebas menghina ibuku begitu saja? Sungguh tidak tahu diri. Padahal sudah dibantu. “Mas! Mas Pras!” Ambar mengejar kami sampai parkiran. Tangan Mamak masih kugenggam, aku balik badan untuk berhadapan dengan Ambar. “Apa lagi?” Aku menatap irisnya menantang, dia sedikit menunduk kikuk. “Ma-maaf, bukan maksud aku begitu, tapi kasihan saja Bude kalau harus di sini. Ini kan rumah sakit, bukan tempat bermain. Jadi maksudku—“ “Apa? Mau berkilah apa ...? Ambar dengar! Saya paham cara tatapan kamu melihat Mamak, cara bicara kamu, dan semua hinaan kamu, saya PAHAM. Jadi jangan memberikan alasan karena itu percuma. Asal kamu tahu Mamak meninggalkan pek
Part 8. Grup GoibKe lautan lepas mataku tertuju. Hamparan air sejauh mata memandang. Ombak berburu menerpa karang. Membawa suara deburan yang menenangkan. Di sepanjang pantai selatan memang ombak selalu besar, konon katanya ada Ratu Kidul di tengah lautan sana. Itu cerita orang tua jaman dulu, sekarang aku tahu ombak besarnya dikarenakan laut selatan adalah samudera.Hembusan angin menghantam tubuh, membawa turut serta angan-anganku melayang jauh. Ke masa bertahun-tahun lalu.Prasetio hanyalah anak dari keluarga miskin, yang berada di lingkungan keluarga kaya. Tidak mudah menjalani semuanya, karena si miskin di antara keluarga mayoritas kaya hanyalah menjadi orang yang dikucilkan. Lulus sekolah aku tidak punya uang sepeser pun, sedangkan tidak mau hidup melulu seperti itu, harus ada perubahan. Ada tawaran menarik dari Bulik Retno, adik bungsu bapak. Ia menawarkan aku tinggal di sana sebelum mencari pekerjaan.Senang sekali aku menyambutnya, tapi kala itu tidak punya uang sepeser pun,
Part 9 Kartu AS Bulik Hasma Mamak memutuskan masuk kamar setelah waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku masih menonton TV, menikmati kopi dan singkong goreng saat tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar cukup berisik. Cepat kubuka, entah siapa yang datang malam-malam, mengetuk pintu berisik tanpa etika. Saat hendel kutarik ternyata wajah garang itu yang ada di depan rumah. "Semakin belagu saja kamu Prasetio, mentang-mentang meminjamkan uang segitu. Nih uangmu kukembalikan!" Hartanto melempar segepok uang ke dadaku, lantas uang itu terjatuh di lantai. Dia berbicara dengan nada tinggi. Mamak yang baru masuk kamar langsung ke luar lagi. "Anto? Kapan pulang?" tanya Mamak dengan ekspresi kaget. Aku mengambil segepok uang lima puluh ribuan yang jatuh di dekat kaki. Pinjamnya mohon-mohon, bayarnya di lempar. Walau tergeletak di lantai benda ini tetap berharga. "Alah tidak penting kapan aku pulang. Kalau bukan karenamu bapakku tidak akan sakit." Pria tinggi besar itu men
Part 10. Pras Pergi Setelah keributan itu aku jadi lebih tenang untuk meninggalkan Mamak. Kalau ada apa-apa tinggal telepon saja Suroto. Biar kubuka semua kartunya. Mengingatkan orang sombong itu kadang tidak cukup dengan nasihat saja. Apa lagi nasihat dari orang miskin, jangankan didengar menengok saja dia tidak akan mau. Harus seperti ini, duit dulu berbicara baru dia mau berkaca. Mamak boleh memilih sabar bertahun-tahun diperlakukan seperti itu. Tapi tidak bagiku. Kenapa? Karena kesabaran Mamak pun tidak bisa membuat mereka sadar. Yang ada semakin menginjak saja. Aku sudah kenyang sekali dengan sikap menyepelekan, hinaan, cibiran. Di luar sana orang-orang dibully oleh orang lain. Aku? Sama keluarga sendiri. Itulah sebabnya aku memacu diri ... ‘harus kaya’. Akan kutunjukkan pada mereka, suatu hari nanti bisa satu level dengan mereka. Siapa tahu dengan aku kaya mereka bisa melihat Mamak dengan kedua mata. Aku mau sebelum Mamak kembali pada pangkuan pencipta, semua adik iparnya bi
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul
Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa
Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari
"Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar
Part 43. Warisan yang Selalu Menjadi Perdebatan“Mana anak juragan kontrakan?” Aku menyenggol pundak Vivian.“Orang gitu banget, ya. Menilai semua orang dari segi materi.”“Kebanyakan orang memang begitu apa lagi kalau tidak pernah susah. Di mata Tuhan manusia tidak berkasta-kasta. Tapi di mata manusia tetap saja.”“Iya, sih. Orang yang tidak pernah susah tidak peka terhadap orang susah.”Aku mengangguk kecil, kembali fokus melihat jalanan di depan. Ini hari ketiga kami di Gunungkidul. Keliling keluarga sudah. Rencana selanjutnya belum tahu apa lagi.“Main ke tempat bagus, yu, Dek!” ajakku jam delapan Malam.Vivian memicingkan mata, melihatku penuh tanda tanya. Seperti sedang membaca apa yang kupikirkan.“Kenapa?”“Bohong, ya? Pasti mau ngerjain.”“Enggak, lah. Ngerjain apa?”“Pasti tempat bagusnya kamar, hayo!” Mamak ikut tersenyum mendengar tuduhan menantunya ini.“Eh, pede. Memangnya yang kemarin kurang?”“Ih.” Vivian memukul pundakku. “Gak malu apa sama Mamak.”“Tidak apa-apa, pen
“Dek.”Vivian menoleh. Ia terlihat sedang berbincang dengan seseorang, setelah dekat baru aku sadari kalau itu ibunya Sari.“Ayo pulang, sudah sore.”“Iya, Yang. Bude ini nanyain keadaan Doni,” jelas istriku.“Bulik.” Kami salaman.“Pras, gimana Doni sekarang?”Aku agak tak enak mengatakan ini. Mungkin saja mereka masih berharap Doni menjadi menantunya. Aku melirik Vivian, menerka apa dia tahu siapa yang sedang ia ajak bicara.Vivian mengangkat alis, sendok ice cream masih menempel di bibirnya.“Emmm.” Aku menggaruk kepala belakang. “Doni dihukum lima belas tahun penjara, Bulik.“Apa?”“Itu sebenarnya lebih kecil dari tuntutan, karena kejahatan dia merupakan upaya pembunuhan dan pemerkosaan pada istriku.”“Ohh, kamu? Tapi kamu tidak apa-apa?” Mamaknya Sari memindai Vivian.“Tidak Bulik, Allah masih melindungi.”“Memang dasar si Doni, Wedus. Apa setiap wanita yang dekat dengan Pras dia dekati?”Vivian membulatkan mata kala mendengar itu. Ya, dia tahu kalau aku putus dengan Sari karena
42. Pamer Istri“Apa mau naik sepeda? Mas yang goes aku duduk di belakang.”Boleh juga idenya, minimalnya lebih cepat dari pada jalan kaki."Yaudah, mana?" Aku meraih sepeda. Duduk mantap di atasnya. Vivian duduk menyamping di belakang."Siap?""Cuuusss." Ia melingkarkan tangan di pinggang. Terdengar riang sekali.Pernah kukatakan bukan, kalau jalanan di sini bukan jalanan aspal. Namun, jalan coran dua jalur yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Untuk berada di satu jalur ini lumayan susah kalau boncengan, karena membawa beban cukup berat, kadang terlalu ke kanan, kadang terlalu ke kiri.Aku fokus melihat jalan, sementara Vivian di belakang bercerita riang."Di sini tuh enak, suasananya masih asri, udaranya sejuk, banyak pohon-pohon. Coba kalo deket, aku balik tiap bulan. Eh, iya. Kenapa dari tadi tiap lewat depan rumah orang Mas nunduk sambil bicara apa itu?""Nuwun sewu nderek langkung.""Artinya?""Permisi numpang lewat.""Emang harus gitu, tiap lewat di depan rumah orang lain,