“Mereka iri melihat kedekatan Mamak dan ibu mereka dulu. Katanya Mamak pakai guna-guna sampai Mbahnya Pras lebih sayang sama Mamak dari pada anak-anak perempuannya. Apalagi ketika pembagian warisan, bapaknya Pras mendapat bagian terbesar. Wah, semua marah. Mamak dibenci habis-habisan.”Mamak memijat lutut. Dijedanya sejarah panjang yang sedang diceritakan pada Sari.“Bagaimana Mbahnya Pras tidak sayang sama Mamak, setiap hari Mamak mengurusnya, dari bangun sampai tidur. Mbahnya Pras dulu lumpuh. Berak kencing di tempat. Jalan-jalan menggunakan kursi roda. Hanya bicara saja yang jelas. Tidak ada anak perempuannya yang ikut mengurus. Sedangkan Mamak keluarkan uang tenaga untuk mengurus Mbah. Wajar tidak orang tua mereka lebih sayang sama Mamak? Lebih besar memberikan bagian warisan, karena Mamak juga tidak tanggung-tanggung mengurus orang tua.” Lagi, Mamak memijat kakinya, sepertinya hari ini begitu melelahkan.“Mangkanya, Pras jadi seperti ini. Dia tahu bagaimana Mamak diperlakukan.” M
Part 23. Dibalik PertengkaranAku terpana. Wajah cantiknya berjarak 10 senti saja. Aku tidak bisa menahan gejolak dalam dada. Tak berpikir dua kali wajahku mendekat.Sari menjauh, bergeser ke sudut pintu, lalu cepat membukanya. Menit berikutnya dia sudah berlari ke dalam ruko.Aku mengacak rambut, menghardik diri sendiri. Salut dengan caranya menjaga diri, tapi untuk hari ini aku merasa kecewa atas karakternya itu. Sudahlah Pras, sudahi kesendirian ini. Mungkin segera menikah lebih baik.Sungguh, aku tidak berani naik ke lantai dua. Bagaimana kalau Sari sampai cerita pada Mamak? Bahaya.***Keesokan harinya aku pergi belanja. Seharian mencari barang-barang. Kali ini kebutuhan banyak, bahkan tidak selesai dengan keliling sehari.Aku membeli sebuah cincin untuk Sari. Niat hati ingin melamarnya malam ini. Menunjukkan keseriusan kalau aku benar-benar ingin menikah.Hari ini melelahkan, tubuh bau keringat. Pukul tujuh malam aku sampai di ruko. Memasukkan barang itu satu per satu dibantu an
“Jadi elu dibalik semua ini?” ucapku dengan napas memburu. Lelah, marah, kecewa, semua bertumpuk jadi satu.Sari menengok ke belakang, melihatku enggan. Matanya masih dipenuhi kaca-kaca. Sementara pria yang ada di hadapannya menyeringai.Doni mengangkat pundak, tak peduli. “Gue ke sini karena dia yang minta. Mana gue tahu urusan kalian.” Pria yang mengenakan sweter itu tersenyum miring.“Benar kamu yang minta?”“Iya, Sari minta Mas Doni ke sini. Kenapa memangnya?”“Kamu tidak tahu siapa dia.”“Sari juga tidak tahu siapa kamu, Mas. Berbulan-bulan tinggal serumah dengan perempuan, apa namanya?”“Mas tidak melakukan apa-apa!”“Terus saja bilang begitu, siapa yang mau percaya.”Perdebatan kami terhenti karena Doni tertawa, lalu dia tepuk tangan seperti orang gila. “Gua gak nyangka kalau lu kayak gitu, Pras. Munafik juga kamu ternyata.”“Heh, jangan ribut di sini!” timpal pemilik warung bakso.Aku memelankan perkataan, sebisanya meredam marah. “Jangan begini, De. Ayo pulang dulu, besok Mas
Part 24. Datang dan PergiPaginya. Beberapa tas sudah siap teronggok di sudut lantai dua. Ada juga oleh-oleh yang sengaja kubeli pagi ini. Pekerjaanku cukup sibuk karena sudah diabaikan beberapa hari. Jadi tidak dapat mengantar Mamak dan Sari pulang. Akhirnya kereta api jadi pilihan.Mata Sari bengkak, karena semalam terlalu banyak menangis. Berkali ia mengalihkan pandangan ketika berpapasan. Ekspresinya masih marah seperti kemarin.Aku berdiri di hadapan Sari. Menghadang jalannya yang mengarah ke tangga. Berharap apa yang akan kulakukan bisa meredam kemarahannya.Kurogoh cincin dari katung celana, lalu menunjukkan benda kuning terang ini.“Dek, sebenarnya Mas kemarin beli ini buat kamu. Mas mau melamar kamu. Tapi ternyata gagal.Mas belum bisa mengantarkan kamu. Belum bisa ketemu orang tua kamu. Tapi tolong terima cincin ini. Sebagai tanda Mas serius sama kamu.”Kupindai wajah itu. Wajah yang belakangan ini membuatku tergila-gila.Wanita yang tingginya tak melebihi hidungku ini terdi
Hari ini pekerjaanku sesibuk biasanya. Sering tak sempat sebatas membuka ponsel. Ketika waktu senggang kuotak-atik benda pipih itu. Ada satu pesan dari Sari. Ya, selama seharian hanya ada satu pesan. Bahkan beberapa hari belakangan tidak pernah ada.[Mas, Sari minta, mulai sekarang Mas tidak perlu menghubungi Sari lagi.]Mataku menyipit. Barang kali aku salah baca. Atau mimpi karena terlewat ngantuk. Kueja lagi huruf-huruf itu. Sedangkan dalam hati bertanya, apa yang menjadi kekuranganku.[Maksudnya bagaimana? Kamu mau kita putus?]Lama tak ada balasan. Aku menunggu. Teringat kembali ketika dulu saat baik-baik saja, barang lima menit aku telat membalas, dia uring-uringan. Sifat kekanak-kanakannya itu kenapa sangat kurindukan?Setelah setengah jam berlalu baru titik tiga berjalan.[Sepertinya kita tidak cocok, Mas.]Aku menutup chat, berganti dengan telepon.Detik panggilan sudah berjalan, tapi tidak ada suara.“Dek?” ucapku memastikan ada orang di sana.“Ya,” serunya pendek.“Apa ada
Part 25. Kejutan untuk Mamak---Orang yang terlalu menunjukkan kebaikan biasanya orang yang sedang menutupi kesalahan.---“Oh, iya, kalian pasti belum melihat berita. Kalau di sinilah sekarang dia tinggal.” Aku menunjukkan gambar. Sari dan ibunya menutup mulut.“Ke, kenapa di sana?” timpal mamaknya. Melihat gambar Doni yang ada di kantor polisi.Beberapa hari belakangan aku mengikutinya. Doni pergi ke klub malam. Di sana mereka bermain barang haram. Kuberitahu polisi saat itu juga. Razia segera dilakukan. Doni dan beberapa orang lain terciduk sedang menggunakan narkotika.Aku tak menjawab pertanyaan ibunya, hingga kalimat itu menggantung di udara lantas hilang diterpa waktu. Cukup biar aku saja yang tahu.“Sudah kuperingatkan berkali-kali kalau dia berbahaya,” peringatku pada Gadis yang sedang menangis itu.Berdasarkan informasi yang kudengar. Doni berlibur ke Gunungkidul selama sepekan. Dia pulang karena aku menyuruh Desi agar meminta kakaknya cepat kembali. Selama seminggu itu, en
“Punya, uang?” Ia menatapku seperti menantang.“Ada.”“Bagus. Buat yang bagus biar tidak merusak pemandangan.”Pria tua itu kembali mengayunkan kaki. Berjalan kembali ke rumahnya. Sudah tua bukannya tobat. Masih saja begitu.***Aku pulang ke Gunungkidul menggunakan pesawat bukan untuk gaya-gayaan, tapi karena alasan waktu. Biar bisa pulang-pergi dengan cepat. Mengingat begitu banyak pekerjaan di toko. Ke sini pun aku sengaja menyelesaikan masalah Sari. Kasihan kalau dia dibohongi terlalu lama.Rencananya sore ini langsung pulang lagi. Tetapi karena ditahan Mamak jadinya aku menginap, semalam saja. Paginya aku sudah bergegas untuk pergi lagi.Aku tak membawa banyak bawaan. Hanya satu tas kecil. Jam tujuh pagi aku sudah siap. Cucunya Pakde Karyo sudah ada di depan rumah, mau mengantarkanku ke bandara.Baru dua langkah aku ke luar dari rumah, seseorang datang dengan ontelnya. Mamaknya Sari.“Loh, Pras. Mau ke mana?” tanya wanita ber-daster itu.Kami salaman. “Mau berangkat lagi, Bulik.”
Part 26. Lupa Pakai Celana❤❤❤Selalu ada hal yang terasa bersangkutan. Aku menggelontorkan uang banyak untuk pembangunan rumah Mamak. Dan Tuhan ganti dengan yang lebih besar. Besarnya bahkan tidak pernah kubayangkan.❤❤❤Aku berbaring. Sebelah tangan berada di antara bantal dan kepala, sedangkan tangan yang lain memainkan ponsel.Foto-foto wanita cantik ini masih memenuhi galeri ponselku. Senyumnya, manjanya, kekanak-kanakannya, polosnya, dan malu-malunya. Karakter itu yang sekarang kurindukan. Dan kini semua itu hilang.Kugeser foto satu demi satu. Memutarkan angan kembali pada kenangan. Membawa rasa manis yang dibalut kepahitan.Aku masih mencintainya. Sulit mematikan rasa yang sedang tumbuh. Tiba-tiba, dipaksa kandas. Aku menghela napas, lalu membuang napas, berlama-lama berenang dalam kenangan.Masih teringat jelas, bagaimana cara kami bercanda, tiap hari teleponan, candaan garing, dan semua kenangan itu. Lalu bayangan saat dia menangisi Doni, membuatku merasa terjatuh ke dasar b
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul
Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa
Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari
"Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar
Part 43. Warisan yang Selalu Menjadi Perdebatan“Mana anak juragan kontrakan?” Aku menyenggol pundak Vivian.“Orang gitu banget, ya. Menilai semua orang dari segi materi.”“Kebanyakan orang memang begitu apa lagi kalau tidak pernah susah. Di mata Tuhan manusia tidak berkasta-kasta. Tapi di mata manusia tetap saja.”“Iya, sih. Orang yang tidak pernah susah tidak peka terhadap orang susah.”Aku mengangguk kecil, kembali fokus melihat jalanan di depan. Ini hari ketiga kami di Gunungkidul. Keliling keluarga sudah. Rencana selanjutnya belum tahu apa lagi.“Main ke tempat bagus, yu, Dek!” ajakku jam delapan Malam.Vivian memicingkan mata, melihatku penuh tanda tanya. Seperti sedang membaca apa yang kupikirkan.“Kenapa?”“Bohong, ya? Pasti mau ngerjain.”“Enggak, lah. Ngerjain apa?”“Pasti tempat bagusnya kamar, hayo!” Mamak ikut tersenyum mendengar tuduhan menantunya ini.“Eh, pede. Memangnya yang kemarin kurang?”“Ih.” Vivian memukul pundakku. “Gak malu apa sama Mamak.”“Tidak apa-apa, pen
“Dek.”Vivian menoleh. Ia terlihat sedang berbincang dengan seseorang, setelah dekat baru aku sadari kalau itu ibunya Sari.“Ayo pulang, sudah sore.”“Iya, Yang. Bude ini nanyain keadaan Doni,” jelas istriku.“Bulik.” Kami salaman.“Pras, gimana Doni sekarang?”Aku agak tak enak mengatakan ini. Mungkin saja mereka masih berharap Doni menjadi menantunya. Aku melirik Vivian, menerka apa dia tahu siapa yang sedang ia ajak bicara.Vivian mengangkat alis, sendok ice cream masih menempel di bibirnya.“Emmm.” Aku menggaruk kepala belakang. “Doni dihukum lima belas tahun penjara, Bulik.“Apa?”“Itu sebenarnya lebih kecil dari tuntutan, karena kejahatan dia merupakan upaya pembunuhan dan pemerkosaan pada istriku.”“Ohh, kamu? Tapi kamu tidak apa-apa?” Mamaknya Sari memindai Vivian.“Tidak Bulik, Allah masih melindungi.”“Memang dasar si Doni, Wedus. Apa setiap wanita yang dekat dengan Pras dia dekati?”Vivian membulatkan mata kala mendengar itu. Ya, dia tahu kalau aku putus dengan Sari karena
42. Pamer Istri“Apa mau naik sepeda? Mas yang goes aku duduk di belakang.”Boleh juga idenya, minimalnya lebih cepat dari pada jalan kaki."Yaudah, mana?" Aku meraih sepeda. Duduk mantap di atasnya. Vivian duduk menyamping di belakang."Siap?""Cuuusss." Ia melingkarkan tangan di pinggang. Terdengar riang sekali.Pernah kukatakan bukan, kalau jalanan di sini bukan jalanan aspal. Namun, jalan coran dua jalur yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Untuk berada di satu jalur ini lumayan susah kalau boncengan, karena membawa beban cukup berat, kadang terlalu ke kanan, kadang terlalu ke kiri.Aku fokus melihat jalan, sementara Vivian di belakang bercerita riang."Di sini tuh enak, suasananya masih asri, udaranya sejuk, banyak pohon-pohon. Coba kalo deket, aku balik tiap bulan. Eh, iya. Kenapa dari tadi tiap lewat depan rumah orang Mas nunduk sambil bicara apa itu?""Nuwun sewu nderek langkung.""Artinya?""Permisi numpang lewat.""Emang harus gitu, tiap lewat di depan rumah orang lain,