"Selamat pagi, Ara. Apa kabarmu? Apakah kamu akan datang ke butik hari ini?""Tidak, Sissi. Hari ini aku tidak akan datang ke butik. Aku akan pergi ke minimarket membeli peralatan sekolah untuk Kenzie. Tolong kamu urus segalanya di butik?""Tentu saja, Ara. Aku akan mengurus semuanya. Jangan khawatir dan nikmati waktumu dengan Kenzie."Setelah berbicara dengan Sissi, aku menyimpan ponselku ke dalam tas. Aku memilih untuk tidak ke butik hari ini dan memutuskan pergi ke minimarket bersama Kenzie. Aku merasa perlu menghabiskan waktu bersama anakku untuk menghilangkan kegalauanku. Mungkin saja, dengan bersenang-senang bersama Kenzie, hatiku bisa menjadi lebih tenang.Aku sudah mengajak Ibu untuk ikut, tapi dia mengatakan bahwa dia tidak bisa karena ada asisten baru yang akan mulai bekerja hari ini. Tidak apa-apa, aku masih punya Kenzie sebagai teman berbelanja."Ken, apakah kamu sudah siap?" tanyaku saat berada di ruang tamu.Kenzie, anakku, yang sedang duduk di sofa menjawab dengan cepat
Suasana menjadi tegang ketika Kenzie tiba-tiba muncul dan memanggilku dengan berkata, "Mommy …"Aku dan Keenan langsung menoleh ke arahnya. Kenzie berhasil mengambil hatiku ketika ia mendekati kami, tapi Keenan terlihat agak terkejut dan heran."Paman galak, Paman juga berada di sini?" tanya Kenzie, menatap Keenan dengan wajah polosnya.Dalam sekejap, aku dengan sigap mendorong Keenan untuk menjauh dariku. Keenan menatapku dengan heran, lalu kembali menatap Kenzie. Aku merasa salah, harusnya aku pergi sedari tadi. Dan sekarang, apa yang terjadi? Kenzie datang ke arahku dan Keenan melihat semuanya, apalagi ketika Kenzie memanggilku dengan sebutan mommy. Aku yakin Keenan pasti punya banyak pertanyaan dalam benaknya."Kamu mengenalnya?" tanya Keenan.Kenzie mengangguk "Tentu saja, dia mommyku."Deg!Jantungku berhenti berdetak, melihat tatapan tajam dari Keenan, membuatku takut. Takut dengan semua hal yang akan terjadi."Mom, apa Mommy sudah mendapatkan air minumnya? Tenggorokanku sudah
Pov Keenan"Sial!" umpatku kesal. Rasanya seperti tak ada orang yang mengerti, dan aku merasa seperti tersudut di tempat sendiri. Kiara, mantan pacarku, mengaku bahwa aku telah melecehkannya. Semua orang berpaling dariku dan hampir saja mengeroyokku. Namun, untungnya aku memiliki kecerdasan di atas rata-rata, dan akhirnya mereka percaya padaku saat Kiara melarikan diri.Tapi itu tidak membuatku merasa lebih baik. Kiara berhasil memfitnahku dan hampir semua orang percaya padanya. Seorang wanita menuduhku melakukan pelecehan hanya karena keegoisannya. Aku memejamkan mata dalam-dalam saat merenungkan situasi yang aku hadapi.'Kenapa ini harus terjadi padaku?' gumamku dalam hati.Aku berjalan tergesa-gesa menuju apartemen setelah kembali dari kejadian yang tak mengenakan tadi. Langkahku berat karena pikiranku masih terganggu oleh insiden beberapa jam yang lalu. Saat sampai di depan pintu apartemen, aku membuka pintu dengan kartu akses dan langsung menghambur masuk ke dalam. Aku lalu men
"Hah? Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kamu memiliki anak? Tapi kamu belum menikah? Kamu memiliki anak dengan siapa?" ujar Bagas yang terlihat heran.Aku bertambah bingung dengan pertanyaannya yang begitu banyak. Ekspresi keheranan tergambar jelas di wajah Bagas. Jadi, aku memutuskan untuk menjelaskan satu per satu."Pertama, iya, aku punya anak. Kedua, memang belum menikah. Ketiga, anak itu mungkin hasil hubunganku dengan seseorang beberapa tahun lalu yang tidak berujung pada pernikahan. Jadi, aku perlu tahu lebih banyak tentang Kenzie dan keadaannya sekarang."Bagas masih terlihat terkejut, tetapi dia akhirnya mengangguk, "Baiklah, aku akan mencari tahu sebanyak mungkin tentang Kenzie dan memberitahumu segera setelah aku mendapat informasi."Setelah berkata demikian, Bagas tampak terdiam dan merenung. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. "Kenapa?" tanyaku.Dia lalu melihat ke arahku dan berjalan menghampiriku kembali. "Siapa wanita yang menjadi korbanmu?" Pertanyaannya membuatku s
Marissa menggandeng tanganku, dan kami berdua masuk ke dalam restoran tersebut. Setelah berada di dalam, aku mengedarkan pandanganku mencari tempat yang kosong."Kiara."Sejenak, aku terpaku ketika mendengar Marissa memanggil Kiara. Aku melihat ke arah yang ditunjuk oleh matanya. Jantungku berdetak kencang ketika melihat Kiara sedang makan malam bersama Kenzie, dan juga seorang lelaki yang tidak aku kenal.Setelah Marissa memanggil, Kiara menoleh ke arah kami bersama dengan Kenzie dan seorang pria yang duduk di samping Kiara."Marissa, Keenan," gumam Kiara, ia menatap kami seperti tidak percaya kami ada di hadapannya.Aku dan Marissa menghampiri meja mereka sambil Marissa menggandeng tanganku."Kiara, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," kata Marissa sambil tersenyum ke arah Kiara."Benar, aku juga tidak menyangka," jawab Kiara.Marissa melihat ke arah lelaki yang duduk di samping Kiara. Lelaki yang mengenakan kaos hitam itu terlihat gagah, tetapi aku lebih tampan dari d
Uhuk!Uhuk!Kiara tersedak mendengar perkataan Kenzie, membuatku semakin yakin bila Kenzie adalah putraku.Perlahan-lahan, aku memperhatikan wajah Kiara yang tampak gelisah dan mungkin merasa tertekan. Namun, aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya karena sebelum ini aku bahkan tak tahu bahwa Kenzie adalah anakku. Sejenak kami terdiam, tak ada yang mengucapkan sepatah katapun.'Kiara, tanpa tes DNA pun aku yakin bila Kenzie adalah putraku. Lihat saja Kiara, aku ingin melihat bagaimana reaksi kamu selanjutnya. Apa kamu pikir kamu bisa membohongiku.'"Pelan-pelan, apa kamu tidak apa-apa?" ujar Jordi, sambil mengusap bibir Kiara dengan tisu. Sikapnya benar-benar menggangguku.Tanpa disadari, tangan ini mencengkeram erat sendok yang ada di tangan kananku. Hatiku seperti teriris pedang ketika melihat lelaki itu begitu perhatian kepada Kiara."Tidak apa-apa, terima kasih," jawab Kiara."Oh iya, Sayang, apa kamu mau coba ini? Kamu selalu suka kepiting lada hitam, kan?" Marissa menawar
Pagi ini terasa sangat berat. Ada begitu banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan dan masalah sepertinya tak pernah berhenti datang. Meskipun begitu, aku terus mencoba untuk fokus agar semua tugas dapat selesai tepat waktu. Pikiranku agak terganggu oleh masalah pribadi, tetapi aku ingat betapa pentingnya untuk tidak membiarkan itu mempengaruhi produktivitasku.Aroma kopi hitam yang menyenangkan berhasil mengalihkan perhatianku. Segera aku meraih secangkir kopi hitam yang telah menanti di dekat meja kerjaku dan menyeruputnya dengan nikmat. Rasanya begitu nikmat dan menghangatkan tubuhku. Kopi selalu menjadi teman setia saat aku butuh semangat.Namun, semangat saja tidak cukup untuk menyelesaikan semua tugas yang menunggu. Meski aku merasa tak mampu, aku harus memaksakan diri untuk terus bekerja agar tidak mengecewakan klien dan rekan kerjaku. Aku mencoba untuk mengambil napas dalam-dalam dan menenangkan diri sejenak sebelum melanjutkan pekerjaan.Tok! Tok! Tok!"Masuklah!" tit
"Emm … Kenzie ada, dia sedang ada di kamarnya," ujar Bu Sinta dengan gugup.Setelah beberapa saat, Kiara turun dari lantai atas. Dia terlihat terkejut ketika melihatku ada di sini. Wajahnya tampak tidak ramah kepadaku."Ngapain kamu ada di sini?" tanya Kiara dengan nada tidak sabar."Aku hanya ingin bertemu Kenzie," jawabku sambil mencoba menjaga ketenangan."Tidak ada Kenzie di sini. Lebih baik kamu pergi sekarang!" Kiara mengusirku seperti orang yang tak berguna. Apakah dia pikir aku akan pergi begitu saja? Aku tidak akan menyerah untuk bertemu dengan Kenzie."Kenzie memang tidak ada di sini, tapi dia ada di kamarnya," jelasku dengan sabar, berharap Kiara akan setuju bila aku bertemu dengan Kenzie.Kiara terdiam sesaat sebelum akhirnya menyatakan, "Baiklah, aku akan coba memanggilnya." Dia berlalu ke salah satu kamar di apartemen tersebut.Beberapa saat setelah itu, Kenzie keluar dari kamarnya dan terkejut melihat kehadiranku di sini. "Paman Galak, ternyata Paman ada di sini. Om Jord
"Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang sudah ada di dekatku.Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ibu, tetapi rasanya sulit. "Aku merasa mual, Bu. Mungkin kecapekan," kataku sambil mengelap wajah dengan handuk.Ibu mengerutkan kening. "Mungkin kamu perlu istirahat lebih. Kalau mual terus, kita periksa ke dokter, ya."Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur memiliki Ibu yang begitu perhatian. "Iya, Bu. Aku istirahat dulu sebentar."Kembali ke kamar, aku berbaring di tempat tidur, berharap rasa mual ini segera hilang. Tapi di tengah kegelisahanku, pikiranku melayang ke satu kemungkinan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Dengan hati-hati, aku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku haid. Benar saja, sudah beberapa minggu terlambat.Jantungku berdebar lebih cepat. Apakah mungkin …?Aku memutuskan untuk menunggu hingga Keenan pulang dan membicarakan ini dengannya. Aku begitu cemas memikirkan semua ini. Aku mencoba memejamkan mata sebentar.Beberapa saat kemudian, aku terkesiap k
Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya hatiku ketika Keenan, lelaki yang sudah menjadi suamiku kini, memberiku kunci butik yang telah lama kutinggalkan. Keenan memintaku untuk kembali mengurus butik yang dulu aku bangun dengan susah payah. Dengan perasaan yang begitu haru dan sekaligus bahagia, aku mengingat mimpi lamaku menjadi seorang desainer. Mimpi yang tak mudah kugapai, namun penuh perjuangan dan kerja keras. Enam tahun lalu, aku berangkat ke Singapura, dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar dengan para desainer terkenal di sana. Keputusan itu diambil dengan penuh keberanian, meninggalkan semua yang kucintai di Indonesia, termasuk Keenan, lelaki yang sangat aku cintai. Aku membawa Ayah yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Meski berat, aku yakin bahwa kesempatan ini akan membuka pintu yang lebih besar di masa depan, dan Ayah pasti akan sembuh. Namun, rencana Tuhan berbeda dengan harapanku. Satu tahun setelah berada di Singapura, aku menerima kabar d
Marissa hanya tertawa sinis mendengar perkataanku. "Haha, kembali seperti dulu?" katanya dengan nada sinis. "Apakah kamu tidak melihat bagaimana aku sekarang, Kiara? Aku berada di tempat yang kotor dan hina. Aku kehilangan segalanya. Tapi kamu, kamu malah hidup enak dan memiliki segalanya yang seharusnya menjadi milikku!" Aku terkejut dan sedih mendengar kata-kata Marissa. Aku bisa merasakan kekesalan dan kebencian yang terpendam di balik kata-katanya. Namun, aku mencoba untuk tetap tenang dan memahami perasaannya. "Marissa, aku sangat menyesal melihat kondisimu sekarang," ujarku dengan suara lembut. "Sebagai teman, aku ingin membantumu agar bisa bangkit dan memulai kembali. Aku ingin membuka lembaran baru bagi kita semua." Marissa memandangku dengan tatapan tajam. "Bukankah kamu bisa memahami betapa sulitnya posisiku?" katanya dengan emosi yang masih terasa dalam suaranya. "Kehidupan ini tidak adil, tidak adil bahwa aku harus berada di tempat seperti ini sementara kamu hidup dalam
Kesempatan untuk bertemu dengan Marissa akhirnya terbuka bagiku, dan hatiku bergetar dengan rasa bahagia dan cemas. Meskipun Marissa telah melakukan kesalahan yang besar terhadap kami, aku tidak bisa melupakan masa-masa indah yang kami lewati bersama saat kami masih sekolah dulu. Kami adalah teman baik, berbagi tawa, cerita, dan impian bersama. Sekarang, dengan keputusanku untuk menemui Marissa, aku berharap kami bisa memulihkan hubungan yang ada di antara kita.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Aku bersiap untuk pergi menemui Marissa, memilih pakaian dengan hati-hati, mencoba tampak tenang dan berbicara dengan hati yang terbuka. Aku berdoa agar pertemuan ini bisa membawa kedamaian dan kesembuhan baik bagi diriku maupun Marissa.Sepasang tangan kekar tiba-tiba merangkulku dari belakang, menyapu rasa kantukku dengan kehangatan yang akrab. Aku tersenyum dan berbalik memandang Keenan yang sudah bangun tidur, selalu ada dalam pelukannya."Kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanya Keenan de
Aku melepaskan sedikit rasa kantukku saat melihat seorang lelaki dengan tangan kekar yang memeluk perutku. Senyuman terukir di wajahku ketika aku menyadari bahwa itu adalah Keenan, suamiku yang tidur di sampingku. Matanya yang tertutup oleh bulu alis yang tebal begitu indah, hidungnya yang mancung memberikan pesona tersendiri.Dalam keadaan itu, aku tertegun sejenak, mengamati wajahnya yang damai saat terlelap. Rasa cinta yang mendalam muncul dalam hatiku, melihat Keenan sebagai sosok yang melengkapi hidupku.Teringat akan janji pernikahan kami yang baru terucap beberapa hari yang lalu, saat kami bersatu menjadi suami istri. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku bahagia bisa berbagi hidup dengan Keenan, orang yang telah berada di sampingku sejak lama.Aku mencium udara pagi dengan perasaan yang penuh syukur. Aku merasakan kehangatan dan keamanan dalam pelukan Keenan. Rasa terima kasih terucap dalam hatiku, untuk kami berdua dan keberuntungan yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku.Sejenak a
Keenan mengangkat kepalanya dan tiba-tiba mencium bibirku dengan lembut. Suasana di apartemen Keenan menjadi hening, hingga hanya terdengar detak jarum jam yang mengisi ruangan. Aku terbuai dalam kelembutan ciumannya, merasakan kenyamanan yang timbul dan melupakan segala sesuatu di sekitar kami.Namun, aku segera menyadari situasi kami dan mendorong tubuh Keenan agar menjauh dariku. "Apa kita akan melakukannya di sini?" tanyaku, hatiku berdebar ketika mengingat keberadaan kamera CCTV di ruangan ini.Keenan bangun dari posisi tidurnya dan duduk di sampingku. "Memangnya kenapa kalau di sini? Di apartemen ini hanya ada kita," ucapnya dengan senyuman.Aku menunjuk ke arah CCTV yang terpasang di sudut ruangan. "Lihatlah, ada CCTV di sini. Aku tidak ingin kegiatan kita terekam dan diketahui oleh orang lain."Keenan hanya tersenyum dan mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan membawa tuan putriku ini ke kamar. Di sana kita bisa bebas dan tenang," ucapnya sambil mengangkat tubuhku dengan lembu
Keenan terlihat kesal karena Kenzie belum tidur hingga malam tiba. Sudah berbagai cara Keenan lakukan agar Kenzie bisa tidur, tetapi nyatanya semua usahanya tak berhasil membuat anak kami tertidur. Aku hanya tersenyum melihat wajah kesalnya. Mulai dari saat kami meninggalkan kamar hotel hingga sekarang, ketika kami sudah berada di apartemenku, Keenan masih terlihat murung. Ya, setelah hari pernikahanku dengan Keenan selesai, kami memutuskan untuk kembali tinggal di apartemen yang pernah aku beli dulu. Kenzie begitu sangat bahagia ketika kami memutuskan untuk kembali lagi ke apartemen ini. "Terima kasih, Tante Sissi, sudah mau memberi tumpangan kepada kami," kata Kenzie, berlari ke arah Sissi dan memeluknya erat. "Sama-sama, Ken. Tante Sissi juga senang bisa membantu kalian bertiga. Apalagi rumah tante Sissi jadi ramai. Oh iya, lain kali kamu juga bisa main ke rumah tante Sissi." Kenzie melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Tante. Aku sangat sayang pada Tante. Maafkan aku yang sela
"Kenapa? Apa yang kamu bicarakan dengan Om Beni?" tanyaku pada Keenan setelah ia mengakhiri sambungan teleponnya dengan ekspresi yang terlihat agak cemas."Tidak apa-apa, Om Beni hanya mengucapkan selamat kepada kita," jawab Keenan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana."Para tamu sudah pulang semua?" tanyanya sambil memandang sekeliling ruangan yang sudah kosong.Aku mengangguk. "Sudah pada pulang. Kenzie juga sudah pergi bersama Sissi dan Bagas.""Pergi ke mana?" tanyanya penasaran."Kenzie bilang dia ingin beli es krim.""Malam-malam begini?" tanyanya terlihat agak cemas.Aku mengangguk. "Ya, Kenzie selalu menginginkan sesuatu dan Sissi akhirnya merasa kasihan padanya, jadi dia membawa Kenzie untuk membeli es krim.""Tapi nanti giginya sakit lagi," ujar Keenan sambil menggeleng."Aku juga sudah melarangnya, tapi kamu tahu sendiri Kenzie pasti akan merengek terus."Keenan mengangguk setuju, tapi ekspresinya terlihat agak khawatir. "Ya, itu masalahnya. Tetapi, sepertinya m
"Iya, itu memang cincin yang aku dapatkan dari pelelangan," jawab Keenan sambil tersenyum menatapku.Aku merasa bingung mengapa Keenan memberikan cincin itu kepadaku. "Tapi … kenapa kamu memberikannya untukku?" tanyaku yang masih bingung."Kiara, cincin itu adalah turun-temurun dari nenek moyang kami dulu, dan sekarang cincin itu memang sepantasnya untukmu," terang Tante Belinda."Tapi … kenapa harus untukku, Tante?""Mommy, kenapa Mommy terlihat bingung? Mommy sudah melahirkan aku, jadi cincin itu sekarang Mommy yang simpan. Kalau nanti aku udah besar, Daddy bilang nanti cincin itu aku yang simpan, iya, 'kan, Daddy?" ujar Kenzie dengan polos."Lihat, anakmu saja mengerti, kenapa kamu tidak mengerti," terang Keenan."Jadi … maksudnya, kamu ….""Iya, malam ini, aku ingin melamarmu, Kiara. Di depan keluarga kita," ucap Keenan yang membuatku tersipu malu. "Kamu mau 'kan menikah denganku, kita membesarkan Kenzie bersama?"Aku melihat ke arah Ibu, Ibu mengangguk tanda setuju, lalu aku meli