Ray telah menuduh Andara berselingkuh dengan Yugo dan dia sudah memaki Ancara dengan begitu kejam.Peremluan itu merasa dipermalukan dan dikhianati oleh orang yang dia cintai."Tega kamu, Ray, menuduhku begitu!" kata Andara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan.Ray terdiam sejenak seolah menyadari betapa mendalam luka yang telah dia torehkan pada hati istrinya itu. Dia mencoba menjelaskan alasan-alasannya tetapi kata-kata tersebut hanya membuat situasi semakin buruk.Ray telah membuat Andara menutup pintu hatinya.Hari-hari berikutnya menjadi sangat sulit bagi mereka berdua. Mereka hidup dalam suasana tegang; percakapan ringan menjadi perdebatan sengit dan malam-malam tenang menjadi pertengkaran panjang.Andara merasa terluka dan malu. Dia merasa seperti semua mata di kantor menatapnya, berbisik tentang tuduhan Ray. Dia tidak bisa fokus pada pekerjaannya dan setiap kali bertemu dengan Yugo dia tidak kuat menunjukkan wajahnya lagi.Sampai pada bata
Andara menatap Yugo yang semakin menjauh. Wajahnya tampak sedikit bingung dan kecewa. Junior, geleng-geleng."Jangan tersinggung dengan kakakku." Suami Mahes yang juga atasan Andara di kantor mencoba mencairkan suasana. "Kakakku orangnya memang begitu."Andara memalingkan wajahnya untuk melihat Junior. "Saya nggak tersinggung, Pak."Andara menunjuk Mahes. "Ini istri Bapak?"Junior langsung dengan bangga mengenalkan Mahes istri atau bisa juga dibilang satu-satunya wanita yang mendampingi dia dari 0."Cantik, kan?" Dia menyimpulkan senyum.Mahes mencubit perut suaminya. Dia serius, bilang kalau tidak lagi mengatakan hal ini."Aku Mahes!" Mahes mengenalkan diri.Andara menyambut uluran tangan itu. "Saya Andara, Bu."Mahes menolak dipanggil ibu. "Panggil Mahes saja, ini kan diuar kantor. Lagian, saya juga umurnya mungkin sama dengan Mbak Andara.""Dia baru 24." Junior seolah berbisik saat mengatakan umurnya. Itu berarti 2 tahun di bawah umur Andara sekarang.Mengalihkan perhatiannya dari
Maura masih sakit hati karena Ray tidak bisa mempertahankan rumah tangganya dengan Andara, tiab-tiab putranya itu malah datang memabwa Renata ke rumahnya."Tante …." Renata hampir menyalami tangan ibunya Ray tersebut, tapi dengan cepat Maura menepis tangannya.Situasi yang Ray pikir akan aman-aman saja sekarang malah tidak sesuai dengan dugaannya."Mau apa kalian ke sini?" tanya Maura dingin."Aku mau kenalin Mama sama Renata."Maura mengangkat tangan. "Kamu nggak perlu lakukan itu, Ray. Mama sudah kenal dia."Renata hanya bisa mengepal tangan menahan malu karena keberadaannya di sini tidka diterima."Ma!""Mama sakit kepala!" Maura menyela omongan anaknya. "Kalau kamu nggak ada urusan lagi di sini lebih baik pergi saja. Mama nggak mau diganggu."Renata menggigit bibirnya, membiarkan Maura menunggalakan mereka begitu saja di ruang tamu.Mau tidak mau, Ray mengajak Renata untuk keluar duku dari rumahnya."Sorry." Laki-laki itu menghela nafas panjang begitu duduk di mobil. "Aku nggak n
Ray memutuskan akan menikahi Renata. Meski masih ada sedikit kebimbangan dalam hatinya. Ya ... bisa dibilang Ray sedang galau sendiri karena di satu sisi dia masih memikirkan Andara dan Renata mulai protes soap itu.Ray akan mewujudkan simbol cinta itu dalam bentuk cincin.Untuk menemukan cincin yang sempurna, sore ini Ray akan datang ke toko perhiasan langganannya siang ini.Semoga saja dia bisa memilih ukuran cincin yang pas.Omong-omong, selera Renata itu bagaimana, ya? Apakah dia lebih suka sesuatu yang sederhana atau mewah? Apakah dia lebih suka emas putih atau emas kuning? Apakah dia menyukai batu permata tertentu?Dia ingin memberikan kejutan. Jika bertanya dulu pada Renata maka rencananya bisa gagal.Modal nekat, Ray langsung pegi ke toko perhiasan untuk melihat sendiri cincin yang pertunangan yang bagus. Dia yakin tahu bagaimana selera wanita itu. Setidaknya dulu enam tahun mereka sudah bersama.Tiba di toko yang dipilih, Ray bertemu dengan pramuniaga dan mereka berdiskusi se
"Ambil cincin itu!" Pria di depan Andara ini menegaskan, matanya menatap dengan intensitas yang nyaris tak tertahankan.Andara menatap cincin itu sebentar. "Aku nggak mau menerima cincin ini, pergilah!" Perempuan itu menegaskan. Wajahnya tegang, jika Ray bisa menilai."Sesombong itu kamu sekarang menolak cincin dariku!" Ray menyuarakan kekecewaannya, menambah lapisan emosi yang sudah rumit dalam pertemuan tersebut.Andara hanya memelotot. Paginya seketika terasa suram. Udara terasa lebih berat dari biasanya, menekan setiap kali dianbernapas.Perempuan itu mengunci pintu rumah, lalu melenggang keluar."Andara!"Andara mencebik. "Mau kamu apa, Ray!" Dia menahan langkahnya, berbalik untuk memelotot pada laki-laki itu."Berani sekali kamu tanya begitu!" Ray menyusulnya. Andara menatapnya, Ray merasakan kegelisahan dalam dirinya yang tidak bisa dijelaskan. campuran antara rasa marah, terhina, dan dia sedang mengharapkan wanita itu mau kembali padanya.Ray menatap Andara dengan tatapan y
Beberapa minggu setelah itu .... Andara kepikiran dengan ancaman Ray. Dia tidak mau dihina terus menerus dihina mantan suaminya apalagi diremehkan. Tapi, dia juga tidak sanggup untuk mengajak Yugo ikut campur dalam masalah ini. Makan siang pun rasanya tidak berselera. "Ngelamun terus!" Irena menegur. Kebetulan siang ini mereka dapat kesempatan makan siang bersama. "Masih kepikiran sama mantan suami?" Andara tersenyum tipis. "Ngapain aku masih mikirin itu." Irena menyuapkan bakso bakar ke mulutnya. "Ada masalah lagi?" Andara mengangguk. "Ray mengundangku ke pernikahannya dengan Renata." "Kapan?" "Minggu depan." Andara menjawab lesu. Sebenarnya, dia juga masih kepikiran dengan mantan ibu mertuanya yang masih selalu baik, bahkan berharap Andara bisa balikan lagi dengan Ray. Irene mencebik. "Nggak sampai satu tahun langsung mau nikah lagi." Andara menipiskan bibir. Ada hal yang tidak pernah Andara ceritakan yaitu tentang perselingkuhan Ray dengan Renata. "Cinta mereka sudah lebi
Andara tidak bisa tidur semalaman. Dia terus memikirkan kata-kata Yugo yang bilang kalau satu jam sebelum acara dimulai, dia akan menjemput. Itu berarti sebentar lagi. Dan, dengan bodohnya Andara memercayai kata-kata itu.Ya ... saat ini perempuan sudah siap dengan pakaian pesta yang menurutnya sudah sangat cocok jika harus bersanding dengan Yugo. Bahkan, merias diri cukup cantik. Setidaknya itu menurut cermin yang saat ini sedang ditatapnya.Terus, kenapa dia masih berada di rumah? Apakah dia benar-benar akan menunggu Yugo datang?Andara bergidik sendiri karena pikirannya. Dia merasa sangat konyol karena menunggu kedatangan Yugo.Sebaiknya dia segera pergi.Perempuan itu mengambil clutch menyemprotkan sedikit minyak wangi ke pergelangan tangan dan juga area tengkuknya supaya bisa lebih percaya diri, lantas bersiap untuk mendatangi acara pernikahan Ray.Hatinya sudah begitu kuat, mantan suaminya menikah lagi dan dia ditantang untuk datang. Tidak ada rasa takut sama sekali. Bagi Andara
"Kamu pengantin wanitanya?" Yugo menunjuk saat dia sudah berada di depan Ray dan juga Renata. Setidaknya, meski pertemuan dengan Ray itu begitu buruk mereka sudah pernah berkenalan. Mata Renata terbuka lebar dengan rasa takjub yang jelas terpancar dari wajahnya. Dia memberikan kesan kekaguman yang mendalam. "Oh, iya. Aku pengantin wanita." Renata menebar senyum yang merekah. Yugo memberi ucapan selamat, sekaligus maaf. "Aku datang terlambat karena ada urusan. Andara mungkin sungkan untuk menunggu makanya dia datang sendiri." Andara hanya bisa diam. Jujur saja hingga detik ini dia masih berusaha untuk mengatur detak jantung yang sejak tadi tidak beraturan. Renata melirik Andara. Jika benar pria tampan yang ada di depannya ini adalah pengganti Ray, itu berarti dia mendapatkan jauh lebih baik. Ray diam juga, hanya rahangnya tampak mengeras. Beda dengan Renata, dia menunjukkan ekspresi yang tidak suka. Maura menghampiri mereka. "Ray, Renata!" Dia menegur anak dan juga menantunya. "Ke
Angela yakin bahwa rencananya akan berjalan dengan sempurna. Dia telah merancang skenario yang cermat untuk memecah belah Yugo dan Andara, berharap bisa menghancurkan hubungan mereka. Tapi, realitas yang pahit harus dia hadapi. Angela gagal. Setelah segala usaha dan taktiknya, Angela harus mengakui bahwa dia tidak berhasil membuat Siena membenci Andara. Sebaliknya, Siena yang polos dan berhati baik, tetap menerima Andara dengan tangan terbuka. Siena, dengan kepolosannya, melihat Andara bukan sebagai musuh, tapi sebagai calon ibunya. Dia melihat kebaikan hati Andara dan cinta yang tulus dari Andara kepada ayahnya. Angela, yang selalu berusaha menanamkan keraguan dan kebencian pada hati Siena, harus menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa mengubah pandangan Siena terhadap Andara. **** Hari itu, kantor tampak lebih sibuk dari biasanya. Telepon berdering tanpa henti, mesin fotokopi berbunyi keras, dan suara keyboard yang dipukul oleh jari-jari cepat menciptakan simfoni yang khas di r
Yugo mempersiapkan dirinya untuk menjemput Andara. Mobilnya, yang berkilauan bersih dan rapi, terasa seperti ekstensi dari dirinya sendiri, siap untuk mengambil peran penting dalam hari ini. Dia memeriksa jam tangan dan tersenyum puas. Tepat waktu.Dia memacu mobilnya melalui jalanan yang biasa dia lalui, tetapi kali ini dengan suasana hati yang berbeda. Dia menikmati setiap putaran, setiap lampu lalu lintas, dan setiap detik dalam perjalanan ini. Tiba di rumah Andara, dia melihat sosok yang sudah dinantikan berdiri di depan rumah, menunggu.Yugo memarkir mobilnya dengan hati-hati dan turun. Dia menutup pintu mobil dan berjalan menuju Andara. Dia menatapnya, membiarkan matanya meresap ke dalam kecantikan Andara yang mempesona. Sebuah pujian meluncur dari bibirnya, "Kamu cantik hari ini."Andara tersenyum, pipinya sedikit memerah. Dia berterima kasih dan membalas pujian Yugo, "Makasih, Mas Yugo. Kamu juga tampak tampan." Ada rona bahagia di wajahnya yang membuat Yugo merasa berharga.Y
Keramaian kantor dipenuhi oleh suara keyboard yang berdenting dan bisikan-bisikan dari rekan-rekan kerja yang saling berkomunikasi. Di tengah kebisingan itu, Andara mendengar suara lembut namanya dipanggil melalui sistem interkom. Yugo meminta Andara untuk datang ke ruangannya, ada hal penting yang ingin dibicarakannya.Andara berjalan menuju ruangan Yugo dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Mungkinkah ada tugas tambahan yang harus dikerjakan? Atau mungkin ada proyek baru yang perlu dibahas? Namun, ketika dia membuka pintu ruangan Yugo, suasana yang ia temui tidak sesuai dengan apa yang ia perkirakan. Yugo, dengan serius, malah membicarakan soal kehidupan pribadi mereka."Umh, Siena ingin mengajakmu makan malam di rumah," kata Yugo tiba-tiba, tanpa adanya pembukaan pembicaraan.Andara tampak tercengang, merasa kikuk. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit bingung yang terpampang di wajahnya. "Kamu mau ajak aku makan malam?" tanyanya, dengan suara yan
Andara menatap Yugo dengan rasa penasaran yang mendalam. Matanya menyapu kontur wajah Yugo, mencari-cari sesuatu yang berbeda. Dia merasa ada yang tidak biasa tentang Yugo hari ini."Kamu kenapa?" tanya Yugo, mencoba meraba-raba apa yang mungkin terjadi.Andara menatap balik Yugo, matanya bersinar dengan semacam ketidaknyamanan yang sulit diartikulasikan. "Nggak kenapa-napa," jawabnya, seringai paksa menghiasi wajahnya.Yugo merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Andara."Apa tempat ini kurang nyaman buatmu?" tanya Yugo, mencoba mencari tahu apa yang membuat Andara merasa tidak nyaman.Andara menatap sekeliling, memperhatikan suasana sekitar mereka. "Nyaman, kok, Pak," jawabnya, mencoba menenangkan Yugo. Sayangnya, dia menggunakan panggilan yang salah untuk kekasihnya itu hingga membuat dia memberengut.Sadar akan kesalahannya, Andara segera meralat panggilannya. "Oh, oke, akj nggak panggil 'Pak'. Aku akan panggil kamu Mas. Oke?" ujar Andara dengan nada yang lebih ringan, menco
Yugo hari ini mengantarkan Siena ke rumah Angela. Selain karena memang hari ini jatahnya untuk bersama ibunya, dia juga ada acara dengan Andara. Tidak enak kalau Siena diajak. Ini pasti akan membuat tidak nyaman baik antara Siena ataupun Andara."Aku titip Siena."Angela mendengkus. Yugo ini sungguh bersikap tidak pantas dengan berkata seperti itu pada sosok wanita yang merupakan ibu kandungnya Siena."Aku ini ibunya, kamu nggak perlu cemas." Angela merangkul pundak Siena, menunjukkan keakraban di antara mereka.Yugo merotasi mata. Angela itu bukan ibu yang bisa dipercaya. Buktinya saja, saat acara ulang tahun Siena, dia malah memilih untuk buru-buru pergi."Papa akan jemput nanti malam," ujar Yugo kepada Siena."Iya, Pa," jawab Siena dengan senyum manisnya. Yugo pergi meninggalkan rumah besar tersebut. Mobil hitamnya menghilang di belokan jalan, meninggalkan debu putih yang berterbangan di udara.Sementara itu, Angela mengajak Siena masuk ke dalam rumah dan menuju taman belakang yan
Hari ini adalah hari yang cukup sibuk bagi Yugo. Dia memiliki urusan di luar kantor yang harus diselesaikan. Untungnya, sekretarisnya, Irena, telah menyiapkan segalanya dengan baik. Dari jadwal pertemuan hingga dokumen-dokumen yang diperlukan. Sehingga, semua berjalan lancar dan tidak ada masalah yang muncul.Tapi, meski segala sesuatunya tampak berjalan baik-baik saja, Irena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ekspresi wajah Yugo tampak berbeda dari biasanya. Biasanya dia tampak tenang dan percaya diri tetapi hari ini ada kerutan di dahi dan matanya terlihat lelah seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang serius.Irena merasa curiga dan mulai bertanya-tanya dalam hati apakah dia telah melakukan kesalahan atau ada sesuatu yang belum ia selesaikan dengan baik sehingga membuat bosnya itu tampak gelisah. "Pak," tanyanya ketika mereka dalam perjalanan kembali ke kantor setelah menyelesaikan urusan di luar tadi. Suaranya dipenuhi kekhawatiran.Yugo menoleh padanya, tanpa menjawab langsung
Pagi itu, Yugo terlihat terenyum sendiri. Cahaya matahari pagi yang hangat menyinari wajahnya yang tampak bersemu. Dia duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya, matanya menatap jauh ke luar jendela.Sementara itu, Siena, putri kecil Yugo, sedang memperhatikan ayahnya dari ujung meja. Matanya yang bulat besar tampak penuh rasa penasaran dan bingung. "Papa kenapa?" tanya Siena dengan nada polos. Yugo menoleh dan melihat Siena dengan senyum lembut di wajahnya. "Papa nggak kenapa-napa," jawabnya sambil mengelus kepala Siena lembut. "Tapi aku lihat Papa senyum terus dari tadi," sahut Siena sambil mengerucutkan bibirnya, seolah tidak percaya dengan jawaban ayahnya. Yugo hanya tertawa mendengar perkataan putrinya tersebut. "Itu cuma perasaanmu," balas Yugo sambil kembali menyeruput kopinya.Namun dalam hati, Yugo merasa bahagia, senyumannya adalah refleksi dari perasaan bahagianya karena Andara telah membalas cintanya. Setelah menyelesaikan kopinya, Yugo bangkit dari kurs
Yugo tidak bisa mengelak dari pertanyaan yang diajukan oleh Andara. Dia merasa terjepit dan sadar bahwa kebenaran harus dihadapi. Dengan senang hati Yugo mengangguk sebagai tanggapan atas pertanyaan Andara."Kamu menyadarinya?" tanya Yugo dengan suara yang lemah.Andara mengiyakan. Dia telah menyadari kebenaran yang tersembunyi sejak awal melihat fitur-fitur wajah anak itu dan langsung tahu kemiripannya dengan Yugo. "Sejak awal saya bertemu dengannya, wajah anak itu terlihat familiar, dan saya langsung sadar bahwa itu adalah fitur-fitur wajah Bapak."Yugo menipiskan bibirnya. Dia tahu bahwa masa lalu kelamnya telah mempengaruhi kehidupan orang-orang di sekitarnya, termasuk putra yang tidak pernah mengetahui hubungan biologis mereka."Itu masa lalu, Pak," kata Andara dengan lembut. Dia ingin Yugo tahu, meskipun masa lalu kelam itu ada di sana, Andara ingin memastikan bahwa mereka bisa melanjutkan hidup dan menciptakan masa depan yang lebih baik.Yugo tersenyum hangat saat mendengar ka
Andara merasakan wajahnya memerah, panas oleh rasa malu yang menghampiri. Dia membungkukkan badan, meminta maaf pada Yugo."Maaf, Pak." Andara merasa benar-benar kikuk dan napasnya juga tidak beraturan."Andara!" Yugo sedikit menyentak karena dia tidak mau wanita itu merasa bersalah. Yugo memegang bahunya, mencoba membuat dia tenang. "Tenanglah," ujarnya pelan.Andara merasa seolah-olah oksigen di sekitarnya semakin habis. Rasa cemas dan takutnya membuatnya sulit bernapas secara normal.Yugo menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Dia berbahagia sekaligus mencoba mengerti dan simpati. Dia tahu betul bahwa Andara sedang mengalami tekanan emosional yang besar dan dia berusaha sebaik mungkin untuk menjadi penenang baginya."Jangan masuk dulu," ucap Yugo sambil bersandar di mobil, matanya menatap langit yang gelap. Ada sesuatu yang membuatnya terpesona dan terpikirkan. Andara merasa ragu, tapi dia memutuskan untuk mengikuti apa yang Yugo lakukan.Dia bergabung dengan Yugo, men