“Kenapa, Ran?” tanya Kak Hamzah terlihat panik.“Nggak tahu, Kak. Perut aku tiba-tiba sakit.”“Memangnya sudah waktunya melahirkan?”Aku menjawab dengan gelengan kepala.“Masih kurang tiga mingguan lagi, Kak!”“Terus? Apa kita perlu kembali ke rumah sakit?”“Nggak usah, Kak. Mungkin aku terlalu kecapekan.”“Ya sudah kalau begitu. Lebih baik kamu istirahat. Kalau nanti kamu butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi aku. Aku akan siaga dua puluh empat jam buat kamu.”“Terima kasih, Kak. Aku masuk dulu ya.”Pria dengan garis wajah tegas itu mengulas senyum tipis lalu mengangguk.Aku segera masuk ke dalam rumah sambil memegangi perut bagian bawah kemudian duduk menyandarkan tubuh di sofa, meluruskan kaki sambil mengusap perut yang terasa mulai nyaman.Setelah nyeri di area perut sudah tidak lagi terasa, aku segera turun dari sofa dan berjalan menuju dapur membuat teh hangat untuk menghangatkan tubuh agar tidak merasa tegang.Akan tetapi beberapa menit kemudian sakit itu kembali terasa, hilang
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan. Terdengar suara hamdalah terucap dari mulut Bunda, dan dia segera mendaratkan kecupan singkat di kening."Anak aku mana, Bun?" tanyaku dengan suara lemah, karena tenaga ini belum sepenuhnya pulih."Ada di ruangan khusus bayi. Besok pagi baru dibawa ke ruangan ini kata perawat," terang Bunda membuatku sedikit bernapas lega."Ayah siapa yang nemenin, Bun?""Ada Hamzah sama Dimas. Mereka yang nemenin Ayah malam ini.""Oh, aku pikir sendirian." "Tidak. Tadi setelah nemenin kamu di sini Hamzah langsung ke rumah sakit tempat Ayah dirawat. Dimas juga sudah pulang, barusan dia WA Bunda. Ya sudah. Mendingan kamu istirahat dulu biar tenaganya cepet pulih. Tadi kamu sempet pingsan karena kelelahan sama kurang darah.""Terima kasih ya, Bun. Karena Bunda selalu memberikan limpahan kasih sayang sama aku. Maaf karena aku belum bisa membalas budi kepada Bunda dan Ayah.""Kamu tidak pernah berhutang budi sama Bunda. Kamu i
"Anak ini benar-benar anakku, Bu," lirihku seraya menahan sesak di dada."Ish! Apa-apaan, sih. Ayo kita pulang!" Ibu meletakkan kembali bayi tersebut dan menarik tanganku keluar dari ruangan tempat dimana istri, ah, lebih tepatnya mantan istri serta anakku sedang dirawat."Kenapa bayi itu mirip sekali dengan kamu, Siz?" tanya Ibu ketika kami sudah berada di dalam mobil."Mungkin dia memang anakku, Bu," jawabku sembari mengusap kasar wajahku.Tuhan. Kenapa tiba-tiba perasaan bersalah langsung menghakimi hati. Aku menyesal karena sudah tidak percaya kepada Rania, mentalaknya secara tidak terhormat serta menorehkan luka begitu dalam di dasar hati wanita berparas ayu itu.Bodohnya aku, karena lebih mempercayai Ibu dan saudari-saudariku. Padahal aku sendiri yang merasakan bahwa Rania memang masih suci ketika tubuh kami pertama menyatu. Aku yang memertamainya. Tapi, kenapa harus termakan hasutan orang-orang?Bahkan, omongan Kayla yang notabene seorang dokter kandungan juga tidak aku percaya
"Fik. Bagi Mas duit sepuluh juta dong!" Menodongkan tangan kepada adikku yang sedang asik memoles wajahnya dengan bedak di depan kaca."Memangnya mau buat apaan, Mas, minta uang sebanyak itu?" tanya Rafika tanpa menoleh. Dia tetap saja fokus ke wajahnya yang sudah dirias sedemikian rupa. Sudah persis seperti ondel-ondel."Mas mau tes DNA anaknya Rania, Fik. Dia itu mirip banget sama Mas. Makanya Mas mau tes biar tahu dia beneran anaknya Mas atau bukan.""Nggak ada. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Enak saja minta-minta terus. Aku yang capek kerja siang malam, Mas yang mau nikmati. Makanya cepetan cari kerja. Jangan cuma ongkang-ongkang kaki di rumah sama minta duit. Dasar benalu!" rutuknya panjang lebar.Aku segera keluar dari kamarnya. Malas beradu argumen dengan Rafika, nanti ujung-ujungnya merembet kemana-mana.Awas saja kamu, Fik. Jangan salahkan aku kalau sampai menggambil uang kamu secara diam-diam.*Kamu kapan mau membawa sampel DNA anaknya Rania ke rumah sakit, Zis?" tanya
Setelah mengetahui alamat mantan istri, dengan cukup percaya diri mendatangi kediamannya yang ternyata lumayan cukup jauh dari rumah tinggal terdahulu. Berada di jantung kota Bekasi dan perjalanan menuju ke rumah nenek Rania begitu padat merayap hampir menghabiskan waktu selama dua jam.Tapi tak apalah. Semua demi Rania. Bukankah jika kita ingin mendapatkan sesuatu, kita juga perlu perjuangan dan berkorban?Putaran keempat roda mobilku berhenti tepat di depan rumah minimalis berlantai dua. Dada ini bergemuruh hebat. Hati ini terasa panas bagai ada api yang sedang menyala, melihat Hamzah sedang berada di rumah Rania bersama kedua orang tuanya. Apa sih maunya mereka? Tidak malu apa mendatangi rumah seorang janda, yang mantan suaminya masih berharap dia kembali.“Arghh!” Memukul setir dengan begitu keras, hingga tanganku teras nyeri. Terlebih lagi hati ini, karena keluarga mantan istri terlihat begitu dekat dengan si Hamzah sial*n itu!Sambil mengatur napas yang terengah-engah akibat emo
Senyum terkembang lebar di bibir ketika membaca hasil tes yang telah aku lakukan. Alhamdulillah. Ternyata Rania memang wanita yang setia. Bayi laki-laki itu anak kandungku dan itu membuktikan kalau Rania tidak pernah berselingkuh.Terima kasih, Rania. Karena kamu sudah menjadi wanita yang setia serta mampu menjaga marwah sebagai seorang wanita.Ah, kenapa perasaanku tiba-tiba berubah seperti ini. Rasa bersalah begitu menghakimi hati, mengingat apa yang sudah aku lakukan kepada Rania dulu. Telah mencampakkannya, mentalaknya di depan umum, dan menyia-nyiakan dirinya selama sedang mengandung.Astaghfirullah ... Maafkan aku ya Allah. Aku terbawa emosi serta termakan hasutan orang-orang di sekitar. Semoga saja masih ada kesempatan ke dua untukku merajut asa nan bahagia bersama dirinya.Kembali melipat kertas tersebut, memasukkannya ke dalam amplop kemudian melungguh lemas di kursi panjang rumah sakit. Bayangan Rania saat menangis terus saja menari-nari dalam benak, seolah sedang menghakimi
"Ada apa ribut-ribut?!" Bunda tiba-tiba muncul sambil menatap sinis wajahku."Ini loh, Bun. Mas Azis maksa pengen ketemu sama Safaras."Oh, jadi mereka memberi nama anakku Safaras. Tega sekali mereka memberi nama putraku tanpa izin ataupun persetujuan dari diriku. Padahal. Aku ini ayah biologisnya. Orang yang paling berhak atas anak itu."Nggak. Nggak bisa! Faras sedang tidur dan tidak sedang menerima tamu!" sungut wanita berhijab panjang itu dengan sombongnya."Tapi dia itu anak saya, Bunda.""Lah, memangnya siapa yang bilang kalau dia anak Hamzah atau Dimas. Yang selalu berkata seperti itu 'kan kamu sama ibu kamu. Yang menganggap anak Rania bukan darah daging kamu juga 'kan kalian berdua. Aneh!" Ibu Rania melipat tangan di depan dada seraya mencebik bibir.Benar-benar keluarga ini. Berhijab semua akan tetapi tidak ada yang memiliki akhlak bagus. Suul adab semuanya. Penampilan dengan sifatnya tidak seimbang."Saya sudah melakukan tes DNA dan hasilnya DNA saya dan anaknya Rania cocok.
“Gue tidak takut, Azis. Gue nggak akan pernah gentar dengan ancaman elo!” Dia menatap nyalang wajahku.“Bedebah! Dasar Onta Arab!” makiku kesal.Hamzah mengangkat satu ujung bibirnya kemudian melenggang pergi meninggalkan diriku.Sialan!Bakalan gagal mendapatkan Rania dan meminjam uang untuk membeli sepeda motor kalau begini. Bisa habis aku dimaki Mbak Zalfa dan Ibu nanti.“Hamzah, tunggu!” cegatku menghalangi jalannya.“Apa lagi?”“Pinjamin gue duit sepuluh juta. Motor kakak gue ilang. Gue harus ganti motor itu biar nggak dapet masalah.”Lagi. Dahi laki-laki sok tampan itu berkerut sambil menatapku dengan mimik mengejek.“Gue minjem. Nggak minta!” sungutku kesal.“Nggak ada. Gue nggak megang duit sebanyak itu.”“Dasar sombong. Mentang-mentang anak orang kaya, elo sekarang semena-mena sama gue. Awas saja lo!”Aku melenggang pergi menghampiri anak buah Hamzah yang sepertinya sedang memberikan kembalian kepada pelanggan yang telah selesai menyervis mobilnya.“Gue minta selembar!” Menar