Tubuh Gauri jatuh tersungkur dari kursi roda. Daniel dan Tina membantu memegang Gauri yang tubuhnya sangat kurus kering."Daniel ... Daniel, akhirnya kamu mau datang ke sini. A-aku sangat ... sangat merindukanmu, Daniel ...." Tangan Gauri memegang lengan Daniel. Bianca berjongkok, meski ia tak suka , tapi tetap tahu etika. Bianca merasa tak enak hati, orang lain berjongkok semua, dirinya justru berdiri. "Gauri, istrighfar ... aku, aku udah punya istri, Gauri. Aku sangat mencintai istriku." Ungkapan hati Daniel membuat Gauri meneteskan air mata. Bianca tersenyum bangga mendengar papahnya mengungkapkan cinta dan kasih sayangnya pada Namira. "Ta-tapi, kamu dulu ... dulu mencintaiku kan?""Itu dulu. Sekarang ... sekarang di hatiku hanya ada nama Namira Rashid. Aku sangat mencintainya. Aku enggak akan pernah menduakan cintanya. Enggak akan, Gauri. Aku mohon, fokus dengan kesehatanmu. Kamu cepat sembuh. Jangan begini, Gauri. Kamu wanita yang baik, rasanya ... enggak pantas jika mengharap
Bianca bergegas mematikan sambungan telepon. Dia pura-pura menyandarkan kepala sambil memejamkan kedua mata. Daniel mengetuk pintu kaca mobil. Bianca membuka kedua mata, menurunkan kaca jendela mobilnya. "Kenapa, Pah?""Kamu kenapa di dalam sini, Bi? Ayok turun!""Enggak mau, Pah. Aku ngantuk," jawab Bianca bersidekap. Memalingkan wajah ke arah lain. "Ya udah, tapi sekarang Papah mau ke makam umum dulu. Mau mengantar Gauri ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kamu mau ikut gak?"Bianca berpikir, mengitari sekeliling. Kalau dia di sini sendirian, mengerikan sekali. Bianca sempat berpikir, takut diganggu hantu Gauri. "Ya sudah, kamu tunggu di sini saja.""Pah, tunggu! Aku ikut!' Bianca turun dari mobil. Berjalan beriringan dengan Daniel menuju pemakaman umum. ***Selesai dimakamkan, Daniel dan Bianca pamit pulang. Ferry mengucapkan terima kasih berulang kali. Dia merasa tak enak hati sekaligus berterima kasih karena Daniel masih mau datang ke rumahnya. Bianca dan Daniel sudah men
Tiba di depan pintu kamar Nida, Bianca mengetuk pintu. Tidak berselang lama, pintu terbuka, terlihat Nida yang berdiri. "Kak, emang bener, Tante Gauri pu---" Bianca membekap mulut Nida, mendorong tubuh gadis itu agar masuk ke dalam kamar. "Ssssttt ... ngomongnya jangan kuat-kuat. Nanti Papahku denger." Bianca memperingatkan Nida yang menganggukkan kepala. "Bian, Papahmu udah pulang belum?" Namira yang sebelumnya duduk di balkon masuk ke dalam kamar, menemui anak sambungnya. "Udah. Mih, sebentar ...." Bianca menahan lengan Namira yang hendak keluar kamar. "Kenapa, Bi?" Bianca menarik napas panjang, melongok ke arah pintu, khawatir kalau papahnya mendengar pembicaraan mereka bertiga. "Mamih jangan tanyain soal Tante Gauri yang pura-pura meningg4l dunia itu, ya? tadi Papah memperingatkanku, katanya ... jangan cerita tentang tante Gauri yang pura-pura meninggal agar papah datang ke rumahnya pada Mamih dan Nida. Kata Papah lagi, biar bagaimana pun tante Gauri sudah meningg4l dunia,
Evan benar-benar bosan di rumah. Sedari tadi ia hanya keluar masuk kamar mamahnya, mendengar cerita dan harapan Gita. Pikiran Evan sangat tidak fokus. Dia benar-benar ingin berjumpa dengan Bianca. Sejak bekerja di perusahaan Bragastara, Evan sudah jarang sekali bertemu dengan Bianca. Jangankan jalan keluar, ngobrol di rumahnya saja sangat jarang. Belum lagi, Bianca sekarang sulit dihubungi. Pesan WA-nya hanya dibalas singkat saja. Evan memerhatikan mamahnya yang tertidur setengah jam lalu. Sangat pelan-pelan Evan beranjak dari kursi yang ditempatinya. Ingin ke rumah Bragastara menemui pujaan hatinya.Evan berhasil keluar kamar mamahnya. Ia berjalan cepat ke depan. Ada Yuda yang baru saja keluar dari ruang kerja. "Van, kamu mau kemana?" Langkah kaki Evan terhenti. Ia membalikkan badan. "Pah, please ... tolong izinin aku ke rumah Pak Daniel. Aku kangen Bianca, Pah ... please ...." Evan menunjukkan wajah mengiba. Sedari tadi sebenarnya Yuda tak tega melihat anaknya yang seperti terkeka
"Dih gombal!" Bianca mencebik, duduk di kursi. Begitu pula Evan, duduk di kursi satunya lagi. "Aku serius, Bian ... aku bener-bener kangen sama kamu," ungkap Evan menunjukkan wajah serius. "Kalau kangen kenapa baru datang? Kenapa baru nemuin aku?" cecar Bianca dengan dua pertanyaan. Wajahnya agak dicondongkan ke depan Evan. Anak kandung Yuda itu menunjukkan raut wajah memelas. "Kerjaanku di kantor lagi banyak. Udah gitu, sekalinya mau ke sini, Mamah pengen ditemenin. Jadi susah. Makanya, Sayang ... kalau aku WA atau telepon kamu, tolong angkat. Tolong balas."Bianca terdiam, bibirnya merengut. "Iya deh. Habisnya aku sebel sama kamu. Janjinya mau ke rumah, eh malah gak lagi, gak lagi.""Iya, maaf."Sesaat tidak ada yang bicara. Bianca memerhatikan setangkai bunga mawar, sesekali dihirup wangi bunga tersebut. "Bi?" Panggilan Evan membuat Bianca menoleh. "Kenapa?""Keluar yuk! Kita nonton!" ajak Evan ingin jalan berdua dengan gadis pujaan hati."Aku sama Nida emang niatnya mau nont
Gita sangat kesal panggilan teleponnya pada Evan tak juga diangkat. Ia sangat marah dan mengamuk ketika mengetahui Evan pergi dari rumah. "Ah, sial! Kenapa hapenya gak aktif? Aku yakin, Evan keluar rumah bukan mau ke kantor tapi mau ke rumah Pak Daniel. Aku yakin! Aaarrghh!" Teriak Gita penuh emosi. Dia tak menyangka jika anak semata wayangnya telah meninggalkannya. Yuda yang sedari tadi duduk di sofa kamar, memerhatikan tingkah laku istrinya yang uring-uringan tak jelas. Sudah berulang kali ditenangkan Yuda, tapi Gita justru lebih marah, dan semakin mengamuk. Akhirnya Yuda membiarkan Gita berlaku semaunya. "Mas, kamu bisa gak sih, suruh si Evan pulang?" sentak Gita menoleh pada lelaki yang duduk santai. Menunjukkan sikap tak peduli akan kemarahan Gita. Yuda tak langsung menjawab. Menghela napas berat, lalu mengubah posisi duduk, menatap istrinya intens. "Evan bukan anak kecil, Gita. Nanti juga kalau kerjaannya selesai, dia pasti pulang. Aku juga lagi banyak kerjaan. Kalau kamu ma
"Mas, Mas kamu mau kemana?" Dengan gerakan cepat, Gita menekan tombol kursi roda yang ditempati. Melaju mendekati Yuda yang tengah mengeluarkan pakaian dari dalam lemari dan memasukkan ke dalam koper besar miliknya. "Mas, kamu mau kemana? Kamu tega ninggalin aku?" Tangan Gita menarik lengan Yuda yang sibuk mengemasi pakaiannya. Yuda menoleh, menghempaskan cekalan tangan Gita pada lengannya. "Tadi aku udah bilang ke kamu, Gita. Aku akan pergi kalau kamu masih bersikap seperti ini!" sentak Yuda kesal. Sorot matanya tak lagi bersahabat. Tampak sekali amarah menguasai dirinya. "Kenapa kamu gak bisa sabar, Mas? Kenapa gak bisa sabar sepertiku saat kamu bers3lingkuh dengan Dania? Kenapa? Aku bertahan berumah tangga denganmu walaupun aku tau, kamu nikah diam-diam dengan Dania! Aku tetap sabar menghadapimu walaupun aku tau, kamu udah punya anak dari Dania! Aku tetap sabaaaarrrr ... kenapa kamu gak bisa sabar sepertiku, Massss? Kenapaaaa?"Teriakan Gita membahana ke sudut ruangan kamar. Yu
Makan malam selesai, Bianca dan Evan keluar pusat perbelanjaan."Sekarang kita mau kemana lagi?" tanya Evan sambil menyodorkan helm pada gadis yang membuat hatinya selalu bahagia. "Pulang aja. Udah malem. Aku gak mau nantinya Papah marah." Evan menghela napas. Sangat berat jika mau berpisah dengan Bianca. "Bi, aku bakalan kangen kamu lagi. Dalam beberapa hari, kita gak bisa barengan gini lagi. Kadang, kalau pulang kerja malam, aku kangen kamu. Mau telepon kamu, aku segan. Takut ganggu kamu malam-malam. Mau mampir ke rumahmu, aku segan sama Pak Daniel," ungkap Evan memandang Bianca penuh kasih sayang. Apa yang dirasakan Evan, dirasakan pula Bianca. Dia juga ingin seperti dulu. Hampir tiap bertemu, tiap hari bersama. "Sabar ... orang sabar disayang Allah.""Aaamiin."Evan tak berkeluh kesah lagi. Ia naik ke atas sepeda motor ninjanya. Begitu pula Bianca, mengenakan helm, naik ke atas sepeda motor, duduk di belakang tubuh lelaki yang sudah membuatnya jatuh cinta. Kendaraan roda dua
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang