Viza takut. Ia tak berani bicara. Viza tak mau mengakui kalau lelaki yang bertemu dengan Fairuz adalah Johan, bapaknya.“Apa kamu melihat ibu bertengkar dengan seseorang?” tanya Vikram. “Iya, ibu memang marah-marah sama seseorang, tapi aku nggak tahu duduk perkaranya apa. Aku bingung,” sahut Viza gugup.“Kamu bilang ibu pingsan karena terjatuh. Nyatanya penyebab ibu pingsan itu karena ketemu sama seseorang yang membuat jiwanya terguncang. Asal kamu tau, ibu ini berbeda. Ada masa lalu yang membuatnya trauma dan jiwanya terguncang. Kalau kamu tidak bisa menjaga ibu, maka jangan bawa ibu kemana pun tanpa sepengetahuanku!” hardik Vikram membuat Viza tertegun.Hati Viza nyeri sekali dibentak begitu. Ada benda tak kasat mata menyayat di dalam sana. Air matanya menetes begitu saja. “Satu lagi, aku tidak suka kebohongan. Kamu sedang berusaha menutupi keadaan ini dariku! Kamu mencoba membohongiku. Pembohong!” Vikram marah sekali. Tatapannya tajam membuat Viza ketakutan.Kepala Viza tertunduk
Langkah Vikram kini tertuju ke sebuah kamar. Tak lain kamar kosong yang biasanya digunakan untuk kamar tamu. Lampunya menyala. Siapa yang menyalakannya?Vikram menekan handle pintu dan membukanya. Seketika alisnya terangkat sempurna melihat sosok yang berbaring miring membelakanginya. Selimut menutup sampai ke pinggang. Viza?Vikram tersenyum lega. Akhirnya ia menemukan wanitanya. Ia melupakan kamar yang satu itu saat mencari Viza. Vikram duduk di kasur, tepat di belakang Viza. Ia meletakkan tangannya ke pinggang Viza. Viza yang merasakan sentuhan itu pun terkejut. Ia belum tidur. Seharian mengurung diri di kamar, hanya makan roti saja untuk mengganjal lapar.Mau keluar kamar tapi takut ketemu Vikram, takut dihardik dan dimarahi lagi. “Viza, maafkan aku. Aku sebenarnya sayang sama kamu. Aku khilaf karena terlalu sayang sama ibu.” Vikram menyelinap masuk ke dalam selimut, menyusul berbaring di belakang Viza. Tangannya memeluk dari arah belakang.Viza merasakan pelukan lengan itu m
“Mas!” lirih Viza menahan dada Vikram saat pria itu akan menjalankan puncak.Viza menggeleng.“Kenapa?” tanya Vikram.Viza belum sanggup jujur. Lidahnya kenapa berat sekali mengatakan kalau dia adalah adiknya Vikram. “Aku sedang datang bulan!” Terpaksa Viza berbohong.Vikram mengangguk. Meski wajahnya tampak kecewa karena desakan dalam diri tak tersalurkan, namun ia paham bahwa sejatinya haram hukumnya menggauli wanita dalam keadaan haid.“Masih banyak waktu.” Vikram mengusap pipi Viza dan menuruni kasur. Ia segera mengenakan kembali pakaiannya. Pria itu meninggalkan kamar dan membawa piring kotor ke belakang. Viza berpapasan dengan Mbok Parmi saat baru saja keluar kamar.“Mbak Viza, ada surat.” Mbok Parmi menyerahkan sebuah amplop putih.“Siapa yang kirim, Mbok?” Viza membolak balikkan amplop namun tak tertulis nama pengirim. Hanya ada nama Viza saja di bagian depan sebagai penerima surat.“Tadi kurir yang kirim ke sini.”“Oh ya sudah. Makasih Mbok.”“Sama-sama, Mbak. Permisi.” M
Tapi isi surat itu jelas mengetahui semuanya kehidupan yang dijalani oleh Viza. Mustahil orang itu mengarang cerita. Ini jelas sebuah petunjuk. Benar atau tidak isi surat itu, yang jelas Viza mempercayainya.Ternyata Vikram sudah tahu sejak lama kalau Viza adalah anaknya Fairuz. Tega sekali Vikram menyembunyikan hal ini, tega sekali pria itu tidak menyatukan Viza dengan Fairuz, malah membuat drama gila pernikahan sedarah. Pria itu benar-benar sudah tidak berakal.Viza meremas kertas itu dengan gemetar. Napasnya tersengal. Dada Viza terasa sesak sekali oleh buncahan amarah. Inilah pertama kalinya Viza merasa sangat marah. Hidupnya seolah sedang dipermainkan oleh Vikram.Hanya demi bisa menghancurkan kehidupan Johan, Vikram sampai tega menikahi Viza, padahal dia tahu kalau mereka adalah adik kakak. Pernikahan sedarah jelas diharamkan dan Vikram melanggar agama demi tujuan yang menyesatkan.Terjawab sudah kenapa Vikram sangat marah saat Viza diperlakukan seperti babu, sebab Vikram tak pe
“Bu, aku ini anak kandung ibu. Dan Mas Vikram juga anak ibu kan? Lalu bagaimana bisa ibu mengatakan kalau aku dan Mas Vikram nggak ada ikatan darah?” tanya Viza bingung.Sekelebat pertanyaan membayang di kepala Viza. Apakah mungkin Vikram adalah anak dari suami ibu sebelumnya?Ah, sudahlah. Percuma menerka-nerka, toh kini sumber jawaban ada di hadapannya. Dia hanya perlu menunggu jawaban itu.“Ibu ketemu Vikram saat usia Vikram sudah dua belas tahun. Dia menginjak usia remaja, dan itu terjadi setelah ibu kehilangan kamu. Ibu lalu mengangkatnya sebagai anak,” jelas Fairuz. Oh pantesan tidak ada sosok Vikram di kisah hidup Fairuz saat dia kehilangan putrinya yang saat itu berusia dua tahun. Rupanya Vikram belum hadir di kehidupan Fairuz. “Sudah. Tolong jangan bahas apa pun. Ibu hanya ingin bicara tentangmu saja. Ini momen kita. Lupakan dulu masalah lain. Ibu mau membicarakan tentang kita saja. Jangan yang lain.” Fairuz membawa Viza masuk.Sebenarnya Viza sangat ingin membahas banayak
Pria ini adalah penyebab durasi waktu perpisahan antara Viza dan ibu kandungnya semakin lama. Vikram tak ada bedanya dengan Johan yang sama-sama ingin memisahkan Viza dari ibu kandungnya. “Suit suiiit…!!” Salah seorang pria yang berdiri tak jauh dari Viza, bersiul sambil melirik wanita itu dengan senyum simpul.“Setelah berpetualang selama ini, kok aku baru tau ada bidadari secantik ini ya, bro?” Pria lain menimpali.“Yo’i. Perlu disentil nih.”Viza risih sekali. Sekilas ia melirik ke arah dinding lift yang memantulkan wajah para pria yang menggodanya. Meski pantulan wajah itu agak kabur, namun ia bisa melihat dengan jelas wajah-wajah para pria berdasi itu. Mereka pasti para pegawai di kantor ini.“Dek cantik, pegawai baru ya di sini?” tanya salah seorang pria berdasi cokelat.Viza diam saja. Antara takut, bingung juga malu. Pandangannya masih lurus ke depan.“Kok, diam saja, Neng?”“Dia malu, Bro.”“Minta nomer, Dek. Boleh?” Pria berdasi cokelat memegangi hp, siap menyalin nomer.V
Ternyata benar apa kata orang. Dunia magang itu keras. Akan ada banyak rintangan dan tak luput dari pembulian. Ini yang perludigaris bawahi. Jadi mesti kuatkan mental jika ingin lulus.Memang tidak semua, tapi di sini salah satunya. Melihat tatapan seram dari para senior saja sudah cukup membuat Viza memahami situasi, bahwa ia masuk di lingkungan yang tak sehat. Harus kuat mental.Seluruh staf disibukkan dengan pekerjaan. Viza memulai pekerjaan dengan sangat buruk. Dugaannya akan mendapatkan pembulian tidak meleset.Dua wanita yang menjadi pembimbingnya itu memperlakukannya dengan semena-mena. Menghardik, membentak, menyuruh-nyuruh, memaki dan menghujat. Viza harus kebal, berusaha menebalkan kuping meski rasanya kesal sekali. Dalam hati mendoakan semoga para manusia zalim ini akan mendapatkan balasan setimpal.“Hei, curut busuk! Antar tuh dokumen ke ruangan personalia!” titah Mawar menunjuk dokumen.Viza mematuhi, ia mengambil dokumen yang ditunjuk. “Ruangan personalia dimana, Kak?”
“Jangan sentuh Viza!” tegas Vikram dingin, suaranya datar sekali.Sontak Mawar membelalak hebat. “Kamu itu supir ya! Beraninya menentangku!” Wanita itu menaikkan dagunya, angkuh.“Jangan kaitkan status sosial. Itu tidak ada sangkut pautnya!” Vikram datar sekali.“Hei, kamu nggak tau permasalahannya. Jangan asal main bela orang sembarangan. Perempuan sialan ini sudah merusak dokumenku! Lihat ini!” Mawar menunjukkan kertas yang basah dengan emosi, urat wajahnya sampai menegang. “Cara bicaramu menunjukkan kualitasmu!” Vikram melenggang pergi menggandeng Viza, tak peduli Mawar yang terus berteriak memaki mengucapkan kata-kata umpatan. Segala jenis nama-nama kebun binatang diserukan.Mawar emosi sekali akibat dokumen miliknya yang rusak.Vikram membawa Viza menjauh, lalu melepaskan tangan itu begitu saja. Dia berjalan menjauh tanpa mengatakan apa pun.Viza menatap punggung pria itu hingga menjauh. “Jangan diam kalau dibuli!” seru Vikram sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Bahkan
“Rejeki itu Allah hadirkan nggak hanya melalui tangan Vikram saja, ada banyak cara untuk kamu bisa bertahan hidup tanpa melibatkan Vikram maupun Viza,” sahut Fairuz. “Aku hanya tidak ingin berurusan dengan keluarga Bu Mulan lagi. Hubungan yang tidak baik maka lebih baik disudahi atau dijauhi, ini sama dengan menjauhi mudharat. Jadi inilah keputusanku!” Vikram lalu melenggang pergi. “Mbak Viza, kamu nggak kasian sama Bapak? Bapak lagi sakit. Ibu dan bapak nggak punya rumah hingga menumpang di rumahnya Mas Leo. Kami bahkan sekarang nggak punya penghasilan. Aku pun sedang hamil. Tolong bantu kami!” Runa memohon pada Viza, takut hidupnya akana sengsara jika tanpa pendapatan. “Mbak Viza diam-diam bisa kirimin aku uang, tolonglah Mbak. Bantu bapak berobat juga.” “Aku taat sama suamiku. Aku nggak berani berkhianat di belakangnya,” sahut Viza. “Mbak, tapi keadaan kami benar-benar down.” Wajah Runa memelas. “Kamu punya suami yang sempurna secara fisik, dia juga sehat walafiat. Insyaa
Viza ikutan membaca tulisan itu. (Teruntuk Viza tersayang, Saat kamu membaca tulisan ini, mungkin aku sudah tiada. Atau mungkin aku telah celaka dan dalam keadaan kritis. Atau bisa saja baik-baik saja. Kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi padaku saat aku menabrak suamimu, biarkan dia m4ti. Aku pun tak masalah jka harus meregang nyaw4 untuk kematirn Vikram. Jika bukan aku yang memilikimu, maka orang lain pun tidak boleh. Sudah sangat lama aku rencanakan kematiannya, biarlah aku ikut m4ti jika memang dikehendaki m4ti. Viza, aku sudah sangat lama memendam rasa cintaku kepadamu. Bagaimana mungkin aku merelakanmu dimiliki lelaki lain? Hidupmu hanyalah untukku. Itulah cita-citaku selama ini. Surat kaleng itu kiriman dariku. Tujuanku hanya satu, memberikan kebahagiaan untukmu. Leo telah memberikan informasi akurat untukku bisa menuliskan surat itu. Tentu saja dengan bertukar keuntungan. Aku ijinkan Leo menikahi wanita yang diam-diam dia cintai, yaitu Runa. Aku pun mendapatkan keuntun
“Mas Vikram!” Viza menghambur dan memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali pecah.Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan sang suami. Ia tak menyangka masih bisa bertemu dengan Vikram setelah mengira sang suami tak akan pernah kembali lagi.Dan kini, Viza bahkan masih bisa memegang suaminya, memeluk pria itu dengan erat.Tak lama Viza merasakan elusan di punggungnya. Deraian air mata Viza semakin deras merasakan elusan lembut itu. Artinya sang suami masih mau menerimanya dengan baik.“Mas, kupikir kita nggak akan ketemu lagi. Kupikir kamu pergi meninggalkan aku. Kamu udah janji mau menjagaku. Aku nggak mau kamu pergi. Kamu harus tepati janjiku.” Viza sesenggukan.“Tidak. Aku tidak pergi. Aku di sini,” lembut Vikram.Hati Viza basah mendengar suara lembut itu.“Mas Vikram masih sayang sama aku kan?” tanya Viza.Tak menjawab, Vikram malah mengerang. “Aaargggkh….”Viza mengernyit. Ia melepas pelukan dan memundurkan wajah, menatap sang suami bingung. “Sakit? Mana yang sakit?”“Punggung dan
Viza memegang kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Takut sekali. Kemungkinan buruk itu sudah bertengger di kepala Viza. Tangannya gemetar saat menggeser tombol hijau. “Ha haloo…” Suara Viza lirih. “Nyonya, sebaiknya Anda segera ke rumah sakit sekarang. Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi….” Mendengar kalimat yang diucapkan dokter, Viza sudah tahu sambungannya. Dia menjauhkan hp dari telinga. Menurunkan benda pipih itu ke bawah. Ia tak perlu mendengar sambungan kalimat dari dokter. Dengan langkah gemetar, Viza menuju ke kamar yang dituju. Tubuhnya mendadak terasa dingin. Ia menerobos masuk ke kamar sesaat setelah mendorong pintu. Suster menutup bagian wajah pasien dengan kain. Dokter melepas handscoon dan bersiap hendak keluar kamar. Dokter menunjuk Viza dan berkata, “Anda…” “Istri korban,” lirih Viza menatap sayu. “Maaf, kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi sudah terlalu jauh dari kata selamat. Nyawa suami Anda tidak bisa diselamatkan. Tuhan b
“Semua kesalahan masih bisa dimaafkan.” Fairuz berusaha menenangkan putrinya. “Vikram memang kecewa berat sama kamu, tapi pasti dia akan kembali kepadamu. Jangan khawatir ya. Ibu tahu kok bagaimana Vikram. Dia anak yang baik.” “Bagaimana kalau Mas Vikram membatalkan pesta pernikahan kami? Dia pasti nggak peduli meskipun uang milyaran yang dia gunakan untuk pesta pernikahan terbuang sia-sia.” “Nanti bisa kamu bicarakan baik-baik dengannya. Kalau hati Vikram sudah lega, dia pasti bisa diajak bicara secara dewasa kok. Ini hanya karena dia lagi emosi aja.” Viza menghela napas. “Sebenarnya, yang paling aku takutkan itu satu hal, bagaimana kalau rasa sayangnya ke aku jadi hilang gara-gara ini?” “Nggak semudah itu.” Fairuz mengusap punggung tangan putrinya dengan senyum. Perkataan Fairuz berhasil mengurangi sedikit kecemasan Viza. Meski itu hanyalah kata-kata sekedar menghibur saja, atau memang sungguhan pendapat Fairuz benar, yang jelas Viza merasa mendapat support. Brrrt brrrrt…
Cekrek cekrek. Kilatan kamera memotret wajahnya dari berbagai sisi dan berbagai gaya pula. Bibir dibikin manyun, dibikin tersenyum, jari membingkai wajah, dan berbagai macam gaya. Viza memilih beberapa gambar dan mengirimkannya ke nomer Vikram. Tak mengapa nakal sedikit sama suami. Halal. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Caption di gambar juga dibikin nakal. ‘Mas gk pingin ketemu nih?’ ‘Aku salah, tapi aku kangen. Gimana dong?’ ‘Maafin aku ya, sayang. Pulang dong. Mau peluk.’ ‘Kalau Mas Vikram di sini, aku lepas semuanya deh.’ Pesan terkirim. Centang dua. Tapi tidak dilihat juga. Lama menunggu, bolak balik mengecek, tetap saja tidak dibaca. Duh, kok jadi cemas ya? *** Viza menggeliat di atas kasur empuk. Kasur ini memang nyaman sekali. Bikin betah berguling bebas di sini. Eh, tunggu dulu. Kok Viza sudah berada di atas kasur? Seingatnya, tadi malam ia ketiduran di kursi dekat jendela. Lalu siapa yang mengangkat badannya ke kasur dan bahkan menyelimuti dengan bed co
Gubrak! Viza tersungkur setelah tersandung. Duh, Vikram kali ini lengah, dia tidak menangkap badan Viza. Entah pria itu sedang tidak sigap, atau memang dia sengaja tak mau menangkap badan Viza. Dada Viza yang masih dalam masa perkembangan itu sakit sekali. Kalau suami marah, efeknya Viza jatuh sendiri, bangkit pun sendiri. Tanpa bantuan. Eh, Viza melihat tangan terjulur ke depan wajahnya. Pandangan Viza naik dari telapak tangan menuju ke wajah. Wajah datar Vikram dingin sekali. Viza tersenyum menyambut tangan suaminya. “Terima kasih, Mas.” Meski dibantu dengan muma dingin, namun Viza tetap menunjukkan sikap manis. Viza sedang berusaha melukuhkan hati suaminya, maka jangan putus asa. “Diamlah supaya tidak terjatuh!” titah Vikram kemudian melenggang keluar rumah. Pria itu masih terluhat dingin. “Mas…… Tunggu….!” Viza mengejar Vikram. “Aku minta maaf. Plis, jangan marah! Mas, aku sayang kamu.” Vikram masuk ke mobil. Senyum Viza perlahan lenyap menatap mobil yang kemudian
Hening.Beberapa detik benar-benar sunyi.Lalu terdengar suara sepatu melangkah mendekat. Vikram berada tepat di belakang Viza.Caruk leher Viza sempurna meremang. Ia kemudian bangkit berdiri, memutar badan hingga menghadap dengan Vikram. Mereka bertukar pandang.Wajah Vikram tak seperti biasanya. Pria yang selalu terlihat manis dan hangat, kini dingin. Tatapannya pun dingin.“Mas, aku…”“Aku bahkan telah membatalkan meeting dengan dua klien besar untuk makan malam kita di restoran kemarin,” potong Vikram datar. Viza semakin merasa bersalah. Aduh, bagaimana ini? Vikram pasti merasa sangat kecewa. Begitu banyak hal besar telah dia korbankan demi hal kecil bersama dengan keluarga kecilnya, tapi istrinya ini malah memporak-porandakannya.Demi apa Vikram melakukan hal itu? Tentu demi rasa sayangnya pada Viza. Huh, kenapa Viza bisa termakan ucapan si pengirim surat kaleng itu?“Maaf, aku sudah mengacaukan semuanya.” Viza berucap lirih.“Tidak ada bulan madu ke Mesir, tidak ada pesta.”“Ta
“Ucapanku ini berlaku jika memang tuduhanmu benar, tapi kenyataannya tuduhanmu ini keliru. Kamu salah paham, Viza.” “Kalau begitu jelaskan dan luruskan dimana letak kesalahpahamanku supaya aku mengerti.” Mones mengusap air mata, tangisnya sudah terhenti. Ia menarik napas untuk menenangkan diri. “Memang benar aku mencintai Vikram sejak lama, aku menyimpan perasaan itu, aku memendamnya karena takut persahabatan kami akan rusak oleh perasaan yang nggak seharusnya. Juga karena aku takut dia akan menjauhiku saat tahu aku mencintainya,” jelas Mones. “Setahuku, Vikram hanya mencintaimu. Dia nggak pernah mencintaiku. Bahkan setelah dia mendengar pengakuanku di restoran waktu itu, bahwa aku mencintainya, responnya sangat datar. Dia bilang supaya aku profesional kerja. Sebab dia sudah beristri.” “Lalu, kartu undangan itu apa?” Viza menunjuk kartu undangan di tangan Mones. “Ini?” Mones mengangkat kartu itu. “Ini adalah salah satu bentuk dan caraku menuangkan rasa cintaku ke Vikram. Ini car