Enaknya sulis dan anak-anaknya diapain ya gaes ... Sudah asal tuduh, ngatain Rania pezina, padahal keluarga mereka sendiri yang bobrok. Azis juga, jadi cowok klemar-klemer, tidak punya pendirian dan gampang terhasut. Penasaran dengan kelanjutan dan endingnya? Jangan sampai ketinggalan tiap bab yang sudah emak up, jangan lupa follow, dan tinggalkan jejak di kolom komentar, beri rating bintang lima supaya Mak Othor tambah semangat up bab baru. Jangan lupa baca juga karya Emak SUAMIKU TERJERAT HUBUNGAN TERLARANG di aplikasi GN ya gaes .... Kisah seorang perjuangan Mayla Yasni yang dikhianati oleh suami serta keponakannya untuk tetap mempertahankan rumah tangga yang sudah lebih dari sepuluh tahun dia bina. Apakah hubungan Mayla dan Ibnu akan tetap bertahan meski Mayla harus menahan kesakitan, ataukah justru bermuara pada perpisahan? Cusss ... silakan baca semua karya Emak, tinggalkan jejak di kolom komentar, dan juga beri rating bintang lima 😘😘😘
“Kok dimatikan lampunya, sayang?” tanya suami dengan suara bergetar seraya membelai rambutku yang basah.“Biar romantis, Mas,” bisikku mesra.Dalam keremangan aku melihat dia tersenyum hangat kepadaku. Kedua netranya menyorotkan api cinta yang berkobar-kobar juga begitu besar. Beruntung sekali bisa dicintai oleh dua orang laki-laki, walaupun tidak bisa memiliki semuanya.Semakin hari perhatian Mas Moko begitu besar. Dia selalu memanjakan diriku, menuruti semua yang aku minta apalagi setelah aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang begitu tampan serta menggemaskan. Wajah bayi yang diberi nama Azis Syafi’i itu mirip sekali dengan ayah biologisnya. Bahkan hampir semua orang mempertanyakan masalah wajah bayiku yang sama sekali tidak mirip denganku ataupun Mas Moko.“Kok anaknya nggak mirip Mas Moko ya, Mbak Sulis?”“Anaknya nggak mirip bapaknya!”“Kenapa tidak mirip Mas Moko?”Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut-mulut rese para tetangga.Untung saja suami tid
"Mas, aku minta maaf. Tolong jangan tinggalkan aku, Mas!" meraih kedua kaki suami dan terus bersimpuh di hadapannya.Hening. Bibir Mas Moko terkatup rapat dan bergetar. Air mata yang sejak tadi aku lihat menggelayut di pelupuk pelan-pelan mulai mengular. Sakit ternyata ketika melihat dia menangis seperti itu."Silahkan kamu lanjutkan apa yang hendak kamu lakukan dengan laki-laki itu, Sulis. Mas permisi. Semoga kamu bahagia setelah kepergianku ini!" ucapnya seraya melenggang pergi tanpa lagi menoleh menatapaku.Ingin rasanya mengejar, akan tetapi keadaan tubuh yang sedang tidak berbusana membuatku tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa meratap."Dasar perempuan murahan. Sekarang kamu pergi dari ruangan saya ini!" istri Mas Hendra menjambak rambutku hingga banyak sekali rambut yang terbawa di sela-sela jari-jarinya."Dan kamu, Mas. Mulai hari ini kita pisah. Silahkan hidup dengan gundik kamu ini dan jangan pernah bawa apa pun dari rumahku. Kamu datang hanya membawa burung dan sarang
“Kenapa, Ran?” tanya Kak Hamzah terlihat panik.“Nggak tahu, Kak. Perut aku tiba-tiba sakit.”“Memangnya sudah waktunya melahirkan?”Aku menjawab dengan gelengan kepala.“Masih kurang tiga mingguan lagi, Kak!”“Terus? Apa kita perlu kembali ke rumah sakit?”“Nggak usah, Kak. Mungkin aku terlalu kecapekan.”“Ya sudah kalau begitu. Lebih baik kamu istirahat. Kalau nanti kamu butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi aku. Aku akan siaga dua puluh empat jam buat kamu.”“Terima kasih, Kak. Aku masuk dulu ya.”Pria dengan garis wajah tegas itu mengulas senyum tipis lalu mengangguk.Aku segera masuk ke dalam rumah sambil memegangi perut bagian bawah kemudian duduk menyandarkan tubuh di sofa, meluruskan kaki sambil mengusap perut yang terasa mulai nyaman.Setelah nyeri di area perut sudah tidak lagi terasa, aku segera turun dari sofa dan berjalan menuju dapur membuat teh hangat untuk menghangatkan tubuh agar tidak merasa tegang.Akan tetapi beberapa menit kemudian sakit itu kembali terasa, hilang
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan. Terdengar suara hamdalah terucap dari mulut Bunda, dan dia segera mendaratkan kecupan singkat di kening."Anak aku mana, Bun?" tanyaku dengan suara lemah, karena tenaga ini belum sepenuhnya pulih."Ada di ruangan khusus bayi. Besok pagi baru dibawa ke ruangan ini kata perawat," terang Bunda membuatku sedikit bernapas lega."Ayah siapa yang nemenin, Bun?""Ada Hamzah sama Dimas. Mereka yang nemenin Ayah malam ini.""Oh, aku pikir sendirian." "Tidak. Tadi setelah nemenin kamu di sini Hamzah langsung ke rumah sakit tempat Ayah dirawat. Dimas juga sudah pulang, barusan dia WA Bunda. Ya sudah. Mendingan kamu istirahat dulu biar tenaganya cepet pulih. Tadi kamu sempet pingsan karena kelelahan sama kurang darah.""Terima kasih ya, Bun. Karena Bunda selalu memberikan limpahan kasih sayang sama aku. Maaf karena aku belum bisa membalas budi kepada Bunda dan Ayah.""Kamu tidak pernah berhutang budi sama Bunda. Kamu i
"Anak ini benar-benar anakku, Bu," lirihku seraya menahan sesak di dada."Ish! Apa-apaan, sih. Ayo kita pulang!" Ibu meletakkan kembali bayi tersebut dan menarik tanganku keluar dari ruangan tempat dimana istri, ah, lebih tepatnya mantan istri serta anakku sedang dirawat."Kenapa bayi itu mirip sekali dengan kamu, Siz?" tanya Ibu ketika kami sudah berada di dalam mobil."Mungkin dia memang anakku, Bu," jawabku sembari mengusap kasar wajahku.Tuhan. Kenapa tiba-tiba perasaan bersalah langsung menghakimi hati. Aku menyesal karena sudah tidak percaya kepada Rania, mentalaknya secara tidak terhormat serta menorehkan luka begitu dalam di dasar hati wanita berparas ayu itu.Bodohnya aku, karena lebih mempercayai Ibu dan saudari-saudariku. Padahal aku sendiri yang merasakan bahwa Rania memang masih suci ketika tubuh kami pertama menyatu. Aku yang memertamainya. Tapi, kenapa harus termakan hasutan orang-orang?Bahkan, omongan Kayla yang notabene seorang dokter kandungan juga tidak aku percaya
"Fik. Bagi Mas duit sepuluh juta dong!" Menodongkan tangan kepada adikku yang sedang asik memoles wajahnya dengan bedak di depan kaca."Memangnya mau buat apaan, Mas, minta uang sebanyak itu?" tanya Rafika tanpa menoleh. Dia tetap saja fokus ke wajahnya yang sudah dirias sedemikian rupa. Sudah persis seperti ondel-ondel."Mas mau tes DNA anaknya Rania, Fik. Dia itu mirip banget sama Mas. Makanya Mas mau tes biar tahu dia beneran anaknya Mas atau bukan.""Nggak ada. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Enak saja minta-minta terus. Aku yang capek kerja siang malam, Mas yang mau nikmati. Makanya cepetan cari kerja. Jangan cuma ongkang-ongkang kaki di rumah sama minta duit. Dasar benalu!" rutuknya panjang lebar.Aku segera keluar dari kamarnya. Malas beradu argumen dengan Rafika, nanti ujung-ujungnya merembet kemana-mana.Awas saja kamu, Fik. Jangan salahkan aku kalau sampai menggambil uang kamu secara diam-diam.*Kamu kapan mau membawa sampel DNA anaknya Rania ke rumah sakit, Zis?" tanya
Setelah mengetahui alamat mantan istri, dengan cukup percaya diri mendatangi kediamannya yang ternyata lumayan cukup jauh dari rumah tinggal terdahulu. Berada di jantung kota Bekasi dan perjalanan menuju ke rumah nenek Rania begitu padat merayap hampir menghabiskan waktu selama dua jam.Tapi tak apalah. Semua demi Rania. Bukankah jika kita ingin mendapatkan sesuatu, kita juga perlu perjuangan dan berkorban?Putaran keempat roda mobilku berhenti tepat di depan rumah minimalis berlantai dua. Dada ini bergemuruh hebat. Hati ini terasa panas bagai ada api yang sedang menyala, melihat Hamzah sedang berada di rumah Rania bersama kedua orang tuanya. Apa sih maunya mereka? Tidak malu apa mendatangi rumah seorang janda, yang mantan suaminya masih berharap dia kembali.“Arghh!” Memukul setir dengan begitu keras, hingga tanganku teras nyeri. Terlebih lagi hati ini, karena keluarga mantan istri terlihat begitu dekat dengan si Hamzah sial*n itu!Sambil mengatur napas yang terengah-engah akibat emo
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala